HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VII (100B)

Karya RD. Kedum

Aku mengangkat tangan tinggi-tinggi lalu mengurung pasukan Dewi Laut Silincing Api dengan kabut dingin. Seketika kabut yang kukumpulkan kutingkatkan dinginnya untuk menetralisir hawa panas sekaligus pengenaln pembukaan pada mereka. Tak lama terdengar suara jeritan dan erangan perlawanan pasukan Dewi Laut Silincing Api. Kabut dingin berulang kali seperti digempur dentuman geledek berkali-kali. Mereka memberontak hendak menjebol dinding kabutku. Aku segera membaca doa dan mantra untuk mengokohkan lingkaran kabut yang mengurung pasukan Dewi Laut Silincing Api.

Hiiiiat! DuaaaR ! Aku segera masuk ke dalam kabut dingin buatanku. Hantaman maut salah satu pasukan Dewi Laut Silincing Api kupatahkan sehingga terjadinya benturan dasyat dan mengeluarkanpercikan api. Api yang berkobar seperti bola menyambar dan menyerang ke sana ke mari. Mengetahui aku ada di dalamnya, akhirnya semua terpusat hendak menyerangku.
“Bagus! Jika mati, kita akan mati bersama-sama di sini, Cucu Adam” Dewi Laut kembali tertawa. Tangannya diangkat ke atas tinggi-tinggi. Dia tengah memusatkan kekuatan. Tangan sebelah kiri menggenggam semacam tongkat sekaligus senjatanya. Rabutnya yang berbentuk ular mulai siap-siap menjalar dan hendak menyerang.
“Masih ada kesempatan terakhir Dewi Laut Silincing Api. Jika hendak kembali dalam keadaan utuh, aku akan bantu mengembalikan kalian semua” Ujarku memberikan kesempatan kembali. Sebab aku yakin, aku tidak akan sendiri memusnakan makhluk satu ini. Pasti sesepuhku tengah mengawasi kerjaku.
“Tidak usah banyak tanya lagi, anak manusia. Kau sombong sekali sesumbar hendak menghancurkan kami. Memangnya kau memiliki apa berani menghadang aku” Ujarnya dengan nada tinggi. Dagunya sedikit mendongak menampakkan kesombonganya diikuti dengan sinar matanya kadang seperti kilatan api. Hal ini segaja dilakukannya untuk melemahkan mentalku agar aku takut. Semacam gertak sambal makhluk astral bernama Dewi Laut Silincing Api.
Perdebatan Dewi Laut Silincing Api denganku berlangsung beberapa menit. Hasilnya dia tetap bersikeras ingin melakukan ritual di telaga merah itu. Dalam perdebatan dia menyebut-nyebut guru-gurunya. Salah satu gurunya yaitu disebutnya penguasa laut Selatan Nyi Roro Kidul, lalu Dewi Lanjar, Nyi Blorong, bahkan semua tokoh-tokoh hutam penguasa laut disebutnya. Terakhir disebutnya Tuhannya adalah Dajjal.

Mendengar penjelasannya aku tidak bisa menganggap enteng makhluk ini. Ratusan tahun dia bertapa lalu kembali lagi ke sini pasti sudah menyiapkan diri dan yakin akan menang. Aku segera memanggil Nyi Ratih agar membawa para santri dari Timur Laut Banyuwangi untuk membantu zikir di area ini. Demikian juga paman Raksasa kumintai tolong bersama syech dan santri yang kerap belajar di Uluan. Kalau sudah berbicara dajjal, kekuatan iblis itu sedikit banyak pasti dimiliki oleh makhluk laut ini. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Pengikut dajjal satu ini harus kumusnakan.
“Siapa yang kau panggil Cucu Adam? Kau takut mendengar nama guru-guru yang akan membantuku bukan? Kau tidak punya nyalih sebenarnya kecuali minta bantuan dari bangsa kami” Dewi Laut meremehkan aku. Aku tidak menanggapinya. Aku terus konsentrasi menghalau kekuatan negatif yang menyerang kabutku.
“Tidak usah sesumbar terus Dewi Laut Silincing Api. Jika kau hebat, harusnya kau tidak bisa terkurung di dalam kabutku ini. Kalau aku pengecut tidak perlu aku ikut masuk ke mari. Aku juga bisa memusnakanmu tanpa harus masuk ke mari” Ujarku datar dan dilawannya dengan satu pukulan. Aku segera menghindari pukulannya dengan memberikan gerakan lembut seperti bayangan. Meski berulang-ulang kali dia berikan pukulan seperti menghantam ruang kosong.
Sebelum aku melakukan penyerangan balik kembali, aku segera mengambil tindakan agar kabutku tidak rata dengan bumi. “Huu Allah, Huu Allah, Huu Allah”. Aku fokus membawa kabut ke atas membuat jarak dengan bumi. Hal ini kulakukan agar radiasi kekuatan iblis ini tidak berefeks pada alam sekitar Marcawang. Pelan-pelan kabut naik. Kulihat mata Dewi Laut Silincing Api terbelalak. Dia kaget kabut ini bisa terangkat ke awang-awang dengan hanya mengucapkan zikir. Makhluk-makhluk pendampingnya hendak menirukan zikir yang kulafazkan, namun gagal. Mereka hanya bisa menyebut “Huu…Huu…” tanpa bisa menyambungnya dengan “Allah”. Lidah mereka seperti patah. Tetapi saat aku mengucapkan beberapa ayat pendek mereka justru nyeracau mendahului. Aku tersenyum melihat pola tingkah laku mereka. Makhluk ini kepintarannya hanya bisa menggoda dan menjerumuskan manusia saja rupanya. Andai kata dia masuk ke dalam tubuh manusia, lalu mengaku jin muslim, kemudian dia mengucapkan ayat-ayat Al Qur’an dengan fasih, siapa yang menyangka jika sebenarnya itu hanya tipu daya mereka untuk menyimpangkan keimanan manusia?
Kuakui mereka bukan makhluk astral dari golongan rendah. Kemampuan mereka tidak bisa dianggap remeh. Aku sudah menakar-nakar kamampuan mereka. Selanjutnya aku memberi batas kabut yang sudah di atas agar tidak kembali turun ke bumi. Aku tidak main-main kali ini. Bisa jadi semua kemampuanku akan terkuras. Satu pasukan api Dewi Laut Silincing Api saja sudah luar biasa. Apalagi jumlahnya puluhan. Dari kejauhan aku mendengar auman nenek gunung. Nampaknya nenek gunung juga turut mendekat ke mari. Penciumannya yang tajam pasti mengendus bahaya di langit Mercawang ini. Deru langkah mereka nyaris sama seperti pasukan kuda, semakin lama semakin dekat. Beberapa kali mereka mengaum seperti marah.
Dalam suasana konsentrasi penuh, aku mendengar suara derap pasukan kuda lagi. Kali ini derapnya terdengar tidak hanya gagah namun juga sangat cepat seperti pasukan yang ramai. Nampaknya pasukan itu pasukan Eyang Kuda. Aku paham betul suara ringkiknya. Entah siapa yang mengabarkan hal ini pada mereka. Mereka nampaknya mencium akan terjadi pertempuran besar di sini. Ada perasaan lega batinku. Paling tidak kehadiran para sesepuh memberikan energi baru bagiku.
Desir angin yang terdengar mendesau pelan, membawa para santri dari berbagai penjuru. Mereka telah mengelompokkan diri bersama pasukannya masing-masing, menyatukan niat bersyalawat dan zikir. Batinku juga melihat pasukan dari ranah Minang. Suara basilek diiringi alat musik tambur dan talempong, terdengar seperti genderang perang. Bersemangat dan ramai. Entah pasukan siapa pula itu. Aku tidak tahu. Tak berapa lama hening. Nampaknya semua sedang fokus dengan kekuatan masing-masing. Sesegerah mungkin mereka serentak seperti focus pada titik kabut yang mengurung pasukan Dewi Laut Silincing Api.
“Bagaimana Dewi Laut Silincing Api , masih mau bertahan? Kau jangan mengira aku takut mendengar nama guru-gurumu, apalagi iblis Tuhanmu itu. Akan aku hancurkan kalian” Aku mulai menantangnya. Teriakanku disambutnya dengan pukulan dasyat. Hanya dalam hitungan detik, Dewi Laut Silincing Api mengirimkan pukulan-pukulan maut yang mematikan.
Sejak awal aku sudah mengerahkan kemampuan yang kumiliki warisan dari Eyang Putih. Aku seperti bayangan yang melayang lembut mengepak seperti elang. Meski pukulannya bertubi-tubi, namun tak satu pun mengenai tubuhku. Pukulannya seperti lewat menembus angin. NAmun sayang, ajian ini hanya bisa untuk bertahan dan menghindar. Sementara untuk melakukan serangan balik aku harus meningkatkannya ke level yang lebih tinggi lagi. Sebuah ajian yang baru kali ini kulakukan.
“Hmmm…ajian bayangan malaikat!” Mulut Dewi Laut Silincing Api berucap. Entah darimana dia mengetahui ajian yang kumiliki. Setahuku ajian ini belum pernah diwariskan Eyang Putih kecuali padaku. Bahkan pada Nyi Ratih yang lebih dulu menjadi muridnya saja tidak diwariskannya. Yang penting bagiku, Dewi Laut Silincing Api mengetahu ilmu yang kugunakan. Semoga saja dia kenal dengan guruku Enyang Putih.
“Apa hubunganmu dengan perempuan gila itu, anak manusia. Hanya perempuan sinting itu yang punya ilmu bayangan malaikat. Selebihnya tidak ada” Ujarnya lagi. Aku hanya tersenyum sambil menggeleng. Untuk apa aku memberitahu siapa guruku, apalagi siapa yang mewariskannya padaku. Tidak penting! Hanya mengabis-ngabiskan waktu saja. Apalagi ketika aku melihat sinar matanya berkilat-kilat seperti bara.
Tiba-tiba bola kabutku bergetar seperti gempa. Tenaga pasukan Dewi Laut Silincing Api bergerak serentak mengeroyokku. Di bawah komando Dewi Laut Silincing Api beberapa kali aku nyaris kena senjata mereka. Tentu saja aku melakukan perlawanan. Aku tidak mau cidera apalagi mati sia-sia. Sejenak aku kaget, mengapa pukulan-pukulan yang kukirimkan seperti menyentuh karet, selalu mental dan berbalik? Sambil menghindar sertangan mereka aku berpikir untuk mengubah strategi. Aku segera berpikir cepat mencari siasat. Jika tidak, aku bisa mati konyol di sini. Kekuatan mereka yang super seperti kekuatan jutaan ton bukit menghantam aku dan dinding kabut buatanku. Aku terus mencoba mencari sela untuk megubah strategi. Pukulan mereka nyaris tidak ada jedah. Kobaran api mengeluarkan suara menyeramkan persisi suara bara ketika pandai besi memanggang besi untuk dibuat senjata. Wussss!! Wuuusss!! Api berseleweran hendak menyambar tubuhku. Belum lagi suara Dewi Laut kadang melengking, kadang tertawa cekikikkan, kadang menggeram menyakitkan telinga. Suara-suara yang dikeluarkannya memang senjata untuk membuyarkan konsentrasi lawan. Beberapa kali aku harus menutup pancainderaku agar tidak kena efeksnya. Jika tidak, aku yakin, darah akan ke laur dari hidung dan telinga.
Semakin lama, aku merasakan kekuatan mereka semakin bertambah. Kobaran api meski tidak berseleweran seperti tadi namun dengan sikap diamnya justru kekuatan merekabertambahn berpuluh kali lipat. Api berubah bentuk menjadi wajah-wajah bengis dengan telinga dan mata runcing. Mata mereka merah menyala. Taringnya yang tajam menyeringai mengerikan siap mencabik apa saja. Bentuk kepalanya dari api cukup aneh juga, lancip seperti ujung mulut ikan gergaji. Sebagian bertubuh utuh dengan kaki dari api, sebagian lagi hanya kepalanya saja. Tubuh-tubuh berkaki itu seperti karet elastis, kadang tubuh mereka membulat, kadang lurus terbentang, kadang berdiri tegak layaknya manusia api.
Ini pertama kali aku melihat makhluk api dalam bentuk yang aneh. Mereka bukan banaspati yang kutemui dibeberapa daerah. Tapi memang makhluk yang berasal dari api. Kuku-kuku mereka siap pula mencakar. Aku membayangkan kuku-kuku panjang mereka serupa pisau yang tajam dan runcing itu menikam bahkan mengoyak-ngonyak tubuh lawan. Sekaligus menghanguskannya. Sebab panasa yang berasal dari tubuh mereka entah berapa derajad panasnya. Kupastikan, semua benda bumi yang dekat pasti akan lebur.
Aku masih berdiri tegak ketika kami sama-sama mengerjakan kekuatan masing-masing. Benar saja mereka mulai membulat menyatukan kekuatan lalu serentak menyerang. Aku kerahkan kekuatan gunung, kusatukan dengan kekuatan badai. Gelombang energi mulai memenuhi baluran kabutku. Kami bergumul di kobaran api dan gelombang yang menderu. Kekuatan gunungku tak mampu mereka lumpuhkan. Namun berapa kali aku nyaris disambar api. Namun tiap kali kusebut asma Allah, gumpalan api selalu menjauh. Mereka seperti terpental. Inilah senjata pamungkas yang tak terkalahkan. Seperti pesan Eyang Purwataka yang selalu mengingatkan aku untuk selalu melatih detak nadiku dengan menyebut asma Allah meski dalam keadaan tidur sekali pun. Ternyata untuk inilah. Aku tidak boleh lupa.
Di luar kabut, suara zikir para santri mulai menyatu. Ratih ikut serta bersama santri dari bangsa makhluk astral dan gurunya. Di bumi semua daun, tanah, pohon, air, angin, batu ikut pula melafaskan asma Allah dalam tasbihnya yang bertasbih tidak henti. Aku bersyukur banyak sesepuh yang memusatkan zikir di area ini.
DuuaRR! DuuuaRR!
Beberapa benturan terjadi. Tangan dan kakiku turut bergetar. Bahkan beberapa kali aku terdorong ke belakang. Bersyukur bara api tak mampu mendekatiku. Mereka hanya bisa memberikan pukulan-pukulan dari jauh, tak bisa menyentuh. Sementara beberapa sosok berhasil kulebur. Baru kali ini aku bertempur nyaris tidak punya hati. Tapi nafsu hendak melebur mereka.

