Batagor Mewarnai Persaudaraan Antarbangsa di Prancis

Sekitar tiga bulan yang lalu, Alisone, personel dari yayasan Avenir En Héritage menghubungi saya. Dia bertanya apakah saya mau berpartisipasi menjadi relawan dalam acara La Fête de La Saint Jean di La Rochelle pada 28 Juni mendatang.
Avenir En Héritage adalah sebuah yayasan di kota La Rochelle yang bergerak di bidang solidaritas internasional dan keberagaman. Mereka kerap mengadakan kegiatan non profit yang bersifat edukatif untuk anak-anak serta event budaya yang melibatkan berbagai komunitas di kota La Rochelle.

Sejak tiga tahun terakhir, saya rutin berpartisipasi dalam acara ‘Les Papilles du Monde’ dimana saya merepresentasikan Indonesia lewat makanan tradisional. Saya juga sering menjadi relawan dalam kegiatan ‘Gouter Linguistique’ untuk anak-anak dalam memperkenalkan Indonesia kepada mereka.
Kali ini, Avenir en Heritage dan gabungan semua yayasan dan komunitas di La Rochelle – di bawah manajemen Collectif des Association – mengadakan sebuah acara besar dan non-profit di quartier Villeneuve-les-Salines di kota La Rochelle. Acara tersebut dikenal dengan nama La Fête de La Saint Jean, tradisi yang sudah berlangsung selama 46 tahun setiap awal musim panas di quartier tersebut.
Festival ini menjadi ajang keakraban dan persaudaraan bagi warga setempat yang memang dikenal dengan keragaman budaya mereka.

Acara ini berlangsung selama dua hari dengan berbagai program acara seperti workshop tari dan musik dari Afrika, Armenia, Turki, Portugal dan lain-lain. Di hari kedua, acara semakin dimeriahkan dengan kembang api dan stand makanan dari berbagai negara. Avenir en Heritage mengajak saya untuk memperkenalkan Indonesia lewat stand makanan. Tanpa pikir dua kali, saya langsung mengiyakan.
Dua bulan sebelum acara, saya dan Alisone rapat dengan kordinator Collectif des Association untuk menentukan menu apa yang akan ditampilkan serta apa saja yang dibutuhkan. Sebagai relawan, saya tidak dibebani dengan kewajiban membeli kebutuhan memasak. Semua bahan yang diperlukan akan dibelikan oleh mereka dan saya hanya tinggal memasak. Dalam memasak pun saya akan dibantu oleh beberapa orang siswa magang dari Prancis.

Pilihan menu jatuh kepada Batagor. Alisone yang pernah menyiapkan materi tentang Indonesia untuk anak-anak dan menampilkan Batagor di slide presentasinya ternyata penasaran dengan batagor.
“Bagaimana kalau Batagor saja?”, katanya, “Aku penasaran dengan rasanya! Sepertinya enak!”.
Saya setuju, karena batagor bisa disiapkan jauh-jauh hari, dan tinggal digoreng di hari-H. Gabriel pun setuju. Saya menyebutkan bahan-bahan apa saja yang dibutuhkan dan dia langsung mencatatnya ke dalam daftar barang yang akan dipesan.
Proses pembuatan batagor dilakukan dua hari sebelum acara di dapur gedung Maison des Association milik pemda La Rochelle. Jujur, ini pertamakalinya saya membuat batagor sebanyak 300 porsi.
Agak kaget juga, karena bahan yang harus diolah ternyata banyak banget ! Waktu yang diizinkan untuk menggunakan dapur tersebut pun terbatas hanya dari jam sembilan pagi sampai jam dua siang. Alisone datang membawa 11 kilogram filet ikan makarel, dua setengah kilo tepung tapioka, setengah kilo tepung terigu, mungkin dua puluh sak kentang, satu peti ketimun, telur, dan bahan-bahan lain. Enam orang remaja berusia 15-18 tahun juga datang untuk membantu proses pembuatan batagor.

Untuk membuat 300 porsi (600 butir ) batagor dalam waktu yang terbatas dan dengan tenaga kerja yang belum terbiasa kerja di dapur, saya harus membuat perencanaan terkait waktu pengerjaan dan pendelegasian tugas. Keenam siswa magang tersebut saya bagi menjadi tiga kelompok: yang menguliti dan menggiling ikan, yang mengupas dan menggiling bawang putih, serta yang mengiris daun bawang. Saya menimbang dan menyiapkan bahan-bahan lain yang nantinya akan diaduk bersama. Sementara Alisone bertugas mencuci alat-alat, membersihkan lantai dan meja dapur dan membuang sampah sehingga proses pengerjaan bisa terus berlangsung dengan nyaman.
Dalam proses pembuatan batagor semua orang bekerja dengan semangat, sesekali bercanda, diiringi oleh musik ceria dari Bruno Mars, Taylor Swift, dan rapper Prancis favorit mereka. Tapi harap maklum, remaja belia ini belum semuanya terbiasa kerja di dapur. Mengupas bawang putih kulit arinya masih menempel, memblendernya tidak bisa halus karena tidak diberi air, dan menggiling daging ikan pun dagingnya menempel dimana-mana. Di meja, di jendela, di stopkontak (soket listrik) untung Alisone sigap membersihkan apa saja yang kotor. Dan saya cepat mengkoreksi apa saja yang kurang.

Mereka semua penasaran dengan resep ini, karena baru pertamakali memblender ikan dicampur dengan bawang putih, air, gula, garam dll. Tapi proses yang paling mereka suka adalah proses melipat kulit batagor dan mengukusnya. Mereka bilang, ini mirip gyoza, makanan Jepang. Tapi yang ini akan digoreng dan dimakan dengan saus kacang !
Mereka juga awalnya terbelalak melihat sebelas kilo ikan makarel yang harus mereka kuliti. Maklum, ikan segar baunya memang semerbak.
Alexandre, salah satu remaja yang paling centil, berkata pada saya dengan bahasa Inggris berlogat Prancis, disela-sela senandung lagunya Taylor Swift, “Madame, I think my nose is gonna die! I can’t stand this smell, but I want to taste this batagor when it’s ready!“.
Teman-temannya menggodanya dengan memberikannya ikan lebih banyak untuk dikerjakannya. Dua remaja yang bertugas mengiris daun bawang juga mengeluh matanya perih, karena harus berhadapan dengan tujuh belas batang daun bawang segar. Yah, di musim panas seperti ini tampaknya semua bahan segar menjadi lebih beraroma dibanding biasanya!

Alhamdulillah, jam dua siang semua batagor selesai dilipat menjadi ravioli. Kami pun mendapat izin perpanjangan waktu satu jam lagi untuk mengukus. Sementara itu, Alisone dan saya terus menerus membersihkan lantai dan mencuci peralatan.
Setelah selesai dikukus, semua batagor disimpan ke dalam wadah-wadah tertutup dan segera diantar ke kantor Collectif des Association untuk disimpan ke dalam freezer.
Menu batagor kali ini disesuaikan dengan situasi. Kita tidak bisa membuat batagor dengan tahu, karena harga tahu di Prancis terlalu mahal. Akhirnya komposisi batagor dalam satu piring dibuat menjadi dua butir batagor, tiga butir potongan kentang rebus, dan irisan ketimun. Saus kacangnya pun tidak mungkin dibuat dengan menggiling kacang karena akan terlalu lama. Karena itu, kita mengakalinya dengan menggunakan bumbu pecel instan. Namun seminggu sebelum acara, Gabriel bilang stok bumbu pecel instan di supermarket asia terdekat ternyata tinggal sedikit dan baru datang lagi minggu berikutnya. Saya bilang, “kita campur saja dengan selai kacang!”

Menyiapkan kentang, ketimun dan saus kacang tidak bisa terlalu jauh dari hari-H. Kami lakukan semuanya enam jam sebelum acara, di rumah Jean-Christophe atau JC, presiden yayasan Avenir En Héritage. Kebetulan yang bertugas menjaga stand hari itu memang JC, saya, suami saya David, dan dua mahasiswa Indonesia di La Rochelle yaitu Rizal dan Darrel. Alisone datang bersama pacarnya, Jeremy, untuk membantu kita sampai dengan instalasi stand.
Awalnya kita mau mengukus semua kentang dengan panci presto. Masalahnya panci prestonya hanya ada dua. Melihat oven di rumah JC, saya langsung memutuskan untuk memanggang sebagian kentang lainnya dengan dua loyang sekaligus dalam dua putaran. Kentangnya pun tidak kita kupas kulitnya. Dengan demikian, tidak ada waktu yang terbuang.

Saya dan suami mengupas dan mencacah bawang putih yang nantinya akan saya gunakan membuat saus kacang. JC, Rizal, dan Darrel memotong kentang. Alisone dan Jeremy mengiris ketimun. Kita bekerja dengan cepat tapi juga penuh canda. Kemudian proses berlanjut dengan saya membuat saus kacang, Rizal dan Darrel memanggang kentang, Jeremy mengukus kentang dengan kedua panci presto dan Alisone merebus sisa kentang secara manual. Sementara JC dan David membuat kopi dan teh untuk kita semua.
Saya senang dengan kerja tim ini. Semuanya efisien dalam penggunaan waktu. Saya selalu teringat nasihat atasan saya dulu di Indonesia. Beliau pernah bilang, “manajemen adalah soal bagaimana kita mengelola waktu dengan baik”. Beliau benar. Waktu itu berharga. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan dalam tiap menit dan detiknya. Manusia tak luput dari kesalahan, karena itu memperhitungkan margin of error sangatlah penting.
Sebelum memulai proses pembuatan batagor saya sudah menghitung berapa waktu yang dibutuhkan untuk memblender ikan sampai mengukus dan membekukannya. Sebelum memasak kentang saya sudah mencari tahu berapa lama yang dibutuhkan untuk mematangkan kentang dengan oven dan panci presto. Setiap orang diberikan tugas dengan batasan yang jelas agar ketika dipadukan dengan tugas orang lain hasilnya sesuai dengan tujuan.
Pukul lima sore kita berangkat ke lokasi yang tak jauh dari situ. Lokasi acara berada di sebuah lapangan rumput di dekat danau dengan pohon-pohon rindang. Dua puluhan stand telah berdiri dan panggung acara sudah disiapkan. Berbagai komunitas pengisi stand juga sudah mulai berdatangan. Ada yang dari komunitas Turki, Armenia, Portugis, Lebanon, Pakistan, dan lain sebagainya. Stand Indonesia diapit oleh stand Palestina dan Armenia. Musik latin dari pengeras suara menambah keceriaan. Panitia relawan berkeliling membantu dan memberikan arahan. Alisone dan Jeremy memasang meja dan taplak, Rizal dan Darrel memasang dekorasi, David mengambil paket dari panitia berupa piring kertas dan alat makan, kantong sampah dan produk pembersih, JC menata baki-baki di atas meja. Menjelang acara dibuka, kami mulai menggoreng batagor. Pukul tujuh malam pengunjung mulai berdatangan dan setelah membeli ‘jetons’ (kupon), mereka menyambangi stand satu persatu.

Tahun ini adalah untuk pertamakalinya pengunjung diperkenalkan dengan makanan Indonesia di acara La Fête de La Saint Jean. Sejak 46 tahun yang lalu, warga Villeneuve-les-Salines dan sekitarnya merayakan keragaman budaya di acara tahunan ini. Dan di edisi ke-47 ini, untuk pertamakalinya stand Indonesia hadir untuk menambah warna dalam persaudaraan antar bangsa di kota La Rochelle.

Ada rasa bangga tersendiri ketika pengunjung menghampiri stand kami. Seorang ibu-ibu melihat tulisan “Indonesia” di depan stand kami dan berkata, “Indonesia … wah, sekarang kalian ikutan ya?”.

Ada pengunjung yang menghampiri dan bilang bahwa dia pernah ke Indonesia, tapi belum pernah mencoba Batagor. Pengunjung lain bertanya, Batagor ini dari daerah mana di Indonesianya. Mereka juga penasaran dengan saus kacang dan tampak tertarik mencobanya. Darrel sibuk menggoreng batagor, Rizal dan saya melayani pengunjung, David menjadi kasir merangkap public relations dan JC dengan gayanya yang jenaka mengajak orang untuk mencoba batagor di stand kami.

Tak disangka, respon pengunjung sangat baik. Rata-rata mereka mengatakan bahwa saus kacangnya enak. Tentu saja, saus kacang yang kami buat tidak pedas. Apalagi kami memadukan batagor dengan ketimun yang segar di musim panas seperti ini.
Seorang wanita dan temannya bertanya, “Kalian pakai daun apa sih di saus kacangnya? Jadi enak dan harum gitu!”. Saya bilang, itu daun jeruk. Lalu, seorang pemuda Prancis sampai beli lagi untuk kedua kalinya, “Batagornya enak banget! Kalian top! Saya mau lagi dong!”.

Ada lagi seorang pria menghampiri kami dan bilang, “Saya orang Portugis dan kami suka banget makan ikan dan olahan ikan. Tau nggak, makanan kalian ini enak banget! Bravo”.

Menjelang tengah malam, kami memberikan sisa batagor secara gratis kepada pengunjung. Semuanya habis dan semua bilang “c’est trop bon” (enak sekali). Dalam hati saya bersyukur bahwa keenam anak magang yang membantu saya membuat batagor ternyata mengaduk adonan dengan sempurna. Karena kalau tidak rata, bisa saja ada batagor yang keasinan atau kurang berasa. Sayang sekali mereka tidak hadir di acara ini karena memiliki tugas lain. InsyaAllah saya akan buatkan batagor lagi dan mengantarkannya ke tempat magang, agar mereka bisa mencobanya.
Jam dua belas malam, kami meninggalkan lokasi untuk pulang. Kami mengucapkan terimakasih kepada satu sama lain.
Ini memang acara non-profit, dan semua hasil penjualan digunakan untuk keperluan acara. Tapi misi diplomatik pribadi saya sudah tersalurkan. Menambah warna dalam persaudaraan antar bangsa.