HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VI (83A)

Karya RD. Kedum

Sejak tadi pagi hujan turun tidak henti. Pucuk-pucuk daun basah kuyup dan meneteskan air. Tidak terdengar suara satwa seperti biasanya kecuali suara deru hujan yang menimpa atap seng pondok Nenek Kam yang hitam berkarat. Asap dari dapur meliuk-liuk di ruangan, terhalang hujan hendak ke luar dari jendela dan cela dinding bambu. Aku duduk di samping perapian sekadar menghangatkan diri. Memekarkan telapak tangan, ‘bediang’ mengusir rasa dingin.

Jam tangan sudah menunjukkan pukul 16.30 WIB. Artinya sudah jelang petang. Dua cangkir kopi hitam masih mengepul karena memang baru di sedu. Aromanya mengalahkan aroma asap kayu yang pekat.

Sesekali aku membalik pisang dan ubi kayu yang dipanggang di atas bara. Dengan menggunakan buluh kapal yang dibuat seperti penjepit. Sesekali ujungnya kupukul-pukulkan, kadang kucelup di air untuk mematikan ujung penjepit yang terbakar. Sambil menunggu pisang dan ubi bakar mateng, kubuang arang dan sampah yang bercampur dengan abu kayu. Nenek Kam menunjuk sapu lidi dan air agar aku menyiram tanah dapur terlebih dahulu, lalu menepuknya agar padat. Aku paham maksudnya. Kulakukan sesuai intruksi Nek Kam.
“Untung punya cucu gadis, paham merawat dapur perapian. Kalau tidak, bakal diomeli oleh mertuamu kelak”Ujar Nenek Kam sambil menumbuk sirih sambari melonjorkan kaki ke arah pintu. Aku tersenyum mendengarkan. Pesan sederhana.
“Nek, zaman sekarang, banyak yang sudah mengganti bahan bakar kayu dengan gas. Walau tinggal di kebun, namun menggunakan gas untuk memasak. Sebab tidak mudah mencari minyak tanah dan kayu bakar. Berbeda dengan zaman dulu” Ujarku mengangkat pisang dan ubi bakar lalu meletakannya di keranjang kecil dari buluh buatan Nenek Kam.
“Meski pakai gas, tetap saja harus tahu bagaimana. memasak pakai kayu, Cung. Iya kalau mampu membeli kompor dan gas, kalau tidak? Pasti kembali ke kayu bakar lagi” Ujar Nenek Kam sambil meniup-niup pisang bakar.

Sebenarnya, apa yang disampaikan nenek Kam benar adanya. Zaman dulu, jika perempuan sudah sanggup berumahtangga maka ia harus mampu mengurus rumah. Tidak heran jika umur belasan anak gadis umumnya sudah paham merawat rumah, memasak, menyulam, menjahit, dan lain sebagainya. Akan sangat malu jika punya anak gadis tidak paham apa-apa. Terampil, cekatan atau tidak, biasanya akan menjadi tolok ukur untuk menjadikan seseorang menjadi menantu. Begitu juga kaum lelaki. Jika masih muda sudah berani menggarap kebun sendiri, maka masuk dalam kriteria menantu idaman. Hal seperti ini ternyata tersimpan rapi di pikiran Nenek Kam. Beliau tidak mau tahu jika manusia sudah lama sampai ke bulan.

Suara kopi diseruput Nenek Kam, terdengar sangat nikmat. Hawa dingin memang membuat kopi, pisang, dan ubi bakar cepat sekali terasa dingin. Wajar saja dalam waktu singkat secangkir kopi tandas tinggal ampas.
“Masih ada kopi, Dek?” Tanya Nenek Kam.
“Kurang ya, Nek?” Ujarku sembari menyusun kembali kayu bakar agar api menyalah dan memanaskan secangkir air untuk menyedu kopi kembali.
“Nek, tidak lama lagi aku akan pulang ke Bengkulu. Nenek ikut ya” Ujarku penuh harap sambil menambahkan gula seujung sendok. Nenek Kam menatapku sejenak. Nampak sekali wajah beliau tidak setuju jika aku cepat-cepat pulang ke Bengkulu. Lama beliau tercenung. Aku bingung mencari materi untuk mengalihkan pembicaraan.
“Nenek sudah tidak tahan lama-lama di dalam kendaraan, Cung. Bengkulu itu jauh dari sini. Cukuplah batin Nenek saja ke sana melihatmu, mengawasimu, menemanimu” Ujarnya setelah sejenak saling diam.
“Maksudku, Nek, aku ingin fisik Nenek bersamaku ke sana. Bukan hanya batin saja. Aku ingin mengajak Nenek melihat laut, menatap matahari terbenam, menikmati angin pantai, debur ombak, dan lain-lain” Ujarku sambil mengecilkan api di tungku.
“Kau kira aku tidak bisa menikmati itu semua? Jangankan laut, melihat matahari terbenam, merasakan angin laut, debur ombak, bahkan ke dasar lautnya pun Nenek sudah” Ujarnya sambil mengunyah pisang bakar. Aku kaget menatapnya. Benarkah demikian? Aku percaya sebenarnya. Tidak ada hal yang tidak mungkin di alam ini. Apalagi untuk ukuran Nenek Kam.
“Tapi aku kan tidak melihat, Nek. Maksudku kita berdua menikmatinya berdua” Ulangku lagi. Nenek Kam hanya menjawab dengan tawa kecil. Mata cipit dan gigi ompongnya justru memancarkan jika Nenekku satu ini cantik.
“Nenek Relingin…Nenek Relingin” Ujarku gemas.

Obrolan tentang ajakan ke Bengkulu terhenti ketika tiba-tiba aku mendengar suara Puyang Pekik Nyaring menyapaku. Aku segera duduk fokus mendengarnya.
Aku diminta malam ini untuk solat hajat lalu beliau memintaku mengamalkan beberapa zikir yang harus kubaca dalam hitungan tertentu, dan harus selesai sebelum fajar. Tanpa berpikir panjang aku langsung mengiyakannya dengan dada agak gemetar. Apakah aku sanggup menyelesaikan amalan tersebut hingga menjelang fajar. Sementara mulainya usai salat Isya? Bagaimana jika menjelang fajar belum selesai? Pertanyaan itu membuat jantungku makin berdebar. Kutatap Nenek Kam dalam-dalam. Aku butuh dorongan semangat dari beliau.
“Ah, kecil. Masak segitu saja tidak selesai?” Nenek Kam menggodaku.
“Apa nenek pernah diminta mengamalkan sesuatu seperti aku?” Tanyaku lagi. Nenek Kam menggeleng.
“Tentu berbeda, Cung. Proses dan jurusan kita beda-beda” Ujarnya datar. Aku ingin tertawa mendengar jurusan. Maksud Nenek Kam dengan jurusan itu berkaitan dengan kemampuan khusus seseorang. Ada ahli tulang, ahli syaraf, ahli urut, dan lain-lain.

Aku menarik nafas dalam-dalam. Ada dorongan emosi yang menggetar-getar. Rasa takut gagal lebih dominan menguasai diriku. Apalagi mendengar kata Nenek Kam ‘masalah itu kecil’. Aku berusaha menyembunyikan perasaan risauku.

Sebentar lagi magrib, lalu isya. Setelah Isya itulah aku harus memulai mengamalkan perintah Puyang Pekik Nyaring. Dalam hati aku berdoa, semoga rasa kantuk tidak menderaku malam ini. Kalau aku tertidur, alamat amalan itu tidak akan selesai menjelang fajar.
“Apa guna mantra pembukaan langit, pembuka bumimu, Selasih. Bukankah itu dapat membantumu agar kau tidak mengantuk?” Suara Kakek Njajau. Masya Allah, benar sekali. Apa gunanya aku punya mantra itu jika tidak kumanfaatkan? Mantra yang hanya sesekali kulakukan agar bisa bertahan lama jika bertarung. Bukan untuk melawan hawa kantuk. Ternyata bisa juga dimanfaatkan untuk itu.
“Terimakasih kakek” Ujarku sambil tersenyum tersendiri. Muncul satu semangat dalam batin jika aku mampu melakukannya.

Entah rahasia apa di balik amalan ini, aku tidak tahu. Aku memaklumi mengapa Puyang Pekik Nyaring tidak memberitahuku apa tujuan amalan ini. Beliau khawatir jika muncul niat dalam batinku mengamalkan sesuatu karena mengharapkan sesuatu.
“Jangan pernah berharap sesuatu terhadap amalan yang pernah kita lakukan, Cung. Tapi munculkanlah rasa ikhlas pada lahir batin kita. Jika engkau mengharapkan sesuatu pada Sang Khalik, maka berdoalah, memohonlah. Bukan meminta imbang atas amalanmu” Suatu kali Puyang Pekik Nyaring pernah mengingatkanku. Sejak itu aku memang berusaha untuk hati-hati melakukan sesuatu agar tidak ada riak untuk dapatkan imbalan. Tapi berusaha melakukan sesuatu karena ikhlas. Dua sisi yang jika digaris sungguh sangat tipis. Hanya orang-orang yang memiliki keteguhan batin saja yang bisa menembus dan membacanya dengan jelas. Demikian kata kakek Andun waktu itu.

Usai salat magrib aku dan Nenek Kam melanjutkan makan malam. Makanan yang diantar Nenek gunung dari Uluan kali ini terasa hambar. Aku sedikit memaksa agar perutku berisi. Bagaimana pun perintah Puyang Pekik Nyaring malam ini ikut berpengaruh pada jiwaku.
“Habiskan makanmu, jangan sampai mubazir masakan ini. Kita hanya berdua” Ujar nek Kam melihatku tidak terlalu bernafsu.
“Assalamualaikum. Biar aku saja yang menghabisakan makanannya, Nek. Dedek puasa sajalah malam ini” Tiba-tiba Macan Kumbang muncul dari balik pintu dapur. Macan Kumbang langsung melepas mantelnya, lalu duduk bersila di samping Nenek Kam, ikut makan.

Melihat kehadiran Macan Kumbang, muncul semangatku. Adik Nenek Kam satu ini meski kerap jahil, tapi menyenangkan. Aku merasakan energi positif jika dekat dengannya. Aku bisa terbuka dan bisa banyak bertanya padanya. Al hasil, makanan malam tidak ada sisa. Benar saja, Macan Kumbang bertindak jadi ‘petugas kebersihan’. Nasi dan lauk tidak ada sisa. Macan Kumbanglah yang menghabiskannya.
“Eeeuuh” Macan Kumbang sendawa sembari mengelus perut. Macan Kumbang kekenyangan hingga tak mampu lagi melipat perut.
“Alhamdulilah..akhirnya ketemu nasi juga hari ini, setelah dari pagi perutku belum terisi nasi” Kata Macam Kumbang sambil bersandar di bawah jendela.
“Ngapain saja kamu sampai tidak makan” Jawab Nenek Kam.
“Biasalah, membantu persiapan untuk ‘nuei rasan'” Ujar Macan Kumbang. Aku memandangnya sembari bertanya dalam hati. Apa maksudnya ‘nuei rasan?’ Rasan siapa? Bukankah Macan Kumbang sudah hendak bertunangan dengan Putri Bulan? Artinya mereka tinggal menunggu waktu untuk menikah.
“Mikir….mikir tuuu…anak kecil kalau tidak paham nuei rasan sekolah dulu” Macan Kumbang menatapku sambil sedikit melotot.
“Sekolah di mana?” Tanyaku ketus.
“Tuu ke bukit ijang” Mulutnya manyun menunjuk ke atau Bukit Selepah. Mendengar perdebatan kami Nenek Kam diam saja. Pikirnya sudah biasa mendengar debat kuda antara aku dengan Macan Kumbang. Kalau tidak ada debat, pondok Nenek Kam balak sepi.

Hiaaat…hat hat!
Aku menotok Macan Kumbang dengan cepat. Karena kekenyangan Macan Kumbang tidak bisa bergerak cepat. Beliau tidak menyangka aku akan menotoknya. Macan Kumbang tidak bisa bangkit dari duduknya. Badannya kaku seperti patung. Melihat tubuhnya tegang, aku tertawa terpingkal-pingkal.
“Ayo bangun pemuda ganteng. Calon pengantin yang baik hati.”. Ujarku berdiri di hadapannya. Mata Macan Kumbang melotot menatapku. Mulutnya pun kukunci agar tidak bisa berbicara. Kulihat urat di kening dan lehernya menegang. Macan Kumbang berusaha melepaskan diri. Namun selalu gagal.

Aku sengaja melompatinya kadang melintas persis di hadapannya seolah-olah paling sibuk dan pura-pura tidak tahu. Macan Kumbang nampak pasrah. Dia tidak melakukan apa-apa lagi selain diam.
“Sudah, jangan ‘jutut bange’, Dek. Kasihan Macan Kumbang. Lepaskannlah” Ujar Nenek Kam mengingatkan aku.
“Yeiii mentang-mentang adiknya, dibela. Nenek sayang dengan bujang lapuk ini, Nek?” Tanyaku sengaja memandang Macan Kumbang.
“Sayanglah. Dia adik bungsu Nenek yang laki-laki. Baik, setia, penyayang” Ujar Nenek Kam memujinya.
Aku segera mendekati Macan Kumbang. Kudekatkan wajahku pada wajahnya. Aku pura-pura mengawasinya dari jarak dekat sambil memegang dagunya.
“Nek, lihat! Daun hidung Macan Kumbang ngembang-ngembang Nenek Puji. Hati-hati Nek, sekali lagi Nenek puji baik, setia, penyayang, bisa meledak hidungnya.” Godaku lagi. Wajah Macan Kumbang kembali merah. Di antara cahaya lampu cubok yang bergoyang-goyang kulihat rahangnya bergerak-gerak sehingga bulu-bulu lebat di sekitar pipi dan lagunya ikut bergerak-gerak.

Melihat Macan Kumbang tidak berdaya aku makin terpingkal-pingkal. Kali ini kudekati telinganya.
“Ayoooh…mana ajian ‘peghetas’ yang diwariskan Puyang dari Uluan. Mengapa tidak digunakan?” Bisikku lekat ke telinganya. Padahal aku lebih dulu membaca ajian penangkalnya sehingga Macan Kumbang tidak bisa mengamalkannya. Aku kembali terpingkal-pingkal menertawakannya. Sesekali jenggotnya kuelus lalu kutarik. Kumisnya juga kutarik pelan-pelan.
“Aduh, kasihan calon pengantin tak berdaya. Bagaimana kalau dilihat Putri Bulan, calonnya tak berdaya gara-gara kekenyangan” Ujarku makin jadi.

Setelah puas menggoda Macan Kumbang, akhirnya sampai juga waktu isya. Aku segera wudu, lalu menunaikan salat isya, kulanjutkan dengan salat hajat. Sebelum solat kubisikkan ke telinga Nenek Kam, agar membebaskan Macan Kumbang ketika aku sudah salat hajat dan mulai mengamalkan zikir yang dianjurkan Puyang Pekik Nyaring. Nenek Kam mengangguk setuju.

Aku memilih sudut pondok nenek Kam yang agak gelap tidak terjangkau cahaya lampu. Sajadah yang kubentang ke arah kiblat, kujadikan berlapis dua agar terasa sedikit empuk. Tak lama ketika aku baru saja hendak fokus, kudengar Macan Kumbang sudah dilepaskan Nenek Kam.
“Mana tikus sawah itu, Nek?” Suara Macan Kumbang bernada tinggi.
“Ssstttttt…jangan ganggu dulu. Dia sedang dapat tugas dari Puyang Pekik Nyaring untuk mengamalkan beberapa hal, dan harus selesai menjelang fajar” Suara Nenek Kam sedikit berbisik.
“Iih…ingin ‘kutekek’ kepalanya anak nakal itu” Macan Kumbang balas berbisik. Dalam hati aku bersyukur dapat terhindar dari balas dendam Macan Kumbang. Paling juga besok pagi, pertengkaran akan kami lanjutkan.

Sisa hujan masih terdengar menimpa daun kopi dan atap pondok Nenek Kam. Hanya suara kodok yang terdengar lantang. Tidak terdengar suara kelelawar berteriak ke sana ke mari memetik buah, atau jangkrik seperti orkestra membelah malam seperti biasa. Bumi dan seisinya seakan ikut terlelap menikmati malam yang dingin dan basah.

Semakin malam, suasana terasa hening. Suara renyai semakin jelas. Suasana terasa sangat berbeda. Namun justru seperti ini membuatku merasa nyaman. Aku tidak mendengar suara Macan Kumbang atau Nenek Kam lagi. Entahlah, apakah mereka pergi, atau sudah tidur aku tidak tahu. Hujan badai bukan halangan untuk dua makhluk itu pergi. Sepertinya siang malam hujan atau pun panas sama saja.

Tasbih digenggamanku terasa hangat. Perjalanan amalan yang kulakukan baru seperempatnya. Semakin malam, aku merasa semakin meluncur. Aku tidak memperhatikan kiri kanan atau pun yang lain. Tapi aku hanyut dengan tugas yang diberikan Puyang Pekik Nyaring.

Dari kejauhan ayam jantan berkokok sekali. Jantungku seperti hendak copot karena waktu sudah pukul satu dini hari. Artinya tinggal beberapa jam lagi, maka akan masuk fajar. Aku terus meluncur seperti kendaraan tanpa rem. Lama-lama kurasakan cahaya putih mulai membalut tubuhku yang sedikit bergetar. Dadaku seperti dihentak-hentak. Kadang kepalaku terasa mendongak sendiri. Padahal dari awal aku menunduk. Pelan-pelan tubuhku terasa terangkat. Semakin kencang semakin tinggi. Cahaya putih seperti asap yang menggulung tubuhku kadang berubah menjadi kuning, jingga, biru lalu keungu-unguan.

Aku terus mefokuskan diri merapal ayat berulang-ulang. Mataku terpejam. Namun aku merasakan seakan berada pada satu ruang sendiri. Persis seperti di dalam goa ketika itu. Bedanya, di sini aku masih terdengar suara renyai dan air jatuh dari atap ke tanah. Ruangan yang gelap, namun aku merasa terang melihatnya.

Telapak tanganku mulai berpeluh. Aku merasakan energi hangat pelan-pelan masuk ke dalam aliran tubuhku. Dadaku masih berdegup kencang ingin segera menggenapkan hitungan amalanku. Mata batinku makin terang ketika hitungan amalan tinggal beberapa puluh lagi. Aku masih tetap berusaha fokus untuk menyelesaikan dengan sempurna. Gigitan semut di bibirku kubiarkan saja. Kumatikan rasa agar tidak terasa sakit. Bisa jadi semut menggigit ini sengaja dihadirkan untuk membuyarkan amalanku.

Semakin dekat berakhir amalan yang hendak aku lakukan, semakin banyak pula godaan. Jika tadi bibirku yang digigit semut, sekarang giliran telingaku yang digigit. Bahkan semut itu sengaja masuk ke liang telinga mengorek-ngorek sehingga terasa gemerusuk berisik sekali. Jika tidak dilawan dengan menutup panca indera, alamat aku akan merasakan bumi berguncang dan langit runtuh. Gendang telinga terasa dipukul-pukul dan dicabik-cabik. Sekali lagi aku tidak mau amalanku buyar karena gangguan hewan kecil ini. Aku terus merapal.

Alhamdulilah, jiwaku yang tegang terasa rileks ketika masuk pada hitungan terakhir. Aku merasakan energiku habis akibat mengerahkan kekuatan batin untuk selalu fokus. Sebelum bangkit dan salat sunat dua rakaat, kuulurkan kaki yang lama terlipat. Rasa kibas muncul sesaat. Tak lama aku segera bangkit, berdiri dan melaksanakan salat sunat. Ketika membaca surah terakhir, tidak tahan aku menitikkan air mata. Entahlah, ada perasaan haru ketika pelan-pelan kuhayati ayat demi ayat. Selanjutnya aku duduk timpuh, seperti biasa melanjutkan zikir hingga pagi.

“Bangun…bangun Putri Selasih. Sudah waktunya bangun. Kita lanjutkan pertarungan kita” Macan Kumbang menarik-narik telingaku.
“Masih ngantuk” Ujarku sedikit malas sambil tetap terpejam.
“Heiii..sudah siang. Lihat matahari sudah muncul, pemalas!” Kali ini Macan Kumbang menarik selimutku. Sepertinya Macan Kumbang sengaja, mencari-cari agar aku marah. Aku kembali menarik selimut. Terjadilah tarik-tarikan. Rupanya beliau masih dendam gara-gara tubuhnya kukunci tadi malam. Aku tidak sadar jika aku tertidur di atas sajadah. Mukena saja masih kupakai. Entah siapa yang menyelimuti dan membantali aku. Kalau tidak Macan Kumbang, pasti Nenek Kam.

Rasanya aku baru saja terlelap. Mengapa kata Macan Kumbang matahari sudah muncul? Mataku masih terasa sangat berat. Aku membalikan badan untuk melanjutkan tidurku. Macan Kumbang berusaha menarik tubuhku agar menghadapi padanya. Rupanya beliau memang tidak suka aku tidur.
“Nek, Macan Kumbang ni mengganggu saja” Rengekku sambil memukul tangan Macan Kumbang.
“Teriak saja sesukamu. Sampai ke luang Ayek Gambegh pun tidak apa-apa” Kata Macan Kumbang. Aku mulai mangkel. Nenek Kam tidak tahu pergi ke mana. Pantas Macan Kumbang membangunkan aku. Sirik rupanya melihat orang tidur.
“Ayooo bangun anak kecil!” Kali ini Macan Kumbang menarik selimutku untuk kedua kali. Aku terus diam. Pelan-pelan kubuat tubuhku seperti dipaku. Jangankan di angkat, dibalik saja tidak bisa. Aku seperti besi lengket, lalu melanjutkan tidur kembali.

Jangan sebut Macan Kumbang jika menyerah begitu saja. Dia tahu kalau aku melakukan ajian pasak bumi. Akhirnya Macan Kumbang serius mengeluarkan ajiannya untuk melawan ajianku. Beliau berusaha melepaskan aku agar tidak kaku dan berat lagi. Ternyata beberapa kali Macan Kumbang terpental. Dicobanya lagi, lalu terpental lagi. Melihat Macan Kumbang beberapa kali terpental, akhirnya muncul juga rasa kasihanku. Rasa kantukku menjadi lenyap. Apalagi melihat nafasnya engos-engosan seperti habis berlari kencang. Bahkan sampai terbatuk-batuk.

Diam-diam aku lepaskan ajian pasak bumiku. Aku bangun melihat Macan Kumbang bersandar di dinding pelupuh hinggga agak melenggkung menahan berat badannya. Baru saja aku bangkit hendak menyambut tubuhnya, tiba-tiba Macan Kumbang menyerangku.
Hap…hap..hap!!
Aku ditotoknya seketika. Macan Kumbang tertawa puas melihat tubuhku kaku. Aku pura-pura berusaha melepaskan diri dan tidak bisa agar Macan Kumbang senang.
Ingin rasanya aku tertawa melihat Macan Kumbang joged-joged di depanku. Nampaknya puas sekali dia.
“Lepaskan aku Bujang Lapuk!” Ujarku pura-pura marah. Macan Kumbang makin menjadi lompat-lompat sambil tertawa.
“Gantiaaaan. Kemarin sore siapa yang menarik-narik kumisku. Sekarang rasakan, bagaimana rasanya dibelenggu. Rasakan anak nakal!”Lanjutnya sambil melet-melet.
“Jangan sombong, aku belum kalah. Aku masih bisa bicara wew” Lawanku.
“Biarin…biarin…sampai Nenek Kam pulang, kamu tetap akan seperti itu. Sekarang sudah siang, matahari sudah naik. Waktunya solat duhah. Aku mau wudu ke pancuran, selamat tinggal anak kecil” Macan Kumbang melangkah gembira.

Melihat Macan Kumbang berlalu, secepat kilat aku melepaskan diri lalu mendahuluinya ke pancuran. Sampai di sana aku tidak melihat Macan Kumbang. Ke pancuran mana dia? Aku celingak-celinguk mencarinya. Akhirnya aku memilih bersembunyi terlebih dahulu. Aku memilih bersembunyi di balik semak. Rencanaku, ketika Macan Kumbang turun ke pancuran, akan aku kagetkan. Aku memulai pengintaian. Agak lama, belum ada tanda Macan Kumbang datang. Aku menoleh kiri kanan ketika mencium aroma nenek gunung. Tapi sudah mengendap-ngendap tidak ada tanda-tanda nenek gunung ada di sekitar sini. Tapi aromanya terasa sangat dekat. Kembali aku mengendus-ngendus. Benar! Tidak salah. Ini aroma nenek gunung. Aku menjadi heran, mengapa baunya ada tapi makhluknya tidak muncul. Akhirnya aku diam sejenak mencari sumber aroma itu. Tapi ternyata ada kekuatan lain yang menghalangi aku menelusuri aroma nenek gunung itu. Beberapa kali penelusuranku terasa ada yang menepisnya. Aku makin penasaran.
“Hoi pengecut! Tampakkan dirimu. Kamu takut ya, makanya bersembunyi. Beraninya membokong dari belakang” Ujarku beberapa kali sambil terus waspada meningkatkan panca indera. Pikiranku langsung mengarah pada Macan Kumbang. Hanya makhluk satu itu yang suka menggodaku.

Menyadari jika aku dipermainkan, aku berniat pulang. Aku segera kembali ke pondok Nenek Kam lagi. Sampai di sana, kulihat Macan Kumbang tengah solat duhah. Dalam hati aku berpikir, kapan dia wudu? Akhirnya aku duduk di belakangnya. Memerhatikannya dan menunggunya selesai menunaikan ibadahnya. Ternyata, Macan Kumbang sengaja membaca ayat panjang-panjang. Mungkin satu jus surat yang dibacanya tiap rakaat. Entah sudah keberapa kali dia melakukan tahyat akhir, tapi belum selesai juga. Sementara aku sudah merasa pegal menungguinya dari belakang. Menyadari jika aku dipermainkan, akhirnya aku pergi ke dapur membuka tudung saji, mengambil wajik yang terasa dingin dan menyantapnya.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *