Senja Ramadan di Langit Tanger, Maroko
Kereta Al Atlas yang membawa kami telah sampai di statsiun Tanger Villa, setelah menempuh perjalanan sekitar empat setengah jam dari Fes. Selesai meletakkan koper di penginapan dan beristirahat sebentar, kami melangkah keluar untuk mencari makanan berbuka puasa di sekitar Kota Tua, yang disebut Old Medina. Old Medina, diapit oleh benteng-benteng tinggi yang kokoh. Suasana sore di Tanger begitu ramai dan bersemangat. Di sepanjang Rue de la Marine, berbagai macam barang mulai dari makanan, minuman, pakaian, hingga suvenir dipajang dengan indahnya. Nuansa Eropa begitu terasa kuat di Tanger, lebih daripada kota-kota lain seperti Fes dan Meknes. Merenungkan sejarah, saya mengingat bahwa Maroko pernah berada di bawah kekuasaan Prancis, sehingga bahasa Prancis turut menjadi bahasa utama selain bahasa Arab. Saat kami menjelajahi Kota Tua Tanger, jelas terlihat jejak kolonialisme Prancis yang masih terasa kuat. Tulisan di depan toko dan kantor selalu menggunakan kedua bahasa tersebut, mengingatkan akan masa lalu yang pernah ada.
Sambil mencari makanan untuk berbuka, kami menjelajahi lorong-lorong di Kota Tua yang penuh sesak oleh penjual dan pembeli. Suasana di Gran Café Central terasa hidup dengan kehadiran para turis mancanegara yang tidak menjalani puasa, menikmati kehidupan di Kota Tua. Kami melanjutkan perjalanan melewati Rue d’Italie. Setelah mendapatkan makanan untuk berbuka, kami berjalan menuju Terrasse Borj al-Hajoui. Berdiri di teras yang menghadap ke pelabuhan Tanger dan Selat Gibraltar, kami bisa melihat siluet samar Spanyol di kejauhan. Inilah yang membuat Tanger dikenal sebagai “Door to Africa”, karena posisinya yang berada di utara benua Afrika, berdekatan dengan Eropa.
Spanyol dan Tanger hanya terpisah oleh Selat Gibraltar, dengan jarak sekitar sepuluh hingga tigapuluh lima kilometer. Ini membuat Maroko menjadi negara Muslim terdekat dengan Spanyol. Berdasarkan berita yang kami ikuti, kami menyimpulkan bahwa hubungan antara Maroko dan Spanyol bisa dikatakan sebagai love-hate relationship. Selama krisis imigran, hubungan kedua negara sempat tegang, namun pulih kembali saat krisis energi di Eropa akibat perang Ukraina-Rusia mendorong presiden Spanyol untuk bertemu dengan Raja Muhammed VI, dalam upaya memperbaiki hubungan dan bernegosiasi mengenai rute pipa pasokan gas dari negara-negara Afrika dan Arab ke Eropa melalui Maroko. Meskipun demikian, kedua negara ini memiliki kesamaan sejarah masa lalu saat berada di bawah kekuasaan Kekhalifahan Dinasti Umayyah, yang wilayah kekuasaannya mencakup negara-negara di Semenanjung Iberia. Ada yang menarik, bahwa dua kota milik Spanyol, yaitu Ceuta dan Melilla, berada di pantai utara Mediterania Maroko. Hal ini membuat dua kota tersebut menjadi satu-satunya perbatasan darat Eropa dengan Afrika. Karena hal ini pula banyak penduduk di wilayah utara Maroko yang bisa berbahasa Spanyol. Ini memudahkan kami yang cukup lama tinggal di Barcelona untuk berkomunikasi dengan mereka dalam bahasa Spanyol.
Siluet senja melintasi cakrawala laut Mediterania di Tangier, berangsur tenggelam. Suara adzan berkumandang dari menara hijau masjid raya Tanger yang anggun nan kokoh menjulang tinggi menyeruak bangunan-bangunan di sepanjag Rue de La Marine.
Tanpa ragu kamipun membatalkan puasa dan menuju masjid untuk menunaikan salat Magrib. Menikmati senja di Tanger, kami merasakan aura Eropa yang kental, namun esensi keislaman yang dalam masih menyatu erat di hati kota ini.
Jumat 19 Ramadan 1445H
Cantiknya…kapan ya bisa ke Maroko?
Inshaa Allah semoga dipermudah kak, orang Indonesia visit Maroko tanpa visa kak, jd lebih mudah