HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT IV (54A)
Sudah tiga hari ini kota Pagaralam tidak turun hujan. Langit selalu nampak biru tua dan bersih, nyaris tak berawan, baik siang maupun malam. Jika malam hari terasa sangat dingin. Pagi hari kabut sangat tebal. Jarak pandang hanya beberapa meter. Kalau sudah siang nyaris semua lapangan dan tanah kosong berisi anak-anak bermain layang-layang dan kelereng. Aku jadi teringat beberapa tahun lalu, aku bersama kakakku melepas pagar bambu, lalu kami sulap menjadi layang-layang, kami jual, uangnya untuk beli beras dan sayuran. Ah! Masa itu.
Hari ini pengumuman kelulusan. Sembari menunggu lonceng masuk kelas atau apel di lapangan aku dan teman-teman ngobrol sambil bercanda di bawah pohon yang berderet di taman sekolah. Bunga-bunga juga bermekaran menutup tanah yang miring berbukit. Di seberang, aku melihat A Fung mengangkat tas salah satu kawanku yang diletakan di bangku bambu. Melihat tas terangkat sendiri semua yang melihat berteriak kaget dan lari ketakutan sambil berteriak “hantu”.
“Dekat pohon itu ada hantu.” Ujar salah satu kawanku. Sementara si hantu A Fung tertawa ngakak ke arahku. Aku tidak bisa memarahinya. Melihat kepolosannya aku tidak tega menegurnya. A Fung benar-benar bercanda, bukan ingin menakuti. Satu kesempatan lagi, di tempat lain A Fung mengangkat rok siswi hingga rok itu terangkat dan terlihat celana dalamnya. Melihat ini terpaksa kusentil telinganya. “Jangan buat malu kawan-kawanku, A Fung!” Ujarku. “Salah mereka mengapa tidak pakai celana pendek kayak Kakak. Meski roknya dilepas juga tidak apa-apa. Mereka itu ketika roknya diangkat langsung kelihatan sempaknya.” A Fung tertawa. Mendengar kata “sempak” aku tidak bisa menahan tawa. Aku tertawa ngakak. Melihat aku tertawa terpingkal-pingkal kawan-kawanku heran.
Sementara tawaku sulit sekali untuk ditahan. Sudah lama sekali aku tidak mendegar kata ‘sempak’. Tiba-tiba keluar dari mulut A Fung. Mereka jadi senewen melihat aku tertawa sendiri. Ekspresi mereka rata-rata bingung memandangku.
“Dek! Ngucap!” Ujar Susianto salah satu sahabatku. Ketika aku berhenti tertawa aku jelaskan jika yang mengangkat rok kawan kita tadi itu, hantu kecil yang ingin melihat ‘sempak’nya. Mendengar itu A Fung kembali tertawa. Sementara kawan-kawanku juga ikut tertawa. Mereka kira aku bercanda. Sampai ada yang menambahkan “Untung sempaknya tidak bolong. Kalau bolong pasti hantunya ketakutan. Kok gelap?” Derai tawa kembali pecah. A Fung juga kulihat ikut terpingkal-pingkal. Berulang kali dia sebut “sempak bolong, sempak bolong.” Dasar hantu kecil!
Aku mengambil amplop pengumuman ‘lulus’ di tangan Bapak. Tidak ada ekspresi kegembiraan berlebihan seperti kawan-kawanku yang melompat-lompat sambil berteriak ke sana kemari. Berpelukan dan jabat tangan riang. Biasa saja. Aku tidak ada target kecuali lulus! Sudah.
Aku menemui guru-guruku satu-satu. Mengucapkan terimakasih, mencium tangan mereka, lalu meminta restu mereka karena aku akan melanjutkan sekolah ke Bengkulu.
“Kapan berangkat, Dek? Kalau sudah di Bengkulu bakal susah kita bertemu.
