HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT IV (56)

Karya RD. Kedum

Aku resmi menjadi siswa SMA Muhammadiyah I Bengkulu. Sekolah yang terletak di Kampung Bali, kota Bengkulu ini tidak terlalu besar. Posisinya agak jauh masuk ke dalam dari jalan raya. Hari Ahad tetap sekolah, hari Jumat baru libur. Aku mulai berkenalan dengan orang-orang baru.

Mempelajari bahasa Bengkulu, membiasakan telingaku mendengarkan obrolan teman-temanku dari berbagai suku, ada yang murni berbahasa Bengkulu , Serawai, Selatan, Rejang, Lembak, muko-Muko, bahasa Pasemah air Keruh, Kedurang, Lintang, dan lain-lain. Tak perlu butuh lama, telingaku terbiasa mendengarkan mereka berbicara dan mulai pula belajar komunikasi dengan bahasa daerah itu. Pendek cerita aku betah meski masuk sekolah siang hari. Aku aktif di organisasinya; IPM, OSIS, Sanggar Seni, dan kembali mengelolah Majalah Dinding sekolah sebagai redaktur.

Minggu pagi latihan teater di pantai Jakat, atau latihan vokal, bergabung dengan vokal grup sekolah. Mengikuti serangkaian lomba, pentas dan lain sebagainya. Di luar sekolah aku bergabung dengan Ratu Samban Heaking Club (RSHC) untuk menyalurkan hobbyku. Organisasi pecinta alam yang cukup tua di kota Bengkulu. Waktu senggang kumanfaatkan latihan rock climbing, traking, hiking dan lain-lain dengan para senior di pasir putih ujung pantai Panjang Bengkulu.

Pengalaman mistis di kota ini bermula ketika aku baru bergabung dengan organisasi pecinta alamnya. Waktu seleksi anggota baru dan latihan dasar, kami yang pemula selalu dicari-cari kesalahan. Latihan fisik dimulai. Sebagai yunior aku ikut saja rangkaian latihan secara normal. Cam ground kami berada kawasan agak lapang di bawah pohon cemara. Kami bermalam di ujung pantai pasir putih, kawasan rawa-rawa, berhutan kecil, dan tepi laut. Angin laut berhembus kencang malam itu. Api unggun yang sengaja dibuat sejak petang untuk menghangatkan badan selalu kekurangan kayu bakar karena kayunya selalu habis terbakar cepat sekali. Malam itu, kami yang pemula disuruh mencari kayu bakar ke tempat terpisah dan tidak boleh berkelompok. Masing-masing harus membawa minimal dua batang kayu kering yang bisa di bakar. Aku mendapat bagian ke arah rawa-rawa. Berangkatlah aku sendiri ke sana di tengah gelap. Dalam hati aku mengerutu. Seniorku tega amat. Dari tujuh orang yang direkrut hanya aku yang perempuan. Tapi justru aku yang disuruh mencari kayu ke arah rawa-rawa yang bersemak. Muncul isengku. Karena dari siang bajuku sudah basah kuyup tapi tidak boleh ganti gegera disuruh berendam di rawa pas air pasang. Sambil menahan dingin, aku berjalan ke arah yang ditugaskan. Dalam waktu tertentu, ada aba-aba mendapatkan kayu atau tidak kami harus kembali ke tempat semula. Priiiiiiit!!Peluit berbunyi sekali pertanda kami harus kembali ke titik kumpul. Aku mematahkan ranting kayu dari pohonnya. Lalu berlari menuju titik kumpul sambil memegang dua kayu bakar. Kami berbaris dan melapor. Dari tujuh orang yang ditugaskan, hanya aku yang membawa dua batang kayu bakar. Enam orang kawanku, ada yang membawa satu kayu berukuran kecil dan pendek, dan ada yang tidak membawa sama sekali. Buntutnya mereka kena hukum, di suruh pust up sekian kali, lalu kembali wajib mencari kayu bakar dua kali lipat dari perintah semula.

“Dede! Kemari!” Ujar salah satu senior memanggilku. Aku berlari mendekat lalu memberikan kayu bakar yang kuperoleh. “Ini kayu bakar apa ular! Mengapa masih basah! Bukankah yang diminta kayu yang sudah kering!” Bentaknya mencari kesalahan. Di tengah remang cahaya lampu badai dan api unggun yang nyaris mati, aku menatapnya pura-pura takut dan patuh. Tiba-tiba kugerakan kayu bakar yang dipegangnya lalu kubuat titik pandangnya melihat kayu yang dipegangnya seperti ular. Menyadari hal itu, kakak seniorku terpekik lalu kayu yang dipegangnya dilemparnya seketika. “UlaaRR!!” Jeritnya mengagetkan yang lain. Spontanitas semua panik. Bahkan ada yang langsung naik pohon karena takut. Dalam hati aku senyum-senyum sambil berucap ‘syukur’. Sementara aku masih berdiri di tempat semula. Ular buatanku kusuruh berjalan ke semak-semak agar mereka yakin kalau yang kuambil tadi bukan kayu, tapi ular. Melihat aku biasa-biasa saja semua bengong. Hanya aku yang masih berdiri tegak di tengah lapangan terbuka menunggu perintah seniorku selanjutnya. Akhirnya mereka turun sambil membuang gengsi. Padahal aku tahu jantung mereka masih berdegup kencang. Takut!

Tepat pukul satu dini hari, ketika kami masih istirahat, kami dibangunkan disuruh kumpul. Malam ini kembali mental kami diuji. Kami harus berjalan malam-malam melalui rute yang telah ditentukan. Sekali lagi tidak boleh berkelompok. Harus sendiri-sendiri. Pedomannya setiap post ada satu titik cahaya sebesar puntung rokok, lalu wajib melapor dengan menyebutkan sandi tertentu. Jarak antara peserta satu dengan lainnya lima menit. Ada delapan post yang harus kami cari, dan setiap post kami diberi pita pertanda memang sudah sampai ke post yang sudah ditentukan. Aku mendapat giliran nomor empat. Mulailah aku membaca Bismillah lalu masuklah aku ke dalam hutan kecil yang lembab. Kira-kira lima puluh meter dari titik kumpul aku melihat cahaya kecil seperti puntung rokok yang menyala. Aroma kemenyan sengaja di bakar oleh para senior. Sebenarnya aku melihat ada tiga orang berada di post pertama ini, memakai baju hitam dan bersembuyi di semak-semak. Sambil sedikit menggeram, mereka berusaha menakut-nakuti. Sebelum aku sampai menemui senior yang memegang puntung rokok itu, kebetulan dekat kakiku ada batu. Kutendang batu itu ke arah dua orang yag bersembunyi. Batu pas mengenai dua orang tersebut. Mereka terkejut dan menjerit kesakitan. “Siapa sih yang melemparkan batu? Sakit sekali! Ujar salah satu mereka. Aku senyum-senyum melihat mereka setengah ketakutan. Mereka berdiri mepet sambil memegang kepalanya yang benjol. Aku melapor, lalu diberi pita, selanjutnya mencari post berikutnya. Di jalan sebelum sampai di post ke dua, aku melalui sisi rawa. Melihat aku berjalan makhluk asral di sekitar itu seperti tertarik magnit. Sebagian mereka berusaha hendak mendekat, sebagian lagi hanya melihat dari jauh. Wajah dan bentuk mereka rupa-rupa. Aku hanya diam tidak memberikan respon pada mereka. Aku terus berjalan mencari post ke dua. “Berani sekali kalian masuk wilayah kami tanpa pamit, anak kecil.” Seorang perempuan cantik berambut panjang memakai baju warna-warni seperti seorang putri raja menyapaku. Melihat matanya yang berkilat-kilat, dan aroma yang ke luar dari tubuhnya, beliau buaya yang berdiam di rawa-rawa yang memanjang ke laut. Aku baru tahu kalau kerajaan kecil rawa-rawa ini dipimpin seorang ratu. Penting sekali ratunya yang menemuiku langsung. Biasanya anak buahnya dulu. Mendengar tegurannya yang masih bersahabat, aku berusaha menahan emosiku. “Oh, maafkan kami Ratu. Maafkan jika kedatangan kami mengganggu dan tidak minta izin Ratu terlebih dahulu. Sebab sebagaian besar kami tidak menyadari jika di sini ada kehidupan lain. Atas nama kawan-kawanku, saya mohon maaf dan izin untuk melakukan latihan di wilayah kekuasaan Ratu.” Ujarku sesopan mungkin. Aku melihat senyumnya mengembang. Di kejauhan, anak buahnya berjaga-jaga. Mereka tidak semuanya dari bangsa buaya putih. Ada juga bentuk ular, kadal, monyet, harimau putih, bahkan macan berwarna hitam dan merah. Sebagian lagi boto ijo, genderowo, kuntilanak. Wah macam-macam. Semuanya bisa mengubah diri mereka sesuai dengan yang mereka kehendaki. “Siapa namamu? Kulihat kamu berbeda dengan kawan-kawanmu itu. Tapi kamu sengaja menyembuyikan diri di hadapan mereka.” Nadanya datar. Kembali aku membungkuk dan menundukkan kepala. Aku mengenalkan diri padanya. Termasuk juga asalku. Selanjutnya beliau mengingatkan jika banyak anak buahnya yang suka iseng mencelakakan manusia, dan berharap jangan mengotori wilayah ini dengan berbagai macam hal. Aku mengangguk setuju. Ratu yang cantik itu mohon izin dan berlalu. Baru beberapa menit, aku melihat titik cahaya. Jauh di sudut Barat aku mendengar jeritan ketakutan kawanku. Kedengarannya takut sekali. Hal itu bisa didengar dari suara histerisnya. Aku mencoba mendekati diam-diam. Oh! Ada makhluk iseng mengganggunya rupanya. Di dekat post itu memang ada senior yang tengah menunggu. Dia duduk di atas pohon dengan pakaian seperti pocong. Sebenarnya dia pakai jaket warna putih yang ada topinya, lalu duduk di atas pohon. Jadi di tengah remang-remang terlihat seperti pocong. Namun tangannya memegang punting rokok yang menyala. Yang membuat temanku histeris, pasalnya di bawah tempat dia duduk memang ada pocong benaran berdiri bersandar di kayu. Melihat itu, aku sentil pocong itu dari jauh. Kuusir dia berdiri di situ. Si pocong tertawa sambil cekikikan mengeluarkan suara. Senior dan kawanku kaget. Meski berusaha mengendalikan diri tak urung dia terjatuh dari atas pohon. Aku kembali ke tempat semula ke post dua. Di sini aku hanya ditanya siapa nama, apa tujuan bergabung dengan club pecinta alam ini, apa visi dan misi, dan lain sebagainya. Setelah itu aku diberi pita ke dua. Di post ke tiga, kulihat kawanku yang ketakutan tadi belum bisa bangun dari duduknya. Sang senior pun belum bisa banyak bicara. Mereka berdua masih syok, berusaha mengalahkan rasa takut yang menguasai diri mereka. Dalam hati aku kasihan juga. Akhirnya sembari menunggu, aku mencoba duduk. Diam-diam kutransfer energi pada mereka berdua. Tak lama keduanya bisa berdiri dan agak tenang. Sang senior kembali pada posisinya, menunjukan kewibawaannya seakan-akan tidak terjadi apa-apa. “Silakan kamu duluan menuju post selajutnya,” ujarku pada temanku sesama yunior setelah kami berdua mendapatkan pita dari post tiga. “Bareng aja. Aku tidak berani. Takut!” Ujarnya. Padahal sudah diwanti-wanti tidak boleh berbarengan. Aku tidak mau kena hukum di post selanjutnya, atau besok sebelum sarapan di hukum di depan kawan-kawan dengan berbagai catatan kesalahan. Aku bingung, apa yang harus kulakukan? Akhirnya aku pecah diriku. Kusuruh banyanganku menemaninya. Sementara aku pribadi dengan cepat menuju post-post selanjutnya.

Usai dari post tujuh, ternyata jalan menuju post akhir harus menyisir pantai. Aku melihat tiga kawanku tidur di pasir menahan lelah membiarkan pasir menyentuh separuh tubuh mereka. Kuajak mereka melanjutkan ke post akhir. Tapi ketiganya masih malas bergerak. Akhirnya aku duduk berjajar dengan mereka membiarkan air laut membasahi separuh badan kami. Sekilas mereka bercerita berbisik-bisik tentang banyak hal yang intinya membuat mereka takut. Bahkan suara tikus hutan pun mereka kira hantu. Tiba-tiba aku melihat sosok besar ke luar dari laut. Di tangannya memegang tongkat yang lebih tinggi dari tubuhnya. Kulitnya berwarna abu-abu berbercak hijau lumut. Lama aku memerhatikannya. Taringnya menyembul kiri dan kanan. Jalannya gagah menuju tempat kami berkumpul. Semakin dekat. Air berjatuhan dari tubuhnya. Aku mencium gelagat yang tidak baik. Teman-temanku tidak ada yang menyadari jika mereka dalam bahaya.Makhluk ini hendak menarik kawan-kawanku. Gelombang ombak makin lama makin tinggi. Yang membuatnya makin tinggi itu makhluk yang tengah berjalan menuju kami. Aku merasakan energinya luar biasa. Sepertinya aku harus berhadapan dengan mahkluk satu ini. Aku segera bersedakap. Secepat kilat kupagar kawan-kawanku. Melihat aku memagar kawan-kawanku dia marah. Dari jarak jauh dia angkat tangannya dan kilatan cahaya hijau langsung menyerangku. Aku tidak tinggal diam. Aku segera melompat dan menyambut serangannya. Gelombang laut yang sengaja dinaikannya bersama ombak kuhantam pula dengan angin badaiku. Lagi-lagi kawan-kawanku tidak menyadari jika benturan dua kekuatan telah membuat gelombang laut makin tinggi. Mereka semakin menikmati semburan ombak yang kencang bahkan menutupi seluruh tubuh mereka. Mereka mengangap ini sensasi mandi air laut tengah malam.

“Berani sekali kau menghalangi aku, cacing tanah! Apa hakmu? Ini wilayah kekuasaanku!” Ujarnya dengan nada marah.“Tentu saja aku akan menghalangi karena kau hendak menyeret kawan-kawanku. Alam ini milik Sang Maha Akbar, bukan milikmu. Kita sama. Sama-sama menumpang di bumi Allah. Jadi jangan berkata lagi jika ini wilayah kekuasaanmu. Alam kita berbeda, silakan memiliki kekuasaan di alam gaib, jangan ganggu alam nyata!” Ujarku dengan nada menantang. Mendengar sambutanku, makhluk itu menatapku makin tajam. Makhluk laut ini tidak bisa dianggap remeh. Dari cara berjalan dan bicaranya saja beliau memiliki kekuatan yang luar biasa. Aku meningkatkan kewaspadaan. Sebenaranya aku enggan melawan makhluk-mahkluk asral di kota Bengkulu ini. Sebab daerah ini adalah daerah baru bagiku. Aku masih dalam proses belajar. Mempelajari berbagai macam hal, termasuk kultur mereka dalam upaya menyesuaikan diri. Sedapat mungkin kuhindari untuk bermusuhan. Tapi melihat kelakuan makhluk laut yang hendak menarik tiga kawanku aku tidak bisa tinggal diam. Aku akan lawan. Makhluk laut itu makin dekat. Aku jadi ingat naga laut yang hendak meminang tiga putri ular dari Seberang Endikat. Jika melihat ekor naga dulu, mirip-mirip dengan ekor makhluk yang semakin dekat ini. Bedanya mahkluk ini berotot dan kekar, bentuk tubuhnya setengah manusia. Sambil berjalan, kembali dia melakukan penyerangan. Aku kembali menghindar. Di tengah ombak dia berdiri menghadapku. Tangannya diangkatnya tinggi-tinggi. Tongkatnya diputar kencang membuat angin bertiup sampai mengeluarkan suara menderu. Ombak semakin tinggi. Kawan-kawan yang telah kupagar kuseret jauh ke darat. Mereka tidak menyadari apa yang aku lakukan. Mereka masih asyik ngobrol dengan suara pelan.

