HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT IV (63A)

Karya RD. Kedum

Malam ini langit cerah, tidak ada awan sedikitpun. Demikian juga angin, tidak seperti biasanya berhembus pelan sekali. Biasanya meski tidak berawan maka akan berkesiur juga sesekali. Alam benar-benar menghidangkan keheningan dengan cahaya yang lembut dan damai.

Sebenarnya malam ini beberapa kawanku mengajak jalan-jalan, sekedar mencari angin kata mereka. Ada lagi yang ngajak berkumpul ke rumah salah satu teman yang tidak jauh dari gang rumahku. Semuanya kutolak dengan alasan aku sedang banyak kerjaan. Padahal tidak ada. Sebenarnya aku kesepian. Bapak dan Ibu pulang ke Seberang Endikat pagi tadi. Adikku nginap di rumah kakak sampai tiga hari ke depan. Tinggallah aku sendiri seperti palang pintu penjaga rumah. Entahlah aku enggan saja. Ingin sendiri.

Bermula ketika istirahat sekolah, Elli kawanku sekelas memanggil katanya ada yang mencariku di luar pagar sekolah. Aku heran tidak seperti biasanya ada yang mencariku pas jam sekolah. Aku langsung menuju pintu gerbang sekolah dan mencari-cari siapa yang memanggilku. Jantungku serasa mau copot ketika aku melihat sosok tinggi, atletis, rambutnya pendek sedikit ikal, dengan senyum mengembang berjalan ke arahku. Lama aku tidak percaya dan menatap sosok yang nampak lebih dewasa itu. “Dedek! Ini kak Gun!” Ujarnya menunjuk dadanya ketika sudah dekat. Aku tidak bisa berkata-kata. Bagiku suatu hal yang mustahil di bumi Rafflesia ini bisa berjupa dengan Guntoro. Sungguh aku tidak pernah membayangkan bisa kembali bersua dengannya setelah kurang lebih empat tahun tidak bertemu. Masa SMP kembali terbayang. Rasanya baru kemarin Guntoro mengirim surat, lalu kami pulang sekolah bareng, menyisir jalan gunung Dempo yang berbatu. Rasanya juga baru kemarin di benakku berjejal sosok Guntoro saja. Hingga akhirnya aku menjadikannya Guntoro sebagai puisi cinta yang tak akan pernah mati namun meski tidak mengharapkannya. Aku sungguh menjadi manusia paling bodoh karena tak mampu berkata apa-apa. Ingin sekali bertanya mengapa dia tahu kalau aku ada di Bengkulu dan sekolah di sini.

Kami ngobrol di antara pagar sekolah sejenak. Aku salah tingkah tak mampu menghilangkan rasa grogiku. Selintas yang kutangkap darinya adalah bahwa ia tengah mempersiapkan diri untuk tes TNI. Ketika bell sekolah berbunyi aku minta izin masuk kelas. Aku tidak sempat bertanya apakah dia akan lama atau tidak tinggal di Bengkulu? Selama di Bengkulu tinggal di mana? Atau mengajaknya singgah ke rumahku, atau apalah basa-basi membuka obrolan supaya tidak terlihat kaku. Semuanya hilang. Aku tak mampu berpikir tentang banyak hal kecuali kaget dan tidak percaya bisa melihat sosok Guntoro lagi. Akibatnya jadilah aku sekarang seperti orang senewen. Rasa rindu menderu di dadaku justru membuatku ingin bisa kembali bertemu. Di benakku penuh harap besok Guntoro kembali menemuiku lalu aku akan bertanya apakah ada waktu untuk jalan-jalan bersama. Aku harus nekat dan berani! Batinku. Alhasil malam ini aku nyaris tidak bisa memejamkan mata. Wajah Guntoro seperti bayangan selalu di pelupuk mata. Suara lembutnya, senyumnya, ketika dia berjalan, gerakan bahunya, semuanya. Kupegang dadaku. Ternyata degupnya tidak jauh berbeda seperti ketika pertama kali membaca surat cinta darinya. “Aaaah!!” Aku menutup wajahku dengan bantal. You Fill Up My Senses yang dinyanyikan John Denver meski mengalun pelan namun terasa menghentak-hentak batinku. Perasaan seperti inilah yang paling menyiksa. Makanya aku sangat takut jatuh cinta. Sebab ketika cinta itu kembali menyentuh, bisa dipastikan batinku akan terasa tersiksa. Di benakku hanya akan berisi perasaan yang aneh dan aku tak mampu mengendalikannya. Aku benci itu.

“Ehemm!!!” Aku kaget mendengar suara berdehem tiba-tiba. Bantal masih kututupkan ke kepala. Kuangkat sedikit demi sedikit. Aku coba mengintip. Tidak ada orang. Sekali lagi kudengar berdehem. Sambil kembali merapatkan bantal ke kepala, aku mencoba mencari siapa yang berdehem-dehem mengagetkanku. Hmmm… ternyata di luar ada sosok siluman ular berwarna putih sejak tadi memperhatikan aku. Aku tidak tahu dari mana asalnya, dan apa maksudnya mengawasiku. Akhirnya aku kembali fokus pada diriku sendiri. Meski batin terasa tersiksa, namun masih saja mencuat perasaan rindu dan ingin bertemu. Berbagai skenario adegan pertemuan dengan Guntoro berjejal di benakku. Sesaat ingin melupakannya, kuusir perasaan itu jauh-jauh. Tapi akhirnya kembali. Begitu seterusnya. Hidupku seperti tidak punya pendirian. Semuanya jadi aneh. Ingin rasanya berteriak sekencang-kencangnya. Sebab dada kerap kali terasa sesak. Akhirnya aku hanya bisa mendekapkan tangan sambil manarik nafas panjang. Tersiksa!

“Selasih…kamu mengapa? Ayo kemari. Ke tempat Eyang.” Suara Eyang Kuda halus sekali. Aku mencoba menjawab Eyang Kuda. Ternyata beliau tengah mendengarkan tausia di masjid Jamik, sedang ada kajian agama. Aku menolaknya. Sebab perasaan seperti ini membuat otakku sedikit tidak waras. Aku khawatir tidak sepenuhnya bisa mengikuti kajian agama, sebab separuh jiwaku tengah bergelut dengan perasaan rindu dan cinta. Aku khawatir tidak bisa mengendalikan perasaanku. Akhirnya Eyang Kuda memaklumi dan tersenyum. Lalu berpesan nikmati saja perasaan itu, anggap saja anugerah terindah. Sebab tidak semua insan bisa merasakannya. Buktinya dirinya, hingga saat ini katanya belum pernah merasakan jatuh cinta. Bahkan tidak tahu jatuh cinta itu seperti apa. Mendengar itu aku tertawa. Eyang Kuda bisa saja bercanda. Akhirnya aku mencoba mencari buku kumpulan puisiku. Kubuka lembar demi lembar. Lalu kubaca dengan bersuara. Lama-lama mengapa aku membacanya seperti membaca mantra. Akhirnya kuhentikan. Baru kali ini aku membaca puisiku yang isinya tentang perasaan rindu, sedih, dan cinta kok tiba-tiba seperti membaca mantra. Ada apa ini?

“Akulah yang telah menyimpangkannya menjadi mantra. Sebab aku ingin kamu membaca mantraku.” Suara ular siluman putih masih dari jarak jauh. Aku mengerutkan kening. Mengapa siluman ular putih itu ikut-ikutan mengatur aku. Menyimpangkan puisiku lalu membaca mantranya? Apa maksudnya? Aku masih tidak peduli. Entahlah ada rasa keenggananku untuk mengenal makhluk satu ini. Biasanya aku akan selalu peduli. Tapi kali ini tidak. Apakah ada hubungannya dengan perasaan anehku efeks bersua dengan Guntoro siang tadi. Entahlah aku tidak tahu. Aku merasakan malam sudah semakin larut. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Suasana di luar sudah mulai sepi. Hanya Siluman ular putih itu saja masih nangkring di luar, berkali-kali berusaha hendak berinteraksi denganku, tapi selalu kutolak. Sejak awal, dia berusaha hendak masuk, ingin mendekati aku. Tapi tidak bisa. Aku memang telah memagari lingkungan rumahku agar tidak semua makhluk bisa masuk. Kecuali leluhurku dan orang-orang tertentu saja yang bisa menembus pagarku. Karena tidak bisa masuk itulah siluman ular putih berusaha berinteraksi dengan berdehem-dehem.

Di tengah perasaanku yang tidak karuan, muncul keinginan untuk bersua dengan Putri Bulan malam ini. Biarlah aku yang akan datang ke gunung Bungkuk menemuinya. Aku ingin menyisir jalan yang biasa dilalui oleh manusia. Aku ingin tahu dimana letak pintu gerbangnya dan dari sudut mana agar aku bisa melihat istana seperti emas dari jarak dekat. Mudah-mudahan perasan aneh karena Guntoro dapat kulenyapkan. Akhirnya aku mulai konsentrasi. Tapi baru saja aku hendak melakukan konsentrasi, kembali siluman ular putih berdehem-dehem. Akhirnya aku bertekad mengurus makhluk satu ini dulu. Kudekati dia dengan menatapnya tajam. “Ada apa dari tadi berdehem-dehem? Bahkan berusaha masuk ke rumahku. Kamu mau apa?” Tanyaku dengan nada tidak memberikan kesempatan padanya untuk beramah-ramah. Sebab aku melihatnya terkesan berlebihan. Ternyata makhluk asral ada juga yang over acting. Minta perhatian berlebihan. “Aku Cuma mau kenalan saja, habis aku melihat dirimu seperti banyak betul masalah.” Katanya. Lalu aku tanya apa urusannya? Kenal juga tidak? Mengapa peduli? Makhluk asral itu tersenyum kecut tapi matanya terus menggoda. “Katanya kamu hebat, tapi masak kamu tidak tahu kalau selama ini aku sering memperhatikan dan mengikutimu. Aku suka kamu, gadis manis” Tiba-tiba dia mengubah dirinya seperti Guntoro. Kurang ajar! Rupanya makhluk ini mengkonstruksi pikiranku. Dia pikir aku akan goyah ketika dia mengubah dirinya menjadi Guntoro. “Kamu jangan coba-coba menggodaku. Kita berbeda alam. Kamu siluman, aku manusia. Jangan coba-coba menjebakku apalagi mencoba-coba menyerupai orang yang aku kenal. Aku akan buat perhitungan denganmu!” Ujarku tidak senang disambutnya dengan tawa lalu lenyap dari pandanganku. Ingin rasanya aku mengejar lalu menghajarnya. Tapi suara kakek Njajau megingatkanku. “Jangan mau dibodohi makhluk iseng seperti itu, Selasih. Banyak hal lebih penting dibandingkan mengurus makhluk yang tidak jelas. Hati-hati dengan berbagai jebakan.” Ujar kakek. Akhirnya aku memahami dan berterimakasih pada kakek Njajau.

Bulan berada persis di atas kepala. Bintang juga kerlap-kerlip memamerkan kecemerlangannya. Aku menarik nafas lega mencoba menghempaskan segala uneg dan risau dalam dada. Aku sudah bertekad akan ke gunung Bungkuk, menemui Putri Bulan. Aku kembali masuk ke dalam kamar, bersedekap lalu fokus menuju gunung Bungkuk. Jika sebelumnya aku langsung berada di sisi puncak gunung Bungkuk, kali ini aku ingin mulai dari lembah. Aku ingin menyisir hutan-hutan kecil yang kulihat dari puncak. Menyisir jalan yang biasa dilalui oleh para pendaki. Dalam waktu sekejap aku sudah berada di lembah gunung Bungkuk. Aku terkagum-kagum melihat gunung dari lembah. Gunung berupa gundukan batu cadas jika dilihat dari posisi tertentu mirip seperti orang bungkok ini, ternyata terlihat dari lembah sangat berwibawa. Batu cadas berwarna hitam lalu ditumbuhi pohon membentuk hutan kecil hingga ke puncak selain terlihat gagah juga terkesan mengandung misteri. Wajar saja jika Datuk Ratu Agung menjadikan gunung Bungkok sebagai pusat kekuasaan. Selain tempatnya strategis, ketinggian gunung Bungkok membuat pandangan dengan mudah dilempar ke segala penjuru. Aku mulai berjalan memasuki pemukiman manusia. Beberapa Rumah panggung nampak lengang. Karena manusianya tengah terlelap semua. Beberapa makhluk asral kulihat melintas seperti bergegas. Aku berjalan santai sambil melihat kiri kanan. Rata-rata rumah yang ada terlihat gelap tanpa penerangan. Beberapa sudut kulihat kerumunan makhluk asral. Makhluk-makhluk tersebut ada yang berbentuk harimau, macan, ular, monyet, pocong, kuntilanak, genderowo, raksasa, naga, bahkan ada yang seperti orang tua. Rata-rata mareka adalah siluman yang bisa menirurupa. Belum kutemukan nenek gunung berupa hewan arau nenek gunung berupa manusia harimau sepanjang jalan. Penciumanku kutajamkan. Aku hanya mencium bau makhluk jin.

“Assalamualaikum Warahmatullahi wabarakutu. Selamat datang di pintu gerbang gunung Bungkuk, cucu Adam. Mau kemana? Darimana?” Sepasang nenek gunung menyapaku ramah. Aku menjawab salam dan segera sujud mencium tangan mereka. Mereka sepasang nenek gunung, manusia harimau yang sudah sepuh. Melihat sosok mereka nampaknya mereka bukan makhluk biasa-biasa saja. Buktinya ketika mereka menemuiku nyaris tidak terdengar langkah mereka. Ilmu meringankan tubuh mereka sangat sempurna. “Kenalkan nama saya Putri Selasih, nenek dan Datuk. Saya berasal dari tanah Besemah. Saya hanya jalan-jalan ingin menikmati keindahan gunung Bungkuk dan ingin menemui Putri Bulan. Sengaja saya memilih jalan yang dilalui oleh bangsa manusia, karena saya ingin tahu bagaimana medannya untuk sampai ke puncak. Selama ini saya hanya tahu di atas puncak gunung pemandangannya indah. Itu pun aku berdiri baru di sudutnya saja.” Ujarku sembari tetap menunduk. Sepasang nenek gunung itu tersenyum ramah. Keduanya terlihat sangat wibawa dan tegas. Sesuai dengan tugasnya. Tidak sedikit makhluk yang hendak naik puncak dihadang beliau dan dilarang masuk wilayah gunung. Entah apa alasannya aku juga tidak tahu. Tapi aroma yang kucium, mereka adalah petapa-betapa yang hendak bertapa di area gunung Bungkuk. Ternyata tidak semua makhluk diizinkan bertapa di sini. Buktinya yang berkumpul di lembah ini adalah makhluk-makhluk asral yang rata-rata berilmu tinggi dan ingin memperdalam ilmunya untuk berbagai keperluan. Ada untuk pengobatan, kekebalan, kekuatan, juga kejahatan, dan lain-lain. Setelah berbincang-bintang sejenak, sepasang nenek gunung itu mengizinkan aku melanjutkan perjalanan. Beliau memberikan petunjuk agar aku melalui jalan yang beliau arahkan. Selanjutnya beliau berdoa semoga di tengah perjalanan bertemu dengan seorang resi, yaitu petapa tua yang kerap muncul tiba-tiba dan hilang tiba-tiba. Menurut nenek gunung itu, beliau kerap menemui makhluk-makhluk tertentu yang beliau inginkan. Terutama dari bangsa manusia. Mendengar penjelasan beliau aku menjadi tertarik. Muncul keinginan untuk bisa bersua dengan resi yang dimaksud. Beliau pasti luar biasa yang tingkat kemampuannya melebihi makhluk asral pada umumnya.

Akhirnya aku kembali melanjutkan perjalanan masih dengan berjalan pelan. Kali ini aku menyisir jalan berbatu. Tanah liat berwarna kuning membuat batu besar dan kerikil yang menutupi punggung jalan pun berwarna kuning. Jika dicermati, di area ini nampaknya mengandung minyak dan batu bara. Air yang tergenang terlihat berkilau-kilau seperti karat. Meski hawanya sejuk, bahkan terasa dingin yang menggigit tapi bisa dipastikan bila siang hari area ini terasa panas. Kiri kanan aku masih melihat semak belukar. Karena pohon-pohon besarnya sudah habis di tebang. Jalan yang kulalui mulai mendaki. Makin lama makin terjal. Kiri kanan kulihat pohon lenggiang dan ilalang tumbuh subur. Beberapa tempat, pohon pakis dan resam seperti jumbun dan tinggi. Beberapa kali satwa reptil kulihat melintas. Ada ular, biawak, kadal, dan lain-lain. Aku juga melihat beberapa ekor ular raksasa yang usianya sudah sangat tua, mungkin juga termasuk hewan purba mengedip-ngedipkan mata seperti tak mampu lagi bergerak. Tubuhnya sangat besar dan panjang. Sebagian besar bagian badannya tertutup daun kering dan kayu yang sudah lapuk. Sejenak aku berhenti. Aku menatap matanya, berusaha berinterakasi padanya. Oh! Usianya sudah ratusan tahun. Sudah sangat sepuh. Dia bertahan hidup memakan mangsa jika lewat di hadapannya saja. Selebihnya dia banyak puasa. Bertapa dalam keadaan tidur. Membenamkan diri di bawah daun dan kayu buruk adalah salah satu bentuk penyamarannnya untuk bertahan hidup. Ada puluhan makhluk besar seperti dirinya tinggal di area hutan dan rawa Bengkulu ini katanya. Aku hanya terkagum-kagum melihatnya. Akhirnya aku mohon diri melanjutkan perjalanan. Perasaanku belum separuh aku mendaki. Di hadapanku terjal gunung seperti di depan hidung. Sejenak aku berdiri membelakangi gunung. Kuhadapkan wajahku ke lembah. Aku seperti melihat kulit penuh kurap. Bercak-becak di sana-sini. Iya, sebagian besar kulit bumi hutannya telah hilang. Bukan saja karena pemukiman manusia yang makin lebar, tapi hutan-hutan kecil yang dulunya rimba telah berubah menjadi kebun sawit muda. Aku menatap telapak tanganku. Andai telapak tanganku ini mampu mengubah kebun sawit yang terhampar sampai ke perbatasan itu menjadi hutan, akan kuubah sejauh mata memandang menjadi rimba.

Aku memandang di arah utara, pun sama. Sebagian kecil ke selatan, juga sama. Ke timur baru mataku terasa agak nyaman, kebun kopi dan sawah masih luas terhampar, tidak didominasi oleh kebun sawit yang mengesalkan. Bagiku sawit adalah tumbuhan serakah karena telah membuat sebagian besar rawa dan sungai di sini kering. Tanah menjadi tandus, kehilangan humusnya. Aku kembali mendaki. Ternyata medan untuk sampai ke puncak gunung Bungkuk tidaklah mudah. Tebing curam dengan kemiringan sembilan puluh lima derajat ini pasti sangat menyulitkan bagi pendaki yang tidak berpengalaman. Belum lagi angin yang berhembus dari lembah kadang seperti suling berdenging ketika menerpa telinga. Aku bisa merasakan sensasinya. Bisa kubayangkan, seorang pendaki butuh waktu seharian penuh untuk bisa mencapai puncak gunung. “Mau kemana hei anak manusia. Berani sekali dirimu berjalan malam-malam ke mari sendiri. Apa yang kamu cari?” Seorang lelaki tua menegur tanpa memperlihatkan wajahnya padaku. Aku hanya melihat punggung seseorang yang bungkok dengan pakaian sedikit lusuh. Rambut panjang berwarna hitam pekat dan tongkat berbongkol seperti bambu. “Maaf, aku harus panggil apa? Kakek, Datuk, Eyang, atau puyang? Aku mau ke puncak, bertemu dengan Putri Bulan. Mohon maaf jika kehadiranku mengganggu,” ujarku mengira-ngira usia lelaki yang memunggungiku. Tak lama dia terkeh-kekeh sambil memutar tubuhnya. “Apakah wajahku tidak terlihat seperti wajah perempuan sehingga kamu memanggilku Eyang, Datuk, apa kakek?” Ujarnya tertawa memperlihatkan beberapa giginya yang hitam. Aku berusaha menyembunyikan rasa kagetku. Dan buru-buru minta maaf padanya. Sebagian rambutnya menutupi wajah. Dan nyaris aku tidak percaya jika beliau adalah perempuan. Angin kembali berhembus agak kencang menyibak rambut si nenek sehingga aku dapat leluasa menatap wajahnya. Benar! Beliau seorang perempuan. Meski kulit wajahnya telah berkerut namun mata yang bersembunyi di balik kelopak yang keriput itu nampak seperti mata bayi. Bening dan tajam. Melihat rambutnya yang terurai, ingin sekali aku mengikat atau menyanggulkannya agar si nenek tidak terlihat menyeramkan. Aku berusaha menahan diri untuk biasa-biasa saja. Aku ingin tahu, siapa nenek ini sebenarnya.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *