Catatan Serangan 11 September di Mata Seorang Indonesia Imam Shamsi Ali (2)
Hari itu, Kamis 13 September, seorang Muslim di Harlem ditusuk hingga meninggal dunia. Di kawasan Bay Ridge Brooklyn ada dua wanita Muslimah yang jilbabnya ditarik dan dipukuli. Sejak serangan teror ke WTC dan Islam menjadi tertuduh, bahkan seolah menjadi terdakwah dan dihakimi sebagai pelaku, batin saya memberontak.
Kota New York memang kota dunia. Di sinilah PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) bermarkas (berpusat). Konon kabarnya di kantor itulah berbagai urusan dunia diperbincangkan. Isu Palestina misalnya dari dulu hingga detik ini masih menjadi isu hangat yang diperdebatkan. Debat yang tiada hasil, bahkan berujung pada NATO (no action, talk only).
Saya relatif baru sekitar 4 tahun lebih di kota New York. Tapi sejak kehadiran Saya di kota ini salah satu program prioritas saya adalah membangun hubungan yang baik dengan teman-teman Afro American Muslim. Sebab Bagaimanapun juga mereka adalah Muslim Pribumi (bukan imigran seperti kami).
Menjelang Sholat Magrib tiba-tiba telpon saya berdering. Yang menelpon juga unknown (tanpa ID atau nama/nomor). Ketika saya angkat saya dengarkan suara salah seorang teman dekat, Imam E. Pasha, dari masjid Malcom X di Harlem. “Imam, are you okay?” Demikian dia memulai. Nampaknya dia sangat khawatir dengan keadaan Komunitas Muslim di kota New York. Pembunuhan, pemukulan dan bentuk serangan lainnya, baik ke individu-individu Muslim maupun ke Beberapa masjid dan Islamic Center semakin menjadi-jadi. “I am okay Imam,” demikian saya jawab. “Can you see me tonight at Magrib time?” Pintanya. Saya kemudian mengiyakan untuk ketemu dengannya di kantor masjidnya di kawasan Harlem. Beliau saat itu sekaligus menjabat sebagai Chaplain atau pejabat kerohaniaan di NYPD.
Kitalah berdua sebenarnya yang menginisiasi program “Welcoming Ramadan” di kantor pusat NYPD di tahun 1998 lalu. Ternyata beliau menyampaikan sebuah rencana untuk mempertemukan tokoh-tokoh Muslim dan Walikota New York yang ketika itu masih dijabat oleh Rudolph Giuliani. Saat ini Giuliani adalah personal attorney dari Presiden Donald Trump. Imam E Pasha meminta saya untuk merekomendasikan nama-nama Imam yang akan diundang dalam pertemuan itu. Jumlah dibatasi hanya 10-15 orang. Dan harus mewakili komunitas Muslim dengan ragam latar belakang dan etnis. Saya memberikan 10 nama, termasuk Imam Siraj Wahhaj, seorang Imam kharismatik di Brooklyn dari kalangan Afro American. Tapi Imam E Pasha secara khusus tidak setuju jika Imam Siraj dimasukkan. Rupanya saya baru sadar bahwa hubungan keduanya kurang harmonis. Apalagi Imam Siraj terlanjur dilabeli oleh pemerintah kota sebagai Imam yang radikal.
Sebelum berpisah saya sendiri merumuskan beberapa “talking points” khususnya dalam menyikapi kebencian dan kekerasan kepada Komunitas Muslim di kota New York dan US secara umum saat itu.
Kamipun berpisah. Setiba di rumah sekitar jam 10 malam itu, telpon saya kembali berdering. Juga dari seseorang yang unknown (tanpa ID). Saya angkat dan kali ini terdengar suara perempuan:
“Good evening.” “Good evening. Excuse me, who is this?” Tanya saya. “This is Mayor office,” (Ini dari kantor Walikota), jawabnya. Setelah saya iyakan sekaligus tanya tujuan menelpon, dia menyampaikan bahwa saya diundang untuk hadir dalam sebuah pertemuan bersama Walikota di Manhattan esok harinya (Jumat, 14 September). Saya tentunya tidak bisa menolak. Dalam benak saya pertemuan itu adalah kesempatan untuk menyampaikan apa yang ingin saya sampaikan ke Walikota.
Sejak serangan teror ke WTC dan Islam menjadi tertuduh, bahkan seolah menjadi terdakwah dan dihakimi sebagai pelaku, batin saya memberontak. Saya ingin berteriak kepada dunia bahwa “anda salah”. Saya ingin menyampaikan ke Walikota New York bahwa “Islam is innocent” (Islam itu tidak bersalah). Bahwa serangan biadab yang meruntuhkan gedung tertinggi Amerika yang juga simbol kapitalisme dunia itu “has nothing to do with Islam” (tidak ada hubungannya dengan Islam). Lalu saya tanya tempat pertemuan esok hari tersebut. Dari kantor Walikota diberitahu bahwa tempatnya adalah gereja Saint Patrick, gereja Kathedral Katolik New York yang megah di 51st Street dan 5th Avenue itu.
Keesokan harinya saya bangun sangat dini. Selain mencari tahu berita di TV juga bersiap-siap untuk hadir di acara pertemuan dengan Walikota New York. Sejujurnya saya cukup “nervous” (perasan waswas dan gugup) akan bertemu dengan Walikota. Saya kemudian berusaha menghafal kata-kata yang ingin saya sampaikan. Saya diantar oleh teman yang kebetulan belum masuk kerja. Tapi hanya hingga di ujung jembatan “Queens Borough”, yang menghubungkan antara Queens dan Manhattan. Saat itu sekali lagi saya hanya memakai baju Koko putih. Juga tidak memakai songkok. Dengan penampilan itu saya merasa lebih rileks dan muda.
Sesampai di dekat gereja Katolik terbesar di New York itu, bahkan dua blok dari jalan gereja tersebut sudah banyak polisi, baik polisi lokal maupun polisi state. Di sana sini juga nampak orang-orang bersenjata dengan pakaian sipil. Ketika mendekat ke gedung gereja itu saya ditanya: “yes, what I can do for you?” (Apa bisa saya bantu?). “I am here for a meeting with the Mayor,” (saya di sini untuk pertemuan dengan walikota), jawab saya. Polisi itu memanggil seorang wanita yang berdiri tidak jauh. Dan menyampaikan bahwa saya hadir untuk bertemu dengan walikota. “Yes, follow me.” (ikuti saya) Kata wanita itu. Saya pun berjalan disamping wanita itu. Tapi saya tidak tahan untuk bertanya: “why there are so many security personals?” (Kenapa banyak sekali petugas keamanan?). “You are going to meet with the President,” (kamu akan ketemu dengan Presiden) jawabnya singkat. “What? Are you sure?” (Apa? Benarkah?) Tanya saya. “Yes. The President is coming to meet with some NY religious leaders.” (Presiden akan hadir bertemu dengan beberap tokoh agama di New York) Jelasnya.
Dengan setengah protes saya tanya: “Kenapa tidak kami diberitahu?” “This is highly secret” (ini sangat dirahasiakan), jawabnya singkat.Saya hanya diam. Tapi dalam hati saya sejujurnya sangat senang. Ternyata apa yang ingin saya sampaikan kepada Walikota, justru kini akan saya sampaikan langsung kepada Presiden Amerika Serikat, George W Bush Jr. Sayapun memasuki gedung gereja itu melalui deteksi metal. Pengamanan begitu sangat ketat. Walau petugas keamanan itu nampaknya memaksakan keramahan. Tapi semua tanpa diingkari dalam keadaan tegang….
Di dalam sebuah aula besar yang indah di gereja itu ternyata sudah berkumpul sekitar 25 tokoh-tokoh agama dari Yahudi, Kristen dan Islam. Rupanya Perwakilan agama-agama lain tidak diundang. Dari kalangan Islam hanya ada dua orang. Imam E. Pasha dari Malcom X dan saya sendiri yang saat itu lebih dikenal sebagai Imam masjid Indonesia. Sejujurnya di awal saya masuk di ruangan itu ada sedikit rasa minder atau kurang percaya diri. Selain memang tidak mempersiapkan diri ketemu Presiden USA, juga pakaian saya sangat sederhana. Sementara tokoh-tokoh agama lain semuanya memakai pakaian kebesarannya. Saya bertanya ke Imam Pasha tentang pertemuan itu. Ternyata beliau juga mengalami hal yang sama. Tidak diberitahu kalau pertemuan itu dengan Presiden. Undangannya adalah pertemuan dengan Walikota New York. Kami kemudian diminta mengambil tempat duduk masing-masing yang telah disediakan. Saya sendiri duduk di sebuah sudut dihimpit oleh Imam Pasha, seorang Afro yang besar, dan Rabbi Joe Potasnik, Presiden Rabbi Council NY yang juga tinggi besar. Sehingga hampir saja saya tidak kelihatan di tengah orang-orang besar itu.
Tidak berselang lama setelah itu, tiba-tiba ada seseorang yang masuk dan meminta agar semua hadirin berdiri. Di saat itulah President Amerika Serikat yang ke 43 itu masuk ke dalam ruangan tersebut. Semua hadirin bertepuk tangan. Berusaha tersenyum dan ceria sebisa mungkin. Presiden Bush sendiri melambaikan tangan ke semua tokoh-tokoh agama itu sambil menyapa: “hello. How is every one?” (Apa kabar semuanya?). Lalu mulai berjalan menyapa satu persatu ambil berdialog singkat. Masing-masing diberi 1 menit untuk berbicara dengan sang presiden. Ketika Presiden akan sampai ke tempat kami berdiri, rupanya presiden Amerika itu cukup humoris. Dia melihat ke saya sambil tertawa dan mengatakan: “whose kid is this?” (Ini anak siapa?). Semua hadirin tertawa menanggapi candaan sang presiden. Lalu beliau melangkah ke depan saya. Saya sedikit kaku dan kikuk sejujurnya. Tapi sekali lagi saya melawan semua itu dan membangun percaya (self confidence). Lalu apa saja yang saya sampaikan ke Presiden Bush? Bagaimana reaksi dan responnya? Bersambung……