HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VI (88B)
Bengkulu sedang kemarau. Ini terlihat pohon jambu dan belimbing di depan rumah daunnya banyak yang gugur. Berjam-jam aku bersama ibu membersihkan halaman dan membakar sampahnya. Jalan gang tanah berbatu kerikil nampak kering. Sesekali debu melambung ketika dilalui kendaraan roda empat meski berjalan pelan. Air parit serupa sungai kecil depan rumah pun kering.
Aku dan Ibu masih mengumpulkan daun kering. Rencana daun-daun ini akan dibakar. Ketika ibu hendak membakar sampah, seorang anak jin yang tidur-tiduran di atas tumpukan sampah nyaris terbakar ketika ibu menyalahkan api. Melihat anaknya nyaris terbakar, induknya marah dan hendak menghantam ibu. Untung aku melihatnya, dengan cepat kuhalangi. Melihat aku menghalangi, dia balik marah padaku. Kukatakan jika ibu tidak bisa melihat makhluk halus. Jadi beliau tidak tahu jika ada anaknya tidur di tumpukan sampah. Sang makhluk asral masih saja tidak bisa menerima.
“Mengapa kamu bisa melihat kami sedangkan ibumu tidak?” Lanjutnya tidak percaya.
“Bangsa kami, sama dengan bangsamu. Ada yang diberi kelebihan ada yang tidak. Ada yang mampu menenbus alam manusia, ada yang tidak. Nah ibuku manusia yang tidak bisa menembus alam bangsa kalian. Seperti kalian yang tidak bisa menembus alam kami. Kalian hanya bisa mengganggu dan balas dendam pada kami dengan cara menyakiti tak kasat mata. Padahal kami tidak tahu menahu kesalahan apa yang kami perbuat. Nah jangan marah-marah lagi. Anakmu tidak apa-apa kan? Lain kali jangan ada bangsamu tidur di atas sampah. Bisa terbakar benaran nanti” Ujarku menegaskan.
Meski masih dengan tatapan marah pada ibu, akhirnya makhluk ini menyingkir juga setelah kujelaskan dengan nada datar. Dia membentak-bentak dengan buas tetap kulayani dengan nada biasa. Bahkan beberapa kali melalukan pemukulan namun tak pernah sampai. Menyadari aku tidak bisa dia sakiti nampaknya dia mengalah. Bersama keluarganya mereka menjauh dari tumpukan sampah yang sudah mulai menyala.
Aku mandang ibu yang masih serius mengatur api. Beliau tidak tahu sama sekali jika dirinya baru saja terancam. Makhluk asral yang hidupnya di sampah ini bentuknya mirip beruang dan serigala. Berbulu, bertaring, dan berjalan memang mirip hewan. Aku tidak bisa bayangkan jika anaknya terbakar. Pasti makhluk ini akan meneror manusia. Makanya dari dulu kakek dan Bapak selalu melarang membakar sampah dengan tiba-tiba, atau menyiram rata sampah dengan bahan bakar, apakah dengan minyak tanah, solar, atau bensin. Menurut Bapak dan Kakek Haji Yasir, sebaiknya sampah-sampah dikumpulkan, lalu bakarlah mulai dari api kecil terlebih dahulu. Maksudnya, jika ada makhluk tak kasat mata ada di sekitar itu, ada kesempatan mereka untuk menyingkir terlebih dahulu sebelum api menyala. Meski aku tahu banyak golongan manusia yang tidak percaya dan menganggap saran Kakek dan Bapak tahayul, dan mitos.
Usai solat magrib, aku baru bisa duduk dan meluruskan kaki. Rasanya capek juga melakukan perjalanan dibanting-banting dalam bus. Jadi manusia susah juga, aku membatin. Mataku mulai terasa panas. Aku ingin tidur. Bapak dengan Ibu nampaknya masih asyik ngobrol sambil makan malam. Entah apa yang mereka obrolkan. Kadang tertawa berderai berdua. Kadang senyap.
