Catatan Serangan 11 September di Mata Seorang Indonesia Imam Shamsi Ali (10)
Setelah Sabrina selesai membacakan terjemahan ayat-ayat Al-Quran yang saya bacakan, kami kembali duduk ke kursi semula. Tapi sebelum saya kembali duduk di kursi semula, Walikota New York berdiri menjabat tangan saya. Bahkan Gubernur New York George Pataki memeluk saya. Pataki orang yang sangat tinggi. Sehingga saya hanya bisa memeluk pinggangnya. Sementara dia memeluk ke arah pundak saya.
Di barisan kedua para pejabat itu ada Hillary dan Bill Clinton. Hillary berdiri dan menjabat tangan saya. Disusul oleh Presiden Bill Clinton. Di saat jabat tangan itulah Presiden Clinton tiba-tiba memuji baju dan songkok saya. “Love your outfit” (saya suka bajumu), sapanya dengan rawut muka Clinton yang khas.“Thank you Sir” (terima kasih tuan), jawab saya. Tapi dia justeru meminta songkok saya. “Can I have that hat?” (Bolehkah saya minta songkok itu?” Saya tertawa dan mengatakan: “I am sure it doesn’t fit you” (saya yakin songkok ini tidak cocok ukuran kepalamu). Saya tahu bahwa Clinton tentunya hanya bercanda. Tapi bagi saya hal itu sebuah sambutan yang luar biasa dari mantan Presiden negara super power ini.
Demikianlah satu persatu dari semua tokoh agama itu menyampaikan doa, baca Kitab Suci, atau menyampaikan pidato singkat. Saya mendengarkan semuanya dengan baik. Berbeda pada konferensi pers sehari setelah 9/11. Pada acara doa bersama untuk Amerika kali ini semua agama-agama besar di kota New York terwakili. Termasuk agama Hindu, Buddha, dan Sikhisme. Dengan demikian ada 6 agama yang tampil dengan 4 Wakil dari masing-masing agama. Belum lagi beberapa persembahan lagu dari penyanyi yang diundang saat itu. Sehingga acara itu berlangsung hampir tiga jam. Satu hal yang saya sadari ketika itu adalah betapa pentingnya penguasaan bahasa Inggris bagi tokoh agama, Imam, Ustadz, Maulana, Syeikh, atau apapun itu. Mungkin wajar saja jika Al-Quran menekankan kalau para nabi/rasul itu diutus “bi lisaani qaumih” (dalam bahasa kaumnya). Tokoh-tokoh agama Hindu, dan juga Sikhisme hari itu menyampaikan doa atau pidato singkat dengan bahasa Inggris yang “heavily Indian accent” (dengan bahasa Inggris bergaya India). Sehingga dengan jelas saya dengarkan cekikikan dari khalayak ramai. Mungkin karena bahasa Inggris yang tidak/kurang dipahami. Setelah acara selesai kita meninggalkan panggung acara. Tapi para tamu VIP yang hadir ketika itu masih saling menyapa, nampak saling memotivasi atau menguatkan. Saya sendiri selalu berdampingan dengan Imam Pasha. Tiba-tiba seorang Rabi Yahudi mendekat, tersenyum dan mengulurkan tangan untuk jabat tangan. Dia kemudian bertanya: “You look an Indonesia. Are you? M” (kamu sepertinya orang Indonesia. Apakah iya?). Saya kemudian sambil masih berjabat tangan menjawab: “yes Sir. I am an Indonesian” (benar tuan. Saya orang Indonesia). Ketika itu saya belum terlalu faham cara memanggil tokoh-tokoh agama lain. Bahwa Yahudi harusnya dipanggil “Rabbi”. Kristen Protestan dengan panggilan Reverend atau Pastor. Sementara pendeta Katolik di panggil Father. Pemimpin tertingginya His Excellency Cardinal. Rabbi Yahudi tadi mengenalkan diri lebih jauh. “I am Arthur Schneier” (nama saya Arthur Schneier). Beliau memberikan kartu namanya. Dan sat itulah saya tahu kalau beliau adalah Senior Rabbi di East Park Synagogue di kota New York. Salah satu Synagogue tertua dan terkenal di kota New York. Beberapa tahun kemudian, ketika Paus Benedict hadir di kota New York, beliau melakukan kunjungan bersejarah ke synagogue itu. Rabbi Schneier ternyata punya perhatian khusus dengan Indonesia. Tiba-tiba saja dia mengatakan kepada saya: “I like Indonesia” (saya suka Indonesia). Tentu saja saya senang, tapi juga terkejut. Karena dalam hati saya bagaimana mungkin Yahudi menyukai sebuah negara yang merupakan negara Muslim terbesar dunia? Itu bagian dari cara pandang dan asumsi negatif bawaan saya ketika itu. Tapi saya berusaha menyembunyikan itu. Selain karena memang situasi yang mengharuskan saya memperlihatkan sikap baik dan bersahabat, juga karena saya sudah mulai menyadari bahwa cara pandang dan asumsi saya selama ini tentang orang lain belum tentu benar. Saya kemudian menepuk pundak beliau dan dengan senyuman, seolah telah kenal baik beliau, lalu saya bertanya: “why do you love Indonesia?” (Kenapa suka Indonesia?). Beliau dengan cepat dan dengan wajah ceria menjawab: “because I have a friend. A great friend, Gus Dur” (karena saya punya teman. Teman yang baik. Presiden Gus Dur). Saya kemudian bicara dengan beliau banyak hal tentang Indonesia dan juga Presiden Gus Dur. Saya sampaikan bahwa Indonesia adalah negara besar di Asia. Tentu saya harus kenalkan bahwa Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia. Tiba-tiba saja beliau memegang pundak saya, dan mengundang saya untuk berkunjung ke synagoguenya. Tentu saja saya iyakan.
Maka synagogue beliaulah yang pertama kali saya kunjungi di kota New York. Ketika itu saya hadir sebagai tamu dalam sebuah pertemuan antar agama. Allah ternyata berkehendak lain. Lima tahun kemudian, di akhir tahun 2004, tahun ketika Tsunami terjadi di Indonesia. Dan juga tahun meninggalnya Paus Yohanes II saya ketemu dengan Rabbi Yahudi yang lain. Rabbi itu ternyata anak dari Rabbi Arthur ini. Rabbi inilah yang sangat intens membangun Dialog dengan saya. Bahkan kami menulis buku bersama dengan judul “Sons of Abraham: issues unite and divide Jews and Muslims”.
Demikianlah hari-hari berlalu pasca peristiwa 9/11 itu. Kebencian, bahkan kekerasan terhadap komunitas Muslim terus berlanjut. Beberapa masjid di kota New York dicoret-coret dengan kata-kata kotor. Seorang wanita Bangladesh didorong masuk ke station subway. Untung nyawa beliau tertolong. Namun dengan optimisme dan tawakkal semua itu kita hadapi dan lalui dengan tegar. Peristiwa 9/11 membangun kesadaran Umat akan tanggung jawab da’awiyah (Dakwah) di pundaknya di satu sisi. Dan pada sisi lain, 9/11 ternyata pintu pengenalan (ta’aruf) antar Komunitas terbuka lebar. Maka sejak itu pula dialog dan hubungan antar Komunitas agama semakin intens. Saya sendiri sejak hadir di kota ini memang dikenal sebagai Imam. Iya memang diundang untuk menjadi Imam sebuah masjid di kota New York. Masjid itu adalah masjid Al-Hikmah, milik warga Muslim Indonesia di kota ini. Walau pun kenyataanya saya tidak pernah secara resmi menjadi Imam masjid ini, banyak masyarakat kota New York, khususnya kalangan Komunitas Muslim mengenal saya sebagai Imam masjid itu.
Saya memang tetap mendedikasikan waktu, energi dan pikiran untuk komunitas ini. Dan pernah sempat jadi pengurusnya.Beberapa pekan pasca serangan 9/11 saya Sendiri tiba-tiba kejatuhan durian. Durian yang enak tapi penuh duri….Apa durian yang dimaksud? Silahkan temukan jawabannya pada saat Gramedia telah menerbitkan cerita ini…..hehe. Teman-teman yang baik, saya akhiri tulisan bersambung ini. Karena memang tulisan ini hanya bagian dari buku yang insya Allah akan terbit pada masanya. Terima kasih sudah sabar membaca…dan tentunya harapan saya semoga ada manfaatnya, apapun itu bentuknya.
New York, 29 September 2020