Kampung Raja Polah, Tasikmalaya: Anyaman Bambu dari Warisan Lokal Menuju Pasar Global

Catatan Wiwin NospitaliaIndonesia

Di kaki Gunung Galunggung, berdiri sebuah kampung yang sejak lama identik dengan suara bambu yang dipotong, dianyam, dan dijadikan karya seni bernilai tinggi. Kampung itu bernama Raja Polah, sebuah desa di Tasikmalaya, Jawa Barat, yang sejak zaman pendudukan Jepang 1890 Haji Soheh atau lebih dikenal Martadinata merupakan pelopor pengrajin anyaman bambu halus dan memberdayakan masyarakat sekitar untuk menganyam aneka kerajinan hingga dikenal sebagai sentra kerajinan anyaman bambu.

Menganyam sudah menjadi keseharian masyarakat disana dan menjadi mata pencaharian utama.

Dari Alat Rumah Tangga ke Dekorasi Modern

Pada masa lalu, anyaman bambu Raja Polah lebih banyak digunakan untuk kebutuhan sehari-hari: tampah untuk menampi beras, bakul untuk menyimpan nasi, hingga tudung saji. “Dulu anyaman kami dipakai untuk kebutuhan rumah tangga saja, tidak terpikir untuk dijadikan hiasan,” ujar Teh Nevia Puspita (31), pengrajin generasi ketiga di Raja Polah.

Namun, seiring perkembangan tren dan permintaan pasar, anyaman bambu tak lagi sekadar benda fungsional. Kini, ia menjelma menjadi dekorasi rumah, aksesori, hingga produk lifestyle yang diminati pasar global. Sentuhan desain modern membuat produk Raja Polah semakin relevan dengan gaya hidup urban.

UMKM dan Jejak ke Mancanegara

Menurut data Dinas Koperasi dan UMKM Tasikmalaya, lebih dari 300 UMKM di wilayah ini bergerak di bidang anyaman bambu. Produk mereka kini telah menembus pasar Asia Tenggara, Jepang, hingga Eropa. “Kami melihat permintaan ekspor meningkat, terutama untuk produk home décor dan sustainable living,” kata Wiwin Nospitalia, Business Development dari Westjava Mahakaya yang mendampingi pemasaran serta pemberdayaan UMKM kerajinan.

Produk unggulan seperti lampu gantung, tatakan meja, keranjang laundry, hingga hiasan dinding menjadi favorit konsumen mancanegara. Selain ramah lingkungan, desain yang memadukan nilai tradisi dengan inovasi membuatnya diminati kalangan hotel, kafe, hingga rumah modern.

Warisan Budaya yang Bertahan

Meski pasar terus berkembang, nilai tradisi tetap dijaga. Setiap anyaman masih dibuat dengan teknik turun-temurun yang diwariskan dari leluhur. “Bambu bukan hanya bahan, tapi bagian dari kehidupan kami. Ada filosofi kesabaran dan ketekunan di setiap anyaman,” tambah Nevia.

Kini, Kampung Raja Polah bukan hanya pusat produksi, tetapi juga destinasi wisata edukasi. Wisatawan lokal maupun mancanegara dapat melihat langsung proses menganyam, belajar membuat produk sederhana, bahkan membeli langsung karya pengrajin.

Dari Desa untuk Dunia

Keberhasilan Raja Polah menjadi bukti bahwa kearifan lokal dapat bertransformasi menjadi kekuatan ekonomi kreatif yang mendunia. Dengan dukungan teknologi digital dan platform e-commerce, para pengrajin semakin percaya diri memasarkan produk mereka ke luar negeri.

“Harapan kami, Raja Polah terus menjadi simbol bagaimana budaya bisa hidup berdampingan dengan tren modern, sekaligus menjadi penggerak ekonomi bagi masyarakat,” tutup Nevia.

Dari masa pendudukan Jepang hingga era globalisasi, anyaman bambu Raja Polah tetap menjadi kisah abadi: warisan budaya yang kini bersinar di panggung dunia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *