Kisah Haji Akbar Kami di Tahun 2014 (Bagian 2)

Catatan Caesar Marga Putri

Serangkaian ibadah haji Kami dimulai dengan Tarwiyah di Mina, Wukuf di Arafah, dan melempar Jumrah/Jamarat. Pada tanggal 8 Dzulhijjah, kami menuju Mina untuk menjalankan Tarwiyah. Sejak tanggal 8 Dzulhijjah tersebut, jamaah sudah menggunakan pakaian ihram dan berniat melakukan ibadah haji. Di Mina inilah kami tinggal di tenda-tenda putih yang sudah disediakan oleh Kerajaan Arab Saudi. Meskipun terdapat AC, namun tidak bisa sepenuhnya menghalau panasnya udara gurun. Tapi saya selalu ingat, tidak boleh mengeluh walaupun sepanas apapun udaranya. Di Mina inilah saya merasa bahwa perjuangan ibadah haji dimulai. Kami tidur hanya beralaskan karpet bersama-sama dengan rombongan lain. Kami tidur berdesak-desakan, kalau boleh dibilang mungkin agak kesulitan meluruskan kaki. Namun, memang saat di Mina, waktu kita harus lebih banyak dihabiskan untuk berdoa, membaca Al-Qur’an, dan sedikit tidur.

Suasana di tenda Mina saat Tarwiyah

Mengapa saya mengatakan bahwa di Mina inilah perjuangan kita dimulai? Karena kita melepaskan semua privilege yang dimiliki. Kamar mandipun harus antri panjang, karena ketersediaannya tidak sebanding dengan jumlah jamaah haji yang ada. Sehingga kita harus pintar-pintar mencari waktu ke kamar mandi agar tidak terjadi penumpukan antrian. Soal makanan, kami sudah disediakan oleh katering yang ditunjuk oleh Kementerian Agama RI. Makanan lengkap dengan buahnya didistribusikan pada saat jam makan, dan kami bergantian mengambil untuk masing-masing regu. Bisa dibayangkan jika kondisi di Mina ini seperti perkemahan dengan jutaan orang di hari yang sama dan dengan fasilitas yang sangat terbatas. Namun, ini akan menjadi salah satu periode dalam hidup saya yang akan selalu saya rindukan. Di Mina ini pula ada cerita yang tidak pernah saya lupakan. Seorang teman saya pernah bercerita, beliau berujar dalam hati “Kalau dapat daging unta lagi, enggak akan saya makan karena keras.” Eh ajaibnya, jatah kotak makan beliau selanjutnya ketika dibuka katanya tidak terdapat daging. Padahal kalau dipikir-pikir, pemberian katering itu diberikan secara acak di antara jutaan manusia.

Suasana tenda-tenda di Mina tanggal 8 Dzulhijjah

Tepat pada tanggal 9 Dzulhijjah, kami menuju Arafah untuk melaksanakan Wukuf. Masya Allah, saat itu Wukuf jatuh pada hari Jumat, yang biasanya disebut sebagai Haji Akbar. Mengapa disebut Haji Akbar? Karena Rasulullah, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, melaksanakan Wukuf yang bertepatan dengan hari Jumat. Wukuf yang jatuh pada hari Jumat seperti jejak Rasulullah dianggap memiliki beberapa keistimewaan. Masya Allah, sungguh kenikmatan yang luar biasa bagi kami dan rombongan dalam berhaji di tahun 1435 H. “Haji itu Arafah” begitulah kalimat yang sering kita dengar. Di fase inilah puncak haji sebenarnya, sehingga setiap jamaah dalam kondisi apapun, wajib berada di tempat ini, bagi mereka yang sakit biasanya diangkut dengan ambulan untuk dibawa ke Arafah. Momen inilah waktu yang paling sakral karena jamaah bisa berkomunikasi dalam doa dengan sang pencipta di tempat yang paling mustajab. Di Arafah ini pula khotbah Wukuf dan salat Duhur dan jamak Ashar dilaksanakan berjamaah. Hingga matahari tenggelam jamaah larut dalam doa dan dzikir.

Suasana wukuf di padang Arafah (foto ini bukan saat kutbah wukuf)

Selesai Wukuf, sehabis maghrib, kami mulai mengepak bawaan kami untuk kemudian menunggu antrian bus yang akan membawa kami ke Muzdalifah. Setibanya di Muzdalifah sudah larut malam, kami turun mencari tanah yang kosong untuk tidur semalam. Ketika mabit atau bermalam di Muzdalifah, jamaah hanya beratapkan langit dan beralaskan kain atau apa saja yang kami bawa untuk tidur di atas tanah. Di situ pula kami mulai mengumpulkan kerikil yang akan digunakan untuk melempar Jamarat esok hari. Namun bagi saya sendiri, dan mungkin dirasakan oleh banyak jamaah, kami seperti tidak tidur, melainkan lebih banyak membaca talbiyah, zikir, dan berdoa. Mengingat kembali peristiwa sejak wukuf di Arafah hingga bermalam di Muzdalifah saat itu seperti berkumpulnya manusia di padang Mahsyar, ketika semua berpakaian ihram, berduyun-duyun dengan kerendahan dan tidak ada yang dibanggakan dihadapan Allah, kecuali berbekal amal ibadah. 

Bermalam di Muzdalifah

Menjelang subuh, Karom sudah meminta kami bergerak menuju pagar terluar untuk menunggu bus yang akan membawa kami kembali ke Mina. Kami sabar mengantri, karena bus selalu penuh terisi, hingga adzan subuh berkumandang. Pada saat ini pula ada cerita menarik. Suami saya saat itu lebih memilih salat Subuh dulu, padahal antrian kami hanya berselang sekitar tiga hingga empat dari depan. Saya berpikir, kalau salat dulu dan bus datang maka kami harus mengulang antrian dari belakang. Saya memilih untuk menunggu bus bersama teman haji yang lain dan memutuskan salat di Mina saja. Sampai di Mina, ketika saya baru masuk tenda, eh ternyata suami saya juga sudah sampai di tenda jamaah putra. Kata beliau, habis salat langsung dapat bus dan tidak antri. Masha Allah, keajaiban-keajaiban seperti itulah yang sering muncul ketika haji. Selesai istirahat, Karu menginfokan untuk bersiap-siap melempar Jumrah.Pada tanggal 10 Dzulhijjah, kami berjalan dari tenda Mina menuju tugu Jamarat yang berjarak sekitar 3 kilometer untuk melempar Jumrah Aqabah. Waktu yang paling utama untuk melempar adalah setelah matahari terbit. Meskipun demikian, kami mengikuti arahan Karom, karena banyaknya jamaah yang ingin melempar Jumrah pada waktu utama tersebut. Kami, sebagai jamaah dari Asia dengan postur tubuh kecil, dihimbau untuk tidak memaksakan diri agar lebih aman. Himbauan tersebut tidak berlebihan, karena pada tahun 2004, tepatnya 20 tahun lalu, terjadi tragedi Mina. Tragedi Mina adalah sebuah tragedi di mana sekitar dua ratus jamaah meninggal karena terinjak-injak saat melempar Jumrah. Dilaporkan, korban kebanyakan adalah jamaah dari Indonesia.

sign board menuju Jamarat

Pada saat itu, orang tua, paman serta tante saya sedang melaksanakan ibadah haji meskipun mereka berangkat dari kabupaten yang berbeda. Berbeda dengan orang tua saya yang saat itu belum berangkat melempar Jumrah, paman dan tante saya sedang berada di lokasi tragedi karena memang mengejar waktu utama. Sejak tragedy tersebut, pemerintah Arab Saudi merenovasi area tiang Jamarat menjadi beberapa tingkat. Ada yang menyebutkan lima dan ada yang menyebutkan enam tingkat. Selain itu, bibir tugu Jamarat dibuat memanjang berbentuk elips dan bukan lingkaran seperti sebelumnya. Hal ini ditujukan untuk mendistribusikan jamaah ketika melempar Jumrah.

sign board menuju Jamarat

Alhamdulillah, rombongan kami diberikan kemudahan. Setelah melempar Jumrah Aqabah, kami melaksanakan tahalul, atau mencukur rambut. Bagi bapak-bapak, mereka sudah mempersiapkan gunting dan alat cukur. Kami menepi mencari tempat yang aman untuk memotong rambut agar rukun haji kami terpenuhi. Meskipun pada tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah kami masih harus melakukan lempar Jumrah, perasaan kami sudah lega ketika serangkaian ibadah haji hingga tanggal 10 Dzulhijjah telah selesai. Kami bisa berganti dari pakaian ihram yang kami pakai sejak tanggal 8 dengan pakaian muslim biasa, dan semua larangan ihram telah berakhir. Seperti, memotong kuku sudah diperbolehkan. Kami tidak memiliki dokumentasi foto saat jamaah melempar Jumrah tanggal 10 Dzulhijah, karena saat itu benar-benar khusuk ditengah lautan manusia.

Suasana di dalam trowongan Mina di tanggal 13 Dzulhijah sehingga lebih longgar (saya tidak mengabadikan jamarat 10 Dzulhijjah)
Selesai melempar Jamarat di hari Tasyik tanggal 13 Dzulhijah sebelum kembali lagi ke Maktab. 

Setelah rangkaian ibadah haji selesai, dan kami masih tinggal di Mina, saya memanfaatkan waktu untuk berkeliling ke pedagang-pedagang kaki lima yang menjajakan barang seperti aksesoris, gelang, tasbih, dan lain-lain. Saya tertarik dengan gelang batu yang dijajakan oleh mahasiswa muslim dari daratan Tiongkok yang terkenal dengan batu-batu gioknya. Selain itu, kami juga membeli mie gelas di warung yang berada di luar pagar tenda. Sungguh, suasana di Mina saat itu begitu hidup. Entah apakah sekarang suasana itu masih bisa dirasakan atau sudah lebih tertib dan tidak ada pedagang.

Di sekitar tenda mina sesudah puncak Haji, penuh dengan pedagang.

Bertemu dengan jamaah dari negara lain juga merupakan pengalaman yang tak terlupakan. Suami pernah didatangi jamaah yang meminta bantuan karena kehilangan uang. Ah… sebuah suasana yang terus melekat dalam memori saya. Mungkin ini hanya secuil kisah perjalanan haji Akbar kami satu dekade lalu yang sesungguhnya masih berjilid-jilid jika dituliskan satu persatu perjalanan nan suci selama 40 hari tersebut.

Tulisan ini semoga memberikan bagaimana gambaran pelaksanaan haji dan tulisan ini juga saya dedikasikan untuk bapak dan ibu mertua yang sedang berhaji tahun ini, 2024/1445 H. Semoga Allah mudahkan dan mengkaruniakan haji yang mabrur untuk semua jamaah tahun ini. Amin

Barcelona, 10 Dzulhijjah 1445 H/16 Juni 2024

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *