HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VI (91B)

Karya RD. Kedum

“Tutur kata dan tindak-tanduk yang diajarkan para tetua sudah banyak dilanggar dan ditinggalkan oleh manusia zaman sekarang. Rasa takut, segan, dan hormat dengan ‘pejadi’ sudah luntur. Salah satu contoh zaman dulu, seorang anak tidak berani menyebut nama orang tuanya sembarangan. Ada rasa kurang etis dan dianggap tabu, tidak punya sopan santun, membuat malu keluarga jika aturan adat itu dilanggar. Tapi sekarang hal itu sudah diabaikan. Bahkan mereka yang masih bertutur kata lembut dan hati-hati dianggap kolot” Nenek ceriwis menimpali.

Mendengar apa yang dikatakan nenek Ceriwis aku membenarkan dalam hati. Aku menyadari, memang banyak hal yang sudah berubah.

Suatu kali pernah ibu berkata, katanya jika anak-anak pada zamannya, tidak ada yang berani bersuara besar, merengek, apalagi bergelayut di tangan seorang Bapak seperti yang kerap aku lakukan. Kerap aku ditegur ibu dan itu dianggap salah tempat. Maka tidak heran saudara-saudaraku, baik sepupu mau pun bukan semua merasa takut jika bertemu Bapak. Apalagi Bapak agak otoriter. Sementara aku, berusaha mengusir rasa takut dengan banyak meminta perhatiannya. Aku memang telah melanggar satu kebiasaan sukuku itu. Bagiku Bapak bukan untuk ditakuti, tapi disegani.

Ibu kerap menasehati saudara lelakiku bahwa lelaki di dalam keluarga wajib mejaga wibawanya dan ditanamkan sejak dini sebagai calon kepala rumah tangga. Sebab tanggungjawab lelaki itu berat. Mereka punya kewajiban menjaga dan berjuang untuk keluarga. Mereka punya tanggungjawab menjaga nama baik keluarga. Maka para lelaki tidak boleh disibukkan dengan mengasuh anak, momong bayi, atau mengambil alih pekerjaan perempuan di dapur, atau di sumur. Kecuali dalam keadaan sangat terpaksa. Jika ada lelaki yang melakukan itu jatuhlah harga diri dan martabatnya sebagai lelaki. Mereka akan disebut-sebut sebagai lelaki pemalas, ‘dek benasu’ istilah orang Besemah untuk menyebut lelaki yang tidak sigap sesuai kodratnya sebagai lelaki. Bahkan yang lebih parah lagi diistilahkan dengan sebutan “ngerbai”. Sebuah istilah yang memiliki makna sangat dalam untuk lelaki yang sudah kehilangan harga diri.

Suatu kali aku pernah protes sama Ibu. Bagaimana tidak, masak aku dilarang bermanja-manja dengan Bapak sendiri? Lalu kedekatanku dengan kakek Haji Yasir dan kakek Haji Majani pun apakah itu bisa dikategorikan pelanggaran adat? Mereka tempatku bermanja. Bahkan dalam usia belasan aku masih tidur dengan mereka? Mereka juga sayang padaku. Aku merasa jika mereka memang sangat memanjakan aku. Waktu itu ibu tidak bisa berkata-kata, dan beliau selalu menyebutku manja.

Suasana agak ramai karena semua berpendapat dan mengulas tentang berbagai macam adat yang dilanggar dan ditinggalkan oleh bangsa nenek gunung, utamanya oleh bangsa manusia. Sehingga hal itu kerap membuat mereka malu sendiri.

“Banyak sekali memang Puyang, ‘petua baghi’ telah ditinggalkan dalam kehidupan nyata. Dulu, anak perempuan dididik patuh dan hormat pada saudara lelakinya baik masih kecil mau pun besar. Karena anak lelaki adalah wakil ayah, pengganti wali untuk anak perempuan. Oleh sebab itu, kalau ada anak bujang yang berminat dengan anak gadis seseorang, maka yang akan ditemuinya adalah ibu si gadis. Sang bujang tidak akan berani bertandang jika ada Bapak atau saudara lelakinya. Tapi sekarang, lihatlah. Contohnya mereka yang datang ke puncak Dempu ini. Perempuan lelaki nyaris tidak ada batas. Perempuan tidak menjaga lagi harga dirinya, yang lelaki kehilangan tanggungjawabnya” Lanjut salah satu pengawal istana Puyang Pekik Nyaring ikut nimbrung.

“Iya, zaman telah berubah. Manusia makin banyak. Bumi semakin hari semakin padat. Kita pun demikian, semakin lama semakin banyak. Lihatlah, dulu bebatuan dan pasir di sisi Merapi Dempu ini tidak ada penghuninya. Tapi kini, tidak hanya di dusun kita saja, namun bebatuan, pasir, air, hutan, semuanya berpenghuni. Dunia sudah semakin tua. Tinggal kita harus pandai menjaga diri, dan menjaga keluarga” Puyang Pekik Nyaring menambahkan dengan nada berat.

“Assalamualaikum Puyang. Di dekat Talang Pisang ada keributan. Nampaknya anak bujang Landu dan anak bujang Sapaw tengah memperebutkan gadis dari dusun Gumay. Mereka satu tujuan hendak mempersunting gadis itu. Akhirnya mereka bertarung di ulu Talang Pisang” Salah satu penjaga dusun datang buru-buru menghadapi Puyang Pekik Nyaring.

Semua mata menatap padanya. Termasuk aku. Jarang sekali aku mendengar bangsa nenek gunung bertarung gara-gara memperebutkan perempuan.

Aku melihat kening Puyang Pekik Nyarinya berkerut. Baru saja di forum ini membahas masalah adat dan tradisi. Namun muncul masalah baru yang berkaitan dengan tradisi pula.

“Suruh Panglima Kik ke sana, lerai mereka, lalu bawa ke mari” Ujar Puyang Pekik Nyaring.

Sang pengawal segera mohon diri menemui Paman Kik.

Obrolan kembali berlanjut panjang lebar. Aku menjulurkan tangan mengambil kelicuk padi beram, makanan khas Besemah yang tersedia sejak tadi. Masih terasa hangat.

Ketika semua masih asyik berbicara berbagai macam hal, sambil mengunyah, pikiranku justru tertuju pada dua anak bujang yang katanya bertarung memperebutkan gadis dari Gumay itu. Biasanya bangsa ini tidak akan bertarung kecuali mempertahankan harga diri. Rasanya tidak mungkin jika bertarung karena memperebutkan seorang gadis bangsa manusia. Apakah tradisi dan budaya di dusun tak kasat mata ini pun telah berubah? Aku kembali membolak-balik pikiran. Rasa penasaran membuat aku bertahan dan belum berniat pulang.

Sebenarnya aku sudah gatal ingin menyusul Paman Kik ke Talang Pisang. Rasanya ingin melerai lalu memarahi kebodohan keduanya. Tak biasa di puncak Dempu ini terjadi perang saudara. Berbenturan dengan kelompok lain yang bertempat tinggal di gunung Dempu ini saja kerap dihindari. Tidak akan muncul gesekan sesama makhluk astral di sini kecuali terpaksa. Kalau bukan untuk menghindari pertikaian, tidak mungkin Puyang Pekik Nyaring mengutus bangsa manusia, seperti Nenek Pagar Jaya, Nenek Kam, Wa’an Nur, dan masih banyak yang lainnya.

Akhirnya aku membatin. Diam-diam aku mencoba melihat dari jauh apakah memang ada pertarungan? Ternyata memang benar. Aku melihat pertarungan bersaudara yang sangat sengit. Kedua nenek gunung yang masih bujang itu benar-benar bertarung mati-matian. Mereka bukan hanya sekadar saling menundukkan. Namun mereka sudah hendak saling bunuh. Ingin rasanya aku menengahi mereka lalu memisahkan keduanya saat ini juga. Namun aku tidak berani mengungkapkannya. Puyang Pekik Nyaring tahu kapan harus bertindak dan kapan tidak. Akhirnya aku hanya menatapnya saja sambil menahan gelisah.

Ternyata tindakanku diketahui Puyang Pekik Nyaring. Puyang Pekik Nyaring tersenyum menatapku.

“Lihat, mendengar ada yang bertarung, Cucuku sudah gatal. Hatinya sudah gelisah hendak ke arena” Ujarnya membuatku kaget.

Benar, aku gelisah melihat mereka bertarung.

“Mereka hendak saling bunuh, Puyang” Ujarku sedikit gugup.

“Tidak apa-apa, sudah ada Panglima Kik ke sana. Beliau pasti mampu melerai perkelahian itu” Lanjut Puyang Pekik Nyaring lagi.

Akhirnya aku mengangguk dan diam meski hatiku masih bergerak-getar hendak tahu lebih jauh duduk persoalan sebenarnya. Padahal baru saja aku mendengarkan berbagai macam ulasan tentang adat dan tradisi yang sudah hilang di tanah ini, malah muncul hal yang menurutku tidak mesti bertaruh nyawa. Tapi apa mau sikat. Harga diri bagi suku di tanah Besemah ini adalah nyawa. Demi mempertahankan harga diri suku ini memang berani mati.

Belum sempat aku berpikir lebih jauh dan menimbang-nimbang soal kebijakan, tiba-tiba aku mendengar suara rintihan seperti orang demam malaria dari luar. Semua mata tertuju pada pintu masuk. Tak lama, Paman Kik masuk sambil memanggul dua tubuh yang berdarah-darah. Keduanya nampak terluka lemas.

“Letakkan di sana, Panglima” Ujar Puyang Pekik Nyaring menunjuk sudut ruang. Dua bujang nenek gunung diletakkan Paman Kik beralas tikar purun bercorak merah dan biru. Keduanya merintih kesakitan. Nafas mereka tinggal satu-satu. Dada keduanya turun naik.

Aku mengamati keduanya dalam-dalam. Mereka tidak saja luka luar, tapi luka dalam juga lebih parah. Mata mereka terpejam. Di antara yang hadir, mungkin hanya aku yang cemas. Para kakek, nenek, dan puyang ekspresinya santai saja.

“Apa yang kalian rebutkan? Ingin membuat sejarah baru di kampung kita?” Tanya Puyang masih sambil duduk.

Tidak ada jawaban. Kedua anak bujang kondisinya setengah mati. Salah satu mereka wajahnya sudah sulit dikenal. Penuh luka cakaran. Sedangkan yang satu lagi, perutnya terluka menganga meski tidak terburai. Darah yang mengucur meninggalkan noda sepanjang jalan, dan tergenang di sisi tubuh mereka. Aku takut sekali mereka kehabisan darah. Dari jauh kutotok titik-titik nadi mereka agar darahnya berhenti mengalir.

Beberapa orang kulihat berdiri di dekat darah-darah yang bercecer. Mungkin mereka hendak mengelap darah yang bercecer itu. Sejenak aku memperhatikan gerak-gerik mereka. Tapi, mengapa mereka seperti hendak mengeluarkan energi dan jurus tertentu. Aku semakin penasaran. Akhirnya aku mendekat, akan mereka apakan darah yang berceceran itu.

Pertama kukira mereka akan mengelap dengan semacam kain pel ketika diminta Puyang untuk segera bersihkan. Rupanya cukup dengan meletakan telapak tangan. Darah yang berceceran segerah bersih. Aku tersenyum melihat lelaki yang telapak tangannya bisa membersihkan darah. Dalam hati aku kagum juga, dan mengganggapnya nenek gunung yang hebat.

“Dia itu memang diwariskan kemampuan hanya untuk membersihkan hal seperti itu, Putri Selasih. Makanya jika bangsa kita, bangsa manusia ada yang membunuh nenek gunung di tanah Besemah ini, orang tidak akan menemukan ceceran darahnya. Karena ceceran darah itu pasti akan segera dibersihkan oleh sapu jagat itu” Ujar Nenek Kam menjelaskan menyebut sosok-sosok yang bekerja sebagai sapu jagad. Aku baru tahu kalau ada pasukan sapu jagat di Dempu ini.

“Nah, sekarang giliran Cucuku Putri Selasih mengobati mereka ” Lagi-lagi suara Puyang Pekik Nyaring bernada santai.

Aku menatap beliau untuk memastikan sungguh-sungguh atau tidak. Rupanya beliau serius memintaku untuk melihat keadaan dua anak bujang itu.

Akhirnya aku menghampiri keduanya. Kuamati sekilas luka-luka mereka. Nenek Kam menggamit lenganku mengeluarkan beberapa lembar daun. Aku menyambarnya lalu meletakkannya ke atas dua sosok yang tak berdaya itu. Luka keduanya parah dan tidak beraturan. Aku bermunajat terlebih dahulu. Baru mengamati luka mereka satu-satu.

Ketika aku hendak mulai mengobati keduanya, tiba-tiba seperti angin kencang masuk dua sosok nyaris bersamaan ke dalam ruang istana Puyang Pekik Nyaring. Mereka langsung menghampiri dua pemuda yang terluka dan tak berdaya. Meski tidak menangis, namun terlihat kedua-duanya menahan diri untuk tidak histeris. Dada keduanya turun naik sembari memegang dua pemuda yang tak berdaya.

“Sapaw, Landu, kalian tidak usah khawatir. Anak kalian kita obati” Puyang Pekik Nyaring seakan memahami perasaan kedua orang tua pemuda ini.

“Maaf Puyang, bukan masalah bisa diobati atau tidak. Tindakan keduanya telah mencoreng kerajaan kita. Telah mencemar nama baik kita. Karena kelakuan mereka, membuat seakan-akan kita makhluk yang tidak bisa menerima hal yang baik dengan akal sehat. Maafkan anak kami yang telah membuat malu ini, Puyang. Kami siap untuk mendapat hukum adat, atas kesalahan dan kelalaian kami dalam mendidik anak kami” Lelaki besar tinggi yang disapa Sapaw duduk seperti minta ampun pada Puyang Pekik Nyaring.

“Hukum adat jelas ada, Sapaw. Namun itu nanti, yang penting anak kalian sehat terlebih dahulu. Cucuku akan mengobatinya” Ujar Puyang Pekik Nyaring sambil memberi kode padaku untuk melanjutkan pengobatan.

Aku duduk kembali, memulai semuanya dengan doa. Aku ingin mencoba pengobatan yang diberikan Puyang Purwataka lalu kukombinasikan dengan pengobatan kakek Njajau. Langkah pertama, kuhilangkan rasa nyeri pada keduanya. Tanganku mulai menari di atas tubuh mereka. Cahaya biru seperti leser berputar cepat. Setelah kurasakan sudah merata aku kembali membaca doa dan mantra. Aku menempelkan telapak tanganku kembali, mulai dari kepala dan wajah.

Jari jemariku seperti ratusan alat yang meraba wajah dua nenek gunung yang masih muda ini. Bagian yang cabik kusatukan kembali. Erangan halus mulai terdengar. Namun tidak seperti ketika mereka di bawa ke mari. Aku kembali meraba luka-luka disekujur tubuh mereka. Kusatukan kembali kulit mereka yang mengelupas serta daging tubuh yang koyak- monyak seperti semula.

Puyang Pekik Nyaring dan lainnya memperhatikan aku bekerja. Nampaknya mereka sepenuhnya menyerahkan pengobatan padaku. Meski memakan waktu cukup lama, akhirnya tugasku menyatukan kulit mereka yang koyak monyak selesai.

Meski secara fisik dua makhluk astral ini sudah tidak terlihat lukanya lagi, namun pengobatan belum tuntas. Keduanya luka dalam cukup parah. Aku meraba tubuh mereka satu-satu. Yang satu ini kurasakan detak jantungnya sangat lemah dan nafasnya sesak karena tulang rusuknya ada yang patah lalu menusuk ke sisi kiri jantung. Aku segera mengembalikan posisi tulangnya. Darah yang menumpuk di lambungnya kukeluarkan melalui mulut dan dimuntahkannnya. Tak urung semua kaget melihat dia muntah darah. Namun setelah itu baru nafasnya tidak sesak kembali. Dia mulai bisa bernafas normal dan membuka mata. Kulanjutkan pemuda yang ke dua. Perutnya yang terluka parah tadi, meski tidak sampai ususnya terburai namun ternyata usus besar dan usus halusnya luka juga. Aku melihat pendarahan di dalam cukup parah. Aku kembali meraba dan mengembalikan kondisinya. Sama dengan pemuda yang satunya, pemuda satu ini pun muntah darah. Memar di dadanya juga menyebabkan paru-parunya pendarahan. Cukup lama aku berusaha mengembalikan semua syarafnya normal kembali. Setelah kuperkirakan semua sudah pulih, terakhir aku transfer energi pada keduanya berbarengan. Ternyata di belakang, kakek Njajau dan Nenek Kam ikut mendorong energinya membantuku, sehingga pemulihan makin cepat.

Huff!
Kedua pemuda nenek gunung ini bangkit, lalu kembali berhadapan. Mata mereka masih saling tantang. Ada energi amarah dan dendam di sana.

Melihat kelakuan mereka, Puyang Pekik Nyaring menotok mereka dari jauh.

Desst! Desst!
Keduanya berdiri kaku seketika.

“Urus mereka panglima Lak. Beri mereka hukuman sesuai dengan kesalahan mereka. Masukan keduanya di liang dua” Nada Puyang Pekik Nyaring sedikit tinggi.

Aku tahu, beliau marah karena kedua pemuda ini tidak memperlihatkan itikat baiknya. Di hadapan para sesepuh mereka berani saling tantang. Padahal sudah dilerai, diobati, bahkan kedua orang tua keduanya menyerahkan diri, dan mengaku semua kesalahan mereka yang gagal mendidik anaknya, ternyata di depan orang tuanya, bahkan di depan para Puyang mereka memperlihatkan sikap tidak terpujinya. Melihat ini wajar Puyang Pekik Nyaring agak marah. Aku yakin, mereka akan mendapatkan hukuman yang cukup berat.

Baru kali ini aku mendengar liang dua. Apa maksudnya? Apakah itu penjara sesuai dengan kelasnya? Aku tidak tahu. Jika ada liang dua, artinya ada liang satu. Setahuku liang itu adalah lubang di dalam tanah yang sengaja dibuat untuk kebutuhan tertentu. Misalnya mengubur orang mati. Apakah kedua pemuda itu diletakkan dalam liang seperti kuburan? Aku bingung sendiri. Namun tidak berani bertanya.

Kedua pemuda yang masih berdiri kaku akhirnya dibawa Paman Kik dan kawan-kawannya ke luar ruangan. Mereka segera dikurung untuk mendapatkan hukuman sesuai kesalahan mereka. Tinggallah orang tua keduanya tertunduk malu dan minta dihukum karena merasa gagal mendidik anak mereka menjadi ksatria. Akhirnya salah satu sesepuh mengatakan kedua pemuda itu akan disidang beberapa hari lagi setelah sesepuh adat berkumpul dan membahas kesalahan keduanya. Maka biasanya akan kena denda adat. Selebihnya hukum sosial akan berlaku pada keluarga mereka. Meski masyarakat tidak mengucilkan mereka, namun pasti akan menjadi bahan pembicaraan. Keluarga mereka akan nenjadi bahan gunjingan, dan akan selalu jadi contoh. Akibatnya, mereka tidak berani menampakkan wajah di hadapan orang banyak karena malu. Tidak heran jika ada yang mengalami peristiwa seperti ini, mereka mengasingkan diri lalu memilih jadi petapa.

Waktu sebentar lagi fajar. Artinya, semua aktivitas akan terhenti jika subuh telah tiba. Aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, pulang ke Bengkulu. Akhirnya, masih membawa pertanyaan di batin penyebab pertarungan dua pemuda nenek gunung itu, aku pamit beranjak pulang. Puyang Ulu Bukit Selepah, Nenek Kam, dan Kakek Njajau juga pulang. Mereka pulang ke Seberang Endikat. Kakek Andun ke Bandar Jaya.

Melihat aku akan pulang sendiri, ternyata Puyang Pekik Nyaring tidak tega. Akhirnya Macan Kumbang mengantarkan aku pulang. Kami melintasi hutan, bukit, dan sisi laut lewat Bengkulu Selatan. Dalam sekejap, kami telah berada di kota Bengkulu. Sengaja kami berdua berjalan sejenak di pusat kota, menikmati jelang subuh Bengkulu yang sepi.
Ternyata keberadaan kami diketahui Eyang Kuda. Beliau segera menghampiri kami sambil tersenyum lebar.

“Rupanya ada Kanjeng Ratu Timur Laut Banyuwangi singgah ke tanah Raflesia? Ada apa gerangan Kanjeng?” Gaya Eyang Kuda membuatku tertawa terpingkal-pingkal.

Ternyata Eyang bisa juga melawak.

“Ayo, mau solat subuh dimana? Ikut Eyang ke masjid Jamikkah?” Tawar Eyang Kuda.

Macan Kumbang segera mengangguk ingin solat subuh di Masjid Jamik. Aku memilih solat di rumah saja. Akhirnya keduanya setuju, aku segera pulang menembus angin yang bertiup tenang sendiri.

Aku langsung menuju kamarku. Mengetahui aku yang datang, bayanganku segera bangkit, lalu kembali menyatu dengan tubuhku. Bapak dengan ibu masih tidur. Aku yakin keduanya sebentar lagi akan bangun melaksanakan solat subuh. Kuketahui dari sosok penggantiku, jika beberapa kali ada yang datang ke mari mencariku. Ketika kutanya apakah mereka sosok manusia atau makhluk astral. Katanya sosok manusia namun bisa masuk ke alam gaib. Lalu kutanya siapa dia? Sosok bayanganku mengatakan dirinya bersembunyi enggan bertemu.

Pikiranku langsung mengarah ke Alif. Mungkinkah pemuda soleh itu yang datang mencariku? Ada perasaan bahagia diam-diam merambat dalam hati. Seperti bunga, pelan-pelan mekar dari kuncupnya seiring munculnya sinar matahari.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *