HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT V (70A)
Uh!! Dingin! Aku merapatkan mantel yang kupakai. Udara terasa menggigit. Dingin sekali. Aku segera duduk berkonsentrasi untuk mengusir rasa dingin. Halimun terasa lembab, mengembun di lantai dan pakaian yang kami pakai. Cahaya petromak semakin buram. Aku masih menunggu jemputan.
Benar saja, tepat tengah malam, dua nenek gunung mengucapkan salam dari panggkal tangga rumah panggung. Aku langsung menjawab salamnya dan bangkit. Kubiarkan jasadku tidur miring seakan nyenyak sekali. Kawan-kawanku juga sudah tidur semua. Rata-rata meringkuk seperti pistol melawan dingin. Aku turun tangga. Kulihat ada dua anak muda mendongak melihat aku turun dengan senyum. “Assalamualaikum, Dang. Kami disuruh Puyang Akas menjemput Dang Selasih di sini. Kenalkan namaku Dahar, dan ini Gofar. Apakah Dang Selasih sudah siap?” Ujar Dahar berwajah agak tirus. Aku menyalami keduanya sambil menyatakan siap berangkat. “Apakah puyang Akas, puyang yang bertemu padaku waktu salat asar tadi?” Tanyaku meyakinkan. Dahar dan Gofar mengangguk serentak. Akhirnya kami berjalan bersama meniti jalan datar dan lebar. Aku terperangah melihat perkampungan yang luas dengan tanah berundak-undak. Kami melintasi jembatan yang terbuat dari kayu yang kokoh. Sungai kecil dan deras membelah dusun. Airnya sangat bening. Di hulu aku melihat ada masjid berwarna kuning gading letaknya persis di tepi sungai. Di sisinya, tumbuh subur pohon pakis batang membuat masjid nampak sangat asri. Batu besar dan kecil berwarna hitam tertimpa air. Sementara airnya mengalir bening. Saking beningnya, pasir dan kerikil terlihat hingga ke dasar sungai. Bahkan ikan yang berenang nampak jelas, menggoyang-goyangkan siripnya. Beberapa anak kecil putri berjilbab, ada juga yang berkerudung dan yang lelaki berkopiah turun ke sungai. Mereka berwudu lalu lari ke masjid.
“Mereka belajar mengaji di masjid, Selasih,” ujar Dahar seakan menjawab pertanyaan dalam hatiku. Aku kagum sekali melihatnya. Desa yang indah. Halaman tiap rumah nampak hijau. Rumput tumbuh subur. Rumah-rumah yang berjajar semua dari kayu dengan ornamen seperti ukiran mata pena di sisi bubungan maupun di pagar beranda. Jendela rumah umumnya lebar-lebar. Atap rumah ada dari sirap, yaitu kayu yang disisipkan, ada juga seperti genteng. Di bawah rumah panggung aku melihat antan dan lesung. Hampir tiap rumah punya. Bahkan beberapa perempuan terlihat sedang menumbuk sesuatu. Entah menumbuk padi, atau tepung beras. Suaranya bertalu-talu. Melihat perempuan menumbuk padi, mengingatkan pada masa kecilku. Dulu aku kerap ditertawakan oleh teman-teman karena ketika aku menumbuk kopi mereka anggap aneh, sebab ketika menggenggam alu yang panjang itu tangan kiriku di atas, sementara tangan kananku di bawah. Aku mengangkat alu dari sisi kiri. Sementara mereka sebaliknya, memegang alu, tangan kanan mereka di atas lalu tangan kirinya di bawah. Mengangkat alu sebelah kanan baru menghentak-hentakkannya. Menurutku hal seperti itu biasa-biasa saja. Tapi denganku mereka anggap aneh, sebab dalam keseharian aku tidak kidal. Sama halnya ketika aku diajarkan mereka memakai kain sarung. Kawan-kawanku mengincupkan kain dari sebelah kiri ke kenan. Baru ujaungnya diselipkan di pinggang kanan. Sementara aku dari kanan ke kiri. Makanya mereka anggap aku memiliki keganjilan. Aku jadi senyum-senyum sendiri dalam hati. Sambil berjalan, aku menikmati irama alu yang masih terdengar mengisi ruang semesta bertalu-talu.
Menurutku dusun ini sangat unik. Aku melihat pohon kelapa tumbuh subur dan seperti sengaja dikebunkan tidak jauh dari pemukiman. Beberapa nenek gunung, dalam bentuk harimau betulan, tidur-tiduran di bawah beberapa rumah panggung. Ada yang kecil, ada juga yang besar. Mereka adalah peliharaan nenek gunung jadi-jadian, atau manusia harimau. Warna mereka pun bervariasi, ada yang berbelang hitam dan dominan putih, ada juga yang kuning, coklat tua dan hitam kumbang. Makhluk-makhluk rimba itu nampak jinak. Kandang menguap mengeluarkan suara berat dan mendesah. Secara kasat mata, orang akan melihat nenek gunung-nenek gunung itu tidur di dalam hutan. Padahal mereka berada di bawah rumah-rumah panggung penduduk. Kami berbelok ke kanan. Kulihat ada rumah yang menjorok di sisi tebing, ada juga rumah-rumah di lembah, ada juga di seberang sungai. Umumnya rumah di sini besar-besar meski bentuknya tidak sama, namun ornamen ukiran kayunya sama. Baru beberapa langkah aku mendengar ada suara seperti orang latihan bela diri. Aku bertanya dengan Gofar. Gofar mengiyakan. Kami berhenti sejenak di samping rumah panggung ada lapangan tidak terlalu luas. Aku melihat puluhan orang duduk rapi di sudut lapangan. Selanjutnya ada empat orang sedang memperagakan jurus-jurus bela diri. “Ini seni bela diri yang diiringi dengan mantra dan tenanga dalam. Namanya silek.” Ujar Dahar. Aku mengangguk-angguk memerhatikan setiap kuda dan langkah gerakannya. Beberapa gerakannya mirip kuntau seni bela diri dari Besemah, cara menyapu, menggunting, gerakan tangan dan kaki yang mengunci, sama. Yang membedakannya, gerakan Besemah agak gemulai, kadang mirip seperti tarian. Setiap langkah kuntau merupakan gerakan menipu lawan. Aku terpukau kala mereka memperagakan jurus harimau. Setiap gerakan kaki dan tangannya menuju bagian-bagian yang mematikan. Cengkraman jari-jarinya mengeluarkan suara gemeretak. Aku merasakan energi yang kuat dalam seriap gerakannya. Aku berdecak kagum melihat seni bela diri ini tetap diwariskan pada anak mudanya. Berbeda di alamku, seni kuntau Besemah nyaris tak terdengar lagi orang melatihnya. Ada kekhawatiran, jangan-jangan sudah punah.
Usai melihat latihan silek, kami bertiga melanjutkan jalan kembali. Baru dua puluh meteren, kami memasuki halaman rumah panggung lebih luas dari yang lainnya. Di atas beranda aku melihat puyang Akas sudah tersenyum menyambutku. Beberapa orang sepuh ada di Belakangnya. Termasuk nek Nang yang kutemui di rumah persinggahan bukit Sebakas. Aku segera menghampiri beliau dan mencium tangannya. Aroma harum bunga tiba-tiba menyeruak di antara mereka. Aku menatap seorang lelaki besar tinggi, bermata agak cekung, bersorban kotak-kotak, memakai baju seperti gamis pendek tapi dalamnya berkain sarung warna putih bergaris hitam dan abu-abu. Tangan kanannya menggenggam tasbih. Aku sujud padanya. Saat aku sujud tangan kiri beliau mengelus kepalaku. Aku seperti merasakan elusan tangan kakek Andun. Tapi beliau tidak mencium ubun-ubunku seperti kebiasaan kakek Andun sejak aku kecil. Aku agak kikuk ketika kakek yang memegang tasbih merangkul bahuku dengan wajah berseri. Aku merasakan energi beliau luar biasa. Kami menuju ruang tengah yang luas. Ternyata di sana sudah menunggu beberapa orang sepuh baik perempuan maupun laki-laki. Aku segera menuju mereka, menyalami mereka satu-satu, mereka menyambutku dengan senyum lebar. Aku seperti tamu agung karena menurutku mereka adalah para leluhur dusun ini yang sengaja hadir. Mereka dari golongan manusia harimau. Aku merasa sangat nyaman meski mereka baru kukenal. “Selamat datang di dusun dalam ini Putri Selasih. Kami sangat senang mendapatkan kunjunganmu. Bahkan rasanya bangga sekali karena cucu Puyang Pekik Nyaring sampai menginjakkan kaki ke mari,” ujar Puyang yang selalu memegang tasbih membuka pembicaraan. Beliau nampaknya yang paling dituakan di antara para sesepuh ini. Aku mengangguk sembari minta maaf karena datang ke wilayah ini tanpa pamit, dan tiba-tiba. Kuceritakan sebelumnya aku tidak tahu jika di sisi bukit Sebakas ini ada kehidupan saudara-saudaraku bangsa nenek gunung. “Terimakasih nek Nang, Puyang, sudah mengundangku ke mari. Maafkan kelancanganku. Maafkan ketidaktahuanku.” Ujarku menjawab Puyang bertasbih. Mata beliau masih menatapku dengan senyum dan disambut gumaman yang tidak jelas dari yang hadir. Nampaknya semua memaklumi ketidakpahamanku. Aku berharap apa yang kulakukan bukan kesalahan.
“Selasih, kenalkan, saya digelari anak cucu Puyang Jalak Itam. Mungkin karena kulit saya hitam. Sampai gigi pun hitam.” Ujar salah satu sepuh yang mengaku bergelar Puyang Jalak Hitam. Ternyata memang sangat tepat dengan ciri-ciri beliau. Ketika beliau tertawa gigi beliau memang hitam. Selanjutnya kulihat kedua telapak tangan beliau berwarna hitam. “Saya mau menghaturkan terimakasih, Selasih. Karena kamu telah menunjukkan jalan yang lurus pada kedua istriku.” Ujarnya. Aku kaget. Menunjukkan jalan yang lurus pada kedua istrinya? Perasaan aku tidak ada melakukan apa-apa? Siapa kedua istri beliau? Aku bertanya-tanya dalam hati. “Dua nenek yang menjadi pengawal peri, Ratu Ular yang kau bebaskan itu, adalah istri Puyang Jalak Hitam, Selasih.” Jelas nek Nang. Aku terperanjat. Sungguh sulit untuk kucerna dengan akal lahiria. “Assalamualaikum, Putri Selasih.” Dua perempuan cantik masuk dari ruang tengah langsung menyapaku. Aku langsung berdiri menyambut keduanya. Keduanya mengenakan kebaya kurung dan berkain sarung sama. Bajunya saja yang berbeda. Satu orang berwarna kuning muda, satu lagi berwarna hijau muda. Aku terperanjat melihat keduanya. Benar! Nenek-nenek pengawal Ratu Ular yang ikut bersyahadat siang tadi. Aku seperti masuk dalam wilayah mimpi. Begitu sederhana Allah membuat skenario hidup ini. Baru tadi siang aku membebaskan Ratu Ular dan dua nenek pengawalnya, sungguh aku tidak menyangka ternyata ada hubungannya dengan Puyang di dusun dalam ini. Akhirnya kuketahui jika dua nenek itu diculik ratu Ular jadi pengawalnya dan tidak bisa lepas dari sarangnya. Selalu di bawah pengawasannya. Puyang Jalak Hitam dan lain-lainnya bukan tidak mampu merebutnya kembali, namun karena salah satu istrinya ada hubungan kekerabatan dengan Ratu Ular, maka sangat riskan, efeknya bisa terjadi perang saudara di alam gaib ini. Aku memaklumi semuanya. Tak semuanya aku paham tentang tingkat dan golongan bangsa -bangsa gaib ini. Dalam pertemuan dengan bangsa nenek gunung di dusun dalam ini, lagi-lagi aku mendapatkan penjelasan kedekatan para leluhur sejak zaman dulu. Terutama bangsa nenek gunung.
Kerajaan kecil lereng merapi gunung Dempu, yaitu Pekik Nyaring masih memiliki kekerabatan dengan mereka. Dari puyang yang bertasbih kuketahui jika perkampungan gaib di bukit yang menghadap ke laut ini paling ramai dengan berbagai macam jenis dan golongannya. “Kau akan bersua dengan perkampungan-perkampungan yang belum kau temukan sebelumnya di sini Selasih. Di lembah, ada perkampungan bangsa gaib yang persis manusia. Seperti yang kau temui siang tadi. Itu perkampungan gaib yang cukup tua di wilayah ini. Kamu belum pergi ke hilirnya, akan kamu temui di bukit-bukit barisan yang kecil itu kerajaan-kerajaan kecil bangsa gaib, baik yang memiliki adat istiadat yang terpelihara, beragama, mempunyai mata pencarian persis bangsamu. Ada juga yang liar berbentuk macam-macam; mirip manusia, setengah hewan, berupa hewan benaran, dan lain-lain. Mereka menempati pohon-pohon, gua-gua, batu, dan air. Berbeda dengan bangsa kita.” Ujar Puyang bertasbih. Ketika aku bertanya apakah benar di puncak bukit ini dulunya adalah perkampungan manusia? Lalu kampung itu digaibkan karena sumpah Puyang Serunting yang bergelar si Pahit Lidah? Mendengar pertanyaanku nek Nang tertawa. “Bangsa manusia itu makhluk yang paling pandai merekah pikirannya sehingga segala sesuatu yang tidak terjadi seakan terjadi.” Ujar nek Nang. “Puyang Serunting itu, adalah salah satu Puyang bangsamu di Besemah. Beliau terkenal Puyang yang suka berkelana. Memiliki ilmu tinggi. Menyenangi ilmu kebatinan sehingga beliau sering muncul ke mana-mana untuk memperdalam sekaligus menjajal Ilmunya. Termasuk ke tanah Besisir ini. Sebagian orang menyebutnya si Pahit Lidah. Banyak sekali segala sesuatu hasil peradaban bangsa manusia dan jin, dihubung-hubungkan dengan si Pahit Lidah. Batu-batu yang ada tulisannya, gambar telapak tangan, telapak kaki, berbentuk seperti orang, dan lain sebagainya seringkali dihubungkan dengan si Pahit Lidah atau Puyang Serunting Sakti. Padahal batu-batu itu karya manusia, sebagian pembuatan dibantu oleh bangsa jin. Batu-batu itu ada yang sengaja dibuat untuk tempat sesembahan, tempat ritual pendekatan diri pada dewa-dewa, ada juga dibuat tempat persinggahan dan tapa, dan lain sebagainya.” Lanjut nek Nang. “Salah satu dalam sejarah peradaban manusia, kehidupan bangsa halus dan manusia itu sangat dekat. Saling mengisi. Nyaris tidak ada batas. Kehidupan zaman dulu menuntut manusia harus punya kemampuan minimal untuk bertahan hidup, untuk menjaga kelompoknya dari gangguan kelompok lain, untuk mengembangkan wilayah kekuasaan, untuk menjaga diri dari gangguan segala binatang buas dan lain sebagainya. Sebagian lagi, hukum rimba masih berlaku pada masa itu. Siapa yang kuat dia yang berkuasa. Itu menjadi salah satu alasan mengapa manusia zaman dulu banyak menuntut ilmu kesaktian.”
Aku mendengarkan penuturan nek Nang. Apa yang beliau sampaikan pernah pula kudengar dari kakek Haji Yasir. “Makanya zaman dulu banyak orang-orang sakti, bisa hidup di dua alam. Mereka umumnya adalah petapa. Tidak sedikit golongan manusia mempunyai pasukan jin beribu-ribu dan mejadi pengikutnya. Bahkan hingga kini kemampuan itu masih diwarisi oleh bangsa kalian, bangsa manusia.” Penjelasan nek Nang menambah pengetahuan bagiku. “Dulu, Sebakas merupakan dataran tinggi, bukit yang letaknya jauh masuk ke pedalaman belantara. Jauh dengan pesisir pantai dan tidak mudah untuk mencapai ke sana. Semula bukit itu tempat bangsa manusia menyepikan diri, bertapa. Karena kehidupan di sana lebih damai. Masuknya penjajah ke wilayah ini pun me jadi penyebab mengapa dusun Tinggi itu digaibkan. Salah satunya untuk menghindarkan beradu fisik dengan para penjajah, menghindari perang saudara akibat asutan penjajah, juga untuk mejaga adat dan tradisi, menjaga kelangsungan hidup anak cucu dari gangguan makhluk kasat mata. Semua dilakukan puyang kami, karena rasa sayang dan cintanya pada anak cucu. Lama kelamaan dusun itu jadilah sebuah kerajaan kecil yang disebut kerajaan Sebakas. Sebagian lagi menyebutnya dusun Tinggi karena letaknya di puncak bukit. Ada juga menyebutnya penarakan karena memang sebelumnya tempat leluhur bertapa. Nanti kau akan diajak ke sana, Selasih. Itu yang duduk di sana, berderet itu adalah Puyang-puyang sesepuh dari dusun Tinggi Sebakas. Maafkan jika sejak awal nek Nang tidak menyebutkan nama-nama kepuyangan. Dalam hatimu, tahu siapa mereka, cukup kau tanya dan tahu lewat batinmu saja. Termasuk nek Nang, adalah keluarga besar leluhur dusun Tinggi. Sebelumnya kami memang dari bangsa manusia. Hingga kini tetap utuh dan beranak-pihak. Seiring berkembangnya zaman, di dalam alam gaib pun kami melakukan interaksi pula dengan bangsa lain, hal itu turut mempengaruhi pola pikir kami. Meski kami hidup dalam satu kelompok yang sama, dari leluhur yang sama, namun kami memiliki keyakinan yang berbeda-beda. Ada yang masih bertahan dengan ritual hindu budha kuno, ada juga yang sudah memeluk Islam seperti yang kau lihat, ada juga yang tidak beragama sama sekali. Sebagian besar kami ada yang menikah dengan kaum yang kau sebut nenek gunung. Makanya hidup kami sangat berdekatan.” Lanjut nek Nang lagi.
Aku terkagum-kagum mendengar penjelasan beliau. Sungguh aku tidak menyangka berada dalam lingkungan yang seperti ini. “Kau tahu Selasih, daerah besisir ini sangat terkenal dengan ilmunya. Makanya salah satu daerah singgahan Puyang Serunting Sakti dalam pengelanaannya adalah Sebakas ini. Beliau pernah mengadu ilmu dan kekuatan dengan leluhur kami. Salah satu bentuk perjanjian pada masa lalu adalah semacam sumpah yang disepakati bersama. Salah satu sumpah itu, beliau diperkenankan masuk ke wilayah ini kapan saja beliau suka, termasuk menuntut ilmu di sini. Entah bagaimana, konon muncul satu perselisihan yang tidak bisa nek Nang jelaskan di sini antara Puyang Serunting dengan Puyang leluhur kami. Untuk menghindari pertumpahan darah, dan memutuskan permusuhan karena sayang dengan anakncucunya itu, akhirnya kerajaan kecil di Sebakas beliau gaibkan, atau dihilangkan dari pandagan kasat mata. Namun yang berkembang di alammu, Sebakas adalah dusun yang di sumpah Si Pahit Lidah atau Serunting Sakti. Padahal bukan seperti itu. Ketika Puyang Serunting datang kemari, beliau tidak melihat perkampungan Sebakas lagi. Lalu beliau berkata, kemana dusun Sebakas di bukit tinggi ini? Mengapa kelam? Kelam itu maksudnya hilang.” Lanjut nek Nang lagi. “Masya Allah, terimakasih Nek Nang sudah berkenan berbagi cerita padaku. Benar sekali nek Nang, orang zaman dulu memiliki kemampuan-kemampuan yang luar biasa. Aku bahagia sekali bertemu dengan Puyang semua. Maafkan jika kehadiran dan cara saya tidak berkenan Puyang” Aku menunduk selasa-dalamnya. “Selasih, kami tahu, Puyang Serunting adik ipar Puyang Leluhurmu. Istri Puyang Serunting, adik kandung Puyangmu. Suatu saat Puyangmu dari Besemah akan menjelaskan bagaimana hubungan Puyang Serunting dan juga Puyang di Sebakas ini. Ketika kamu hendak diperebutkan oleh bangsa jin dari Banyuwangi, Puyang ada di sana bersama sukmamu dan leluhurmu di masjid dalam perut Bukit Patah, ikut berzikir melawan pasukan jin kafir itu. Dari atas bukit Patah itu, sebenarnya kamu bisa melihat dataran, bukit Kedurang Bengkulu Selatan ini.” Aku terkesima. Ternyata perjalananku berputar-putar seperti pusaran air, akhirnya kembali ke muara juga. Aku selalu bertemu dengan orang-orang yang selalu ada kaitannya dengan leluhurku. Baik leluhurku sebagai manusia mau pun leluhurku dari bangsa nenek gunung dari Dempu.
“Ciciplah makanan khas dusun ini Selasih, lempuk, bajik, dan bai tat.” Salah satu puyang perempuan menyajikan beberapa pinggan makanan khas daerah yang sudah diiris sedang. Aroma khasnya menyeruak sedap sekali. Aku mencermati pinggan yang dijadikan wadah makanan yang disajikan. Pinggan keramik china, bergambar naga. Demikian juga cangkirnya, ada relief naga melingkar berwarna putih dan biru yang tidak terlalu terang. Demikian juga mangkuk kecil serupa gobokan untuk mencuci tangan. Aku mengangkat cangkir dan menyeruput kopi hitamnya. Hangat dan sedap sekali. Menyicipi lempuk sepotong kecil, lalu dipaksa pula harus menyicipi bai tat dan bajiknya. Sambil minum dan menyicipi kue yang dihidangkan, perbincangan terua berlangsung.
Beberapa Puyang bertanya perihal beberapa kasus saat ini nenek gunung menyerang bangsa manusia di tanah Besemah, perihal bukit barisan telah banyak kehilangan hutan murninya, perihal nenek gunung nyaris punah karena diburu bangsa manusia. Lalu kekhawatiran-kekhawatiran mereka yang mengatakan semakin maju peradaban ternyata semakin membuat bangsa manusia kembali ke jaman jahiliyah. Hanya iman saja yang mampu menyelamatkan manusia dunia dan akhirat. “Beberapa kali merapi Dempu hendak menyemburkan laharnya, gerah karena banyak sekali anak manusia melakukan maksiat. Tapi berkat doa dan zikir para sesepuh, Dempu tetap disabarkan. Gunung Dempu itu tempat suci para leluhur hingga saat ini. Tempat para sesepuh sepanjang Bukit Barisan ini berkumpul, Selasih.” Aku mengangguk mengiyakan. Bahkan syech dari negeri Arab, Habib, Kiayi, dari banga manusia pun ada yang pernah ke sana ketika acara pengajian akbar. Usai berbincang-bincang dan menyicipi makanan yang disajikan, akhirnya beberapa Puyang mengajakku untuk berjalan ke dusun Tinggi. Aku bangkit dan minta izin pada beberapa nenek puyang perempuan. Seorang g nenek perempuan yang lebih sepuh memberikan sirih yang sudah dilipat kecil. Aku disuruh beliau mengunyah sirih selama perjalan dan berkeliling ke Sebakas. Di tangan kiriku disuruh memegang mangkuk kecil yang terbuat dari kuningan untuk tempat aku membuang ludah. Aku mematuhi perintah itu. Sirih lengkap dengan daun gambir, kapur sirih, dan pinang kukunyah pelan-pelan. Lidahku tiba-tiba terasa tebal kena getah dan kapur sirih. Sesuai petunjuk, sirih kukunyah pelan-pelan.