Indonesia Tegaskan Peran Penting Wanita dalam Diplomasi Antar Agama pada Konferensi Internasional di Lindau Jerman
Jerman kembali menjadi tuan rumah penyelenggaraan Konferensi Religions for Peace (RfP) yang berlangsung di Lindau, Jerman pada 10 – 13 November 2020. Berbeda dengan konferensi tahun lalu yang juga berlangsung di Lindau, pada tahun ini konferensi yang dihadiri sekitar 600 peserta dari berbagai negara dan agama ini diselenggarakan secara virtual.
Konferensi tahun 2020 ini juga sekaligus menandai 50 tahun berdirinya Religions for Peace. Di ulang tahun emas ini, isu tentang Peran Wanita dalam Diplomasi dan Kerja Sama antar Agama menjadi bahasan utama konferensi, yang bertajuk: “Keeping Faith and Transforming Tomorrow“.
Pada konferensi yang dibuka secara khusus oleh Kanselir Jerman, Angela Merkel dan Sekjen PBB Antonio Gutteres, Indonesia diminta untuk menjadi pembicara dan penanggap diskusi pada Breakout Session tentang Religion and Diplomacy in South and South East Asia. Dalam hal ini, Dubes RI untuk Jerman Arif Havas Oegroseno bertindak sebagai pembicara, sementara sebagai penanggap diskusi dari Indonesia adalah Direktur Wahid Institute, Yenny Wahid.
Breakout Session yang berlangsung pada Kamis, 12 November 2020 dimoderatori oleh Penasihat Utama Sekretariat Jenderal RfP Asia berkedudukan di Tokyo, Jepang, Masamichi Kamiya. Selain Dubes Oegroseno dan Yenny Wahid, sesi ini juga menghadirkan pembicara dan penanggap diskusi dari Jerman, yaitu Dubes Jerman untuk Pakistan, Bernhard Schlagheck, dan Direktur Kerja Sama Antar Agama Kemlu Jerman, Dubes Volker Berresheim.
Sebagai pembicara pertama, Dubes Oegroseno menyebutkan bahwa kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara merupakan kawasan dengan keberagaman yang cukup kompleks. Keberagaman di kawasan ini tidak hanya dari etnis, namun juga agama, tingkat ekonomi, tingkat sosial, budaya dan juga tatanan politik (political setting) yang berbeda-beda . Di kawasan ini masih terdapat beberapa konflik, baik antar beberapa etnis dan komunitas masyarakat, maupun di tingkat nasional. Oleh karenanya upaya-upaya untuk mendorong perdamaian dan resolusi konflik menjadi isu yang sangat relevan untuk dibahas. Dan pendekatan melalui dialog antar agama merupakan salah satu elemen yang sangat penting untuk tercapainya resolusi konflik di kawasan.
Dubes Oegroseno juga menggarisbawahi semakin besarnya potensi dan peran kaum wanita dalam memajukan dialog antar agama untuk perdamaian ini. Disebutkan bahwa wanita saat ini memainkan peran penting dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat.
“Di Indonesia misalnya, Ketua DPR saat ini adalah wanita. 20,5% anggota parlemen diisi wanita. Kita juga pernah punya Presiden wanita, yang saat ini juga menjadi Ketua Umum salah satu partai politik terbesar di tanah air. Di kabinet, sekitar 14% menteri adalah wanita. Di bidang ekonomi, khususnya di bidang ekonomi digital (e-commerce), 80% pelakunya adalah wanita,“ jelas Dubes Oegroseno.
Hal serupa juga disampaikan Dubes Schlagheck. Menurutnya kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara menjadi melting pot, tempat bertemunya berbagai kebudayaan, agama dan latar belakang sosial. Bahkan daerah ini merupakan tempat muncul dan berkembangnya berbagai agama dan kepercayaan.
Sementara itu, Yenny Wahid menegaskan bahwa agama merupakan elemen penting yang memiliki pengaruh besar dalam masyarakat. Agama memiliki keterikatan emosional sangat erat dalam masyarakat. Saat ini sekitar 80% penduduk dunia merupakan pemeluk agama atau kepercayaan yang berbeda-beda. Agama memiliki potensi besar sebagai motor untuk menggerakkan masyarakat menuju perdamaian dan kesejahteraan. “Karena kita yakin, semua agama mengajarkan perdamaian kepada umatnya“, ungkap Yenny.
Lebih lanjut Dubes Oegroseno menegaskan bahwa setidaknya ada empat aspek yang perlu menjadi perhatian dalam mendorong partisipasi kaum wanita untuk memajukan diplomasi antar agama. Keempat aspek itu adalah kesehatan, pendidikan, partisipasi ekonomi dan penguatan wanita di bidang politik.
Breakout Session juga mencatat, bahwa diplomasi bukan lagi menjadi monopoli pemerintah. Akan tetapi semua pihak, termasuk tokoh-tokoh agama dan masyarakat menjadi aktor yang memiliki peran penting untuk mendukung sukesnya misi diplomasi.
Secara umum Breakout Session merekomendasikan tiga isu utama yang akan disampaikan pada sekretariat RfP. Pertama mengenai kondisi disparitas gender di kawasan di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya dengan melihat kultur masyarakat di kawasan yang sebagaian besar menganut sistim patriakad. Kedua mengenai tantangan dan peluangan untuk memajukan peran wanita dalam diplomasi antar agama. Dan ketiga terkait langkah bersama yang perlu dilakukan oleh aktor diplomasi baik pemerintah, kelompok agama, maupun masyarakat dan pihak lain secara luas. Langkah konkrit ini mendorong terciptanya era baru yang memberikan porsi kunci bagi wanita untuk memajukan diplomasi antar agama.
Setelah rekomendasi tersebut disampaikan kepada sekretariat RfP, Kemlu Jerman juga akan menyelenggarakan debriefing atas hasil-hasil yang dicapai selama konferensi kepada Dubes – Dubes yang ada di Jerman. Dubes Berresheim secara khusus meminta Dubes Oegroseno untuk kembali menjadi nara sumber pada acara debriefing tersebut.