HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT V (75B)

Karya RD. Kedum

Matahari masuk jendela persis mengenai tubuhku. Aku yang masih berbalut selimut tebal, langsung terjaga. Entah sudah pukul berapa. Kalau melihat sinar matahari, nampaknya sekitar pukul delapan pagi.

Pondok nampak sepi. Nenek Kam tidak kudengar suaranya. Aku berniat hendak bangkit ketika mendengar dengkur halus di sampingku. Rupanya Macan Kumbang masih tidur. Setelah kupikir, ah biarlah dia tidur. Bukankah siang adalah malam baginya? Waktunya dia istirahat. Berbeda denganku. Jika bukan karena sangat ngantuk, siang hari bukan waktunya untuk tidur.
“Nek…” Aku memanggil nek Kam sambil menarik selimut. Rencanaku hendak kulipat. Ternyata ditindih Macan Kumbang. Akhirnya kuselimutkan saja hingga menutupi seluruh tubuhnya.

Aku baru saja mencuci muka dan sikat gigi ketika terdengar langkah pelan di dapur nenek Kam. Aku menongolkan kepala lewat pintu dapur yang terbuka sedikit. Kulihat seorang perempuan muda berkebaya warna hijau bunga-bunga ungu meletakkan bakul di dekat tudung saji. Dalam hati aku bertanya, siapa perempuan itu? Mengapa tidak terdengar langkah kakinya ketika masuk? Padahal pintu depan tertutup. Pintu dapur terbuka sedikit dan aku ada di sini. Harusnya ketika dia naik tangga dan menginjak beranda, akan terdengar.
“Ibung, Ibung siapa? Darimana?” Tanyaku sambil membuka pintu lebar-lebar. Wajahnya kaget. Namun secepat kilat dia kendalikan diri.
“Oh! Putri Selasih. Saya mengantarkan makanan untuk kalian,” ujarnya tanpa menjawab siapa dirinya dan darimana.
“Ibung siapa? Dan darimana?” Aku kembali mengulang pertanyaanku. Beliau tersenyum manis sekali. Aku tahu, beliau adalah manusia harimau. Tapi baru kali ini aku bertemu dengannya. Darimana dia membawa makanan ini, itu yang ingin kuketahui.
“Aku Dasilah, Selasih. Dari Uluan. Tugasku memang memasakan Nenek Kam dan mengantarkannya setiap hari.” Ujarnya lagi. Akhirnya aku mengucapkan terimakasih padanya sebelum dia berlalu dan hilang dalam pandanganku.

Aku kembali memanggil-manggil nenek Kam. Tidak ada jawaban akhirnya aku memilih menjerang air. Kayu bakar yang disandarkan di sudut tungku perapian. Nampaknya sudah lama tidak digunakan. Terlihat tanahnya seperti abu, kering dan acak-acakkan. Akhirnya sambil menjerang air, aku menyiram tanah di sekeliling tungku, lalu kupukul-pukul agar tanahnya padat dan debunya tidak menyembur ke mana-mana. Cara seperti ini diajarkan Ibu. Jadi meski bagian dapur dari tanah jika disiram dan dipadatkan, maka akan terlihat bersih dan rapi.

Aku membuka tudung saji, ada bakul berisi ibatan-ibatan gulai. Lalu satu ruas buluh. Kucium aroma bumbu dapur di dalam ruas. Sepertinya gulai ikan masak baghi. Semuanya masih terasa hangat. Kututup kembali, biarlah nenek Kam saja yang membukanya. Aku melanjutkan merapikan kayu bakar di perapian menunggu air mendidih untuk menyedu kopi.

Tiga cangkir kopi sudah terhidang. Aku duduk di beranda menunggu nenek Kam. Aku mulai menyeruput kopi untuk menghangatkan tubuh. Meski sinar matahari sudah mencalak tapi udara masih tetap dingin. Sesekali kucelupkan roti ke dalam kopi sebelum kumakan. Meski terasa nikmat, tapi karena sendiri terasa kurang lengkap.
“Nek, di mana?” Aku mulai komunikasi lewat batin. Tidak ada jawaban. Lalu kuulangi sampai tiga kali. Yang ketiga baru nek Kam menjawab. Beliau ada di Uluan rupanya. Sebentar lagi pulang katanya. Akhirnya aku kembali menyeruput kopi sendiri. Merasa sepi akhirnya aku putuskan untuk pulang ke kebun kakek Haji Yasir sebentar, untuk melihat kebun yang katanya sudah dibersihkan nenek gunung. Kututup pintu pondok, kutinggalkan Macan Kumbang yang sedang tidur.

