HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VI (90B)
Aku diam sejenak. Ruang istana yang luas nampak hening. Semua seperti menunggu aku berbicara. Tidak kulihat para pekerja yang biasanya sibuk ke sana kemari, atau beberapa sosok duduk di beberapa sudut seperti menunggu perintah. Mereka justru duduk agak menjauh sembari menundukkan kepala. Demikian juga para pengawal yang memegang tombak di tiap sudut. Mereka ikut duduk timpuh, diam. Dalam hati aku memuji ketertiban mereka. Melihat budaya dan sopan santun yang sudah tertanam pada rakyatku, ada kebanggaan dan rasa haru tersendiri. Meski dalam hati aku kadang canggung melihat perlakuan mereka yang sangat hati-hati ketika berharga padaku. Aku sendiri kadang heran dengan diri sendiri. Ketika aku menjadi seorang ratu, aku merasakan sebuah energi lain yang membuat semua tindakanku tertata sedemikian rupa. Dan aku merasakan pancaran karismatik itu ke luar begitu saja tanpa harus kukendalikan, atau berpura-pura.
Mungkin inilah yang disebut karomah. Meski aku tidak terlalu mempedulikannya. Biarlah semua berjalan apa adanya. Bagiku, berubahnya akhlak rakyatku menjadi makhluk religius menjadi suatu kebanggaan sendiri, dan ini terus dipupuk dan menjadi prioritas kerajaan. Usia kerajaan Timur Laut Banyuwangi baru seumur jagung, namun auranya memang sudah terasa berbeda. Kemauan untuk berubah menjadi lebih baik memang keinginan masyarakatnya. Di tengah semangat mereka yang membara, rasanya tidak tega aku menyampaikan perihal Nini Ratu. Selama ini mereka meyakini jika Nini Ratu masih ada, dan hanya aku yang bisa berinteraksi padanya. Bayang-bayang Nini Ratu untuk Timur Laut Banyuwangi memang bisa dilepaskan. Namun jika tidak disampaikan sekarang lambat laun mereka pasti tahu. Bagaimana anggapan mereka jika gaibnya Nini Ratu mereka ketahui bukan melalui mulutku? Tentu tidak bijak rasanya. Dan mereka pasti tidak percaya.
Akhirnya kuhimpun kekuatan sembari berpikir hendak berbicara mulai dari mana. Secara batin sebenarnya aku ingin menangis. Namun demi ketentraman kerajaan kutekan perasaan itu. Aku mencoba menenangkan diri sekuatnya. Sejak kutahu ada hubungan emosional dengan keadaan kerajaan, membuatku agak berhati-hati. Aku takut perasaanku akan berefeks sehingga rakyatku resah. Berkali-kali aku menarik nafas panjang. Masya Allah, sedemikian beratnya ternyata menjadi pemimpin. Bahkan untuk marah pada diri sendiri pun harus tertatah sedemikian rupa. Akhirnya setelah berdiam cukup lama, aku mulai berbicara. Kusampaikan kepergian Nini Ratu untuk selamanya. “Jika selama ini kerajaan Timur Laut Banyuwangi masih terpancar gaungnya, bukan karena saya. Tapi karena ada sosok Nini Ratu yang banyak berjasa pada kerajaan ini. Karismatik beliau serupa kaki penyanggah yang memberikan kekuatan pada saya untuk menjalankan amanah yang maha berat ini. Mohon maaf jika saya emosional ketika menyadari tidak bisa bersua kembali dengan Nini Ratu. Saya tidak menyadari jika akan berefeks pada kerajaan dan seisinya. Beliau sudah mengantarkan kerajaan ini kembali berdiri, dan mengembankannya pada kita semua. Saya berharap kita semua dapat melaksanakan amanah beliau sebaik-baiknya. Tetap menjaga kerajaan dan mengembangkannya. Namun sebelumnya saya mohon maaf, jika kerajaan kita tetap kita buat tertutup seperti sediakala. Demi keamanan kerajaan, kita batasi dan tetap menjaga ketat hubungan kerajaan dengan kerajaan-kerajaan di luar sana. Saya mohon, tambahkan penjaga keamanan, dan periksa dengan teliti tamu yang akan ke luar masuk ke mari. Nyi Ratih, sementara jangan izinkan makhluk lain ke mari, kecuali santri, Kyai, dan pandita yang kita ajak dan izinkan untuk memberikan ilmu mereka pada rakyat kita” Ujarku panjang lebar. Aku sengaja tidak membicarakan Nini Ratu panjang lebar. Khawatir perasaan sedihku terulang kembali.
“Om Suwastyastu, Kanjeng. Hamba mewakili Pandita dan Kyai. Kita butuh tempat untuk betapa dan tirakat yang nyaman, Kanjeng. Jika diizinkan, kami akan pindahkan bukit yang bersungai di luar sana, ke mari, Kanjeng.” Ujar Pandita mewakili yang lain. Aku menatap mereka sembari berpikir. Memindahkan bukit dan sungai ke mari? Bagaimana jika bukit dan sungai itu ada penghuninya? Bukankah akan memunculkan permasalahan?” Pandita, saya paham maksud Pandita. Namun memindahkan bukit dan sungai dari luar ke mari, saya yakin itu bukan masalah besar. Saya percaya dengan kemampuan para pandita dan lainnya. Namun saya khawatir, justru kita mengganggu ketentraman makhluk lain yang lebih dulu mendiaminya. Lebih baik, kita keruk tanah kita, kita buat ruang di bawah tanah saja” Ujarku memberi solusi. Pertimbanganku, membuat goa ke dalam tanah, lebih baik daripada harus mengganggu makhluk lain. Rupaya apa yang kusampaikan bisa diterima. Muncullah satu ide untuk membuat goa pada sisi kerajaan. Pilihan pada bagian wilayah kerajaan yang agak membukit, lalu goa akan dibuat pintu ke atas dan ke laut beserta lorong-lorong menuju tempat-tempat pertapaan. Aku menatap Nyi Ratih. Nyi Ratih langsung paham maksudku. Beliau langsung menunjuk salah satu ponggawa yang dipercayainya memimpin pembuatan goa itu. Beberapa Kyai dan santri dari makhluk astral pun menawarkan diri untuk membantu. Akhirnya kami sepakat. Bukit sisi Selatan kerajaan jadi pilihan, karena sebagian bukit menghadap ke laut. Tidak perlu menunggu lama, mereka pun segera bergerak dan bekerja. Bahkan sungguh luar biasa, beberapa sosok menggambungkan keterampilannya untuk membuat gua itu menjadi indah. Aku hanya berdecak kagum dengan tekad dan kemauan mereka yang luar biasa. Mereka ada makhluk-makhluk cerdas dan berbudaya.
Usai pertemuan, bersama tiga nenek gunung dan Eyang Putih, kami bermaksud keliling kerajaan. Nyi Ratih dan dua pengawal juga ikut mendampingi. Kami mulai berjalan dari sisi kiri istana, lalu ke luar masuk perkampungan-perkampungan yang sudah ada. Aku bersyukur geliat kehidupan makin terlihat. Banyaknya sosok beraktivitas di tempat-tempat ramai, menunjukkan kota kerajaanku makin hidup. Aku buru-buru berjalan ketika melihat mereka jauh dan dekat buru-buru duduk timpuh lalu merundukan kepala. Kali ini kami berbelok ke utara. Aku kaget ketika melihat rumah-rumah yang tertatah sedemikian rupa, makin sempurna. Desainya terkonsep semua. Aku seperti masuk wilayah kampung kuno zaman kerajaan-kerjaan terdahulu. Atap-atap seperti jonglo justru membuat nuansa damai dan merakyat. Taman-taman kecil di tiap halaman persis seperti kehidupan di alam nyata. “Mereka sangat menghargaimu, Cu. Karena dirimu dari bangsa manusia. Mereka menyesuaikan diri membuat tempat hunian seperti di alam nyata. Tiada lain untuk membuatmu agar tidak asing, dan sebagai bentuk toleransi mereka pada Kanjeng Ratunya” Ujar Eyang Putih sambil tersenyum. Aku menoleh pada tiga nenek gunung yang mengiring di belakangku. “Lihat, Cu. Ini bentuk rumah-rumah Jawa. Jauh berbeda dengan Rumh baghi di Besemah” Ujarku menunjuk beberapa rumah berderet seperti lukisan. Kami berhenti sejenak menikmati keasriannya. Beberapa sesepuh penghuni rumah ke luar mengetahui kami yang datang. Mereka berpakaian adat ala jawa. Aku tahu sosok yang hadir bukan wujud aslinya. Namun mereka sepakat mengubah diri seperti manusia sesuai dengan perintahku. Ada beberapa yang belum mampu mengubah diri, mereka masih dalam wujud asli. Mereka tengah digembleng berbagai macam ilmu dan kemampuan agar bisa bermanfaat untuk diri mereka sendiri. Untuk itulah mereka meminta tempat yang senyap agar bisa melakukan berbagai macam ritual semedi, bertapa, dan tirakat. Tiada lain untuk mengasah diri dengan berbagai tujuan. Bagiku, selagi itu dijadikan seperti ajang pendidikan seperti sekolah, mencari ilmu dan manfaat, tidak ada larangan. Yang kularang adalah ketika wargaku hendak berguru ke luar. “Terimakasih Eyang, sudah berkenan menjaga kampung ini menjadi lebih baik” Aku memberi hormat pada mereka meski mereka membungkuk menjaga sopan santun sebagai rakyat pada Ratunya. Yang kutemui sepanjang jalan adalah makhluk astral negeriku yang rata-rata berilmu tinggi. Mereka terus saling mengisi dan menggali. Bahkan sulit kutemukan yang mana guru yang mana murid. Masalahnya mereka saling berembut menyatakan dirinya tengah belajar dan statusnya sebagai murid. Aku tersenyum melihat mereka. Budaya rendah hati sudah tertanam pada jiwa-jiwa mereka.
Ketika sampai di sudut selatan kerajaan, kami berhenti sejenak. Di hadapanku ada gundukan tinggi seperti bukit. Inilah tempat yang sudah kami tetapkan untuk dibuat gua. Kulihat banyak rakyatku yang bekerja. Mereka tengah membangun lubang-lubang yang mengarah ke laut. Gua ini sebenarnya sudah terbentuk alami. Hanya saja tidak terlalu dalam ke bumi, ujungnya buntu. Bebatuan di dalamnya sudah membentuk ornamen-ornamen berwarna merah bata dan kuning gading. Lubang yang mengarah ke atas sudah jadi. Mirip seperti corong yang menyedot udara dari atas untuk masuk. Seperti ketika membangun istana, pembuatan gua ini pun tak luput dengan ritual parah tokoh, santri dan rakyatku. Di lembah ada dua kelompok yang sedang duduk menghadap ke bukit. mereka adalah para santri dan kyai beserta jamaah hindu bersama Pandita. Mereka bekerja bersama-sama dengan caranya. Santri dan Kyai ada yang berzikir lalu seperti dengung ribuan lebah seperti angin puyuh ke luar masuk lubang gua. Mereka pekerja-pekerja ulet yang memiliki kemampuan mumpuni mengoptimalkan kekuatan doa dan tenaga dalamnya. Aku berdecak kagum ketika jari-jari mereka membentuk langit-langit gua seperti arsiran kayu berwarna merah bata. Indah sekali. Ada yang menghaluskan lantai bersih dan licin seperti lantai masjid. Sementara tiap lorong ada bagian untuk orang bertapa menenangkan diri dari berbagai aktivitas hidup. Jiwaku kembali takjub kala beberapa dinding mengeluarkan air lalu air-air itu jatuh membentuk sungai kecil di sisi lantai yang licin dan rata. Tiba-tiba aku merasakan suasana yang sungguh berbeda. Gua ini benar-benar dibuat teduh dan nyaman. Kami mencoba masuk ke salah satu lorong di tengah angin yang masih berdengung. Ternyata lorong yang kami masuki di ujungnya ada ruangan kecil menghadap ke laut. Indah sekali. Aku seperti berdiri di jendela, lalu di bawah jendela terpenting laut yang berombak kecil. Ini hanya ada di alam gaib. Di alam nyata, orang hanya melihat sisi ini merupakan tumpukan batu karang dan cadas yang berlumut dan sebagian ditumbuhi perdu yang kering. Kurang lebih ada lima lubang yang menghadapi ke laut ini, merupakan cabang-cabang dari lorong utama. “Indah sekali Eyang!” Ujarku takjub. Eyang Putih tersenyum manis. “Iyalah, yang bekerja itu para petapa yang sangat paham membuat tempat dan titik-titik yang nyaman. Kau rasakan energinya bukan?” Kata Eyang Putih. “Betul Eyang, energi mereka justru membuat gua ini langsung memiliki kekuatan dasyat yang sulit untuk dijelaskan” ujarku kehabisan kata. “Aura gua ini membuat siapa pun yang sampai ke mari menjadi betah” Ujar Eyang Putih. Aku mengangguk sambil sejurus menatap takjub langit-langit gua seperti pualam. Apa yang Eyang Putih katakan benar adanya. Di antara para pekerja seperti lebah itu aku melihat beberapa sosok menaburkan wewangian bunga sembari berdoa. Mereka bertugas menabur aroma positif gua ini.Melihat aku duduk di lantai tengah-tengah gua, beberapa warga dan pengawal kaget. Mereka sibuk mengelap lantai dengan tangan. Aku juga kaget karena mendapat perlakuan seperti itu. Pengawal buru-buru membentangkan kain yang tergantung di lehernya, lalu menyilahkan aku, Eyang Putih dan Nini Ratih duduk di atasnya. Akhirnya demi menghormatinya aku duduk sambil terus menyapu ruang gua yang nyaris selesai. Tepat pukul empat diri hari, gua Timur Laut Banyuwangi sudah selesai. Aku dan rombongan segera pulang ke istana. Sebentar lagi azan subuh, maka semua aktivitas akan terhenti kecuali mereka yang ibadah di masjid istana. Aku bergegas hendak ke masjid bersama Eyang Putih dan Nyi Ratih. Ketika aku berdiri di syaf perempuan aku kaget, nyaris separuh bagian syaf wanita penuh dengan jamaah. Aku menatap pada Nyi Ratih. Nyi Ratih seperti paham lalu beliau menjawab jika jamaah ini adalah para mualaf yang dengan kesadaran sendiri memilih menjadi muslimah. Mendengar penjelasan itu, bukan main bahagianya. Kemajuan Timur Laut Banyuwangi benar-benar pesat. Aku jadi senyum-senyum sendiri ingat pengalaman ketika masjid ini baru berdiri. Jamaahnya baru aku dan Nyi Ratih.Aku baru saja hendak pergi melihat goa di selatan kerajaan yang baru dibuat semalam. Malam ini rencananya aku akan kembali pulang ke Bengkulu. Namun sebelumnya akan singga sejenak ke gunung Dempu. Aku sangat ingin bercerita dengan Puyang Pekik Nyaring, dan sesepuh di sana tentang raibnya Nini Ratu dan tidak bisa dihubungi kembali meski melalui batin. Tak banyak yang bisa kulakukan di Timur Laut Banyuwangi ini kecuali mengamati berbagai aktivitas dan penjagaan. Meneliti pagar pelindung yang menanungi wilayah kerajaan yang masih utuh. Aku merasakan kekuatannya. Makhluk sakti bagaimana pun tak mampu menembusnya meski hanya sekadar hendak melihat saja. Hanya cahaya lembut berwarna ungu seperti lentera membuat teduh siapa pun yang menatapnya. Kalau bukan Nyi Ratih wanita perkasa yang cerdas dan setia, mustahil Timur Laut Banyuwangi bisa seperti ini. Nyi Ratih memang wanita hebat dan profesional. Semua yang dibutuhkan dan langkah terbaik untuk kerajaan ada di benaknya. Beliau adalah lokomotif kerajaan. Kesetiaan dan kesungguhannya benar-benar membuatku kagum. Tidak ada sedikit pun kekhawatiranku padanya. “Kanjeng, para Kyai dan santri mohon diri hendak pulang” seorang pengawal menghampiriku. Aku segera menuju pelataran masjid. Benar saja, beberapa Kyai dan satri dari bangsa manusia hendak pulang ke pondok mereka. Mereka adalah Kyai dan santri yang tekun bertirakat. Wajah yang polos, padang mata yang bening, membuat siapa pu n merasa tentram menatap mereka. Kulepas jiwa-jiwa bersih itu pulang dengan perasaan lega. Mereka rutin bertandang ke mari untuk silaturahmi dan membantu memberikan ilmunya pada rakyatku yang belajar. Keikhlasan mereka membuat jalinan silaturahmi semakin baik. Mereka tidak kenal pamri. Kapan diminta bantuan, mereka selalu siap dan tidak pernah menolak. Menurutku mereka adalah makhluk-makhluk pilihan. Sebab tidak semua anak muda yang begitu taat dan rela menghabiskan waktunya hanya untuk ibadah. Mereka menghabisakan waktunya di pondok pesantren sejak kecil. Jadi wajar saja jika ketaatan mereka sudah terlihat sejak dini, masih muda namun sudah bisa menembus alam tak kasat mata. Kelebihan-kelebihan mereka pun sudah tampak. Jika tidak, mustahil Kyai mereka kerap mengajak mereka melancong ke alam tak kasar mata.
Tak berapa lama aku telah berada di pintu goa. Aku heran, mengapa aku seperti merasakan angin yang sangat kencang dari dalam? Aku memang sengaja pergi diam-diam dan sendiri. Aku hanya ingin menikmati gua yang dibuat rakyat hanya dalam waktu semalam. Semoga goa ini manfaat untuk rakyatku yang ingin meningkatkan kualitas kedekatan diri pada Sang Maha. Aku mulai melangkahkan kaki agar lebih dekat ke mulut goa. Angin yang berhembus masih terasa kencang. Bahkan terasa sedikit mendorong tubuhku. Aku bertahan dan terus berusaha masuk. Beberapa langkah aku sudah sampai di ruang yang lebih besar. Ruang ini yang menghubungkan ke lorong-lorong pertapaan. Ada yang menuju sisi laut, ada yang ke atas, ada juga yang menukik lebih jauh ke dasar bumi. Yang membuatku tak henti takjub adalah ketika dari beberapa dinding goa gemericik air mengalir membentuk sungai kecil. Aku tidak tahu akhirnya air di goa ini mengalir ke mana dan bermuara di mana. Kucelupkan tangan, terasa dingin meresap. Akhirnya kuputuskan untuk berwudu saja.
“Assalamualaikum Kanjeng Ratu” Tiba-tiba aku dikagetkan dengan salah satu sosok lelaki orang alim. Aku menatap lencana yang dipakainya. Beliau rakyatku. Aku segera berbalik sembari menjawab salamnya. “Maafkan hamba, Kanjeng. Jika hamba mengagetkan kanjeng. Hamba mendapat tugas menjaga goa ini Kanjeng. Mengapa Kanjeng ke mari sendiri? Kemana para pengawal Kanjeng” Ujarnya sambil memberi sujud dan hormat. “Saya sengaja sendiri tanpa memberitahu yang lain, Paman. Saya ingin menikmati gua ini dengan leluasa” Ujarku sembari naik dari bibir sungai. “Air sungai ini telah didoakan oleh para sesepuh agama tadi malam, kanjeng. Airnya tidak saja bisa dipakai untuk berwudu, tapi juga bisa langsung di minum siapa pun yang akan bertapa atau tirakat di goa ini” Ujarnya lagi. Mataku sedikit terbelalak mendengarnya. Luar biasa para tokoh negeriku ini. Aku bersyukur dalam hati. “Jadi, sayalah yang pertama berwudu di sini, Paman?” Ujarku lagi. Paman penjaga goa mengangguk. Bahkan beliau memintaku untuk meminumnya juga. Akhirnya aku kembali turun ke bibir sungai. Aku duduk sejenak, lalu menengadahkan tangan, berdoa terlebih dahulu. Mendoakan sumber mata airnya. Usai berdoa, sejenak aku melihat cahaya pelangi mengalir deras di permukaan sungai. Rupanya air menyambut gembira setiap doa yang ditujukannya padanya. Masya Allah, air ini tidak saja akan bengenyangkan siapa pun yang meminumnya. Namun dapat juga menyembuhkan penyakit. Setelah selesai, aku mengatupkan kedua telapak tangan, lalu menampungnya, dan meminumnya. Air terasa dingin mengalir sejuk di tenggerokanku. “Air ini juga memiliki mukjizat dapat menyembuhkan siapa pun yang sakit, Paman. Saya bisa minta tolong, Paman?” Tanyaku pada Paman penjaga yang disambutnya dengan anggukan cepat. “Setiap bulan purnama, Paman doakan mata air sungai ini, agar energinya tetap stabil dan bisa dinikmati oleh siapa pun yang tirakat maupun bertapa di sini” Ujarku. Paman penjaga mengangguk cepat. “Hamba siap laksanakan, Kanjeng Ratu. Akan hamba doakan mata airnya setiap bulan purnama. Hamba akan jaga kebersihan sungai ini” Janjinya. Aku lega menatapnya. Aku percaya padanya. Meski baru kali ini aku mengenal dan bertatapan langsung pada beliau, tapi aku merasakan kesetiaannya. Beliau juga nampaknya seorang betapa.Setelah berbincang-bincang sesaat, akhirnya aku mohon diri untuk melanjutkan perjalanan masuk ke lorong-lorong. Ternyata beliau tidak tega melepaskan aku sendiri. “Mohon maaf kanjeng, izinkan hamba mendampingi kanjeng berkeliling goa. Sekaligus akan hamba jelaskan nama-nama lorong, berikut tingkatannya, Kanjeng. Sebab tempat bertapa, di dalam goa ini disesuaikan dengan tingkat keilmuan yang dimiliki setiap orang, Kanjeng.” Jelas beliau lagi. Oh! aku baru tahu kalau goa ini ditatah sedemikian rupa. Kukira cukup terbentuk goa, lalu memberikan kenyamanan pada setiap orang yang hendak tirakat di dalamnya. Rupanya ada kelas-kelasnya disesuaikan dengan tingkat keilmuan. “Jadi goa ini tidak hanya sebagai tempat seseorang memilih hening agar dekat pada Sang Maha saja, ya Paman. Tapi ada semacam gemblengan bagi siapa pun yang hendak menyempurnakan kebatinanya?” Tanyaku lagi. “Benar sekali, Kanjeng. Gua ini nanti akan berfungsi tempat belajar. Terutama ponggawa-ponggawa kita, Kanjeng Ratu. Nyai Ratih sudah memilih siapa saja yang wajib belajar dan tidak” Ujar Paman penjaga lagi. Aku bersyukur dalam batin. Sungguh hal seperti ini tidak terpikir olehku sebelumnya. Namun di bawah pengawasan Nyi Ratih ternyata semuanya sudah berjalan. Aku bahagia sekali mendengarnya meski belum mendapatkan laporan dari Nyi Ratih. Biasanya beliau melaporkan segala macam hal yang telah dilakukan dikerajaan. Tak satu masalah pun yang tidak beliau laporkan padaku.
Akhirnya aku dan Paman penjaga gua berjalan makin ke dalam. Paman menyampaikan nama-nama lorong dan berapa titik tiap lorong tempat bertapa. Semakin ke dalam semakin senyap. Suara gemericik air sudah tidak terdengar lagi. Banyak sekali ruang-ruang sunyi yang ditata sedemikian rupa. Rata-rata dibuat remang. Jika hendak terang, di dinding-dinding sudah ada lentera-lentera yang bisa langsung disulut. Sepanjang lorong, aku melihat kerlap-kerlip seperti lampu pijar warna-warni. Ternyata warna itu berasal dari batu-batu permata yang memantulkan cahaya. Indah sekali. Melihat dinding gua yang licin aku mencoba menyentuhnya. Dinding gua, terasa dingin. Kuperhatikan semuanya. Dinding, langit-langit, dan lantai gua seperti dilapisi batu pualam, membuat udara lorong tidak beraroma lembab. Aku yakin, siapa pun yang berada di sini pasti akan betah. “Kanjeng Ratu, di ujung sana ada ruangan. Hamba rasa kanjeng tadi malam belum sampai ke sana. Itu tempat khusus, Kanjeng. Tidak sembarang orang yang diizinkan masuk ke sana.Tempat itu telah dipagar khusus. Hanya orang yang berhati bersih saja yang bisa melangkah melalui pintu gaibnya” Ujar paman penjaga lagi. Aku jadi penasaran. Banyak dan panjang sekali gua ini. Tapi aku memaklumi, mereka memang rata-rata ahli bertapa. Jadi semuanya disesuiakan dengan kebutuhan mereka.Sampai di mulut ruangan yang dimaksud, aku sudah merasakan energi yang menghadang. Aku segera membaca doa, lalu pelan-pelan menyibakkan semacam tabir penutupnya.
Masya Allah, ruangan yang luas ini lebih indah dari ruang-ruang bawah tanah yang lainnya. Di bagian tengah ruangan ada semacam meja dan kursi batu tempat duduk. Lalu di bagian utara ruangan ada seperti panggung. Semua terbuat dari batu. Bahkan batu tempat duduk beberapa orang tersedia di dalamnya. Yang membuatku berdecak kagum adalah alas karpet yang menutupi lantai adalah beludu tebal berwarna hijau kekuningan. Aroma wangi bunga tidak menyengat namun semacam aroma terapi yang membuat ruangan menjadi segar. Pintu masuk dan ke luar untuk kemari hanya satu. Berbeda dengan ruang lainnya yang menghubungkan lorong-lorong dan ruang lainnya. “Kanjeng Ratu, coba Kanjeng sentuh dinding goa dengan ke dua telapak tangan Kanjeng” Ujar Paman penjaga lagi. Aku segera menghampiri sisi ruangan, lalu menyentuhkan ke dua telapak tanganku dan menyapukannya ke samping. Nyaris saja aku terpental karena kaget. Sebab ketika kusentuh maka dinding gua berubah seperti layar yang memperlihatkan semua aktivitas rakyatku di luar istana. Bagaimana bisa? Aku bingung setengah mati. Bisakah ini dikatakan teknoligi seperti di alam nyata? Bagaimana dinding ini menjadi multifungsi yang bisa melihat semua aktivitas rakyatku? Dinding ini semacam jendela membuat siap pun leluasa memandang ke luar. Sulit sekali untuk dicerna oleh akal. Aku merasakan dunia nyata dan tak kasat mata seperti tanpa batas.”Ruang ini siapkan khusus untuk Kanjeng. Di desain sedemikian rupa agar Kanjeng tetap bisa memantau perkembangan rakyat kerajaan. Tanpa seizin Kanjeng Ratu, tidak satupun makhluk yang bisa masuk ke mari, Kanjeng” Ujar paman lagi setelah menanyakan apakah ada kekurangannya ruang ini. Aku tak mampu berkata-kata. Semuanya terlihat istimewah. Bagaimana aku bisa mengatakan ada kekurangan? Terakhir aku bersama paman berjalan menuju lorong yang menghadap ke laut. Tadi malam aku sudah ke mari. Angin yang berhembus kencang masuk ke lorong-lorong gua hingga ke mulut goa rupanya berasal dari mulut goa yang menghadap ke laut ini. Lalu dibantu oleh lorong-lorong yang mencuat ke atas.
“Ternyata, goa-goa di alam nyata, bisa jadi sengaja dibuat dan dirancang sedemikian rupa atas bantuan makhluk tak kasat mata. Namun di alam nyata, bangsa manusia menyebutnya goa-goa alamiah yang terbentuk sendiri. Tanpa campur tangan makhluk gaib, mustahil muncul ornamen – ornamen seperti menggambarkan kisah atau siklus kehidupan tertentu. Ah! Allah memang Maha Kaya. Tak satu pun karya di muka bumi ini tanpa izin-Nya. Bahkan beberapa lorong goa di alam nyata ada yang bisa langsung menuju Makkah Al Mukaromah. Ingat hal itu bulu kudukku langsung merinding. Aku segera duduk dan berzikir.
Bersambung…