Aku sudah tidak tahan lagi. Antara sadar dan tidak aku membaca doa tidur. Entah selesai apa tidak doaku, aku tidak tahu. Yang jelas rasa kantukku yang luar biasa ini kurasakan sejak pagi. Akhirnya aku terlelap. Mendekap lelah yang sangat. Lampu kamar yang sengaja kubuat remang seperti ikut meninabobokan.
Pukul dua dini hari aku terjaga. Aku segera bangkit karena belum solat isya. Aku terpekik, kaget ketika turun dari dipan. Nyaris kepala Macan Kumbang terinjak. Sejak kapan Si Kumbang datang? Mengapa terlelap di lantai? Akhirnya aku melangkah pelan-pelan. Kuambil ambal yang terlipat di sudut kamar, lalu kubentang untuk alas tubuhnya yang terlelap. Adik bujang Nenek Kam satu ini masih saja memperlakukan aku seperti anak kecil. Padahal aku sudah tumbuh menjadi seorang gadis, tapi Macan Kumbang masih memanjakan aku seperti ketika aku kanak-kanak. Contohnya sekarang. Masih saja menemani aku tidur. Biasanya dia akan bergelung di ujung kakiku dengan wujud harimau hitam.
Aku segera wudu, lalu solat di sampingnya. Rupanya Bapak dan Ibu juga ikut terbangun. Nampaknya mereka hendak menunaikan solat malam juga. Merasa tidurku sudah cukup, rasa kantukku hilang sama sekali. Aku sengaja berzikir agak lama.
“Kau sudah bangun, Nduk” Suara Eyang Kuda. Aku segera membatin, jika aku usai menunaikan solat setelah tertidur bakda magrib. Tawa kecil Eyang Kuda terdengar jelas.
“Nampaknya Kanjeng Ratu lelah sekali. Mengapa tidak menyembunyikan diri saja. Suruh bayanganmu yang melakukan perjalanan” Godanya. Aku tertawa mendengar candaannya. Selanjutnya beliau menanyakan kabar istanaku, siapa yang ikut menjaganya sepeninggalku. Dalam hati aku bahagia sekali, Eyang Kuda ikut memikirkan kelangsungan Timur Laut Banyuwangi.
“Eyang, aku boleh bertanya?” Ujarku tiba-tiba ketika teringat Nyi Roro Kidul ketika di gunung Slamet aku melihat pasukannya melintas di hadapan kami.
“Bertanya soal apa?” Ujar Eyang Kuda.
“Tentang Nyi Roro Kidul, Eyang. Apakah Eyang pernah berjumpa dengan beliau?” Tanyaku.
“Oh, kanjeng Ratu Nyi Roro Kidul. Iya, Eyang pernah beberapa kali berjumpa beliau. Beliau makhluk asral yang akrab dengan kaum manusia tertentu. Tidak mudah untuk berjumpa dengan beliau. Pengawalnya berlapis-lapis. Beliau sangat selektif untuk bertemu dengan siapa saja. Baik dari golongan manusia, mau pun golongan tak kasat mata. Jika beliau tidak berkenan, maka beliau mengutus pengawalnya saja. Beliau memiliki kerajaan yang megah di bawah laut, Nduk” Jelas Eyang Kuda.
Aku percaya apa yang disampaikan Eyang Kuda. Melihat pasukannya saja nampak gagah dan istimewa. Apalagi jika beliau yang melintas.
“Banyak golongan manusia memuja beliau, Eyang?” Tanyaku lagi. Eyang Kuda membenarkan. Sebenarnya masih bayak hal yang ingin kutanyakan pada Eyang Kuda. Bagaimana kedekatan tokoh-tokoh zaman dulu. Apakah mereka melakukan ritual khusus seperti layaknya ketika manusia bersekutu dengan jin, iblis, dan setan? Atau seperti ritual-ritual yang dilakukan oleh para praktisi supranatural? Rasa ingin tahuku sangat dalam. Sebenarnya ada keinginan batinku untuk sampai kekerajaannya. Bagaimana bisa, nyaris Selatan laut Indonesia ini beliau kuasai? Dan masih banyak hal yang berjejal di pikiranku. Konon ada hotel yang menyediakan kamar khusus untuk Nyi Roro Kidul. Apalah ruang itu, kamar pemujaan atau apa aku tidak paham. Hal itu sudah menjadi rahasia umum.
Akhirnya, obrolanku bersama Eyang berakhir karena beliau hendak melanjutkan zikirnya kembali. Aku menoleh pada Macan Kumbang yang masih tidur nyenyak. Nampaknya adik Nenek Kam satu ini juga sangat lelah. Terlihat dari cara tidurnya tidak bergerak-gerak, suara ngoroknya seperti sapi disembelih.
Aku meraih satu buku yang lama tak tersentuh. Catatan harianku. Ketika aku baru hendak membukanya, ada selembar kertas menyelip di dalamnya. Aku segera menarik dan membacanya. Tulisan A Fung! Aku terbelalak. Kapan anak kecil itu ke mari? Aku jadi gemas sendiri. Ketika bertemu dua hari lalu A Fung masih saja bergelayut di tanganku. Anak kecil tapi tua itu sikapnya masih seperti dulu, manja dan takut sekali jika aku tidak sayang padanya.
“Kakak, aku sayang kakak selalu” Secarik kertas kudekap. Aku merasakan ketulusan adik gaibku ini. Kertas kecil itu kucium lalu kembali kuselipkan di dalam buku.
Baru saja hendak merebahkan badan, tiba-tiba Macan Kumbang bangun.
“Uf!! Jangan tidur lagi. Ikut aku yuk. Kita ke gunung Bungkuk” Ujar Macan Kumbang bangkit. Aku kaget mendengar gunung Bungkuk. Pasti Macan Kumbang mau bertemu Putri Bulan. Mengapa tidak pergi sendiri saja, aku membatin. Bukannya mereka sudah bertunangan? Pasti tidak akan asing lagi bagi Putri Bulan sekeluarga.
“Tidak mau ah! Ngantuk” Jawabku pura-pura menarik selimut. Benar saja dugaanku. Selimutku langsung di tarik, tanganku langsung diraihnya supaya bangkit. Aku sedikit mengelak pura-pura mau tidur lagi. Rupanya Macan Kumbang serius, kali ini tubuhku langsung diangkatnya. Akhirnya aku mengalah dan menjawab siap ikut setelah kupukul punggungnya lebih dulu.
Kami berdua melintas sekejap di perumahan kampung dan kebun. Tidak ada lagi hutan yang kami lintasi. Pembangunan di wilayah ini sangat pesat. Hutan-hutan sudah berubah jadi perkebunan sawit, ladang dan perkampungan penduduk, diselingi semak belukar dan rawa-rawa. Sebagian lagi tanah dibiarkan tandus, ditumbuhi ilalang. Kami berdua langsung ke sisi barat gunung Bungkuk. Berjalan sekejap, sampailah kami di halaman rumah Putri Bulan. Di sisi kiri kanan aku melihat beberapa orang tua tengah menganyam bakul dari bambu kapal. Rumpun bambu berukuran kecil dan tipis dibuat setangkup. Biasanya bakul-bakul itu untuk wadah dodol atau gelamai antar-antaran pengantin. Apakah mungkin mereka tengah melakukan persiapan untuk pernikahan Putri Bulan dan Macan Kumbang?
Ketika baru mengijakkan kaki di pintu pagar halaman rumah Putri Bulan, kami berdua sudah disambut oleh ibunya. Dengan antusias Ibu Putri Bulan menyambut kami. Wanita yang masih terlihat cantik dan energik ini senyumnya selalu mekar melihat Macan Kumbang. Nampak sekali jika beliau sangat bahagia menyambut calon menantunya.
Ternyata Putri Bulan tidak ada di rumah. Sang Ibu mengatakan Putri Bulan masih di istana Datuk Ratu Agung. Tak lama beberapa perempuan menyuguhkan minuman untuk kami. Sembari menunggu Putri Bulan aku memandang-mandang ke lembah dari jendela. Dulu aku masih melihat semak dan kebun sawit serta rawa-rawa. Sekarang sepertinya sudah menjadi perkampungan semua. Tanah merah terlihat jelas dari puncak gunung Bungkuk.
Aku melempar pandang ke barat. Dari jauh liukan ombak terlihat seperti selendang putih meliuk-liuk. Meski tidak terdengar deburnya, namun terlihat jelas saling kejar. Pantai panjang hingga pantai ke arah Sungai Suci, Pasar Pedati terlihat jelas. Pantai yang landai berpasir putih itu seperti tengah bernyanyi.
“Selasih, mari turunlah. Di lembah bagian selatan ada pertarungan makhluk asral. Mereka bertarung sudah ratusan tahun lamanya. Lerailah mereka” Suara gaib yang tak kutahu asalnya dari mana. Memang dari tadi aku mendengar suara menggeram. Suara nenek gunung. tapi aku tidak terpikir kalau suara itu adalah suara makhluk yang bertarung. Demi mendengar pertarungan sudah ratusan tahun itu, aku kaget juga. Artinya ini tidak main-main. Aku jadi tertarik untuk membuktikan pesan suara itu.
Aku langsung meluncur ke lembah setelah minta izin Macan Kumbang dan Ibu. Ternyata cukup jauh dari puncak gunung Bungkuk. Sampai di lembah, ternyata ada sepasang makhluk asral sosok nenek gunung sedang bertarung. Aku mendekati keduanya.
“Assalamualaika…” Salamku. Keduanya serentak menatap padaku.
“Mengapa kau ke mari anak manusia? Jangan ikut urusan kami” Ujar salah satu nenek gunung yang punggungnya dominan loreng hitam. Matanya berwarna jingga tajam mematapku.
“Akulah yang menghendaki dia datang ke mari! Dari pada jatuh di tangan jahatmu, lebih baik kuberikan pada golongan manusia. Dari manusia, kembali ke manusia” Ujar sosok yang satu lagi.
Mereka adalah jawarah bersosok nenek gunung, penghuni hutan wilayah gunung jalan lintas Bengkulu ini. Aku masih bingung penyebab mereka bertarung.
“Mengapa kalian bertarung? Apa penyebabnya?” Tanyaku pada yang mengatakan dialah yang menghendaki kehadiranku di sini.
“Kami telah bertarung ratusan tahun lamanya. Dia ingin merebut senjata itu dariku. Senjata untuk keadigjayaan itu, benda yang dititipkan oleh raja Selibar padaku. Tapi dia ingin merebutnya” Ujar nenek gunung.
“Mengapa bisa dititipkan padamu?” Tanyaku. Aku heran mengapa bisa manusia menitipkan benda pusaka pada bangsa jin ini?
“Zaman dulu, ketika kerajaan Selibar sedang jaya, dipimpin tuanku Depati Payung Negara, tiba-tiba beliau jatuh sakit. Sakitnya cukup lama. Sehingga lambat laun kepemimpinan kerajaan mulai goya. Ditambah lagi muncul keinginan-keinginan kerabatnya diam-diam ingin menggantikan beliau. Oleh sebab itulah beliau menitipkan pusakanya agar tidak jatuh ke tangan yang salah. Sebab banyak yang menghendakinya” Ujarnya. Aku sedikit heran juga, setahuku kerajaan Semibar ada di Jenggalu dekat dengan laut menghadapi ke. Samudera Hindia. Sedangkan keberadaan nenek gunung ini posisinya ada di lembah gunung Bungkuk. Sebuah jarak yang cukup jauh.
“Jadi zaman dulu, benda pusaka ini nyata, lalu kamu gaibkan?” Ujarku. Nenek gunung mengiyakan.
“Mengapa sampai jauh sekali dengan Jenggalu?” Tanyaku lagi. Lalu katanya sengaja dibawahnya pergi jauh, karena di Jenggalu banyak sekali yang menghendaki pusaka ini. Untuk menghindari itulah makanya dia simpan di salah satu rumpun bambu, menyimpannya dengan rapi, dan menjaganya hingga kini.
Mendengar penuturannya, aku percaya. Makhluk asral ini menjaga amanah. Dia menaruhkan nyawa demi menjaga amanah tersebut.
“Putri Selasih, ambillah benda itu. Aku serahkan padamu. Aku percaya padamu. Sebab, selagi benda itu aku yang menjaganya, maka usaha untuk merebutnya tidak akan henti hingga nanti” Ujar Nenek gunung itu sambil tetap mengawasi lawannya. Pahamlah aku persoalan mengapa sampai makhluk ini bertarung hingga ratusan tahun lamanya.
Ketika aku bersama nenek gunung penjaga pusaka kerajaan Selibar berhadap-hadapan, beberapa sosok seperti api ikut juga mengintai pusaka itu. Jika dilihat dari kasat mata, tempat ini biasa-biasa saja. Jika di alam tak kasat mata, ternyata luar biasa. Energi penjaga pustaka luar biasa. Makanya hingga kini belum ada yang mampu melumpuhkannya.
Aku terperangah ketika melihat harimau belang hitam dengan berani melompat ke rumpun bambu berusaha menarik pusaka tersebut.
“Ambillah jika kau sanggup, Jangga. Kau terlalu bernafsu ingin menguasai Bengkulu Selatan itu” Ujar nenek gunung yang berdiri di sampingku. Ternyata, benar. Nenek gunung yang bernama Jangga tidak peduli. Tubuhnya terpental beberapa kali. Sosok seperti api pun tak kalah gesitnya. Dia pun melakukan hal yang sama ingin mengambil pusaka itu juga. Belum lagi sosok hitam berbulu, dengan mata menyala dari tadi kulihat berdiri dekat rumpun bambu. Dia pun melakukan gerakan hendak merebut pusaka itu juga.
Melihat mereka seperti anjing berebut tulang, aku tidak ambil diam. Meski kulihat nenek gunung di sampingku tetap waspada, takut pusaka yang dijaganya itu ditarik makhluk-makhluk asral yang memperebutkannya. Aku melompat lalu menghentak makhluk-makhluk yang berusaha mengeluarkan kemampuan mereka masing-masing
“Minggir!” Bentakku. Beberapa sosok terpental jauh.
“Kalian makhluk-makhluk yang sangat bernafsu ingin menguasai benda ini. Kalian tidak puas dengan jabatan yang kalian miliki? Bukankah kalian adalah raja-raja pada golongan kalian?” Ujarku sembari kembali menghadang makhluk-makhluk asral tersebut. Ternyata mereka ingin juga menjadi pemimpin yang karismatik, disegani, lalu kerajaannya bisa berkembang, banyak yang tunduk dan takhluk dan lain sebagainya. Melihat aku menghalangi, mereka serentak menyerang. Aku balik membalas serangan mereka. Sejenak wilayah ini seperti gulungan debu dan api. Meski menyerangku, namun konsentrasi mereka fokus pada benda pusaka. Aku kembali menghentak mereka hingga terpental jauh.
Makhluk-makhluk asral itu kuusir agar tidak mendekat dan tidak mencoba untuk mengambil pusaka itu lagi. Kutambahkan kekuatan pada pusaka agar tidak ada yang bisa mengambilnya. Rupanya tidak hanya makhluk asral yang ingin memiliki benda ini, tapi tak sedikit para dukun berusaha hendak memilikinya.
“Putri Selasih, sengaja aku mengundangmu ke mari. Ambillah pusaka itu. Kuberikan untukmu. Aku sudah lelah menjaganya. Aku percaya kau mampu menjaganya, dan amanah ” Ujar Nenek Gunung itu kembali.
Mendengar tawarannya, aku tersenyum. Padahal aku telah membantu memberikan kekuatan penjagaan. Maksudnya agar beliau tidak lelah lagi menjaganya. Pusaka itu berupa keris kuno bercincin emas, kepalanya dari kayu kemuning tua. Demikian juga sarungnya, coklat tua dan mengkilap. Ukurannya hanya sejengkal.
Keris pusaka itu disimpan nenek gunung dalam ruas bambu yang tidak berlubang. Manusia biasa tidak tahu jika di antara rumpun bambu ini ada satu pohon yang tidak memiliki lubang. Saat tertentu, bambu itu akan mengeluarkan cahaya, namun ketika dicari, maka dia akan melenyapkan diri. Begitu seterusnya.
“Maafkan aku, Paman. Terimakasih atas kepercayaan Paman. Biarlah pusaka itu tetap di sana, tidak perlu Paman jaga . Insya Allah pusaka itu tidak akan hilang. Siapa pun yang hendak mengambilnya, dia akan berhadapan dengan kita berdua, Paman. Dengan demikian, Paman tetap amanah sesuai dengan keinginan tuan Depati Payung Negara” Ujarku lagi.
Bagaimana pun aku tidak ingin nenek gunung satu ini menjadi penghianat. Ratusan tahun beliau memertahankan benda pusaka ini dengan mempertaruhkan nyawa. Ratusan tahun pula beliau bertahan hingga akhirnya bertemu denganku.
Mendengar apa yang kusampaikan, nenek gunung sesegukan menangis. Aku bingung, mengapa beliau menangis? Apakah karena penolakanku, atau apa aku tidak tahu.
“Ratusan tahun aku mempertahankan pusaka ini karena cintaku pada baginda Depati Payung Negara. Ratusan pula golongan manusia dan bangsaku yang berniat memilikinya. Namun tiba padamu, ketika aku dengan ikhlas memberikannya untuk melanjutkan amanah Depati Payung Negara, tapi justru kau menyadarkan aku agar tetap amanah menjaga pusaka ini. Hal ini membuatku haru, Putri Selasih. Tidak salah jika namamu sangat terkenal di alam gaib tanah Sumatera ini. Ternyata kau bukan manusia tamak, pandai memanfaatkan kesempatan. Justru kau memperkuat aku untuk sama-sama menjaganya dan tetap amanah” Lanjutnya menyusut air mata. Aku tak mampu berkata-kata. Aku memang bukan tipe yang ingin menggunakan kesempatan atau aku mumpung. Aku sangat menghargai pengorbanan nenek gunung satu ini.
Setelah cukup lama berbincang, aku berniat hendak memutar badan, kembali ke gunung Bungkuk. Baru saja memutar badan, aku dikagetkan dengan kehadiran Putri Bulan dan Macan Kumbang.
“Hei!” Ujarku kaget. Putri Bulan tersenyum manis. Perempuan berwajah lembut itu berjalan menghampiriku dan nenek gunung.
“Tindakan yang bijak Selasih. Semoga jadi pembelajaran makhluk di semesta ini, sebagai makhluk kita wajib mengukur diri dan tahu diri. Tindakanmu sudah benar. Membantu, turut menjaga pusaka itu adalah pilihan bijak. Paman, yakinlah, bila Putri Selasih mengatakan akan turut menjaga pusaka itu, maka pekerjaan Paman akan lebih ringan. Paman tidak perlu selalu berjaga di sini. Putri Selasih telah membuat penjagaan di sini akan kontak dengan dirinya dan Paman. Jadi jika ada yang jahil hendak mengambil paksa benda itu, Paman dan Putri akan segera tahu.” Ujar Putri Bulan. Sekali lagi nenek gunung penjaga pusaka mengucapkan terimakasih.
Akhirnya aku bersama Macan Kumbang dan Putri Bulan kembali ke gunung Bungkuk. Suasana hening gunung Bungkuk membuat langkah kami makin ringan. Aku merasa lepas dari beban di pundak. Rasanya seperti baru selesai melaksanakan tugas besar saja. Kekuasaan Depati Payung Negara, raja kerajaan Semibar yang kerap dituturkan oleh masyarakat Panjalu tentang kejayaannya, energi itu kurasakan pada pusaka yang dimilikinya. Perjalanan malam ini sungguh di luar dugaanku. Semuanya serba tiba-tiba. Kembali aku yakin, betapa skenario perjalanan hidup telah diatur Sang Maha Khalik sedemikian rupa. Allahu Akbar!
Bersambung…