Saat ada kesempatan, aku angkat tanganku tinggi-tinggi. Dan Hap!!
Aku mengenakan pakaian kebesaranku, lengkap dengan tongkat kerajaan. Segera aku bergerak menyerang lawan. Kali ini kukerahkan kekuatan pada tongkat kebesaranku. Dalam waktu singkat, semua berubah menjadi cahaya putih dan keemasan. Pergulatan terjadi kembali. Berkali-kali aku terdesak lalu berganti giliran mereka yang terdesak. Satu-satu sosok api kulebur dengan ujung tongkatku. Saat beberapa sosok api dan ribuan ular dari rambut Dewi Laut Silincing Api menyerang, tiba-tiba Dewi Laut Silincing Api melengking. Secepat kilat pasukannya berhenti menyerang.
“Siapa kau sebenarnya Cucu Adam! Mengapa kau memakai kebesaran Nini Ratu dari tanah seberang” Mata Dewi Laut Silincing Api tiba-tiba meredup. Aku tidak peduli pertanyaannya. Justru serangan kutingkatkan dan hantaman matahariku kembali melebur beberapa sosok pasukan Dewi Laut Silincing Api.
“Berhenti anak manusia! Apa hubunganmu dengan Nini Ratu? Beliau adalah salah satu guruku” Dewi Laut Silincing Api kembali bertanya. Sejenak aku berdiri tegak namun tetap waspada. Saling serang kami hentikan sejenak. Dewi Laut Silincing Api masih nyeracau menanyakan hubunganku dengan Nini Ratu. Apalagi kebesaran Timur Laut itu ada padaku.
“Jika beliau masih hidup, pasti beliau sangat menyesal mempunyai murid iblis sepertimu, hanya pandai merusak dan menyebar kejahatan. Kau termasuk salah satu yang menginginkan Timur Laut Banyuwangi hancur bukan? Kau murid durhaka! Kini akulah yang akan menghancurkanmu” Ujarku kembali menyerangannya. Sebab tiba-tiba aku melihat masa lalu Dewi Laut Silincing Api. Dia merupakan salah satu cucu raja tang berdiam di sisi gunung merapi bawah laut Samudera Hindia. Jika ditelusuri, mereka ada hubungan kekerabatan. Oleh sebab itulah Nini Ratu bersedia menjadikannya murid. Tapi ternyata Dewi Laut Silincing Api sama persis dengan sifat ayahnya. Suka merusak dan membuat keonaran. Tinggi hati dan merasa dirinya paling hebat dan sakti.

“Jadi dirimu pewaris kerajaan itu? Atau sebenarnya kau adalah perampok yang berwujud setengah manusia sengaja ingin menguasai alam kami? Hmm..bagus! Artinya, jika dulu Timur Laut Banyuwangi tidak bisa kurebut dari tangan guru Nini Ratu, maka akan kurebut di tanganmu. Inilah namanya pucuk dicita ulam tiba” Dewi Laut Silincing Api sesumbar lagi. Tawanya membuat ruang kabut ini kembali berguncang. Kuakui tenaga dalamnya luar biasa kuatnya. Hanya tertawa biasa membuat ruangan ini berguncang.
Melihat keseriusannya hendak merebut tongkatku yang tengah bergerak melawannya, membuat aku habis kesabaran. Apalagi setelah kuketahui jika Dewi Laut salah satu penyebab hancurnya kerajaan Timur Laut Banyuwangi ketika mental Nini Ratu tengah lemah saat dia frustasi tidak bisa memiliki kekasih hatinya dari bangsa manusia. Aku harus balaskan kemarahan Eyang Nini Ratu.
Hiiiiat!
Pukulan sambar nyawaku kulemparkan ke arah Dewi Laut Silincing Api.
Aku tidak sudi dia ajak berbicara lagi. Apalagi menjawab pertanyaannnya perihal Eyang Nini Ratu. Aku yakin, jika beliau masih ada, dia pun pasti sepakat denganku. Memusanakan perempuan iblis ini. Menyadari pukulan mautku, Dewi Laut Silincing Api berkelit dengan cepat. Dia pun memberikan pukulan balasan. Pertempuran kembali terjadi. Jika orang melihat pertempuran ini, aku yakin mereka tidak bisa lagi melihat mana bayanganku dan mana Dewi Laut Silincing Api dan pasukannya. Kami kembali bergulung seperti kabut menderu mengeluarkan suara dan percikan api. Dari tongkatku keluar racun api yang turut serta memusnakan pasukan Dewi Laut Silincing Api. Kulihat banyak yang tunggang-langgang roboh tak bisa bangkit lagi. Selanjutnya satu sabetan cahaya emasku, berhasil memotong rambut Dewi Laut Silincing Api yang berbentuk ular. Lalu kuhantam lagi dengan kilatan. Seketika ular-ular itu berubah menjadi debu. Dewi Laut Silincing Api menjerit tertahan. Kemarahannya makin memuncak.

Bukan Dewi Laut Silincing Api nampaknya jika tidak bisa melawan. Menyadari rambut ularnya terpotong, dia bergerak cepat mengeluarkan ajian barunya. Kali ini ruang kabutku berubah menjadi laut. Penuh dengan air.
“Rasakan ini anak manusia. Apakah kau bisa bertahan dalam air laut” Ujarnya tertawa riang. Dia nampak sangat bahagia. Apalagi ketika dihantamkannya pukulan gelombang sehingga air yang ada di dalam bola kabutku membuncah seperti diaduk. Tujuannya agar aku pusing. Area kabutku persis seperti laut bergelombang.

Aku mengikuti gelombang air ciptaan Dewi Laut Silincing Api. Dia semakin kencang tertawa melihat aku terombang-ambing. Dewi Laut mengira aku akan terlelap dan mati. Tak lama, aku turun lalu berdiri dengan kaki menyilang rendah. Tongkatku kuubah menjadi naga, lalu dengan cepat Sang naga menghisap semua air yang ada. Mata Dewi Laut Silincing Api terbelalak. Mungkin dia tidak menyangka secepat itu air lautnya bisa kukeringkan. Matanya tajam menatap tongkatku. Aku tahu, dirinya semakin penasaran dengan kekuatan tongkat kebesaran Eyang Ratu. Diam-diam dia mengerahkan pasukannya kembali untuk membekukku dan menrebut tongkatku. Aku sudah perkiraan pasti serangan mautnya kembali diarahkan padaku. Sayang siasatnya sudah kebaca lebih dulu.

Sreeet! Sreeet!
Aku mengeluarkan pedang di lenganku. Lalu dengan cepat berubah menjadi sosok lelaki, kemudian kuperintahkan untuk azan. Tak berapa lama terdengarlah suara merdunya. Beberapa waktu pasukan Dewi Laut masih menyerang. Aku terus melakukan perlawanan. Beberapa kali mereka hendak menyambar sosok pedangku yang menjelma menjadi lelaki gagah bersorban, namu selalu terpental. Demikian saat dia hendak menyambar tubuhku, selalu gagal. Beberapa kali cakaran dan api mereka melintas dihadapanku, beberapa kali pula jantungku berdebar karena nyaris mencabikku. Kalau bukan ajian halimun yang diberikan Puyang Purwataka, mungkin aku sudah terbakar dan luka.

Azan terus berkumandang. Ternyata kelemahan mereka menjadi berkurang saat azan dikumandangkan. Hal ini kujadikan kesempatan menyerang mereka. Dalam sekali pukul tubuh api pasukan Dewi Laut kembali lebur. Hal ini membuat Dewi Laut makin meradang dan makin meningkatkan serangan.
Saat sosok api tinggal beberapa, tiba-tiba Dewi Laut mengubah gerakan. Kali ini tubuhnya berubah juga menjadi api. Lidah dan rambutnya me nyambar-nyambar ke mana-mana. Dalam sekejab ruang kabutku mendidih. Aku juga merasakan tubuhku sangat panas. Sihir!

Sosok pedangku kembali azan berusaha melindungi aku dari panas yang mematikan. Aku merasakan. seluruh tubuhku berwarna merah. Sambil berpegangan pada sosok pedangku, aku terus berzikir. Tiba-tiba kibasaan lidah Dewi Laut mengenai bagian belakang tubuhku. Seketika aku merasakan tubuhku melepuh. Dan nafasku terasa sesak. Semua senjata simpananku seketika melesat melakukan perlawanan tanpa kuminta. Mereka serentak menyerang Dewi Laut Silincing Api dan sisa anak buahnya. Dalam keadaan setengah mati, aku masih sempat membaca mantra penawar luka bakar yang kualami. Ternyata sosok pedangku tidak tinggal diam. Telapak tagannya langsung mengusap punggungku dan mengalirkan hawa dingin yang sejuk. Aku legah dan bisa menarik nafas kembali. Selanjutnya siap-siap untuk melakukan penyerangan selanjutnya.

Di tengah serunya semua senjataku membantu melakukan penyerangan melawan Dewi Laut Silincing Api dan sisa pasukannya, tak lama aku mendengar suara gemuruh di luar kabut. Suara gemuruh itu seperti geledek memekakkan gendang telinga. Belum lagi suara mencuing seperti suling yang bisa membuat pancaidera dengar kita pecah. Tak lama udara seperti beputar. Lingkaran kabutku pun ikut bergoncang meski berada di awang-awang. Oh! Rupanya Dewi Laut Silincing Api memanggil balatentaranya untuk menyerang bola kabutku dari luar. Namun dihalangi oleh pasukan Eyang Kuda, bersama Datuk yang sengaja datang dari ranah Minang.
Aku mendengar pertempuran di luar cukup ramai. Jeritan dan erangan serta nafas yang tertahan seperti gemuruh gunung yang runtuh. Mendengar suaranya yang menggetarkan, tidak bisa kubayangkan bagaimana bentuk perkelahian di luar sana. Aku yakin para sesepuhku bisa mengatasi pasukan iblis ini. Meski kurasakan kehadiran pasukan lawan, justru memberikan energi baru pada Dewi Laut Silincing Api. Aku melihat dirinya tidak ada lelahnya. Dari awal sampai sekarang dia selalu stabil, kuakui Ilmu kanuragannya telah sempurna.
Kali ke dua aku disambar Dewi Laut Silincing Api. Jika tadi punggungku yang terasa terbakar, kali ini dadaku. Aku kembali merasakan kepanasan yang sangat. Kulitku mulai terasa membengkak panas dan merah. Entah bagaimaa, tiba-tiba aku merasakan kalung yang diberi Datuk Sutan Barareh seperti berjalan menghapus semua bagian tubuhku yang sakit. Aku tidak merasa panas sama sekali.

“Kurang ajar! Kau jangan bangga dulu anak manusia, aku belum kalah ” Ujarnya berubah bentuk lagi menjadi perempuan cantik yang bersisik. Selanjutnya entah dia akan jadi apa lagi. Tongkat kebesaranku kembali hendak bergerak. Dari seluruh permukaan tongkat tiba-tiba mengeluarkan cahaya menyilaukan. Kulihat Dewi Laut Silincing Api mengecilkan mata menahan silau. Aku seperti ditarik oleh tongkat kebesaran kerajaan Timur Laut Banyuwangi untuk menancapkan kaki sekuat-kuatnya membentuk kuda-kuda dengan kedua belah tangan memegang tongkat erat. Tak lama, cahaya putih menyilaukan itu berubah menjadi jaring yang sangat halus bergerak menuju Dewi Laut Silincing Api. Dewi Laut Silincing Api berusaha menghindar dan melakukan perlawanan dengan pukulan apinya. Namun jaring halus itu terus maju tidak dimakan api. Dewi Laut Silincing Api mengerahkan semua kemampuannya. Ruangan kabutku tiba-tiba buyar dan sambaran api kembali menjalar ke mana-mana. Secepat kilat kupagari area pertempuran agar tidak menjalar di area pertempuran pasukan Dewi Laut Silincing Api melawan pasukan dari ranah minang dan Eyang Kuda.

Hiiiiiaaat!! Seperti ada yang menggerakkan tanganku berputar membentuk sebuah gelombang. Tak lama kobaran api seperti tersibak dan jaring halus yang bergerak semakin cepat mengarah pada Dewi Laut Silincing Api.

Di saat aku berusaha mengimbangi gerakan jaring halus yang menyerang Dewi Laut Silincing Api tiba-tiba aku melihat bayangan putih dengan pedang terhunus mengarah pada Dewi Laut Silincing Api sama cepatnya dengan jaring halus yang ke luar dari tongkat kebesaran Timur Laut Banyuwangi. Tiba-tiba kobaran api padam. Aku hanya melihat bayangan putih yang berpitar cepat sekali. Selanjutnya dengan tangan kiriku kukerahkan semua kekuatan menyerang pasukan api yang masih berusaha menyerangku. Sebagain besar mereka lebur dan mati. Tiba-tiba kurasakan tongkatku terasa sangat ringan. Cahaya putih yang membentuk jaring sudah putus. Dewi Laut Silincing Api kulihat bergumul dengan bayangan putih dan jarring halusku. Beberapa kali bunyi ledakan dari tangan dan kaki Dewi Laut Silincing Api menyambar ke mana-mana. Sebagain besar rambut ularnya telah terpotong dan hangus. Aroma sangit menyeruak hitam di antara cahaya putih yang terus berputar.

Pada satu kesempatan, aku mendapat sela menyerang Dewi Laut Silincing Api kembali. Tongkatku kuarahkan persis ke hulu hatinya. Tubuhnya yang terlilit jaring halusku membuat gerakkan sedikit lamban. Beberapa kali cahaya api yang ke luar dari tubuhnya padam disambar cahaya pedang sosok putih yang berkelebat.

DUUARRRR!!
Tiba-tiba suara ledakan keras seperti ke luar dari tubuh Dewi Laut Silincing Api. Lalu diiringi erangan keras dari mulutnya yang bertaring. Tak lama kulihat wajah cantiknya berubah menjadi sangat keriput dan tua. Demikian juga tubuhnya, persis kayu rapuh yang hendak roboh. Matanya yang semula jalang dan liar, sekarang redup penuh penderitaan. Aku hanya mendengar desahan dari mulutnya yang sedikit menganga dengan nada yang tidak jelas. Entah apa yang dibicarakannya. Bahasa yang digunakannya mirip gelembung udara dri air yang berbunyi ‘blubup blubup’. Bersamaan dengan itu, gelombang pasaukan yang tengah bertarung dengan nenek gunung, Eyang Kuda, dan pasukan dari ranah Minang terhenti seketika. Tiba-tiba pasukan itu lebur seperti debu. Di langit, gemuruh guruh saling kejar seakan hendak meruntuhkan semua yang ada di dalamnya. Angin yang bertiup kencang, diiringi petir membuat suasana mencekam. Beberapa saat semua hanya bisa terpaku. Anehnya, sambaran kilat bukan mengarah ke bumi. Namun justru sebaliknya mengarah ke langit.

“Aaaahhhh blup blup blup” Suara Dewi Laut Silincing Api semakin lemah. Pelan-pelan tubuhnya seperti kain jatuh tergeletak di tanah lalu lenyap. Aku terperangah melihat keajaiban seperti ini. Baru kali ini aku melihat kejadian aneh seperti ini. Dari tubuh Dewi Laut Silincing Api yang sudah raib, ada mustika biru laut yang mengeluarkan cahaya terang. Aku berusaha mendekat untuk memastikannya. Namun baru saja hendak melangkah, tiba-tiba bayajang putih yang berkelebat secepat kilat menyambar mustika itu lalu berdiri di hadapanku.

“Alif!!” Aku kaget bukan main. Jadi tubuh yang berkelebat sangat cepat tadi adalah Alif. Aku terkagum-kagum dibuatnya. Alif telah menunjukkan perkembangan yang sangat pesat sekali. Murid Eyang Kuda satu ini telah membantuku melumpuhkan Dewi Laut Silincing Api.
“Kau hebat sekali!” Ujarku setengah tidak percaya. Senyumnya mengembang sembari membuka tangannya untuk menyerahkan permata berwarna biru laut padaku.
“Ambillah, permata ini bisa kau ubah kekuatanny menjadi berkekuatan positif” Ujar Alif membuka telapak tanganhya. Aku mengambilnya pelan-pelan lalu menetralisir kekuatan yang ada di dalamnya. Dalam hati aku kagum dengan Alif. Jika orang biasa yang memegang permata ini, pasti akan merasakan seluruh tubuhnya seakan tersedot energinya. Namun Alif telah mampu menolak energi negatifnya sehingga dia tidak merasakan apa-apa.
“Selasih” Aku tersentak. Suara Eyang Kuda menyadarkanku. Aku segera berlari menghampiri beliau. Ternyata di belakangnya telah berdiri sesepuh-sesepuhku; ada yang dari gunuhg Dempu, Bukit Selepah, Mercawang, dan ranah Minang. Ketika aku menoleh ke kanan, kulihat Putri Bulan tersenyum di samping Macan Kumbang dan Nyi Ratih. Berikut para santri dari Timur Laut Banyuwangi. Di antara sosok-sosok yang berdiri tiba-tiba aku melihat tubuh kecil menyembul sambil merunduk-runduk.

“Kakak!!” Wajah polos yang sangat kukenal. Siapa lagi kalau bukan A Fung adik gaibku yang mualaf berlari cepat ke arahku. Aku mengembangkan tangan sambil sedikit jongkok. A Fung memelukku erat sekali. Aroma harum bunga menyeruak dari tubuhnya yang berbalut gamis berwarna putih. Pelan-pelan aku berdiri, kubuka kopiah dan sorbannya pelan-pelan. Aku ingin melihat wajah lugunya. A Fung pasrah saja. Aku histeris ketika melihat wajah polosnya. Sinar matanya bersinar ternag seperti cahaya bintang.
“Hantu kecil yang jelek!” Teriakku sambil mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi. A Fung tertawa gembira. Semua tersenyum menatap kami berdua.

Suasana kembali hening. Kami melangkah serentak menuju pintu di samping telaga merah diiringi suara menguak-menguak kerbau panjaga telaga. Iringan-iringan panjang seperti arak-arakan seiring kegembiraanku telah mengalahkan pasukan Dewi Laut Silincing Api dan bersua dengan adik kesayanganku, A Fung.

Bersambung…

8 tanggapan untuk “HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VII (100B)

  • 13 September 2021 pada 17 h 27 min
    Permalink

    Adminnnnn kok terusannya ngk ada lagi sihhhhh!!!

    Balas
  • 16 September 2021 pada 14 h 34 min
    Permalink

    Saya mengharapkan ada terusan cerita selanjutnya.
    Ditungu.
    Terima kasih.

    Balas
  • 23 September 2021 pada 5 h 34 min
    Permalink

    Bagaimana sambungan ceritanya, pembaca banyak menunggu kelanjutannya, mudah2an penulis sehat selalu. Amin

    Balas
    • 1 Oktober 2021 pada 9 h 19 min
      Permalink

      Halo Bung Rudi,
      Penulis masih membuat tulisan lanjutan untuk HSHB. Membutuhkan waktu rupanya. Semoga penulis dalam keadaan sehat selalu.
      Terimakasih atas kesabarannya.

      Balas
      • 23 Oktober 2021 pada 11 h 35 min
        Permalink

        Mana nihhh lanjutannyaaaa….
        ditunggu y

        Balas
        • 28 Oktober 2021 pada 14 h 53 min
          Permalink

          Kepada pembaca HSHB setia, tulisan akan segera dilanjutkan oleh penulis. Tetap setia.

          Balas
  • 23 September 2021 pada 19 h 04 min
    Permalink

    Jangan fokus tulisan yg lain, sambung cerita ini kalau mau maju blog ini….

    Balas
    • 1 Oktober 2021 pada 9 h 18 min
      Permalink

      Halo Bung Asrul,
      Penulis masih membuat tulisan sambungan dari cerita HSHB.
      Harap bersabar ya…Semoga penulis diberi kesehatan.

      Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *