HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT IV (61A)
Pulang sekolah, aku kehilangan semangat sama sekali. Pasalnya majalah dinding yang capek-capek kurancang bersama kawan-kawan kutemui dicoret-coret, bahkan dikoyak-koyak oleh seseorang. Nyaris semua yang terpajang habis dicoret dan dikoyak. Sebenarnya dengan mudah jika aku mau mengetahui siapa yang jahil itu. Tapi ada perasaan melarangku umutuk mengungkapkan masalah ini. Memang ada kekhawatiran dengan diriku sendiri. Kalau aku tahu orangnya nanti khawatir aku khilaf tidak bisa menahan emosi. Kalau sudah emosi aku takut bukan Dedek yang marah, tapi Selasih juga ikut ngamuk. Terus terang saja, daripada berhadapan dengan manusia, lebih baik aku berhadapan dengan makhluk asral. Menghadapi makhluk asral jelas apa yang harus aku lakukan. Kalau dengan manusia ternyata lebih ribet. Sebagian kawan-kawanku dah mencak-mencak.
Akhirnya kuingatkan supaya dibiarkan saja, Majalah dinding itu tidak usah diisi beberapa saat. Keesokan harinya, aku lihat majalah dinding bersih. Kosong sama sekali. Dalam hati kembali bertanya siapa yang nyoret-nyoret dan mengoyaknya, lalu siapa yang membersihkannya? Yang punya kunci majalah dinding ini hanya dua orang, saya dan ibu Zak. Sementara kunci majalah dinding tidak rusak sama sekali. Tapi tentu saja aku tidak mencurigai ibu Zak, aku tahu, meski tidak ada honornya sebagai pembina, beliau sangat semangat mendukung dan ikut menulis di salah satu kolom yang tersedia. Aku masih menahan sabar. Aku tidak berusaha mencari siapa yang iseng. Sementara temanku mencari-cari dan mencurigai orang-orang tertentu dan hendak menjebaknya ala-ala detektif kampungan. Hampir dua minggu majalah dinding tidak kami isi. Kalau selama ini terkunci rapat, sekarang aku biarkan terbuka. Beberapa teman bertanya mengapa majalah dinding sekolah tidak terbit lagi? Aku hanya menjawab sedang belum ada ide. Padahal aku sudah kehilangan energi untuk membenahinya lagi. Tidak mudah mendesain tiap kolom agar proporsional. Apalagi untuk bisa menerbitkan tiap minggu tidak sedikit dana pribadi yang luar. Sekolah mana tahu jika untuk setiap terbit kami butuh kertas, harus mengetik sendiri dengan mesin tik pinjaman. Di samping itu minim sekali tangan-tangan yang terampil, misalnya bisa melukis, paham desain, dan lain sebagainya. Ide-ide muncul hanya dari kawan-kawanku yang memiliki jiwa yang sama, senang menulis, senang punya aktivitas, senang berorganisasi. Dan menjadikan majalah dinding sebagai media berekspresi. Sekarang wadah itu hancur. Hal inilah membuat aku malas harus mulai dari nol lagi.
Usai latihan vokal grup, seperti biasa aku dan kawan-kawan satu grup akan ke luar bareng dengan pelatih vokal dan teaterku, Abang Muchtar. Di jalan beliau juga bertanya, mengapa majalah dinding kosong melompong beberapa minggu ini? Terus beliau bilang, tadi katanya beliau melihat selembar puisi ditempel. Kayaknya puisi itu ditujukan padaku. Saking penasaran aku berlari mutar ke belakang meninggalkan mereka yang sudah dekat pintu gerbang. Sekilas kubaca apa isinya? Apa benar ditujukan padaku? Sejenak keningku berkerut membaca ulang puisinya. Puisi itu bertanya tetang mengapa bermuram durja serupa bulan di tingkap awan hiram. Apa benar puisi itu ditujukan padaku? Diksinya indah menyentuh. Kuperhatikan siapa penulisnya? Bang Muchtar! Hmmm apa maksudnya? Usai membacanya aku kembali berlari menyusul Bang Muchtar dan kawan-kawanku.”Ada kan? Ditujukan padamu itu. wajib dibalas. Jawab pula dengan puisi.” Ujarnya agak pelan setengah berbisik. Aku diam lalu mengangkat bahu. Mengapa harus buat puisi segala kalau mau bertanya mengapa aku murung? Kan bisa tanya langsung. Ujarku dalam hati. Akhirnya kubuang perasaan macam-macam tentang Bang Muchtar. Beliau tetaplah guru seniku yang berhati lembut, sopan dan berbakat. Aku berusaha mengalihkan pada hal lain. Tidak berbicara tentang puisi yang di tempel untukku itu. Biarlah puisi itu berbicara sendiri.
Kami terus berjalan menuju simpang Kampung Bali. Seperti biasa aku menunggu angkot untuk pulang. Kawan yang lain sudah mengarah ke rumah masing-masing. Bang Muchtar masih menemaniku menunggu angkot. Sudah kusuruh pulang duluan beliau tidak mau. Akhirnya sementara menunggu angkot yang belum juga muncul, kami ngobrol masalah kostum untuk lomba, juga masalah teknik vokal beberapa kawan yang masih harus dipoles sambil duduk di pinggir jalan. Ngobrol dengan pelatih vokal dan teaterku yang berasal dari Aceh ini mengasyikan. Banyak sekali gagasan-gagasan beliau yang muncul. Menurutku gagasan-gagasan beliau sangat cemerlang. Beliau berkeinginan vocal grup kami ini menjadi grup yang solid, dan berniat untuk masuk ke dapur rekaman khusus membawakan lagu-lagu daerah. Terus saat ini katanya beliau sudah menciptakan sekitar sembilan lagu berbahasa Bengkulu. Lalu lagu-lagu inilah yang rencana beliau akan dijadikan ikon vocal grup kami.
Mendengar ide itu aku sangat antusias. Beberapa orang yang lalu-lalang sesekali melihat keseriusan diskusi kami. Ketika angkot tiba, aku mohon diri dengan bang Muchtar. Beliau pulang ke rumahnya di belakang Bajak, tidak jauh dari simpang tempatku menunggu angkot. Kami berpisah di simpang tiga itu. Sungguh tidak ada perasaan curiga sedikitpun ketika aku naik angkot menuju rumahku. Jika hidungku mencium aroma bangsa jin, itu sudah biasa. Sebab hampir setiap langkah aku melihat makhluk tak kasat mata itu. Jadi ketika aku mencium berbagai macam aroma, harum, anyir, apek, busuk, dan lain sebaginya, aku sudah sangat biasa. Seperti ketika naik angkot ini, bau tidak sedap sudah tercium. Namun karena sudah biasa, kadang aku menutup pancaindera penciumanku agar tidak muntah. Di angkot, selain sopir ada dua orang lelaki duduk di belakang. Sementara aku memilih duduk di dekat pintu dengan maksud agar mudah ke luar. Aku heran, beberapa kali melihat orang berdiri di pinggir jalan dalam posisi menunggu angkot, tapi angkot yang kutumpangi tidak berhenti menaikan penumpang seperti layaknya sebuah angkot. Kupandangi sopirnya. Apa mungkin beliau tidak melihat calon penumpang? Apa yang beliau perhatikan? “Kok ada penumpang dilewati saja, Bang?” Tanyaku. Beliau tidak menjawab tidak pula menoleh. Kutatap wajahnya lewat kaca spion. Mengapa tidak ada bayangannya? Aku heran. Kupandang lagi kaca spion di samping maupun di depan setir. Lagi-lagi aku tidak menemukan pantulan bayangan, baik bayangan sopir atau kondisi kendaraan seperti layaknya cermin. Aku langsung berpikir cepat. Ini janggal. Aku dijebak, atau diisengi. Ketika aku menyadari jika aku dijebak, tiba-tiba terlihatlah semua. Yang kunaiki bukan angkot. Tapi aku naik bendi, yang ditarik kuda berwarna hitam. Lalu lelaki di belakang adalah makhluk asral berbentuk macan hitam dan satu lagi setengah manusia karena kepalanya mirip kadal. Lalu yang duduk di depan semula kulihat supir yang sedang menyetir, teryata pemegang kelana kuda, wujudnya lelaki tua berambut seperti ijuk, berkuku panjang dan hitam, matanya seperti mata elang. Dalam hati aku mengomeli diri sendiri, karena tidak waspada dan terlalu yakin jika tidak ada yang hendak berbuat jahat di muka bumi ini. Karena sudah terlalu sering mencium hal-hal yang aneh, akhirnya aku sering abai. Kumarahi diri sendiri. Masih saja aku tertipu dan lengah. “Rasain! Hadapi olehmu Selasih. Kau terlalu percaya diri. Meremehkan pancainderamu. Sombong!” Aku mengutuk keteledoranku sendiri. Sejenak aku mencari akal, apa yang harus aku lakukan? Aku belum tahu maksud mereka. Apakah hanya iseng untuk menakuti, menyesatkan, atau mungkin menculik bangsa manusia, atau mereka punya tujuan lain seperti Ayu tempo hari, mencari manusia untuk ditumbalkan? Akhirnya aku mengambil keputusan untuk pura-pura tidak tahu. Terserah mereka mau membawaku ke mana. Di samping itu, bukan suatu hal yang aneh sebenarnya jika sepanjang jalan ini ada makhluk yang suka iseng.
Sebelumnya aku pernah mendengar cerita supir angkot pernah menaikan orang di dekat jembatan malam hari. Kebetulan di dalam mobil itu hanya satu penumpang yang baru naik. Perempuan berparas cantik bergaun warna merah marun mirip seperti orang kantoran yang pulang kemalaman. Kira-kira sekitar seratus meter dari jembatan, sang sopir bertanya pada perempuan itu turun di mana. Sebenarnya sebelum naik sang sopir sudah bertanya, tapi dia kira sang perempuan belum mendengar. Makanya diulangnya kembali. Karena tidak ada jawaban, sang sopir melihat di kaca spion, Sang perempuann tidak ada. Lalu ditolehnya, ternyata memang tidak ada. Akhirnya si sopir memarkirkan mobilnya ke tepi. Berhenti sebentar. Dia ingin memastikan apa memang penumpangnya hilang. Setelah berhenti memang mobilnya kosong. Sang sopir lemas. Kakinya gementar. Lama dia hanya bengong menahan rasa takut hingga akhirnya menguatkan diri agat bisa bawa mobil kembali pulang ke rumahnya.
Aku mulai memfokuskan diri untuk memberhentikan kuda hitam yang menarik kencang bendi. Kutarik tali pelana dengan cepat. Kuda meringkik kesakitan. Kaki depannya naik ke atas membuat aku dan dua makhluk di belakang terjerengkang. Aku segera melompat ke luar dari bendi. Sementara kuda dipancu agar terus berlari. Benar saja kuda melompat tidak bisa dikendalikan berlari kencang membawa bendi. Sementara tiga makhluk asral itu masih berada di dalamnya. Tak lama berselang lelaki yang seperti sopir tadi melompat persis dihadapanku. Ternyata dia tidak bisa berdiri tegak. Dia berputar-putar dengan mata nanar memandangku. “Kamu tidak bisa berdiri tegak? Mengapa berputar-putar mirip babi nyari cacing? Kamu mau menyeruduk aku? Tadi dah nipu aku dengan sihir, sekarang mau menyeruduk? Apa si maumu?” Tanyaku sambil berusaha menatap matanya. Aku mengira-ngira mahkluk darimana ini. Tak lama aku mendengar suaranya menggeram berat sekali. Rambutnya yang panjang menyapu-nyapu tanah. Demikian juga kuku hitamnya seperti menancap-nancap di tanah. “Siapa kau anak manusia. Kamu mau pamer kehebatan di bumi betuah ini?” Tanyanya. Aku jadi heran, mengapa aku dikatakan pamer kehebatan? Padahal mereka yang menipu pandanganku dengan sihir mereka. Aku katakan makhluk jahat seperti dia memang tidak punya otak sehat kecuali nafsu hendak mencelakakan bangsa manusia. Tidak bisa membedakan mana pamer mana bukan. “Seharusnya akulah yang bertanya, mengapa kalian menjebakku dengan sihir murahan? Kalian kira aku takut? Manusia tidak ada takutnya dengan bangsa kalian.” Ujarku dengan nada sedikit menekan. Mendengar aku berkata demikian makhluk itu semakin melotot. Seringainya mirip binatang buas yang sedang lapar. Tak lama, dua kawannya yang duduk di belakang tadi hadir pula di hadapanku. Sekarang ada tiga sosok, aku mencari-cari mana kuda siluman tadi?
“Aku benci melihat kamu. Banyak sekali bangsa kami yang kau tawan dan kau leburkan. Apa itu bukan pamer namanya?” Ujar yang berkepala kadal. Oh, pahamlah aku. Penciuman mereka memang sebagian tajam. Ada yang tingkat kemampuannya tinggi namun jahat, merasa kehadiranku adalah ancaman. Pantas saja mereka setengah menjebakku bersama-sama. Sebab kalau sendiri aku yakin mereka tidak punya nyalih. Melihat gelagat mereka yang kurang baik akhirnya aku berusaha focus menghadapi mereka. Meski dalam batin aku enggan untuk terlalu lama berurusan dengan mereka. Sebantar lagi waktunya magrib, maka biasanya akan muncul bangsa mereka ke luar dari sarangnya. Bisa jadi mereka adalah jin fasik yang tiba-tiba ikut menyerangku meski antar mereka tidak saling kenal. Aku dianggap mereka musuh. Kecuali yang tidak mau bergesekan mereka akan memilih menjauh. Benar saja, satu persatu suasana mulai ramai. Pintu gaib mulai terkuak. Sekarang giliran alam mereka yang beraktivitas. Aku hanya berdoa saja dalam hati semoga masih ada waktu ku untuk menunaikan magribku. “Aku malas sebenarnya berurusan dengan kalian. Kalian hanya mengganggu perjalanan orang saja. Bukankah alam kita berbeda. Uruslah dunia kalian jangan urus alamku…” Sambungku agak malas-malasan. “Jangan meremehkan kami, anak manusia. Kami pun ingin menjajalmu, ingin menutup mulutmu yang sombong itu.” Sambungnya lagi. Makhluk ini memang aneh sekali. Suka ngotot. Akhirnya aku terima tantangannya. Kusampaikan beberapa resiko yang harus mereka tanggung. “Baiklah, saya akan layani kalian. Ingat, terimalah segala resikonya!” Aku berteriak sembari mengarahkan tanganku kepada manusia kadal. Aku langsung menotoknya lalu mengambil energinya. “Sekarang, kawan kalian ini mau kuleburkan, kubunuh, atau kupenjarakan di jari-jariku? Tinggal pilih! Kalian juga akan mengalami nasib yang sama dengan dia.” Aku sengaja memberikan kejutan pada mereka. Sebagian yang baru muncul beberapa langkah mundur tidak mau bentrok denganku. Namun si mata elang yang sejak tadi berputar-putar mengelilingiku tatapannya semakin marah. Dia mulai menggeram dan melakukan serangan. Secepat kilat Si Kepala Kadal kuselesaikan. Kubiarkan dia jatuh tak bertenaga. Aku tetap dalam posisi berdiri dengan tangan kulipat di dada. Empat mahkluk menyerangku serentak. Mereka berusaha menggempurku bersamaaan dan berulang-ulang. Aku tidak melakukan gerakan untuk melawan tenaga dalam mereka. Kulakukan dengan membatin saja. Aku sudah bisa mengukur kemampuan mereka. Mereka preman-preman kampung yang hanya punya nyalih saat keroyokan, dan memiliki kemampuan cetek, namun mulutnya besar berkoar-koar. “Uuuuaggghhhh!!!” Si Mata Elang menjerit, mengerahkan seluruh kemampuannya. Dorongan tenaga dalamnya sengaja ditingkatkannya untuk menghantamku. Dari belakang dan dari samping kekuatan mereka sama. Mereka beramai-ramai menggunakan kekuatan untuk menumbangkan aku. Aku imbangi kekuatan mereka dengan zikir saja. Biarlah kali ini aku hanya ingin memberikan pelajaran pada mereka. Aku menghentakan kaki sekali ke bumi. Sekali hentakan mereka yang menyerang kembali tumbang. Lalu kutangkap mereka dan kugenggam. “Bagaimana? Masih mau menghadangku? Minta ampun atau kulebur serentak kalian?!” Ancamku. Keempatnya menjerit kesakitan dan minta ampun. Akhirnya aku berjanji melepaskan mereka, dengan syarat mereka tidak akan mengganggu sopir angkot atau menjelma menjadi angkutan kota menipu manusia. Jika masih melakukannya, maka akan kucari sampai dapat, dan taruhannya mati. Mendengar ancamanku mereka kembali terampun-ampun. Akhirnya mereka kulemparkan ke laut.
Setelah merasa aman, aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Aku merasa asing dengan daerah ini. Aku bingung berada dimana? Di Barat aku mendengar ombak. Makanya empat makhluk asral itu kulempar ke sana. Tidak terlalu jauh dengan pantai. Akhirnya aku berpedoman pada pantai saja. Kupanggil angin untuk membawaku pulang. Beberapa makhluk asral yang tadi hanya menonton, mengintip dari jauh mulai berani ke luar dengan perasaan takut-takut. Ketika aku mulai meninggalkan daerah itu, barulah mereka berani ke luar. Sampai di rumah aku langsung mandi dan menunaikan salat magrib. Dalam batin aku masih bertanya-tanya aku tadi di bawa ke mana oleh makhluk asral itu. Terlalu banyak pantai di kota Raffelesia ini. Dan setiap pantai ada namanya, dan semuanya indah. Aku berharap cukup kali ini saja aku diculik oleh makhluk aneh itu. Cukuplah ini jadi pelajaran bagiku. Aku kembali menyesali keteledoranku.
“Hmm…jujur itu lebih baik.” Selasih menimpali. “Kamunya juga ngapain? Masak makhluk dekil itu tidak tercium baunya si?” Ujarku protes. “Weww…jangan salahkan aku. Memang kamu suka meremehkan hal-hal yang berkaitan dengan bau membau,” ujarnya lagi. Aku tersenyum mendengar kata ‘bau membau’. Jadi ingat salah satu teman sekelasku, cewek. Nyaris tak satupun kawan-kawanku yang mau duduk dekat dengannya karena badannya bau kambing berok. Bau ketek! Kalau dia sudah masuk kelas, bisa dipastikan satu kelas beraroma ketek. Rasa mau muntah memang. Kawan-kawan tidak ada yang berani menegurnya. Paling menggerutu sambil menahan nafas. Bahkan ada yang sengaja membawa pengharum ruangan dari rumah. Suatu hari, dia ulang tahun. Lantas kuajak beberapa kawanku untuk memberikannya kado. Aku khusus membelikannya MBK, ada yang memberinya tissue basah, ada yang memberinya kado bedak, parfum, sapu tangan, deodorant, dan lain sebagainya. Pokoknya berkaitan dengan bau-bauan. Akulah yang bertugas memberikan kado mewakili teman-teman. Esoknya dia temui aku dan mengucapkan terimakasih. Dengan adanya kado-kado itu dia menjadi sadar mengapa orang banyak tidak mau dekat dengannya. Dan dia pakai semua apa yang diberikan kawan-kawan. Dia anggap kawannya semuanya baik dan semuanya menginginkan dia berubah. Sejak itu memang ada perubahan. Dia tidak malu bertanya apakah tubuhnya masih bau atau tidak. “Tapi bau-bauan kawanmu kan beda dengan bau-bauan makhluk asral itu Dedek?” Selasih protes. Aku langsung tertawa. Ya jelas berbeda. Satu bau ketek satu lagi entah bau apa sulit mendefenisikannya.
“Pluk!!” Aku kaget. Ada buah ghukam jatuh persis di hadapanku. Aku langsung menatap ke atas. Tidak ada siapa-siapa. Siapa yang iseng batinku. Kutajamkan penciumanku. Aroma nenek gunung! Aku langsung bersedekap mencari sosok yang melemparkan buah ghukam di kamarku. Di dalam rumah tidak ada siapa-siapa, aku ke luar, juga tidak ada. Lama aku mengira-ngira. Baunya sangat dekat. Kulemparkan pandanganku ke atas pohon. Yang ada hanya beberapa kuntilanak duduk santai, lalu pocong melompat-lompat di sisi parit, dan makhluk-makhluk lainnya di dekat mata air di bawah got. Aku masuk kamar kembali. Macan Kumbang!! Sudah kuduga, pasti makhluk satu ini iseng. Aku langsung menyambar tubuhnya yang enak saja langsung rebahan sambil tertawa. Kutumpahkan rinduku dengan memeluknya erat. “Apa kabarmu Selasih? Sibuk sekali dirimu ya sampai berapa purnama tidak berkunjung ke Besemah.” Sindirnya. Aku hanya tersenyum menatapnya. Kuakui, sejak aku tinggal di Bengkulu, aku memang belum pernah pulang secara fisik, dan tidak pula berkunjung secara batin. Aku jadi ingat tempohari Macan Kumbang batal menikah. Kutanya langsung padanya, apakah sudah ada gantinya? Macam Kumbang menggelang. Belum terpikir lagi katanya. Selajutnya kutanyakan bagaimana kabar nenek Kam, dan leluhurku lainnya. “Mereka baik-baik saja, dan mereka semua rindu padamu.” Ujar Macan Kumbang. Baru saja Macan Kumbang mengatakan baik-baik saja, tiba-tiba suara Puyang Pekik Nyaring berbisik ke telingaku. “Selasih, pulanglah sejenak, Pergilah ke sisi utara gunung Dempu. Arahkan enam pendaki yang disesatkan oleh makhluk iseng di sisi itu. Mereka sudah kedinginan dan kelaparan. Tidak ada yang tahu keberadaan mereka. Mereka digaibkan.” Ujar Puyang Pekik Nyaring. Aku kaget. Lalu buru-buru menjawabnya.“Iya Puyang, aku akan segera ke sana.” Ujarku sambil mengamit Macan Kumbang untuk ikut denganku. Macan Kumbang langsung mengangguk setuju. Aku segera bersedekap dan berbaring. Tak lama aku dan Macam Kumbang berangkat. Kali ini aku naik ke punggung Macan Kumbang.
Tak lama berselang aku dan Macan Kumbang melintas di dekat Gunung Bungkuk. Menuju bukit Barisan yang sejajar dengan gunung Dempo. Pesan Puyang Pekik Nyaring bagian utara Gunung Dempu. Artinya sisi gunung Dempu arah ke kecamatan Jarai atau Lintang. “Selasih! Tega benar kau hanya melintas saja.” Suara menegurku. Aku terkesiap. Oh! Purti Bulan. Akhirnya kuminta Macan Kumbang untuk berbalik ke belakang singgah sebentar ke sisi Gunung Bungkuk. Akhirnya Macan Kumbang berbalik. Kami berjumpa dengan Putri Bulan. Kali ini aku melihat Putri Bulan mengenakan baju kurung berwarna hijau muda. Rambutnya setengah tergerai. Tiga kali aku bertemu dengan beliau, tiga kali pula aku kagum dengan penampilannya. Perempuan satu ini tidak hanya cantik, namun juga jelita. Tidak pernah bosan menatapnya. Malah kali ini wajahnya semakin terlihat segar dan cerah. Kukenalkan Macan Kumbang padanya dan mengapa aku terkesan terburu-buru dan hanya melintas cepat di sini. “Aku ikut! Tunggu sebentar.” Ujarnya cepat. Aku terperangah tidak percaya. Putri Bulan hilang sekejab. Tinggallah aku dan Macan Kumbang masih berdiri di sisi tebing.
Sejenak kulepar padang. Jauh di arah barat, samudera hindia tampak biru dan berobak. Angin terasa dingin dan kencang berada di sini. Di lembah, beberapa hutan kecil seperti lukisan. Selebihnya hamparan sawit dan kebun kopi. Sungai-sungai berair keruh seperti belomba ke muara. Beberapa bangunan penduduk gunung bungkuk nampak berjajar hingg ke lembah. Tangga-tangga yang meliuk seperti liukan ular yang ditata sedemikain rupa. Perkampungan yang khas Bengkulu dengan berendo yang menghadap ke matahari hidup dan sebagian lagi menghadap ke Samudera Hindia. Di tengah-tengah puncak gunung, bangunan megah berdiri gagah. Cahaya keemasan memancar dari setiap sisi bangunan. Aku tidak berani untuk melihatnya lebih dekat. Di beberapa sudut dijaga ketat oleh penjaga yang menggunakan pakaian daerah ala-alah pendekar, bertanjak dan berkain melayu. Di tangan mereka menggenggam tombak berwarna kuning emas. Warna merah dan kuning sangat dominan menghiasi sisi bangunan megah itu. Apakah itu istana Datuk Ratu Agung? Aku masih membatin. Belum usai aku membatin kagum, Putri Bulan sudah datang dengan baju kurung berwarna gading, bercelana panjang sebatas bawah betis. Bertali pinggang, lengkap dengan bambu kecil mirip suling terselip di pingangnya. Rambutnya disanggul lalu diikatnya dengan tali rebahan dengan baju. Aku merasakan kekuatan yang dasyat diikat sanggulnya itu. Bisa jadi sejata andalannya.
Langit nampak lebih terang dari biasanya. Seperti tadi, aku berpegangan erat di punggung Macan Kumbang. Sementara Putri Bulan seperti angin ikut meluncur di sisi Macan Kumbang. Selintas kulihat di beberapa titik ada sawah yang terbentang dengan padi yang sudah menguning, sungai besar dan kecil yang keruh, kebun kopi, sawit, dan hutan-hutan kecil. Perkampungan-perkampungan nenek gunung menyupil di tebing-tebing. Beberapa atap pondok petani terlihat kecil di punggung-punggung beberapa bukit. Pertanda jika jajaran bukit barisan jauh hingga ke pedalaman telah di buka pula oleh manusia meajadi lahan pertanian.
Bersambung…