“Hiaaaaat!!” Aku melompat tinggi. Makhluk dari laut itu kuserang dari atas. Angin yang berasal dari tongkatnya kupatahkan. Benturan berbagai benturan terjadi. Berkali-kali aku berkelit menghidari serangannya yang bertubi-tubi. Aku cukup kewalahan juga menggunakan tangan kosong. SreeeeeTT! Aku menarik pedang yang tersimpan di lengan kiriku. Aku mulai mengibaskan. Dasyat! Benturan keras melawan sapuan tongkat makhluk asral memercikan api. Gelombang laut mulai kacau. Ombak berubah debur seperti air yang diaduk tabrakan ke sana kemari. Sehingga yang mendesir di patai hanya berupa percikan air saja. Pelan-pelan aku mendengar suara orang berzikir. Syahdu sekali. Sambil terus bergerak kuikuti zikir itu. Zikir itu seakan sengaja membimbingku agar tidak kosong. Suatu kali, aku memilki kesempatan mengayunkan pedang persis ke tubuh lawan. Dan Cressss!!! Tangannya yang memegang tongkat tersentuh pedangku. Luar biasanya, pedangku seperti api menyentuh air. Dia tidak luka sama sekali. Aku mencari akal apa yang harus kulakukan untuk melawan makhluk ini. Kali ini pedang kuputar seperti perisai. Aku akan menemukan senjata lawan dengan mengkombinasikan tenaga badai dan gelombang halilintar. Kubaca mantra sambil terus berkelit. Tanganku kuangkat tinggi-tinggi. Sementara pedang terus kuputar. “Hup!! Allahu Akbar!” Aku menghentakkan tangan kananku menyerangnya, sementara pedangku secepat kilat menyambar tongkat lawan.

Aku kaget sendiri. Meski tongkatnya terlepas dari tangannya, namun tidak berhenti menyerang. Dia mampu menolak hantaman badai dan halilintarku. Sekarang aku seperti menghadapi dua orang lawan. Tongkat dan makhluk asral ini menyerangku berbarengan. Melihat hal ini, aku menyimpan pedangku, kuganti dengan selendang. Aku mulai menarikan selendangku menjadi gelombang mengikuti gerakannya. Cahaya ungu kulihat siap dilemparkannya padaku. Dengan sigap kutarik selendangku, lalu kubentang kembali selebar mungkin, kutarik lalu kulempar ujungnya ke atas. Saat bola ungu itu hendak menyentuh tubuhku, aku langsung menghadangnya dengan sapuan selandang. Bola itu terlempar jauh ke laut. Lalu jatuh. Air laut kembali membentuk gelombang tinggi. CtaarR!! Ujung selendangku menghantam lengan makhluk laut itu. Dia menjerit tertahan dan memegang lengannya. Dalam pikiranku lengannya pasti hancur. Ternyata tidak, Makhluk itu hanya memegang lengannya menahan sakit. Melihat kondisinya yang tidak berdaya aku langsung menghantamkan pukulan ke bumi. Beliau langsung kukunci hingga tak mampu bergerak. Selebihnya kusedot energinya hingga membuatnya tak berdaya. Aku mencari-cari siapa yang membantuku dengan zikir. Terasa jelas dan sangat dekat sekali. “Aku di gunung Bungkuk, Selasih. Sepak terjangmu terlihat dari sini. Lanjutkan. Itu hanya gangguan kecil jin iprit yang hendak membuat kehidupan manusia resah. Abaikan.” Suara Putri Bulan. Aku terkesima. Aku jadi rindu dengan kakek, nenek dan puyangku. Mereka persis seperti Putri Bulan, saat-saat tertentu mereka mengawasi dan membantuku dari jauh. Aku ucapkan terimakasih pada Putri Bulan yang telah membantuku dengan zikirnya. Aku kembali fokus pada makhluk asral dari laut. Makhluk asral itu meraung. Suaranya menggema menyusup hingga ke dasar laut. Dia tidak hanya marah, namun memanggil kawan-kawannya untuk minta pertolongan. Tak lama berdatanganlah makhluk-makhluk laut lainnya. Di antara yang datang aku melihat seorang lelaki tampan memakai pakaian adat berwajah bersih. Namun Karena alisnya menyatu dan lebat, tetap saja kelihatannya seram. “Lepaskan pamanku anak manusia. Kalau tidak, engkau kami boyong ke laut untuk kami jadikan budak!” Ujarnya mengancam. Sementara makhluk asral yang disebutnya paman tidak bisa bergerak. Masih kukunci. Beliau hanya mengerang tak berdaya. Apalagi setelah energinya kusedot hingga tubuhnya lemas.

Pelan-pelan aku lepaskan dia. “Siapa yang takut dengan ancamanmu, jin laut. Justru kalian akan kuobrak abrik jika mengacau ke permukaan. Rumah kalian di dasar laut. Jangan coba-coba mengganggu kehidupan manusia. Ini, ambillah pamanmu. Jangan coba-coba mengganggu kami lagi kalau kalian tidak ingin berurusan denganku. Akan kusedot energi kalian semua seperti pamanmu itu” Aku mendorong pamannya hingga jatuh dekat kakinya. Sang pemuda menatap tajam padaku. Aku tahu dia ragu-ragu antara ingin melawanku dan tidak. Aku pura-pura menggerakan tangan hendak menghantam mereka. “Hentikan! Baik kami akan pergi membawa paman kam.i” Ujarnya lenyap seketika. Yang lain pun ikut lenyap menyusup kembali ke dasar laut. Aku menarik nafas lega dan kembali masuk ke jasadku yang masih duduk di terpa ombak. Kawan-kawanku nampaknya sudah mau bergerak menuju post terakhir.

Akhirnya kami sepakat agar jangan datang serentak tapi diberi jarak. Tanpa disadari kami bertujuh kumpul bersama di pantai ini. “Dek, terimakasih ya dah nemani. Asli loh aku tadi bener-beber takut melihat pocong di hadapanku. Kalau tidak bersamamu, aku tidak akan sampai ke sini.” Ujarnya. Dia tidak tahu kalau yang nemani dia tadi adalah bayanganku yang orang lain tidak bisa melihatnya. Termasuk juga dia bingung perasaannya dia berjalan bersamaku, tetapi dia melihat aku sedang duduk di pantai diterpa ombak. Tapi hal ini nampaknya tidak terlalu dipedulikannya. Rasa takutnya telah mengalahkan segala hal di luar logika. Aku hanya tersenyum dan mengangguk kecil padanya. Semua tidak berani bercerita yang serem-serem sesuai pengalaman mereka. Kami bergegas siap-siap menuju post akhir dekat camp. Aku minta giliran terakhir dengan maksud agar mereka tidak ada yang mengganggu. Tapi sebagian besar malah memintaku untuk lebih dulu. Akhirnya aku mengalah. Akulah yang melapor lebih dulu. Baru beberapa menit diikuti oleh yang lainnya.

Kamipun nikmati sisa malam itu ngobrol sembari menikmati kantuk, duduk rapat dekat api unggun dengan baju masih basah kuyup. Tengah hari, baru kami diizinkan pulang setelah mengucapkan sumpah, mencuci wajah dengan air campur minyak dan arang. Kemudian mencium bendera merah putih. Sesi ini bagiku sesi yang paling mengharukan. Ada rasa cinta membara pada tanah air dan bumi. Jiwa rasanya sangat terpanggil untuk merawatnya.

Aku bersama seniorku berjalan menyisir pantai menuju pulang. Dari celoteh mereka yang kudengar banyak sekali pengalaman-pengalaman menurut mereka menyeramkan. Obak pantai Panjang terlihat kecil. Dari kejauhan kapal-kapal nelayan seperti kapas turun naik bersama gelombang. Pucuk-pucuk cemara, bergoyang-goyang, lentik seperti jemari peri yang bertengger di dahan-dahan. Di dalam benakku, aku ingin segera sampai ke rumah, aku hendak menulis. Menulis pengalaman pertama berkenalan dengan ratu buaya dan bertempur dengan makhluk laut. Selebihnya menulis puisi tentang alam semesta. Ah! Tidak. Aku ingin balas dendam terlebih dahulu. Tidur!

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *