Catatan Serangan 11 September di Mata Seorang Indonesia Imam Shamsi Ali (1)
Saat itu di hari Selasa, 11 September, waktu pagi hari baru sekitar pukul 8:15 am. Tiba-tiba saja ketika penumpang R train itu keluar dari lobang kereta bawah tanah terjadi teriakan, diiringi suara sirena di mana-mana.
New York, 10 September 2020. Di pagi itu, seperti biasanya, saya meninggalkan rumah menuju Kantor PTRI (Perwakilan Tetap RI) untuk PBB New York. Walaupun undangan saya untuk hadir ke kota New York menjadi Imam, saya sekaligus bekerja sebagai staf lokal di kantor tersebut. Perjuangan memerlukan dukungan. Dan PTRI sejak awal adalah dukungan dalam perjuangan dakwah saya di Amerika.
Hari di pagi itu memang nampak cerah dan ceria. Udara bulan September adalah udara transisi dari musim panas ke musim gugur. Tidak panas menggigit. Tidak juga dingin yang menggigilkan. Langit juga seolah tersenyum dengan warna biru yang menawan.
Seperti biasa saya menaiki kereta bawah tanah (Subway) R dari Astoria menuju Menhattan. Rumah saya memang terletak di Astoria, salah satu bagian dari kota New York yang penghuninya sangat ragam. Di daerah inilah masjid Al-Hikmah, masjid milik warga Muslim Indonesia terletak.
Memang sejak awal kedatangan saya di kota dunia ini saya tidak pernah jauh dari masjid Al-Hikmah. Bahkan Sebelum keluarga saya tiba di kota New York, saya sempat tinggal beberapa waktu di sebuah ruangan di gedung masjid itu.
Tanpa terasa kereta R tiba di Manhattan, pusat kota New York yang dikenal sebagai “City never sleep” (kota yang tak pernah tidur/sepi). Kota yang kerap juga disebut sebagai “belantara beton”. Kota yang memang dikenal sebagai ibukotanya dunia.
Saat itu di hari Selasa, 11 September, waktu pagi hari baru sekitar pukul 8:15 am. Tiba-tiba saja ketika penumpang R train itu keluar dari lobang kereta bawah tanah terjadi teriakan, diiringi suara sirena di mana-mana.
Setiba di luar jalan saya melihat ke arah Downtown (bagian bawah kota), nampak asap mengepul di langit. Suara klakson mobil di mana-mana membuat kota New York yang bising itu semakin bising.
Di mana-mana orang pada bertanya: “what happens?” (Apal yang terjadi?). Jawaban yang saya dengar di mana-mana adalah sedang terjadi kebakaran di gedung WTC (World Trade Center).
Saya menghentikan langkah sejenak ketika melihat kerumunan orang di depan sebuah screen TV besar Bank of America di 41st Street. Di saat melihat TV itulah gedung II WTC tiba-tiba ditabrak oleh sebuah pesawat.
“Oh my God, oh my God” kata yang keluar dari mulut orang-orang itu.
“New York is under attack”, kata sebagian yang lain.
“Terrorists attack New York City” terdengar suara yang lain.
Sayapun melanjutkan jalan kaki ke kantor PTRI yang terletak di 38th Street & 1st AV Manhattan. Setiba di kantor ternyata semua staf harus meninggalkan gedung dan pulang ke rumah masing-masing.
Saya pun berjalan dari 38th Street ke 59th Street & 2nd Avenue. Semua transportasi publik tertutup. Tak ada bus, tak ada kereta, bahkan teksi-teksi juga pada mengamankan diri masing-masing.
Berjalan dengan pakaian formal kantor memang merepotkan. Dengan jas dan dasi juga menggerahkan. Sambil berjalan itulah saya beberapa kali angkat tangan mencoba menyetop teksi/mobil sewaan.
Tiba-tiba berhentilah sebuah mobil hitam (Town car) yang disopiri oleh seorang Hispanic (mungkin Mexico). Saya pun dipersilahkan untuk masuk, sekedar dibantu diantar ke Astoria. Kebetulan saja dia juga menuju daerah yang sama.
Tiba-tiba saja sang sopir itu menyalakan radio mobilnya, dan dari NPR News menyebutkan bahwa serangan terror ke WTC pelakunya adalah orang-orang yang beragama Islam. Langsung sesak nafas saya, kepala serasa diperas. Mata melihat ke depan seolah hampa semuanya.
“F…ck those Moslems”…demikian kata-kata cacian dan kutukan itu keluar dari mulut sang sopir mobil yang saya tumpangi.
Mungkin saja dia tidak tahu kalau saya adalah Muslim. Maklum kalau saya tidak memakai songkok atau baju Arab, orang mengira kalau saya ini orang Mexico yang pesek…hehe.
Saya hanya terdiam sambil mengurut dada. Sakit hati mendengarkan cacian, kutukan dengan kata-kata kotor terhadap agama ini. Tapi sadar juga bahwa orang itu tidak tahu apa itu Islam. Dan saya yakin dia baik karena mau mengantar saya hingga ke depan rumah.
I don’t believe it!
Saya kebetulan bertetangga dengan sepasang suami, senior citizen (lansia), warga negara Amerika keturunan Irlandia. Keduanya sangat ramah dan bersahabat. Bahkan tidak jarang datang mengetuk pintu untuk sekedar menanyakan keadaan kita.
Begitu saya turun dari mobil tadi, tetangga itu mendatangi saya menangis dan mengatakan: “I don’t believe this. I don’t believe it”. (Saya tidak percaya ini. Saya tidak mempercayainya”.
Saya berpura-pura tidak faham apa yang dia maksud. Tapi dia menyambung lagi, dengan bertanya kepada saya: “but you are a Muslim right?” (Kamu Muslim kan?).
Saya hanya mengangguk. Lalu dia menyambung: “If the Muslims are like you, I don’t think they will do this”. (Kalau Muslim itu seperti kamu, tidak mungkin mereka akan lakukan ini).
Saya memeluk tetangga saya yang Sudah berumur 78 tahun itu. Lalu saya katakan: “You know, in all communities there are good, but also there are bad people” (pada semua Komunitas itu ada yang baik dan ada pula yang buruk).
Saya kemudian menenankan agar sama-sama menunggu semua fakta tentang apa yang terjadi dan siapa pelakunya.
US Religious leaders response.
Malam harinya saya dapat telpon dari seorang teman yang bekerja di Interfaith Center of New York. Teman saya ini bernama Timur Yuskaev, seorang Muslim keturunan Rusia.
“Imam, the City wants you to take part at the press conference organized by religious leaders of NYC tomorrow morning”..kata Timur.
“Why me?” (Kenapa saya?), tanya saya.
“The City chose you” (kantor Walikota memilih kamu), jawabnya.
Keesokan harinya saya bangun pagi lebih awal dari biasa. Bukan untuk untuk tahajud. Masih dalam suasana panik. Tapi menyalakan TV, ingin tahu perkembangan selanjutnya. Kota New York memang sedang berkabung.
Sekitar pukul 8 saya bergegas menuju kota, diantar seorang teman. Tapi diturunkan hanya diujung Queens Borough Bridge (jembatan yang menghubungkan antara Manhattan dan Queens).
Saya pun harus berjalan kaki sekitar 15 blok menuju tempat acara konferensi pers itu. Sesampai di ruangan tersebut ternyata semua media yang saya kenal, seperti CNN, Fox, NBC, dan lain-lain, maupun yang saya tidak kenal hadir. Sementara begitu banyak Pemimpin agama dengan pakaian tradisi masing-masing telah mengambil tempat yang telah disediakan. Saya sendiri hanya berpakaian biasa, jas tanpa dasi. Juga tidak memakai songkok.
Saya mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut para petinggi agama itu. Saya masih ingat seorang Rabbi, yang yang sekarang sudah jadi teman. Dalam
Pernyataannya dia mengecam tidak saja Muslim, tapi Islam itu sendiri. Hati saya berkecamuk. Kepala saya cukup panas juga. Tapi saya sadar, semua itu karena ketidak tahuan.
Tibalah masanya saya berbicara. Saya tidak mempersiapkan pernyataan tertulis. Bahkan sejujurnya hingga ketika saya dipanggil ke depan saya belum yakin akan menyampaikan apa.
“Salaam and good morning”. Demikian saya mulai.
Sejujurnya melihat sorry an lampu-lampu kamera dan tatapan mata orang-orang yang hadir saat itu cukup intimidating (mengintimidasi). Tapi saya kemudian tersadarkan jika di belakang saya ada ratusan juta manusia. Saya bukan sendirian. Tapi yang terpenting Allah pasti akan menunjuki yang terbaik.
“My name is Imam Shamsi Ali. I am from Indonesia, a country with the largest Muslim population in the world” (Nama
saya Shamsi Ali. Saya dari Indonesia. Sebuah negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia).
Saya kemudian menyampaikan “belasungkawa” untuk Amerika dan bangsa Amerika, khususnya keluarga korban serangan 9/11 itu. Selanjutnya saya menyampaikan kutukan terhadap serangan itu, seraya menambahkan: “we are all one. We all in this….”.
Setelah selesai menyampaikan pernyataan itu saya mendekat ke Timur Yuskaev, dan bertanya: “is it okay? What did I say?” (Apakah Sudah baik? Apa yang saya katakan tadi?).
Dia jawab singkat: “you did it very well. Thank you Imam”.
Saya memang selain masih setengah shock, juga nervous (gugup) karena itulah pertama kali saya tampil di hadapan tv-tv Nasional dan internasional. Dan tentunya juga karena dalam suasana yang sangat tidak menyenangkan.
Di sore hari itu juga para Imam yang tergabung dalam Majlis Shura kota New York mengadakan pertemuan darurat (Emergency meeting). Di pertemuan itu terjadi ketegangan dan perbedaan pendapat tentang bagaimana menyikapi situasi.
Sebagian mengusulkan agar masjid-masjid ditutup Sementara. Tapi sebagian bertahan agar masjid-masjid jangan sampai ditutup karena peristiwa itu. Alasannya adalah “apa kesalahan kita, dan kalaupun pelaku adalah Muslim, kita Komunitas Muslim Amerika tidak mewakili mereka.”
Alhamdulillah akhirnya disepakati bahwa masjid-masjid di kota New York tetap dibuka dan beroperasi. Hanya saja kiranya Komunitas Muslim, khususnya wanita yang berhijab agar lebih berhati-hati.
Malam itu saya bisa istirahat nyenyak. Karena saya merasa telah melakukan sesuatu, baik untuk Komunitas sendiri maupun untuk kota New York dan Amerika. Sebuah tanggung jawab besar yang saya sadari sangat tidak mudah. Tapi merupakan amanah yang harus dipikul.
Bersambung…..!