“Ruhai, subuklah (lihatlah) ke lembak (hilir), kebun kita kah licin! (sangat bersih) Masya Allah, kukira Dedek main-main kemarin dia bilang besok kebun Kakek akan bersih, Kakek tidak perlu ‘ngupah besiang’. Ternyata benar! Berapa orang nenek gunung yang membantu kita. Bayangkan saja satu malam kebun seluas ini bisa bersih seperti digilang (digosok sampai mengkilap) ini.” Dari kejauhan aku mendengar suara kakek takjub.
“Aii masak iya?” Suara Ibu tidak yakin. Aku berharap ibu tidak merasa takut lagi setelah jantungnya agak sehat.
“Betul! Kamu lihat saja, dekat pondok saja bersih. Dan ini rumputnya terlihat baru dibersihkan. Masih segar dan basah. Subhanallah. Apa kubilang Ruhai, anakmu bukan seperti anak biasa. Dia kesayangan nenek Kam. Otomatis, semua kawan nenek Kam juga temannya.” Sambung kakek lagi. Tak lama Bapak juga nampaknya buru-buru dari tengah kebun.
“Bu, sini. Kebun kita bersih semua. Tidak ada rumputnya lagi. Termasuk juga tunas kopi yang tidak penting pun juga bersih. Ini pasti kerjaan Dedek, Bu!” Kata Bapak dengan nafas sedikit memburu. Aku ragu-ragu menemui mereka. Ibu pasti akan banyak bertanya.

Akhirnya aku berpikir sebentar. Selanjutnya aku berjalan menyisir sisi kebun. Aku mulai naik ke arah atas kebun. Bagian atas ini kopi kakek memang terlihat sangat lebat. Membuat setiap orang yang lewat selalu menoleh dan terkagum-kagum pada pohon kopi yang berbuah lebat. Benar apa yang disampaikan Bapak, Kekek maupun Macan Kumbang. Kebun Kakek seluas ini dalam sekejab memang sudah bersih. Bahkan cara membersihkan rumputnya terlihat sangat rapi. Rumput-rumput itu diletakkan di antara pohon kopi berupa gundukan-gundukan yang tertata. Bisa dipastikan dalam waktu dua minggu rumput-rumput itu akan membusuk dan jadi pupuk. Aku benar-benar merasa sangat berhutang budi pada nenek gunung yang telah membantu pekerjaan berat ini.

“Assalamualaikum Selasih.” Suara halus di belakangku. Spontan aku menjawab dan menoleh. Seorang lelaki paruh baya tersenyum padaku. Aku berhenti sejenak dan memutar badan.
“Namaku Denan, kamu memang belum kenal dengan saya. Tapi saya sudah beberapa kali melihatmu. Kami telah selesai melaksanakan tugas yang diberikan Macan Kumbang. Jadi kamu bisa lihat hasilnya.” Ujarnya sangat sopan.
“Oh Paman, terimakasih Paman. Baru saja saya berpikir, saya telah berhutang budi dengan para nenek gunung, tapi tidak tahu harus menyampaikannya dengan siapa?” Ujarku sambil membungkuk. Akhirnya aku berjalan keliling kebun kakek bersama Paman Denan. Ternyata beliau sosok yang periang, enak diajak berbicara. Beliau sangat ramah. Banyak sekali hal yang tidak kuketahui menjadi tahu.
“Ini beberapa batang kopi yang tinggi, sengaja paman ‘lengkurkan’ (ditebang tapi tidak putus) maksudnya untuk memudahkan regenerasi kopi tanpa harus menanam bibit baru. Pohon kopi ini sudah cukup tua, Selasih. Tapi pohonnya masih bagus dan sehat. Taburkan saja dedak kulit kopi, tanahnya akan subur dan tetap lembab, rumput tidak mudah tumbuh. Lalu buat lubang angin di antara pokok kopi untuk mengurangi akar gambutnya, namun tanahnya tetap subur.” Lanjut paman Denan. Aku manggut – manggut mendengar penjelasan beliau. Akan kusampaikan pada Bapak petunjuk paman Denan ini.

Baru berjalan seperempat lebar kebun, aku mendengar suara ramai sekali di arah pondok.
“Kate kamu seghut, Mak! Kunak’e licin luk digiling. (Katanya bersemak, Mang! Padahal bersih licin seperti digosok).” Ujar salah satu mereka. Nampaknya mempermasalahkan kebun kakek yang semula memang berumput tinggi ternyata bersih. Mendengar suaranya, nampaknya ada beberapa orang. Mereka akan membantu memetik kopi hari ini.
“Sebenarnya, kalau mau minta tolong mutigh (metik) pun akan kami lakukan. Seperti yang pernah kau lihat di kebun nek Kam,” ujar Paman Denan lagi. Aku tersenyum mendengarnya. Baik sekali beliau ini. Menolong tanpa pamri.
“Terimakasih, Paman. Jika dibantu semua, apa lagi yang bisa dikerjakan oleh bangsa manusia?” Jawabku yang disambut paman Denan dengan tawa kecil.

Setelah sampai di hilir, batas belukar tempatku bersama Macan Kumbang mengambil daun pakis kemarin, paman Denan mohon diri untuk pulang ke Uluan. Akhirnya kami berpisah. Aku mengurungkan diri untuk ke pondok kakek. Biarlah jadi obrolan kakek, Ibu dan Ayah saja perihal kebunnya tiba-tiba bersih. Aku segera kembali ke kebun Nek Kam sebelum kehadiranku mereka ketahui.

“Darimana Tuan Mandor? Mengawasi perkebunan ya. Bagaimana? Sudah bersih bukan?” Rupanya Macan Kumbang sudah bangun, malah asyik duduk di beranda.
“Betul! Bapak, dan Kakek kaget dan heran bercerita dengan Ibu. Hari ini banyak orang yang akan membantu memetik kopi. Terus tadi aku bertemu dengan paman Denan. Kami berkeliling kebun. Beliau mengajakku sekaligus memperlihatkan hasil pekerjaan mereka. Akhirnya aku tidak jadi singgah ke pondok kakek, khawatir dicercah pertanyaan oleh Ibu” Ujarku.
“Ya sudah, tidak usah bertemu dulu. Biarlah mereka asyik dengan keheranannya. Paling akan tersebar seantero Besemah perihal kebun kopi kakek dibersihkan oleh nenek gunung”

Apa yang dikatakan Macan Kumbang banyak benarnya. Jika kebun nenek Kam seperti itu, masyarakat tidak heran. Tapi ini kebun Haji Yasir, orang-orang pasti heran mengapa tiba-tiba Haji Yasir dibantu oleh nenek gunung? Apa hubungannya? Padahal mereka manusia biasa. Akhirnya kusimpan saja perasaan itu ketika melihat sosok nek Kam ke luar dari balik pohon kopi. Beliau berjalan pelan menuju pondok.
“Malam nanti kita jalan-jalan, Selasih.” Kata nek Kam sembari melangkahkan kaki ke jenjang tangga.
“Kemana kita, Nek?” Ujarku ingin tahu, lalu dijawab Nek Kam, malam nanti juga aku akan tahu. Akhirnya aku tidak banyak tanya. Kami kembali ngobrol sembari minum kopi. Semoga bukan karena ada nenek gunung yang ditangkap manusia lagi. Kalau itu terjadi dan aku tahu, akan kuikat dan kusuruh harimau sumatera beneran yang menjaganya.
“Kamu sekarang gampang emosi ya” Sindir nek Kam membaca pikiranku.
“Kan aku sudah besar, Nek. Jadi sudah bisa membedakan mana yang harus dihajar dan mana yang harus diajar. Dari dulu masalah kita sepanjang pulau Sumatera ini, selalu urusan manusia yang tidak mau dilarang agar jangan menjerat dan memburu nenek gunung. Setiap daerah punya etika dan aturan baik secara hukum maupun secara adat. Jika hukum negara dan hukum adat tidak busa menyentuh mereka, maka kita berlaku hukum rimba.” Lanjutkan.
“Husss…dapat ilmu darimana pula membolehkan hukum rimba. Kita makhluk beradap, diberi akal. Maka gunakan” Nenek Kam mengingatkan kusambut dengan tawa. Akhirnya obrolan beralih pada makanan yang diantar seseorang tadi pagi.
“Nenek hebat ya, makanannya saja bukan manusia yang memasakkan. Setiap hari menunya berbeda. Kok bisa begitu, Nek?” Tanyaku. Jujur aku bingung nenek bisa memerintahkan nenek gunung di Uluan untuk memasak makanan kesukaan beliau. Nenek Kam hanya tersenyum.
“Dan yang bisa menikmatinya hanya kau, Macan Kumbang, dan nenek gunung saja. Sebab kalau model Ibumu tahu, bisa tidak akan makan sebulan karena pasti pikirannya kemana-mana.” Kami tertawa bersamaan.

“Nanti malam aku akan jemput Putri Bulan.” Bisik Macan Kumbang.
“O ya. Asyiiik. Sekalian Eyang Kuda?” Tanyaku antusias.
“Kamu kan bisa lakukan sendiri.” Jawab Macan Kumbang. Aku baru saja hendak menghubungi Eyang Kuda, tapi aku tidak tahu akan kemana malam ini. Nenek Kam mau mengajak aku ke mana?
“Nek, nanti malam kita akan ke mana? Apa boleh kita mengajak orang lain. Misalnya Eyang Kuda dari Bengkulu, dan Putri Bulan. Aku ingin mengenalkan Eyang Kuda yang telah banyak membantuku di Bengkulu” Jelasku. Nenek Kam langsung mengangguk menyetujui.
“Ajaklah. Meski nenek sudah tahu sepak terjangnya bersamamu, tidak ada salahnya ajak beliau agar bisa bersua dengan nenek dan Puyang mu.” Kata Nenek Kam datar. Mendengar itu aku melonjak bahagia.
“Nek, paman Raksasa dan A Fung, juga boleh kan?” Ujarku lagi. Lagi-lagi nenek Kam mengangguk setuju. Kupeluk erat beliau saking senangnya. Aku segera berdiam diri, fokus menemui Eyang Kuda terlebih dahulu. Kusampaikan keinginanku beliau datang ke Besemah agar bisa bersua dengan leluhurku. Selanjutnya aku menemui A Fung Si anak soleh. Dengan antusias ketika kusampaikan nanti malam bedua denganku. Demikian juga paman Raksasa. Semuanya setuju, dan bisa datang. Menjelang petang, aku kaget tiba-tiba ada dua perempuan dan satu lelaki dewasa datang ke pondok nenek Kam. Wajah mereka nampaknya kusut semua. Sementara nenek Kam belum pulang entah kemana. Nenek satu ini nampak sibuk sekali hari ini. Datang dan pergi tidak jelas. Aku enggan menelisik untuk memastikan kemana beliau. Nanti beliau marah kalau kuikuti. Berbeda waktu aku kecil dulu. Setia beliau bergerak aku merengek minta ikut.
“Silakan naik Mang, Ibung.” Aku menyilakan tiga tamu naik ke pondok Nek Kam. Kuterima mereka di beranda.
“Kami ada perlu dengan Nenek Kam. Ada sesuatu yang ingin kami sampaikan.” Ujar lelaki sepuh sambil duduk.
“O ada perlu dengan nenek. Tunggu sebentar ya Mak, nenek sedang pergi. Aku tidak tahu beliau ke mana. Mudah-mudahan beliau segera pulang.” Kataku duduk di hadapan kegiatan tamu.

Jika dirasa lewat aroma ketiga tamu di hadapanku ini bukan manusia. Tapi mereka bangsa jin yang beradat. Terlihat dari cara mereka datang dan berbicara. Mereka mengubah diri seperti manusia untuk menemui nek Kam. Aku mencoba membuka batin membaca pikiran mereka. Ternyata benar dugaanku sebelumnya, meski mereka menampakkan wajah penuh beban yang sangat berat. Ada beberapa hal yang mereka simpan. Aku kembali membacanya lebih dalam. Aku ingin tahu maksud mereka datang ke mari.
“Tinggal di mana, Mak?” Tanyaku berusaha sedikit ramah. Mak itu sapaan daerah, dari kata ‘mamak’ artinya Paman.
“Kami tinggal di Ulu Ayek Seghet. Dengah (sapaan untuk lawan jenis sebaya atau lebih muda) tape hubungan ngah nek Kam?” Beliau mengatakan jika beliau tinggal di Hulu Air Seghet, dan bertanya apa hubungan aku dan nenek Kam. Kujawab saja jika aku cucunya. Matanya tajam menatapku.
“Kamu bukan manusia biasa. Kamu dari gunung Dempu.” Ujarnya tersenyum. Aku membalas senyumnya tanpa mengiyakan. Sementara anak gadisnya menunduk saja dari tadi. Akhirnya kami ngobrol seputar kebun kopi nenek Kam.

Selama bincang-bincang tentang kebun Nek Kam, diam-diam aku memanggil nenek Kam agar segera pulang.
“Aku tidak jauh, ada di belakang pondok” Ujar Nenek Kam. Aku kaget, mengapa Nenek Kam tidak segera naik pondok jika ada di belakang? Kuberitahu ada tiga orang hendak bertemu dengan Nenek. Nenek Kam terkekek mendengar pernyataanku.
“Cung…Cung, kami sudah ngobrol sejak tadi. Kamu tidak tahu kan?” Ujar nenek Kam. Aku bingung, ngobrol dengan siapa? Orang dari tadi juga sosok ini ada di hadapanku sedang ngobrol denganku? Apa mungkin beliau mengerahkan ilmunya tanpa kuketahui ruang geraknya. Rasanya tidak mungkin. Aku setengah tidak percaya. Akhirnya aku pamit masuk ke dalam sebentar. Aku fokus sejenak mencari nenek Kam.

Ternyata benar, Nenek Kam ada di belakang pondok, hanya raganya, bukan dengan jasadnya. Beliau sedang duduk berhadapan dengan Mamak tamu. Melihat aku tiba-tiba berdiri di hadapan mereka Si Mamak kaget. Rupanya mereka sudah bertemu.
“Oh sudah bertemu Nenek, ya Mak. Lanjutkan.” Ujarku kembali. Aku membuka mata. Muncul kekagumanku pada orang tua itu. Sampai-sampai aku tidak tahu jika beliau sudah bertemu dengan Nek Kam. Apakah beliau mempunyai ilmu memecahkan diri seperti aku dan nenek Kam? Aku menyesali diri karena tidak peka. Aku tidak tahu dan tidak melihat raganya memecah diri dan berjalan? Begitu saktinya mereka? Lalu apa maksud beliau menemui nenek Kam? Akhirnya aku ke luar lagi, kembali menemui tiga sosok yang masih duduk di beranda pondok.
“Mamak sudah bertemu dengan nenek Kam bukan? Mamak hebat! Aku sampai tidak mengetahui jika Mamak mampu memecah diri. Kukira hanya ada satu sosok di hadapanku. Ternyata tidak.” Ujarku sambil duduk.
“Saya belum apa-apa Selasih, jika saya hebat tidak mungkin datang ke mari minta tolong nenek Kam.” Ujarnya merendah. Aku tidak berusaha mendesak beliau bertanya perihal kedatangannya ke nenek Kam. Namun akhirnya, melihat aku tahu jika beliau sudah bertemu nenek Kam, akhirnya beliau bercerita juga. Katanya rumahnya hancur di rusak oleh bangsa manusia. Padahal manusia itu sudah didatanginya dalam mimpi. Sudah diingatkannya agar jangan menebang satu pohon dekat mata air itu karena di situ ada kerajaannya. Sang anak sangat sedih. Karena sendang, mata air huluan tempatnya mandi ditutup oleh mereka. Jadi tujuan mereka datang untuk meminta pertanggungjawaban bangsa manusia dan minta nenek Kam sebagai perantara.
“Minta pertanggungjawaban apa maksudnya, Mak?” Tanyaku segera.
“Dia harus bayar semua kerusakan itu dengan dirinya.” Lanjutnya lagi. Aku sedikit berkerut. Bayar dengan dirinya? Apa maksudnya? Manusia itu akan mereka ambil?
“Mak, sebenarnya aku tidak ingin campurtangan dengan urusan ini. Tapi Mamak harus tahu. Tidak semua bangsa kami mengetahui kehidupan bangsa kalian. Kami merasa tidak mengusik kalian, karena memang alam kita berbeda. Perihal bangsa kami merusak rumah kalian atau istana kalian dan sebagainya itu cuma alasan kalian. Jika mereka tahu di situ ada rumah kalian, saya yakin mereka tidak akan merusaknya. Apalagi pohon dan sendang itu ada di kebun mereka sejak nenek moyangnya. Mereka merasa semua yang ada di kebun itu adalah milik mereka. Jadi nereka berhak untuk menata miliknya sesuatu dengan rencana dan keinginannya. Tidak bisa Mamak sesukanya mengambil keputusan minta pertanggung jawaban bangsa kami. Kecuali kalian ada kesepakatan sebelumnya, atau bangsa manusia ini sudah diberitahu jika di sana ada rumah kalian namun beliau tetap ngotot. Ini manusia tidak tahu.” Ujarku protes.
“Lalu, mau kalian apakan bangsa kami? Kalian ambil lalu kalian jadikan budak? Begitukah?” Tanyaku agak keras. Wajah yang kupanggil Mamak, istri dan anaknya langsung berubah. Jika tadi aku melihat mereka sopan mengubah dirinya seperti sosok manusia, sekarang terlihat wajah aslinya. Tiga makhluk dengan wajah mengerikan, bermata merah dan bertanduk. Ketiganya tidak ada yang memakai busana. Apakah nenek Kam tahu sosok tamu yang datang ini? Aku membatin.
“Kami sudah mengingatkan lewat mimpi” Ujar yang kupanggil Mamak.
“Bagaimana kalian hadir di dalam mimpi itu? Apakah kalian ada komunikasi? Atau hanya datang menakut-nakuti? Tidak bukan? Kalian hanya datang sekadar untuk memberi tanda tentang keberadaan kalian saja bukan? Itu pun setelah pohon ditebang. Tolong jangan mencari alasan seakan kalian yang paling benar dan menyalahkan bangsa kami. Sendang itu tetap utuh, silakan kalian tempati dan tinggalah di sana. Tapi jangan pernah mengatakan minta pertanggung jawaban dan mengambil bangsa kami. Saya tidak setuju!” Ujarku sedikit menantangnya. Mendegar pernyataanku, matanya semakin menyala. Aku tidak bisa bersabar seperti nenek Kam, mengulur-ngulur waktu pada mereka agar berpikir lagi dan sebagainya. Sementara mereka masih ngotot dengan alasan sudah sepakat dan secara batin sudah ada semacam perjanjian dengan yang punya kebun itu. Bahkan sukmanya sudah di tangan mereka.

“Kalian boleh mengatakan kalian sudah sepakat dan minta izin nenekku. Aku tidak setuju. Kembalikan sukma bangsa kami.”
Hiiiiaaat!!!!
Aku mulai mengerahkan tenagaku. Kulihat sukma yang mereka maksud mereka simpan di tempat gelap sudah hampir satu minggu. Aku tidak percaya dengan pernyataan mereka mengatakan jika anak gadisnya ini akan dinikahkan pada bangsa manusia yang mereka katakan minta pertangung jawabannya. Mereka bohong!
“Aku akan hancurkan kalian jika masih menawan sukma bangsaku. Kalian hendak menipu nenekku. Memperalat nenekku dengan dalih minta disampaikan dengan keluarga korban agar kesannya merekalah yang bersalah, dan memaklumi semuanya. Kalian licik! Jahat!” Ujarku tidak sabar. Ternyata mengetahui aku ngamuk, nenek Kam hanya tersenyum saja.
“Nah, cucungku tahu rahasia kalian, Bajroh. Mata batinnya lebih tajam dariku. Dia tahu membaca hati dan pikiran kalian. Jadi jika kalian tidak mau punya masalah sebaiknya kalian ikuti saja keinginannya. Saya tidak akan ikut campur dengan urusan ini. Cucungku sudah besar dan pola pikirnya tidak sama denganku orang dusun ini.” Lanjut Nenek Kam.
“Tapi nenek Kam sesepuh di dusun ini, bukan ‘budak kecik’ ini, Nek” Kata Mamak Bajroh setengah ngotot. Aku sudah siap-siap untuk menakhlukkannya. Sukma manusia yang diambilnya, telah kuketahui tempatnya. Bahkan sudah kupagari agar tidak mereka pindahan ke tempat lain. Mereka licik!

“Maaf, Mamak. Kurasa apa yang disampaikan nenekku sudah jelas bukan? Jadi jangan paksa nenekku untuk percaya kalian. Karena beliau sama denganku, tidak percaya dengan kalian. Kalian hendak membodohi kami. Jika sebelumnya kalian berhasil memperdaya manusia, maka hari ini akan kuputuskan. Kalian jangan pernah lagi mengganggu bangsa kami dengan memutarbalikkan fakta” Ujarku.

Mendengar pernyataan kerasku mereka balik marah.
“Jangan macam-macam kau perempuan kecil. Apa yang kami lakukan adalah upaya memperjuangkan hak kami”
“Kalian lupa! Bumi ini milik siapa? Kita sudah diberi Sang Maha kaplingan masing-masing. Kalian dan kami punya alam yang berbeda.” Aku ikut membentak. Demi mendengar pernyataanku, kulihat Bapak, Ibu dan anak itu makin meradang. Mereka serentak menyerangku apalagi mengetahui jika sukma tawanannya telah kuketahui.
“Kurang ajar! Kamu belum tahu aku!” Ujar Mamak Bajroh. Aku melihat tabiat aslinya. Pandai sekali mereka bersandiwara mengelabui bangsa manusia.
“Aku tahu, kalian adalah jin fasik yang menyamar menjadi makhluk yang baik. Kalian manfaatnya kepolosan bangsa manusia yang membenarkan ulah kalian seakan-akan kalian adalah makhluk yang beradab. Selalu mencari sela seakan manusialah yang salah. Kalian boleh mengelabui bangsaku, Bangsa manusia. Tapi tidak untukku. Aku tidak bisa kalian bodohi! Paham?” Ujarku menahan emosi sembari menghindari serangan serentak mereka.

Ternyata kehidupan dimensi lain ini memang punya tingkat dan golongan yang berbeda. Yang kuhadapi sekarang ini adalah golongan yang pandai mengelabui manusia dengan cara halus. Termasuk golongan yang cerdas tapi licik.

Mengetahui akal bulus mereka kuketahui, serangan demi serangan mereka lancarkan. Siang-siang aku sudah bertarung dengan mereka. Padahal jika siang dan terang mereka agak lemah. Namun karena mereka memiliki ilmu yang tinggi, sepertinya tidak ada pengaruhnya. Mereka tetap saja makhluk yang ganas dan membahayakan.
Hiiaaaat!!!
Aku melakukan serangan balik. Mereka akan kulumpuhkan, kalau tidak kusedot semua ilmunya, atau kutarik untuk kupenjarakan di ujung jari-jari. Satu hentakan keras yang kulakukan berhasil melumpuhkan dua perempuan sekaligus yang menyamar menjadi anak gadis dan istrinya. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan. Energi mereka kutarik dan ilmu mereka pun kusedot. Keduanya berteriak histeris memancing yang lain turut menonton.

Melihat dua sudah kulumpuhkan, mamak Berjah semakin meradang. Pukulan demi pukulan beliau lakukan. Aku pun melakukan pukulan balik dan beberapa pukulanku mampu dihadangnya sehingga terjadi benturan keras yang memercikakan api. Bagaimana Mak? Apakah masih akan terus bertarung? Atau tobat sajalah. Sebelum istana kalian aku hancurkan dan mamak sama dengan dua makhluk itu, tak berdaya. Matanya semakin nanar dan merah melihat dua kawannya tergeletak sambil mengerang kesakitan.
“Jangan sombong anak kecil. Aku sudah neman (banyak) makan asam garam. Kamu baru lahir kemarin sore sudah sombong!” Ujarnya ketika berhenti sejenak menyerang. Nampaknya dia tengah mengubah strategi dengan jurus barunya. Aku tidak peduli apa pun yang disampaikannya.
Duuuarr!!!
Aku jawab dengan menghancurkan istananya di dekat sendang. Melihat istananya hancur di depan mata, Mamak Bajroh makin meradang. Hantamannya tidak seperti tadi, tapi lebih banyak ngawur sehingga membuang energinya saja. Mungkin selamanya ini dia selalu lolos, dan aman melakukan penipuan dengan cara mencari kesalahan dan kelemahan manusia.
“Mamak! Hari ini terkahir mamak dan kawan-kawan melakukan praktik penipuan seperti ini. Aku tidak akan beri ampun ulah kalian. Kalian memang bangsa yang licik!” Ujarku sambil melakukan serangan lagi. Dus! Dus! Dus!!
Mamak Bejroh melakukan pukulan panas dengan sangat cepat. Tenaganya luar biasa. Nyaris aku kena pukulannya jika tidak menghindar dengan cepat. Hawa panas ya g dikeluarkan membuat daun-daun langsung mengering seperti kena kemarau tahunan.
Ciiiiiiiaaaat!
Aku mengembangkan selendangku dan melilit tubuhnya. Dalam sekejap tubuhnya terangkat. Aku salurkan energi meremuk dan menyedot energinya. Mamak Bajroh mengerang kesakitan. Suaranya menggelegar seperti hendak meruntuhkan tebing. Aku segera mengunci semua gerakannya. Mamak Bajroh kehilangan tenaga, lemas tak berdaya.
“Nah Mak, selesai sudah sepak terjang kalian. Istana kalian sudah hancur, kekuatan kalian pun sudah tidak ada. Apalagi yang mau kalian banggakan? Sekarang silakan kalian pergi dari sini.

Aku menggerakkan tangan dan mengangkat ke atas tinggi-tinggi. Dengan sekali satuan, kegiatan makhluk asrama di gadapanku kulempar jauh-jauh hingga ke jurang lapisan bukit arah utara. Suara minta ampun mengiringi rubuhnya mereka yang melesat. Aku menatap beberapa makhluk asrama yang masih mengintip dan mengawasiku. Mereka sebagian besar adalah anak buah mamak Bajroh.
“Keluarlah kalian, hadapi aku jika kalian benar tunduk dan cinta dengan pemimpin kalian!” Ujarku mengancam mereka yang bersembunyi lalu aku melihat mereka lari menyelamatkan diri.

Aku segera mengambil sukma yang ditawan dalam gua yang gelap. Hanya ada satu sukma. Nampaknya sudah banyak korban sebelum yang ini. Aku segera mengembalikan sukma itu ke jasadnya tanpa dia sadari. Setelah semuanya beres aku bertanya pada nek Kam. Ternyata kata nenek Kam karena takut kita halangi, dia mengatakan meminta lelaki itu untuk dinikahkan dengan anak gadisnya. Itu hanya modus.
“Nek, nenek sudah sering ditipu bangsa gaib dengan modus seperti ini?” Tanyaku.
“Mungkin juga ada, nenek lupa. Tapi sudah lama nenek berhati-hati jika ada makhluk asral menemui dengan alasan mengambil manusia untuk mereka jadikan suami karena kesalahannya. Untung cucuku memiliki kepekaan yang luar biasa. Nenek saja tidak seperti itu.” Ujar nenek Kam memuji.
“Iya, nenek tidak peka, tapi pekak.” Ujarku menggodanya. Tangan kecilnya langsung meraihku. Aku menghindar. Rupanya nenek Kam ingin menunjukan kemampuannya. Dia kejar aku. Aku kaget, beliau sangat gesit. Akhirnya aku pun mengerjakan kemampuanku. Tubuh kami berkelebat di antara kebun kopi. Semakin kencang aku berlari, semakin kencang pula nenek Kam mengejar. Aku berlari sambil tertawa. Ternyata nek Kam serius. Melihat keseriusan akhirnya pun sungguh-sungguh. Agaknya nek Kam akan mengajarkan sesuatu padaku. Aku membatin. Aku melompat ke udara, nenek Kam pun ikut melompat. Akhirnya di atas kami aku bertahan menerima pukulan beruntun dari nenek Kam.
Dus!! Dus!!
Dua pukulan telak menghantam dadaku. Aku kaget. Seketika terasa nyeri dan sesak. Segera kusalurkan energi untuk memulihkan diri dari pukulan nenek Kam. Tubuh nek Kam kulihat seperti bola berguling ke arahku. Aku kaget dan bukan main kagumnya. Luar biasa nenekku ini. Ilmu apa yang digunakannya bisa berguling seperti boleh sembari menyerang. Anginnya mendesing kencang.
“Sudah ya, Nek!” Teriakku. Tapi malah beliau jawab dengan pukulan. Sekali lagi aku kena pukulan telak di bahu. Tulang punggungku terasa remuk. Nenek terlihat seperti orang kalap. Aku berpikir selintas apa yang harus aku lakukan agar tidak mencederai nek Kam. Mengapa dia tidak peduli dengan himbauanku agar berhenti.
“Nek, sudah. Aku tidak mau main-main lagi. Nanti kita cedera.” Ujarku agak khawatir. Lagi-lagi tidak ada jawaban. Malah gerakan nenek semakin cepat dan gencar. Angin berseleweran membungkus dirinya seperti balutan salju. Akhirnya aku kembali serius. Paling tidak menghindar dari pukulan-pukulan maut nenek Kam.
Hiiaaaat!!! Up!Up!
Tiba-tiba aku melihat satu sosok menghalangi aku dan nenek Kam. Kami berdua sama-sama terpental.
“Apa-apaan Relingin? Kenapa pakai ilmu itu menyerang Selasih. Berbahaya! Kau bisa membunuhnya!” Tiba-tiba Puyang Bukit Selepah sudah ada di antara kami berdua. Aku menatap nenek Kam yang terpental. Aku menatap nenek Kam khawatir. Ternyata Beliau bangun lalu berdiri santai.
“Kami sedang main-main, Puyang. Aku ingin melihat sampai dimana kewaspadaan Selasih menghadapi serangan-serangan maut.” Nenek Kam tertawa sambil sujud dengan Puyang Bukit Selepah. Mengetahui yang hadir Puyang Bukit Selepah aku segera menghampiri beliau dan sujud. Sudah lama sekali aku tidak bersua dengan beliau.
“Kau tidak apa-apa kan Selasih? Relingin, ilmu pematah bukit dan halimun bukan untuk main-main. Yang kau ajak main-main ini Cucungmu sendiri. Apa kau memberitahu jika kau serius dan ingin melatihnya? Tidak bukan? Selasih tidak serius melayanimu karena dia takut mencideraimu.” Lanjut Puyang Bukit Selepah lagi. Akhirnya aku hanya tersenyum memandang nenek Kam yang senyum-senyum menatap Puyang Bukit Selepah.
“Aku hanya bercanda dengan Selasih, Puyang. Tidak terlalu serius.” Ujar Nenek Kam sambil membersihkan kainnya yang kotor akibat terhentak ke tanah basah. Sementara punggungku masih terasa nyeri akibat pukulan nek Kam.
“Sini Selasih.” Puyang meraih bahuku lalu menyuruhku duduk. Beliau langsung menotok beberapa titik punggungku. Lalu terasa punggungku didorong sembari disalurkan energi hangat. Tak lama rasa nyeri itu hilang. Aku merasakan nyaman seperti semula.

“Puyang pulang ke Ulu. Nanti malam Puyang tunggu kalian.” Kata Puyang Bukit Selepah sembari mengucapkan salam dan menghilang. Tinggallah aku dan nenek Kam saling pandang menahan senyum.
“Bagaimana, Nek? Mari kita lanjutkan. Hiiiiaaaaat.” Godaku sembari memasang kuda-kuda.
“Husss!! Nanti Puyang datang lagi. Tidak enak sudah bau tanah kena marah.” Ujar nenek Kam terkek-kekek menutup mulutnya seakan-akan takut terdengar orang. Akhirnya kuikuti langkahnya merunduk-runduk di bawah dahan kopi menuju pondok.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *