Jérémie, Pemusik Prancis yang Jatuh Cinta dengan Gamelan Bali
Kini nama Jérémie Abt, identik dengan grup Gamelan Bintang Tiga. Di setiap acara Indonesia di Prancis, dirinya selalu terlihat tampil, membawakan musik gamelan Bali. Jérémie dan Bali seperti tak terpisahkan, ada cinta mengalir saat alat musik ditabuhkannya. Surat Dunia kerap menjumpai dirinya diberbagai acara, dan kali ini Surat Dunia menampilkan sosok dirinya melalui wawancara oleh Dini Kusmana Massabuau.
Surat Dunia (SD) : Salam Jérémie terimakasih atas waktunya.
Jérémie : Salam kembali Dini, terimakasih sudah tertarik dengan perjalanan karir saya sebagai musisi gamelan.
SD : Nama anda sudah tidak asing lagi sebagai penabuh gamelan dan pemimpin dari grup Gamelan Bintang Tiga. Selama ini orang lebih banyak melihat permainan anda sebagai seorang musisi. Bisakah anda menceritakan siapa diri anda ?
Jérémie : Alors….Saya lahir di kota Annecy, tepatnya daerah Haut Savoie tidak jauh dari Swiss, dari lima bersaudara hanya saya yang menekuni bidang musik. Kedua orang tua adalah dokter, namun keduanya senang mendengarkan musik dan terbiasa memperkenalkan musik kepada kami. Ayah saya misalnya dia bermain gitar begitu dengan kakak saya. Dan kadang saya menemani kakak saya bermain bersama, jadi musik sudah saya kenal sejak kecil.
SD : Lalu bagaimana ceritanya anda kini yang memimpin “Bintang Tiga” ? Mungkin bagi yang belum mengenal grup musik bisa anda sedikit ceritakan bagaimana grup Gamelan Bintang Tiga ini terbentuk ?
Jérémie : Bintang Tiga terbentuk tahun 1987 di Bali oleh Willy Coquillat, Jean-Pierre Drouet dan Gaston dan Gaston Sylvestre, yang mana grup gamelan itu identik dengan grup gamelan di desa Saba. Saat itu mereka memiliki proyek bersama dengan pandé Made Gabléran yang menghasilkan pertunjukan Faust dan Rangda dimana I Gusti Gede Raka dan Kati Basset juga turut terlibat. Bersama Faust dan Rangda, gamelan dan seluruh rombongan berkeliling pada tahun 1986 dan 1987 di Indonesia dan Prancis (Marseille, Avignon, Paris). Nama Bintang Tiga bisa dibilang karena merupakan tiga lingkaran dari ketiga musisi perkusi dan juga katanya karena ketiganya sangat menyukai bir Bintang. Tahun 2003 grup gamelan ini dibeli haknya oleh salah satu pendirinya yaitu Gaston Sylvestre yang mana merupakan musisi perkusi besar abad ke 20 yang dibawanya ke konservatori tempat dirinya mengajar yaitu Conservatoire Rueil-Malmaison. Saat dirinya memasuki masa pensiun, ia datang ke Marseille dengan tujuan untuk membentuk kembali grup Gamelan Bintang Tiga di Marseille. Di Marseille banyak yang ikut terlibat sebagai pelatih grup ini, hingga akhirnya tahun 2016 ketika saya datang ke kota ini, dari situlah saya mulai terlibat dan kini memimpin Gamelan Bintang Tiga.
SD : Bisakah kembali ke masa awal anda memperdalami musik sebelum akhirnya memilih sebagai penabuh gamelan ?
Jérémie : Oh awalnya saya memperdalami piano justru, kemudian saya memperdalami musik di konservatori Rueil-Malmaison tempat dimana Gaston Sylvestre mengajar dan di sanalah saya belajar musik perkusi. Sebagai musisi perkusi klasik saya bermain dalam orkestra, tapi memang saya selalu tertarik dengan jenis musik dari budaya lain, Iran atau Senegal misalnya. Tahun 2007 saya magang bersama Gaston Sylvestre dan Andy Channing untuk bermain gamelan, dan disitulah saya dibuat seperti ada rasa terkejut luar biasa. Sejak itulah saya mengambil keputusan untuk memperdalaminya. Tahun 2009 seorang pengajar Bali bernama Nyoman Kariasa, datang ke KBRI Paris dan memberikan pelatihan selama 6 bulan. Usai pelatihan dirinya mengundang saya dan teman lainnya untuk datang ke kampungnya di Bali untuk memperdalam musik gamelan. Tahun 2011 saya beserta rekan saya akhirnya melakukan perjalanan untuk mendatangi kampungnya di dusun Pinda, Saba. Pinda merupakan desa legendaris terkenal akan gamelannya, ternyata ayah dari Nyoman Kariasa adalah Wayan Kumpul yang merupakan pimpinan grup gamelan Saba, yang ikut serta dalam tur keliling Prancis untuk proyek Faust dan Rangda dari Bintang Tiga dan Saba. Kembali dari Bali ke Paris, saya bersama dua rekan saya yaitu Hsiao-Yun Tseng dan Théo Merigeau melihat jika grup gamelan Bali di Paris belum ada, maka tahun 2011 kami membentuk grup gamelan Bali yang diberi nama Puspawarna, bekerjasama dengan KBRI Paris. Namun tahun 2016 saya pindah ke Marseille dan memutuskan untuk memimpin gamelan Bintang Tiga bersama Gaston Sylvestre hingga saat ini.
SD : Tadi anda menyatakan sejak pertama kali bermain gamelan anda memiliki hubungan yang sangat kuat dengan alat musik tersebut, lalu apa yang anda rasakan setiap kali anda bermain gamelan ?
Jérémie : Ah, pertanyaan yang tidak mudah dan baru kali ini ditanyakan… Emm menurut saya gamelan memprovokasi emosi yang sangat kuat didiri saya, hingga saat ini sensasi mendalam dan kuat tetap sama seperti pertama kali saya memainkannya. Menurut saya rasa perasaan yang dimiliki oleh pendengar musik gamelan dengan musisi gamelan atau kita penyebutnya penabuh gamelan sangatlah berbeda, mungkin karena itu saya lebih menyukai memainkan gamelan dari pada mendengarkan musik gamelan di rumah (tawa Jérémie). Karenanya latihan merupakan sebuah kebahagiaan bagi saya, latihan bersama membuat saya merasa utuh nyaman dan melepaskan diri secara personal dihadapan sebuah kolektif. Saya rasa, kebersamaan dalam gamelan sesuatu yang sangat kuat secara budaya dan saya membutuhkan itu sebagai orang barat, bermain gamelan juga membuat saya seperti memperpanjang perjalanan musik dan budaya saya di Bali.
SD : Berarti anda memiliki ikatan yang kuat dengan Indonesia berkat gamelan ?
Jérémie : Tentu saja, perjalanan rutin antara Prancis dan Indonesia khususnya ke Bali, bukan hanya untuk latihan namun juga karena saya memiliki banyak teman, sahabat dan banyak yang sudah saya anggap sebagai keluarga. Covid membuat saya tidak bisa kembali ke Bali selama 4 tahun yaitu sejak 2018, dan kebutuhan untuk kembali ke sumber secara musik dan makna pada apa yang saya lakukan di sini di Prancis dengan Bintang Tiga dan Puspawarna di Paris sangat terasa.
SD : Banyak yang bertanya apakah menjadi musisi gamelan bagi anda hanya sebuah hobi atau memang sudah menjadi bagian dari profesi anda secara profesional ?
Jérémie : Oh tentu saja, menjadi musisi gamelan merupakan pekerjaan profesional saya. Saya tidak hanya memimpin Bintang Tiga, juga turut bermain di Puspawarna di Paris lalu di Sekar Sandat di konservatori Voiron, mengajar di beberapa tempat juga dan semua itu memakan waktu profesional. Memimpin sebuah grup gamelan yang terdiri dari sekitar 25 orang memakan waktu tidak sedikit baik untuk para penabuhnya juga secara logistiknya. Dan kesemuanya itu harus diorganisasi secara profesional.
SD : Sudah cukup lama anda bermain gamelan dan kini anda dikenal sebagai penabuh gamelan Bali Prancis, apakah ada kenangan paling indah sebagai penabuh gamelan Bali ?
Jérémie : Alors la…Ini bukan hal yang mudah karena banyak sekali kenangan indah dan spesial…Tapi memang ada satu kenangan yang cukup spesial di mata saya yaitu, ketika saya dan Théo Merigeau sedang berada di desa Pinda seperti biasanya setiap kali saya ke Bali untuk bertemu dengan Nyoman Kariasa dan keluarganya, Ia meminta saya dan Théo bermain gendang untuk memimpin grup Pinda untuk mengiringi tarian Gebyar Duduk. Bagi kami ini adalah sebuah tanggung jawab yang besar. Sehari sebelum acara kami mendatangi makam Wayan kumpul ayah dari Nyoman Kariasa untuk berdoa dan juga menyampaikan jika ilmu yang telah ia ajarkan akhirnya bisa kami praktekan di Bali untuk sebuah acara penting. Dan bagi saya ini merupakan kenangan yang sangat berkesan sekaligus mengharukan.
SD : Apakah anda memiliki impian sebagai seorang musisi gamelan Bali ?
Jérémie : Impian mungkin bukan kata yang tepat, namun lebih kepada keinginan yang bisa dilakukan secara nyata. Karena saya takut impian tidak bisa terealisasikan. Keinginan saya yang sebisa mungkin dilakukan dalam jangka pendek ini adalah membawa anggota grup Bintang Tiga ke Bali, untuk belajar dan berlatih. Saya rasa ini hal yang sangat baik bila mereka bisa belajar langsung dari pelatih Bali dan bermain bersama para gamelan Bali di tempatnya. Saya juga ingin bisa membuat kreasi baru lewat gamelan, mungkin bekerjasama dengan kompositor bali atau prancis untuk menghasilkan kreasi musik baru dengan Bintang Tiga. Kemudian saya juga ingin agar Azizah seorang diaspora Indonesia yang kini ikut bergabung dengan Bintang Tiga untuk terus mempromosikan gamelan khususnya bagi anak-anak pasangan Prancis Indonesia lewat tarian juga. Dan mungkin ini keinginan yang bisa dianggap impian yaitu bersama grup Puspawarna bisa melakukan tur dengan bis untuk memberikan pertunjukan di tempat yang berbeda-beda juga di tempat yang agak terpencil atau jauh dari budaya kehidupan, di pedesaan. Dengan tur bis ini saya berharap untuk bisa bertemu orang-orang menyajikan musik dan pertunjukan, biasanya kan orang yang datang ke suatu tempat seperti teater untuk melihat pertunjukan nah saya ingin mengubahnya yaitu dengan kami yang mendatangi mereka memperkenalkannya kepada orang-orang yang tidak memiliki kesempatan untuk bepergian ke tempat pertunjukan.
Saya bacanya sampai takjub, kenapa ya selalu orang asing yang semangat dalam mempertahankan budaya Indonesia.
Kagummmmmm ajah
Salut bacanya