“Bakda Kupat” di Perantauan
Di hari Idul Fitri, banyak yang menanyakan; Hidangan istimewa apa yang disajikan di meja kami di perantauan?…
Tidak… Tidak ada ketupat di hari lebaran di rumah kami, seperti yang dipamerkan kerabat dan teman di media sosial. Bukan hanya karena Ramadhan di Prancis tahun ini begitu panasnya, hingga saya tak mampu mempersiapkannya. Namun juga sebagai orang yang berasal dari Solo, secara tradisi, memang ketupat baru disajikan mulai seminggu sesudah lebaran…
Bakda Kupat, demikian kami menyebutnya. Lebaran ketupat. Tradisi menyantap ketupat, yang konon baru dilakukan sesudah tuntas menjalankan ibadah puasa Syawal selama 6 hari sesudah Idul Fitri. Ada yang menyajikannya tepat tanggal 7 Syawal saja, ada yang menikmatinya selama sepasar (5 hari), ada yang bebas. Pokoknya sesudah 7 Syawal!…
Meski tahun ini saya belum mampu berpuasa Syawal, hidangan ketupat tetap saya sajikan pada saat Bakda Kupat. Saya ingin tetap menjaga tradisi religius dan kuliner dari daerah asal saya meski sedang di perantauan…
Et voila! Ketupat … atau lontong, atau apalah, silakan pilih sendiri istilahnya, ala perantau! Nasi yang dimasak dalam plastik berlubang-lubang selama 2 jam hingga luluh dan menggumpal, yang kemudian didinginkan dan dipotong-potong kotak. Gudeg dari nangka muda kalengan. Sambal Goreng hati ayam yang kali ini beruntung didampingi oleh krecek pemberian sahabat. Tak terlalu pedas, tentu saja. Dan dengan cabe utuhan, untuk yang menginginkannya lebih pedas. Opor ayam ala kadarnya. Light, tak terlalu banyak bumbunya, disesuaikan dengan lidah yang telah terbiasa dengan selera Eropa, dan tentu saja dibatasi oleh ketersediaan rempah-rempah…
Beberapa sahabat menyempatkan datang untuk makan siang. Ada yang membuat Nastar, dan ada yang menyiapkan Dadar Gulung. Melengkapi Kaastengels khas Hari Raya yang saya sajikan. Menemani teh hitam melati Indonesia dan obrolan kami…
AlhamduliLlaah…
Sugeng Bakda Kupat!
Selamat Berlebaran Ketupat!…
Le Cannet, 7 Juli 2017