Bapak harap kamu bisa jaga diri baik-baik, ya Dek. Kembangkan bakat dan minatmu. Bapak akan selalu doakan kamu.” Pak Tarzan menggenggam tanganku. Guru bahasa dan sastraku satu ini memang selalu memberikan perhatiannya padaku. Aku hanya mengangguk terharu. Ketika bertemu pak Simbolon beliau langsung merangkulku. Guru yang pernah kuprotes bersama kawan-kawanku karena tidak ‘becus’ mengajarkan bahasa Inggris ini pada dasarnya baik.
“Dek, Bapak tidak bisa lagi main ke rumahmu, makan bersama menyicipi sambel jengkol buatan ibumu jika kamu sudah jauh.” Ujarnya sambil tersenyum. Matanya yang cipit makin hilang. Aku hanya bisa menatap kasihan sebenarnya pada beliau. Dari curhat beliau, meski sudah diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil dengan golongan II B, namun belum juga mendapatkan gaji. Sementara beliau jauh merantau dari Medan. Tidak ada sanak saudara di Pagaralam ini kecuali se-agama dengannya, sesama protestan. Karena beliau masih muda, tidak heran berteman juga siswa dan kerap main ke rumahku, tentu saja kadang-kadang kehadirannya sesuai jadwal makan. Dan beliau tidak pernah menolak jika diajak makan bersama.
“Belajar yang kenceng ya, Dek. Doain Bapak juga, tiga atau dua tahun ke depan Bapak akan pindah juga. Ingin pulang ke Medan.” Ujarnya pelan. Aku merasakan ini pertemuan terakhir dengan beliau. Aku mencium tangannya dan minta maaf atas semua kesalahanku. Bayanganku tidak ada hal yang memungkinkan untuk bisa jumpa lagi dengan guru elektroku satu ini.
Usai pamitan, aku bersama A Fung menyisir teras sekolah. Bapak sudah pulang duluan dengan sepeda motornya. Beberapa teman sekelas berlarian menyongsong dan memelukku. Lagi-lagi batinku mengatakan ini terakhir kali aku jumpa mereka. Kalau tadi dengan pak Simbolon, kali ini dengan sebagian besar kawan-kawanku. Aku melihat semangat mereka luar biasa.
“Dek, kita daftar bareng yok. Pilihanmu SMA mana? Sesuai rayon atau lintas rayon?” Ujar beberapa teman. Ketika kusampaikan jika aku akan melanjutkan sekolah ke Bengkulu mereka jadi ribut. Mereka baru tahu kalau aku akan meninggalkan kota kecil ini. Lalu muncul keinginan mereka kelak kalak kalau ke Bengkulu mereka berjanji ingin bertemu, jalan-jalan denganku dan lain sebagainya. Aku hanya tersenyum menanggapi imajinasi liar mereka dengan berbagai rencana indah.
“Kakak akan pindah ke Bengkulu? Tidak sekolah di sini lagi? Lalu aku akan main dengan siapa, Kak? Kakak sekolah di sini saja.” Rengek A Fung. Tangannya bergelayut di lenganku. Aku menatap wajahnya. Kami baru kenal beberapa minggu. Namun terasa sangat dekat. Hampir tiap hari dia ikut ke sekolah. Katanya lokasi sekolahku menyenangkan. Banyak temanku yang bisa dia goda. Bisa lari ke sana ke mari, bisa naik turun tangga sekolah, banyak pohon dan sebagainya.
“Kakak sudah tamat, tidak boleh lagi sekolah di sini. Kakak harus melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi,” lanjutku sambil mengelus kepalanya. Ada perih dalam dadaku. Tidak dapat kupingkiri, lambat laun aku memang akan berpisah dengan A Fung. A Fung tetap akan tinggal di kota ini. Tidak mungkin kubawa serta ke Bengkulu.
“Kamu bisa sesukamu bermain di sekolah ini, Fung. Meski tidak ada kakak.” Ujarku. Lama dia diam. Aku tidak bisa menafsirkan diamnya. Perpisahan belum terjadi saja perihnya sudah seperti ini. Aku bisa merasakan kesedihan A Fung. Baru beberapa saat dia merasa punya sahabat, punya Kakak yang bisa dijadikannya tempat bermanja. Sudah mau terpisah. Aku merasakan perihnya perasaan kehilangan. Tapi sekali lagi memang perjalanan hidup harus demikian. Bukankah kita hanyalah pelakon yang sedang bermain di atas bidar kehidupan. Hanya bisa berencana, tapi Tuhan jua yang menentukan.
Aku berjalan sambil memegang tangan A Fung. Wajah A Fung mulai murung. Kurasakan sepi lewat sinar matanya yang senyap. Kami sama-sama diam. Aku tidak punya solusi untuknya.
Keceriaannya hilang sama sekali. Langkahnya lesu. “A Fung mau minta gendong?” Tanyaku dibalasnya dengan gelengan. Dia berhenti berjalan. Mata kosongnya memandang lurus padaku. Aku sulit menafsirkan perasaan yang berkecamuk di batinnya. Ah! Andai A Fung tahu, jika aku juga sedih meninggalkannya. Air mataku nyaris ke luar. Mengapa aku kenal A Fung justru ketika akhir-akhir akan meninggalkan kota ini. Mengapa tidak dari dulu ketika aku masih duduk di bangku SD itu? Aku mengelus kepalanya.
“Yakinlah, kakak sayang padamu. Dan jika kita sudah berpisah, kakak akan selalu merindukanmu.” Ujarku mencoba menghiburnya.
“Aku mau ikut kakak pindah” Ujarnya cepat.
“Kamu yakin? Kakak tidak bisa memberimu makan, sayang. Kakak tidak punya uang untuk membelikanmu garu. Di Bengkulu nanti kamu tinggal dimana belum tentu bangsamu yang tinggal di gereja-gereja sana mau menerima orang baru. Nanti kau disakiti mereka. Jika terus-menerus ikut Kakak, kamu bilang sering kepanasan.” Aku menatapnya dalam-dalam.
“Iya..kakak suka baca-baca mantra. Mantra kakak sering buat aku kepanasan.” Ujarnya. Aku tersenyum mendengar ucapannya. Doa dan zikir disebutnya mantra.
Aku masih sibuk menyiapkan hal-hal yang berkaitan dengan rencana kepindahanku. Semua urusan surat menyurat sudah selesai semua. Aku tinggal menunggu Bapak dan Ibu yang masih ke Seberang Endikat hendak menjual kopi mereka.
Sudah empat hari ini aku tidak melihat A Fung. Kemana makhluk kecil itu? Apakah setelah dia tahu bahwa aku akan pindah kota membuatnya sedih lalu bersembunyi? Ngambek?
“A Fung..A Fung..” Panggilku. Beberapa kali aku memanggilnya, namun tidak ada jawaban. Sebenarnya aku berharap dia selalu bersamaku jelang berpisah. Tapi sepertinya dia enggan bertemu lagi. Jangankan datang, menjawab saja tidak. Akhirnya setelah semua beres, malam ini aku harus mencari A Fung. Anak kecil itu tidak boleh bersedih. Usai salat magrib aku siap-siap hendak mencari A Fung. Belum bergerak, ada angin berhembus pelan. Tak lama derap kaki banyak sekali menuju rumahku. Dalam hati aku menduga yang datang pasti Gundak. Benar saja, aku melihat Gundak turun dari punggung nenek gunung. Rambut panjangnya bergoyang-goyang ketika berjalan seiring dengan pundak kekarnya. Aku sudah tersenyum memandangnya dari jauh. Niat hendak mencari A Fung kubatalkan sejenak.
“Tumben Gundak jauh-jauh datang. Ada acara apa ni. Apa mau ngundang?” Tanyaku membuka percakapan. Gundak hanya mengangkat bahu. Kami bersalaman sejenak. Kawanan nenek gunung yang mengantarkanya dibiarkannya di luar. Mereka baring bermalas-malasan. Dari rautnya, Gundak sedang ada masalah nih. Murung. Kok anak muda kebanyakan terlihat galau.
“Selasih, kita main ke telaga yok” Ujarnya.
“Telaga? Telaga apa? Di mana ada telaga?” Tanyaku.
“Ayoo ikut saja. Aku ingin ngobrol banyak hal denganmu. Otakku suntuk! Kita ke telaga Bemban.” Ujarnya garuk-garuk kepala. Sebelum aku menyetujuinya, di balik pohon yang berfungsi jadi pagar hidup samping rumah, aku melihat bayangan. Dan bayangan itu rasanya tak asing lagi. Aku mengejarnya.
“A Fung!” Aku langsung menangkap tubuhnya dan memeluknya.
“Kenapa kamu sembunyi-sebunyi? Kenapa tidak menemui kakak beberapa hari ini? Kakak rindu. Baru saja malam ini mau mencarimu, terus ada tamu.” Aku tatap wajahnya dadaku terrasa amat perih. Ingin rasanya aku menangis menatap bocah malang ini. Dia anak yang kesepian.
“Aku juga rindu sama kakak. Aku tidak ke luar kemana-mana selama empat hari. Aku sedih. Aku akan kembali sendiri. Sepi” Ujarnya menunduk. Akhirnya aku tak mampu menahan air mata. Aku menangis. Kutekan rasa sedihku sedalam mungkin. Aku tahu perasaannya. A Fung masih kupeluk.
Kedekap kepalanya ke dadaku. Aku berharap dia merasakan detak jantungku. Betapa kencangnya gemuruh rasa sayangku padanya. Andai A Fung tahu, perpisahan padanya adalah ketakutanku juga.
“Kita nikmati saja waktu yang tersisa ini ya sayang. Jika esok kita memang harus berpisah, kita cari jalan ke luarnya.” Ujarku membujuknya. Aku membimbing A Fung mendekati Gundak yang memperhatikan kami sejak tadi. Aku perkenalkan A Fung dengan Gundak sebagai adikku. Nampaknya Gundak juga suka. Mungkin karena wajah imut dan berbeda dengan yang lain. Putih, bemata cipit.
Kami duduk berhadapan, A Fung duduk rapat di sampingku. Sesekali dia mengelus-ngelus telapak tanganku.
“A Fung mau ikut Kakak?” Tanya Gundak pada A Fung. A Fung menatap wajahku seperti tengah menunggu jawaban tertentu. Aku sambut tatapannya dengan senyum.
“Kalau A Fung ikut kak Gundak, tentu saja bersama kakak Selasih” Ujarku. A Fung langsung tersenyum dan mengangguk. “Ikut” Jawabnya singkat. Akhirnya kami bertiga siap-siap untuk pergi ke telaga Bemban. Tak lupa aku baring dan melepaskan diri dari jasad lalu memagarinya. Ternyata A Fung penakut. Ketika melihat tiga sosok nenek gunung, dia langsung memepetkan tubuhnya padaku. Aku tersenyum melihat tingkahnya. Kujelaskan jika nenek gunung yang di hadapan kami ini adalah nenek gunung yang baik-baik.
“Di dekat gereja ada juga siluman harimau. Aku takut kak. Dia ganas sekali. Suka marah dan ngamuk-ngamuk dengan siapa saja.” Ujar A Fung. Mendengar penuturannya wajar saja kalau dia takut. Karena yang dihadapinya adalah siluman.
Ketika melihat Gundak menunggangi salah satunya, baru A Fung memberanikan diri mendekat.
“Naik ke punggungku saja anak kecil yang lucu.” Sapa salah satu nenek gunung membuat A Fung tersenyum dan mulai berani. A Fung mengelus-ngelus pundaknya yang berbulu panjang. Lalu pelan-pelam naik ke punggungnya. Akhirnya kami bertiga menunggang nenek gunung satu-satu. Aku melihat A Fung memejamkan mata ketika tubuh nenek gunung itu melesat seperti angin. Aku tersenyum melihatnya. Paling tidak hari ini A Fung bisa tersenyum dan masih bisa merasakan kebersamaan bersamaku. Biarlah, meski perpisahan akan terjadi besok atau kapan, paling tidak kami punya catatan-catatan untuk dikenang. Seperti warna pelangi. Saat dia muncul maka akan memancarkan keindahan dan membuat banyak orang bahagia. Namun ketika bias matahari itu lenyap, orang hanya mengenang keindahanya. Dan itu abadi adanya.
Bersmbung…