Berbuka Puasa di Masjid Agung Granada
Pilihan kami untuk berkunjung ke Granada di bulan Ramadan bukan tanpa alasan, pertama karena kami semua libur Semana Santa selama sepuluh hari dan juga karena ingin merasakan suasana Ramadan di provisi dimana nuansa Islam masih lebih kental dibanding provinsi-provinsi lain di Spanyol. Sore itu pukul 19.00 kami berangkat ke masjid karena Magrib jatuh sekitar pukul 20.40. Tujuan kami berbuka puasa kali ini di Mezquita Mayor de Granada, atau Masjid Agung Granada yang berjarak sekitar tiga kilometer dari flat.
Namun karena masjid ini terletak di desa Albayzin yang memiliki kontur jalanan menanjak, maka kami memutuskan untuk naik angkot. Saya menyebutnya angkot karena bentuknya seperti angkot Jakarta, tidak seperti bus-bus dalam kota di Spanyol yang besar, angkot ini memang diperuntukkan untuk mengakses jalan-jalan sempit dan berkelok-kelok di desa Albayzin.
Selama libur Semana Santa atau disebut denga Holy week, pemerintah Granada menyelenggarakan prosesi Borriquilla selama seminggu. Perayaan ini seperti parade keagamaan sehingga beberapa akses jalan utama ditutup untuk dilewati parade. Alhasil, jalur yang tertera di google map tidak berlaku karena beberapa angkot tidak melewati pemberhentian yang seharusnya, kami melihat angkot nomer 31 yang akan membawa kami ke masjid namun ternyata tidak berhenti di halte. Hingga tiba-tiba kami disapa, Assalamualaikum brother, seorang laki-laki seumuran kami menghampiri dan berkata “are you going to the Mosque? I saw you always watching bus number 31 that use to take us to Mosque. Dia kemudian menjelaskan bahwa minggu ini jalananan banyak yang ditutup karena ada peringatan Holy week. Kemudian beliau mengajak kami ke sebuah halte dan selama menunggu angkot 31 yang dimaksud datang, kami bercakap-cakap. Ternyata beliau adalah orang Spanyo asli dan pernah menjadi pimpinan takmir masjid Agung Granada. “Are you Malaysian?” “We are Indonesian?” jawab kami hampir serempak. Beliau mengajukan pertanyaan ke anak saya yang palig besar “apakah suka hidup di Spanyol? dan mana yang lebih kamu sukai kehidupan di Indonesia atau Spanyol?”. menariknya lagi beliau tahu beberapa kosa kata dalam Bahasa Indonesia dan menyebutkan beberapa kota seperti Jakarta, Surabaya dan Sumatra.
Angkot nomer 31 datang, beliau berbicara ke sopir untuk mengantar kami ke Mirador de San Nicolás, pemberhentian terdekat ke Masjid Granada. Dalam hati bersyukur, ketika kita tidak tahu di tempat baru, Allah mendatangkan orang-orang baik untuk membantu kita. Tidak lebih dari sepuluh menit sampai di San Nicolás di desa Albayzin. Mirador tersebut menatap langsung indahnya istana Alhambara, tak heran jika banyak turis yang sudah berkumpul untuk menikmati sore hari. Mirador ini tepat di depan sebuah gereja yang berdiri kokoh nan tinggi bernama Gereja San Nicolás. Ramainya pengunjung yang menikmati sore dan bergantian mengambil foto berlatar belakang istana Alhambra, membuat suasana tidak terlau menyenangkan karena susah mencari tempat duduk. Kemudian kami berjalan ke masjid, yang berada disebelah kiri gereja yang hanya dibatasi oleh jalur pejalan kaki.
Bangunan satu lantai berdinding batu bata ekspose dan bercat putih itu terlihat bersih dan terawat. Sebuah gerbang besi yang tidak terlalu lebar menjadi akses utama masuk ke pelataran masjid, walaupun Bernama masjid Agung, masjid ini tidak seluas masjid Istiqlal di Jakarta atau masjid Al-Aqso di Klaten. Sebuah menara putih menjulang tinggi adalah satu-satunya bagian tertinggi dari masjid. Masjid yang dibangun tahun 2003 ini terlihat sederhana dan mungil namuan keberadaan menara tersebut seolah menunjukkan identitas yang telah mengakar di desa Albayzin tersebut hampir 800 tahun lamanya.
Berbagai tanaman seperti zaitun, lemon dan delima mejadi perindang di taman yang tidak begitu luas namun memberikan kesan kedamaian badi orang yang memasukinya. Halaman masjid agung ini terbuka bagi siapa saja, tidak dikhususkan Muslim. Halaman masjid juga dikaruniai pemandangan yang indah karena menghadap langsung istana Alhambra dan pegunungan Sierra Nevada dengan salju abadinya sehingga menambah syahdunya suasana sore itu. Kami memanfaatkannya untuk memandang indahnya istana Alhambra tanpa harus berdesak-desakan. Sebuah café menyediakan aneka roti dan kopi bagi para pengunjung yang ingin membeli. Selain itu ada sebuah toko yang menjual beraneka ragam souvenir termasuk di dalamnya buku-buku agama atau buku belajar membaca huruf hijaiyah.
Akses masuk ke tempat salat melalui pintu samping yang ditunggu oleh dua lelaki tua, dengan ramah mempersilahkan kami masuk. Di dalam kami menjumpai sebuah teras memberikan akses ke ruang utama salat yang dihiasi dengan air mancur dan mozaik-mozaik. Selanjutnya kami berpisah karena akses ke ruang salat bagi laki-laki dan perempuan berbeda, maka saya bersama anak perempuan dan suami pergi bersama anak laki-laki. Masuk di area salat perempuan, terhubung dengan tempat wudhu yang berada di lantai basement. Pengajian menjelang buka puasa sedang berjalan, ustadz menyampaikan dalam Bahasa arab dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Spanyol oleh seorang jamaah. Suasana hening, anak-anak, remaja hingga orang tua duduk khidmat mendengarkan tausiyah. Alas kain persegi berwarna putih digelar di sisi ruangan untuk meletakkan, air mineral, kurma dan susu. Waktu Magrib tiba, pengajian diakhiri dan kami membatalkan puasa bersama-sama. Duduk disebelah saya bernama Fatimah, perempuan muda yang memberikan segelas air putih dan menawarkan susu ke anak saya. Kami duduk melingkar, membatalkan puasa dengan kurma dan air sebelum salat Magrib. Ketika imam sudah mulai memasuki mihrab semua menggambil shaf untuk berjamaah salat. Selesai salat, duduk di samping saya seorang wanita sekitar 50 tahun menyapa, menanyakan dari mana saya berasal dan bercerita tentang perjalanan dia menajdi mualaf ketika berumur 31 tahun. Sebuah senyum tersungging di bibir beliau, sambil berkata “alhamdulillah, saya mendapatkan hidayah berada di jalan ini “. Wajah Bahagia yang terpancar di wajah beliau seolah memberikan nasehat untuk saya agar lebih baik lagi beribadah sebagai orang yang terlahir Muslim. “Sister if you want, you can join iftar downstair. We have soup”. Bagaimana tidak Bahagia hati kami, yang semula kami kira buka puasa hanya dengan kurma dan air putih, ternyata telah disiapkan sup.
Kami bersama jamaah lain keluar melalui pintu belakang yang terhubung dengan taman kecil kemudian menuruni sebuah tangga menuju sebuah ruangan besar yang biasanya difungsikan sebagai Centre of Islamic Studies. Jamaah laki-laki dan perempuan dipisah, laki-laki menggambil ruangan di bawah sedanggkan perempuan di lantai tersebut. Masjid tersebut memiliki arsitektur indah, berlevel-level menyesuaikan kontur tanah di Albayzin yang naik turun. Ibu tadi mempersilahkan kami duduk mencari tempat yang disukai, ada satu meja panjang, dan empat alas putih yang digelar diatas karpet lengkap dengan Baklava dan minuman. Kami memilih di bawah, karena biasanya meja kursi diperuntukkan bagi orang yang lebih tua. Beberapa remaja dan perempuan muda sibuk menyiapkan piring gelas untuk para jamaah untuk berbuka sedangkan para orang tua duduk di kursi. Sambil menunggu disiapkan sup, kami saling ngobrol dengan jamaah pendatang, tepat disebelah saya seorang perempuan muda berwajah asia, bertanya kesaya “mbk Indonesia kan?” “iya, mbk juga Indonesia?” “iya jawabnya”. Dunia memang sempit, ternyata dia adalah mahasiswi master di Portugal dan berkunjung sendiri ke masjid agung. Allah memang maha baik, di ujung dunia manapun kamu akan dipertemukan dengan saudara.
Semangkuk sup kental dengan irisan daging sapi, semacam sup Harira asli Maroko disodorkan ke kami. Irisan telur rebus juga tersaji sebagai pelengkap sup tanpa nasi tersebut. Namun entah saya lebih cocok dengan rasa sup ini dibandingkan ketika saya mersakan sup Harira sebelumnya. “do you like the soup?” begitu pertanyaan remaja berambut pirang yang dari tadi sibuk memimpin penyajian menu buka. “Sure, it is super delicious” jawab saya. “I am delighted to hear that, me and my mom cooked it this afternoon”. Dia menanyakan dari mana saya berasal dan ternyata saudara perempuanya sekarang tinggal di Malaysia sehingga sering bertandang ke Indonesia”. Pujian untuk Indonesia di lontarkan wanita asli Spanyol tersebut, ketertarikanya dengan Indonesia dengan masyoritas muslim membuat dirinya ingin berkunjung ke Indonesia.
Duduk disebelah kanan saya seorang perempuan muda yang terlihat sudah familiar dengan aktifitas di masjid tersebut. Walaupun bukan seorang muslim, dia sangat tertarik dengan islam dan menyatakan bahwa akan memeluk islam dua minggu sesudah Ramadan. Wajahnya sumringah memandang saya sambil mengatakan ada sebuah tantangan berat yang dia hadapi sehingga tidak di dilakukan di bulan Ramadhan. Saya pegang tanganya, saya ikut mendoakan semoga apa yang dia rencanakan untuk menjemput hidayah bisa tercapai. Ada rasa takut dalam diri saya walupun tidak saya ungkapkan, karena teringat sebuah ceramah seorang ustad “jika sudah mantap maka lakukan sekarang karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi sesudah kita keluar dari majelis ini, umur tidak ada yang mengetahui”. Perasaan saya berkecambuk, membayangkan beratnya tantangan yang dia hadapai untuk bisa mengucap dua kalimat syahadat, ada rasa haru ketika memegang tangan dia”. Dia kemeudian enjawab “thank you sister for your dua”.
Kami bertujuh mengobrol banyak hal, sambil menikmati sup dan makanan yang dihidangkan, dan tak terasa malam hampir larut dan anak saya yang kecil sudah minta pulang. Saya kemudian berpamitan dengan mereka dan ibu-ibu yang duduk di kursi untuk mengucapkan terimaksih atas kehangatan yang disajikan. Kami dipersilahkan datang kembali dilain waktu untuk berbuka bersama. Percakapan selama berbuka puasa di masjid Agung Granada tersebut memberikan banyak pesan bagi saya sebagai muslim untuk lebih besyukur atas nikmat islam dan iman yang telah diberikan selama ini. Allah maha baik, di tempat baru, kita akan dipertemukan dengan banyak saudara untuk saling membantu dan berbagi.
MashaAllah ceritanya bagus sekali bisa tetep puasa dan berbuka di mesjid dekat Alhambra ♥️
Terimakasih mb Faika, alhamdulillah semoga ceritanya bermanfaat🙏🏼