HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT III (45A)
Aku duduk diam di bangku guru menatap kelasku yang bersih. Di luar jendela embun turun seperti hujan gerimis pertanda masih pagi. Untuk kesekian kalinya aku datang lebih awal lalu menemui kelasku sudah bersih. Kali ini tidak satupun yang bisa kulakukan. Semuanya sudah beres. Rasa penasaran membuatku ingin tahu siapa yang rajin sekali membantuku. Yang senang itu kawan-kawan bareng piket denganku.
Yang lucu Eta. Karena dia tingal di rumah kepala sekolah, komplek SMP, lalu dia mengaku piket dialah yang datang lebih awal untuk piket. Jadi mengaku kelas ini dialah yang membersihkan, dengan wajah serius dan bangga. Maksudnya mungkin aku akan memuji berterimakasih padanya. Dia pikir aku percaya.
“Tidak baik berbohong! Ngaku-ngaku kamu yang piket datang pagi-pagi. Yang membersihkan kelas kita ini temanku tahu! Mereka hantu-hantu dari pohon beringin itu. Kamu mau kukenalkan?” Ujarku suatu hari berbisik ke telinganya. Aku sengaja menakut-nakutinya. Wajahnya pucat seketika. Setengah gagap dia mengakui “iya, bukan aku,” akhirnya ketahuan kalau dia cuma mengaku-ngaku. Bagaimana aku bisa percaya, meski dia tinggal di rumah Kepala Sekolah tapi sering datang terlambat meski jarak antara rumah dan sekolah hanya satu langkah. Dalam hati aku tersenyum. Aku juga ngaku-ngaku bersahabat dengan hantu pohon beringin. Padahal penghuni pohon itu kebanyakan adalah kuntilanak dan genderowo, bukan temanku.
Aku bermaksud meletakan tas ke dalam laci meja. Tiba-tiba aku menemukan sepucuk surat yang diselipkan di sela-sela laci mejaku. Amplop dilipat kecil. Kubaca, ditujukan pada ‘Dedek’
“Untukku? Dari siapa?” Aku bolak-balik amplopnya, tidak ada nama pengirimnya. Sedikit hati-hati aku mencoba membukanya. Mengapa jantungku berdebar-debar? Kutarik nafas panjang. Ketika sudah terbuka perasaanku jadi makin tidak menentu. Rasa ingin tahu pengirimnya membuat tanganku sedikit bergetar. Aku coba membuang perasaan aneh itu. Gagal! Masih saja dadaku berdebar. Setelah kubuka, pelan-pelan kubaca sederet huruf yang ditulis pada kertas berwarna merah jambu. Aku baru saja hendak serius membacanya, tiba-tiba;
“Selasih…” Sontak, aku terkejut. Aku belum membaca tiba-tiba ada suara Macan Kumbang.
“Kumbang di mana? Bikin kaget saja” Ujarku.
“Aku di Uluan. Justru aku mau bertanya, mengapa jantungmu berdebar-debar?” Macan Kumbang menggodaku. Mungkin wajahku memerah ketika itu.
“Aku tidak tahu mengapa jantungku seperti ini setelah membaca amplop surat yang ditujukan padaku.” Jawabku polos. Lalu kutanyakan apakah aku harus melanjutkan membacanya?
“Bacalah. Itu surat cinta namanya. Putri Selasih sudah besar rupanya. Sudah mulai tumbuh perasaa cinta. Makanya berdebar-debar. Awas jangan sampai copot jantungmu ya.” Ujar Macan Kumbang membuatku malu. Oh jadi ini yang disebut surat cinta. Selama ini aku hanya mendengar lewat lagu saja. Akhirnya aku menarik nafas berusaha menenangkan debar dalam dadaku. Aku mulai membaca;
Lembah Dempu,
Untuk: Dedek
“Salam sayang..”
Dek, maafkan jika aku lancang.
Ijinkan aku mencurahkan isi hatiku. Sejak kamu menginjakkan kaki di sekolah ini, aku selalu memperhatikanmu. Maafkan jika tiap kali bertatapan denganmu hatiku selalu berdegup kencang. Aku tak sanggup menatapmu.
Dek, jujur, surat ini kutulis dengan tangan gemetar dan degup dada yang tak kutahu bagaimana cara meredakannya. Siang malam wajahmu selalu terbayang. Maafkan jika aku terbura-buru menyatakan cinta sebelum mengenalmu lebih jauh. Aku jatuh cinta padamu, Dek. Ijinkan cintaku berlabuh di hatimu, dan berharap aku tidak bertepuk sebelah tangan.
Dek, kutunggu balasanmu.
Yang mencintaimu,
Guntoro
Dari Guntoro. Kakak kelasku. Kubaca ulang suratnya masih dengan perasan tidak menentu. Tiba-tiba ada perasan berbunga-bunga. Kata “Aku jatuh cinta padamu” dan “ijinkan aku berlabuh di hatimu” benar-benar indah. Aku seakan dibuai, dan berada di taman penuh aneka bunga. Guntoro menyatakan cintanya padaku? Oh! Ada kebahagian tersendiri menyelip dalam dadaku. Lagi-lagi aku bertanya dalam hati, benarkah perasaan bahagia ini karena aku jatuh cinta? Mungkin benar kata Macam Kumbang.
Aku biasa mendapatkan kiriman surat dari sahabat-sahabat penaku. Tapi baru kali ini perasaanku jadi aneh. Kupandangi berulang kali. Tulisan yang tidak terlalu rapi itu kembali kubaca. Aku salah tingkah sendiri. Akhirnya surat itu kuselipkan ke dalam tasku. Aku takut terbaca oleh kawanku.
“Guntoro..” Aku mengeja namanya. Kakak kelasku yang sering menjadi buah bibir para perempuan di sekolahku karena menurut mereka Guntoro itu ganteng. Perawakannya kurus tinggi. Sangat ideal memang. Berkulit hitam manis, dengan gaya rambut model zaman sekarang. Dan tahi lalat di daun hidungnya itu membuat wajahnya manis, meski dia laki-laki. Tidak sedikit kawan-kawanku meliriknya. Termasuk si Eta itu seringkali minta perhatian dengan kakak kelas, termasuk minta perhatian dengan Guntoro.
Sebenarnya aku tidak terlalu memerhatikan selama ini. Ketika kawan-kawan menyebut-nyebut nama Guntoro, aku biasa-biasa saja. Karena aku memang tidak terpikir untuk tahu karakter teman lelaki atau kakak kelas dengan serius. Aku hanya ingat namanya sering bertengger di papan pengumuman siswa yang tidak sekolah. Nama Guntoro selalu mendapat peringkat teratas, paling banyak alpanya.
Sejenak aku melupakan surat yang membuatku risau itu. Biarlah nanti saja aku memikirkannya. Yang jadi masalah siapa yang berbaik hati membantuku membersihan kelas ini. Ini untuk kesekian kalinya aku menemukan kelasku bersih. Tiap kali giliran aku yang piket. Akhirnya aku berlari ke samping kelas. Lalu duduk diam di sana. Aku berusaha menelusuri aroma makhluk yang menolong membersihkan kelasku selama ini.
Tiba-tiba aku melihat dua gadis sebayaku dengan ekspresi riang gembira membersihkan kelas. Lama kuperhatikan. Aku tidak kenal mereka. Gerakan mereka ringan dan cekatan. Mereka membersihkan kelas sambil bercanda.
“Oh..jadi dua gadis ini yang membantu membersihkan kelas tiap kali jadwal piketku.” Gumamku dalam hati. Kuperhatikan wajah mereka lekat-lekat. Mereka dua gadis nenek gunung. Tapi darimana asalnya? Mengapa mereka membantuku? Apa dasarnya? Berbagai pertanyaan muncul dalam benakku. Tak lama berselang mereka berjalan menyisir jalan berbatu ke arah hulu. Ke arah gunung Dempu. Sayang aku harus belajar, kalau tidak aku ingin mencegatnya, atau menyusulnya ke gunung Dempu. Suatu saat aku akan menemui mereka, batinku. Paling tidak aku ingin mengucapkan terimakasih pada dua makhluk yang baik hati itu.
Akhirnya aku membuka mata kembali. Baru saja aku hendak bangkit, tiba-tiba Kak Devi menghampiriku.
“Dek, ada surat di laci mejamu sudah kau baca? Surat dari Guntoro. Balas ya, nanti titip saja padaku.” Ujarnya. Aku tercekat. Tidak tahu harus menjawab apa. Aku hanya bisa menatap kak Devi setengah mengangguk. Mereka dua sahabat karib. Tidak di rumah, maupun di sekolah mereka selalu bersama. Lalu kak Devi berlalu menuju kelasnya lewat belakang. Aku bingung, mengapa aku mengangguk begitu saja. Padahal banyak hal yang ingin kutanyakan. Tapi mulutku bungkam. Perasaan takut, malu, campur aduk jadi satu.
Ternyata surat dari Guntoro membuatku risau. Aku jadi tidak fokus pada pelajaran hari ini. Kadang bengong sendiri. Kadang aku bercermin di kaca jendela, apakah sudah pantas aku membicarakan soal ‘cinta’? Bagaimana kalau kawan-kawanku tahu? Atau Bapak dan Ibuku tahu anaknya mendapat surat cinta? Darahku kembali berdesir, lalu tiba-tiba raut Guntoro terbayang-terbayang, ada rasa rindu, ingin melihat sosok Guntoro meski sekilas. Apakah benar aku jatuh cinta? Ah! Aku berusaha membuang perasaan aneh itu meski tidak terlalu yakin bisa.
Ketika bell istirahat berbunyi, buru-buru kuambil surat Guntoro, lalu kumasukan dalam kantong rokku. Aku berlari menuruni anak tangga sebelum kawan-kawanku dan kelas lain ke luar. Aku langsung menuju sawah yang terletak di belakang warung Emak. Kebetulan di situ ada tanah agak tinggi ditumbuhi pohon kerinyu. Aku berteduh di bawahnya. Nafasku masih terengah-engah menghadap padi yang baru ditanam. Pelan-pelan kukeluarkan surat Guntoro yang kusimpan dalam kantong rokku. Kubuka hati-hati sekali. Aku takut sekali surat ini kotor atau remuk. Lalu kubaca, kueja lagi pelan, berulang kali. Aku merasakan ada kekuatan lain yang ingin kuteguk pada tiap kata dan tiap baris. Segala macam rasa seperti mengaduk-ngaduk dada. Aku seperti makhluk aneh hari ini.
“Kumbaaaaaang!!!” Aku menjerit memanggil Macan Kumbang sembari melepas segala emosiku. Lalu dari jauh Kumbang menjawab “Eeehmmm” Nampaknya Kumbang sedang tidur. Nadanya agak malas. Akhirnya aku membatalkan dialog dengan Kumbang. Aku kembali ke perasaan anehku. Sekarang bagaimana caranya aku membalas surat ini. Harus mulai dari mana? Aku harus bilang apa? Aku ingin merangkai kata sebaik mungkin. Sebagus mungkin untuk Guntoro. Rasanya aku ingin segera pulang. Aku hendak membeli kertas surat warna merah jambu juga!
Entah berapa lembar kertas yang sudah kuremuk, kulempar ke bawah meja belajar. Aku membuat konsep untuk membalas surat Guntoro. Tapi perasaanku selalu salah dan tidak tepat kalimatnya. Lama otakku berpikir. Mengapa jadi mentok begini? Malam sudah makin larut. Tapi mataku tidak terasa ngantuk sedikitpun.
Surat dari Guntoro ada di hadapanku lengkap dengan amplopnya. Entah sudah berapa kali kubaca. Mungkin puluhan kali. Sebab aku sampai hafal tiap kata dan barisnya. Aku berniat membalas suratnya, dan ingin ungkapkan juga perasaanku dengan jujur. Tapi aku tidak menemukan kalimat yang tepat untuk mengungkapkannya. Aku harus mulai darimana?
Tiba-tiba aku mendengar suara cekikikan di belakangku.
“Macan Kumbang! Jahat eh datang diam-diam!” Ujarku berdiri dan memukulnya.
“Aku sudah dari tadi Selasih memerhatikanmu,” Kumbang tertawa. Dahiku berkerut. Mengapa aku tidak mencium aromanya ya? Aroma. nenek gunung, atau aroma manusia harimau. Mengapa penciumanku tidak tajam lagi?
“Halaaa nggak usah dirisaukan. Bukan tidak tajam lagi penciumanmu. Penciumanmu tidak rusak, tapi yang rusak itu perasaanmu. Otakmu berisi Guntoro melulu. Jadi yang lain terabaikan.” Ujar Macan Kembang menujuk hidungku. Aku membenarkan apa yang disampaikan Macan Kumbang. Sejak kemarin, dalam benakku hanya ada Guntoro. Nyaris tidak ada jeda selalu ingat dia.
“Lalu, bagaimana supaya perasaanku tidak seperti orang mabuk, Kumbang. Aku ingin biasa-biasa saja.” Ujarku.
“Bergantung dengan kegigihanmu. Kalau sekarang biarkanlah dulu perasaanmu itu berbunga. Ambil hikmahnya, nanti juga kamu akan tahu yang mana cinta beneran yang mana cinta pura-pura.” Ujar Macan Kumbang. Aku menggangguk setuju. Jadi simpulannya saat ini aku tengah jatuh cinta dengan Guntoro. Lama kami saling diam dengan pikiran masing-masing.
“Sekarang ajarin aku menulis surat.” Ujarku pada Macan Kumbang. Macan Kumbang tertawa.
“Aku mana bisa mewakili perasaanmu, sayang. Ungkapkan saja apa yang mau kamu ungkapkan. Tulis!” Macan Kumbang lagi. Persoalannya, otakku langsung mentok saking banyaknya yang hendak ditulis. Maksud hati ingin menulis yang bagus, yang halus, puitis, romantis. Tapi tidak tahu harus mulai dari mana.” Sambungku.
“Aduh cucung Nek Kam, jatuh cintanya parah! Tidak usah puitis, romantis segala. Tulislah yang wajar-wajar saja. Iya kalau Guntoro paham bahasa puitis, kalau dia tidak paham, sakit kepalanya nanti. Tulis saja kalimat Gun, aku juga jatuh cinta padamu. Selesai.” Sambung Macan Kumbang. Aku protes, masak buat surat kayak gitu? Itu bukan surat, tapi pernyataan. Akhirnya aku rebahan sejenak di samping Macam Kumbang sembari mikir kembali bagaimana menyusun kalimat yang bagus.
Akhirnya aku bangun, lalu menulis. Kubaca sekali lagi, sudah! Kurasa sudah cukup. Aku mengucapkan terimakasih karena sudah berkenan melabuhkan cintanya padaku. Dan aku berharap, dapat saling memahami. Dan Ternyata kita sama
Sama-sama jatuh cinta dan menyintai. Surat itu kebaca ulang sebelum kulipat. Macan Kumbang menyimak dengan saksama.
“Nah, itu kan bagus kalimatnya. Sudah, lipatlah. Apa perlu kuantarkan malam ini dengan Guntoro?” Goda Macan Kumbang. Aku tersenyum lebar. Lega. Besok akan kutitip dengan Kak Devi. Berharap Guntoro sekolah, tidak bolos lagi seperti biasa.
Aku beralih pada Macan Kumbang yang masih malas-malasan sambil menggoyang-goyangkan kaki. Aku bertanya bagaimana dengan manusia Uluan, apakah sama dengan kehidupan manusia perihal jatuh cinta dan cara mengungkapkannya. Apakah Macan Kumbang pernah berkirim surat pada seorang gadis? Macan Kumbang terkekeh mendengar pertanyaanku. Kata Macan Kumbang jelas sangat berbeda. Di alamnya untuk mengungkapkan rasa cintanya menyukai seseorang, lawan jenis tidak diungkapkan dengan berkirim surat seperti Guntoro dan Selasih. Tapi biasanya kalau tidak dijodohkan, maka akan mencari jodoh bangsa manusia. Kalau pun sesama bangsa manusia di Uluan atau manusia harimau, tidak seterus terang seperti bangsa manusia pada umumnya. Di Uluan ada istilah “rekis”. Rekis ini biasanya dilakukan pada waktu ada pesta atau hajatan. Ketika pesta rakyat itu digelar sebagai hiburan, yaitu begandai. Begandai ini semacam pertunjukkan tari tradisional yang akan dibawakan oleh seorang atau dua orang gadis. Lalu lelaki atau bujang akan melemparkan rokok di tempat yang sudah disediakan pertanda dia siap untuk jadi lawan begandai. Gerakan tari begandai ini seperti merpati melengang-lenggok namun gerakannya untuk menipu lawan. Kalau sudah tertipu seperti ini sang lelaki sadar dia kalah. Jika kalah maka dia akan mundur. Pada masa ini, siapapun bisa naik panggung sesuai kehendak penari perempuan setelah dia menerima rekisan. Nah, begandai ini cara bergaul muda-mudi yang penuh etika. Begitulah cara bersosialisasi bangsa Uluan dan masyarakat Besemah pada umumnya sejak dulu. Tapi bedanya, di Uluan masih bertahan, di alam manusia sudah tidak.
Lalu, kelanjutan rekisan, biasanya ‘begareh’. Begareh ini istilah untuk pergaulan remaja yang bentuknya lain dengan begandai. Begareh adalah proses pendekatan kaum lelaki pada perempuan. Maka sang lelaki akan datang ke rumah perempuan. Lelaki ini tidak datang sendiri, tapi biasanya mereka dua tiga orang datang ke rumah yang sama menemui ibu sang gadis. Mereka akan ngobrol bersama-sama. Di sini pulalah proses penilaian orang tua perempuan dalam menentukan siapa di antara lelaki yang datang yang pantas untuk dikenal oleh anak gadisnya.
Anak gadis bisa juga ikut ngobrol, namun tempatnya di balik dinding atau di balik tirai. Lalu ada lagi begareh di tempat hajatan, maka bujang gadis akan berkumpul di satu rumah. Bisa diisi dengan acara ningkok’an, bisa juga ngobrol biasa sambil bercanda, berkelompok -kelompok dihadiri oleh orang tua, biasanya ibu-ibu yang akan mengawasi selama remaja ini ngobrol. Bisa jadi dalam suasana ini mereka saling tertarik. Maka sang lelaki akan melanjutkan silaturahmi datang mendekati kedua orang tuanya sang gadis terlebih dahulu, dengan dalih begareh. Macan Kumbang bercerita panjang lebar.
“Cara seperti itu kalau sesama bangsa Uluan bukan? Tapi kan Bangsa Uluan suka juga menyunting manusia?” Ujarku.
“Iya, ada juga bangsa kami melamar manusia. Karena dari dimensi yang berbeda, maka bangsa manusia harus kami ambil dengan cara kami. Jasadnya tentu dibawa serta ke alam Uluan, tali dalam kehidupan seseorang tersebut dinyatakan meninggal. Waktu kita undangan bagok’an anak kepala Suku di di Uluan, yang perempuan kan bangsa manusia baru seminggu dilamar. Dalam kehidupan alam manusia sang gadis sudah di anggap mati. Aku kembali berpikir, sebegitunya kehidupan di alam bangsa nenek gunung ini.
Malam makin larut, udara sudah terasa sangat dingin. Aku sudah mulai mengantuk. Macan Kumbang mohon diri, izin pulang setelah menemaniku menulis surat cinta dan bercerita. Aku berusaha tidur setelah lebih dahulu meletakan surat Guntoro di bawah bantal. Aku berharap bisa mermimpi berjumpa dengannya malam ini.
Sejak itu diam-diam aku sering mencari-cari sosok Guntoro di sekolah. Apakah dia sekolah atau tidak selalu jadi perhatianku. Ketika melihat papan daftar absen siswa tertulis nama Guntoro aku sangat kecewa. Bukan kecewa karena Guntoro tidak sekolah saja, tapi kecewa karena aku tidak bisa melihat sosoknya dan aku harus menekan rasa rindu
“Selasih…” lagi-lagi dua peri menyapaku ketika aku tengah berjalan pulang dengan kawan-kawanku. Aku menoleh. Kali ini mereka tidak melambai-lambaikan tangan. Tapi hanya menatapku dan tersenyum. Aku berhenti sejenak menatap mereka dan balas tersenyum.
“Hei! Tersenyum dengan siapa, Dek?” Tanya Rumliana sahabat karibku. Matanya ikut menatap seperti mencari sesuatu. Lalu telapak tangannya diayun-ayunkannya ke wajahku.
“Istighfar Dek, Istighfar…jangan kesambet hantu kuburan.” Kali ini tangannya menepuk-mepuk pipiku. Aku tertawa melihat tingkahnya yang cemas. Tingkah Rumliana malah memancing kawan-kawanku yang lain. Maisi, Yeni, Boy, sibuk bertanya.
“Sadar kan Dek?” Rumliana lagi. Kami berdua sering dibilang orang kembar karena rambut kami sama panjang dan lebat. Bedanya, dia beponi aku tidak. Mendengar pertanyaannya aku sedikit gelagapan. Ingin menjelaskan padanya khawatir dia ketakutan. Aku buru-buru menampakan wajah tidak terjadi apa-apa. Akhirnya aku hanya membatin menyapa dua peri cantik itu. Kami terus berjalan sambil bercerita sepajang jalan. Tiba-tiba saja sudah di depan rumah. Berjalan kaki berkilo-kilo tidak terasa sama sekali.
“Kakek!!” Aku kaget! Di teras rumah ada Kekek Haji Majani sedang duduk sendiri. Melihat aku beliau langsung berdiri. Aku letakan semua tentenganku lalu memeluk kakek Haji Majani sekencang-kencangnya. Aku membuka kantong kresek yang berisi pisang goreng dan panganan lainnya pemberian Emak. Kusuguhkan pada kakek. Rasanya bahagia sekali jumpa kakek.
“Kakek nginap kan?” Tanyaku. Aku berharap Kakek Haji Majani mengangguk atau menjawab ‘Iya’.
“Belum bisa Cung, kakek ke sini membeli Juz amma, untuk anak-anak talang di sekitar dusun belajar mengaji.” Ujarnya. Meski agak kecewa demi mendengar kakek membeli Juz amma untuk anak-anak belajar mengaji, aku jadi terdiam. Anak-anak Talang itu artinya anak-anak yang pondoknya terletak di tegah kebun, dan terdiri beberapa pondok saja. Singkat cerita, kakek sering mengunjungi talang-talang kecil di sela pekerjaan utamanya berkebun, untuk mengajarkan anak-anaknya membaca Al quran.
Secangkir kopi hangat masih mengepul. Asapnya menari menyebarkan aroma khasnya. Kakek menyeruputnya pelan-pelan.
“Dedek..”
Duk!! Jantungku terasa berhenti berdetak. Guntoro lewat sambil selintas memanggilku. Nampak dia malu-malu. Aku tak mampu menyapanya apalagi mengajaknya singgah. Kulihat dia sehat-sehat saja. Mengapa tadi dia tidak sekolah? Kutatap punggungnya hingga hilang di tikungan jalan simpang empat Indragiri. “Guntoro” nama itu kembali membuat debur jantungku mendesir kencang. Ah!
Bersambung…