HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VI (101B)
Aku membatin bertanya tentang waktu. Apakah saat ini masih tengah malam seperti di alam nyata, atau sudah berganti hari? Di langit kerlap-kerlip bintang terasa sangat dekat. Awan berarak meski sedikit gelap nampak tenang. Angin yang semilir menggambarkan suasana di sini damai dan tentram.
Di rumah panggung aku masih melihat kesibukan para sesepuh yang berkumpul. Entah apa yang mereka perbincangan dan rencanakan. Aku merasa paling belia. Rasanya sebagai makhluk manusia yang masih belia aku merasa tidak pantas berada di antara sesepuh, nyaris semua terpancar karismatiknya. Sementara aku aku merasa seperti bocah, hanya bisa plangak-plongok melihat ke sana ke mari sembari sesekali menatap beberapa sosok dengan tajam saat ada sesuatu yang membuatku tertarik. Paling kalau bersua sosok yang kukenal, baru aku bisa leluasa dan tersenyum lebar.
Sesekali mataku menyapu ruangan yang luas, fokus mencarai Dewi Sekar Wangi. Wanita cantik itu sangat menarik bagiku. Aku masih juga penasaran dengan informasi terakhir yang mengatakan jika beliau penguasa pantai Laut Selatan. Bagaimana ceritanya? Lalu ke mana Nyi Roro Kidul yang di agung-agungkan itu? Konon hingga saat ini masih banyak masyarakat yang melakukan ritual memuja beliau dengan tujuan macam-macam. Beliau sangat dikenal oleh masyarakat Jawa. Ada yang meminta pesugihan, kewibawaan, jabatan, termasuk juga ilmu kesaktian. Rasa penasaranku ternyata konek lagi dengan Eyang Putih. Beliau berbisik lirih, suatu saat aku akan tahu sendiri tanpa dijelaskan perihal penguasa Laut pantai Selatan. Akhirnya aku memilih diam sembari mengangguk. Kembali aku menyadari jika aku memang masih bocah. Terlalu banyak rahasia dalam hidup ini yang belum kupahami. Aku jadi merasa nalarku masih terlalu tumpul untuk memahami banyak hal.
Tust!! Tiba-tiba punggungku seperti ada yang mematik dengan ujung jari. Spontanitas aku berdiri dan menoleh. Tidak ada siapa-siapa? Lalu siapa yang mematik punggungku? Tubuhku segera berputar ke belakang kembali mencari-cari sambil mengerahkan sedikit kemampuanku. Aku kaget ketika sosok kakek Andun berdiri agak jauh sambil tersenyum masin padaku. Aku segera menuju beliau dan menjatuhkan keningku ke punggung tangannya. Kepala dan punggungku terasa hangat, ketika tangan Kakek Andun mengelus-ngelus pelan, terakhir beliau merangkul pundakku. Aku seperti mendapat nyawa baru berada di dekatnya. Nenek-nenekku terlihat sibuk bercengkrama dengan kelompok mereka masing-masing. Ingin ikut nimbrun lagi-lagi perasaanku merasa tidak pantas dan tidak sopan.
Dari jarak agak jauh. Aku melihat Eyang Kuda sedang berdiri berhadap-hadapan dengan Dewi Sekar Wangi yang cantik itu. Selendang hijaunya yang menjuntai membuat beliau seperti penari. Kain batik lurik yang melilit ditubuh semampainya, terlihat halus dan sangat pantas dengan kulitnya yang kuning langsat. Ketika berbicara saja beliau seperti memiliki maghnit. Binar matanya sangat indah. Seluruh tubuh dan alam tersenyum menatapnya. Meski terlihat sangat agung, namun tetap terlihat sederhana. Sang Maha benar-benar Agung dengan semua ciptaan-Nya. Aku membatin.
Baru saja aku berniat hendak beranjak mendekati Eyang Kuda dengan maksud agar bisa menatap Dewi Sekar Wangi lebih dekat, bahuku terasa semakin erat dirangkul kakek Andun. Aku segera menatap wajahnya. Mata kami beradu pandang. Kutatap perintah dari sinar matanya larangan untuk tidak ke mana-mana. Akhirnya aku mengurungkan niatku. Aku hanya memandang perempuan istimewah itu dari jauh. Aku tahu, pada dasarnya dia tahu jika aku hendak mendekat padanya. Semua terlihat dari tatapannya sekilas mengarah padaku sambil tersenyum manis dan sedikit merundukkan kepala. Lagi-lagi aku kagum dengan adab yang dimilikinya.
“Kakek tahu, kamu penasaran dengan Dewi Sekar Wangi itu? Bukankah sudah diingatkan oleh gurumu Eyang Putih? Bandel!” Bisik kakek Andun. Aku tertawa kecil manja sambil menggenggam lengannya. Kakek satu ini tidak ada berubah sejak dulu. Beliau masih saja memperlakukan aku seperti anak kecil seperti pertama kali bersua beberapa tahun lalu. Kakek yang selalu mengawasi dan selalu hadir disaat aku butuh apalagi dalam keadaan genting.
“Nampaknya kalau belum terjawab rasa penasarannya, cucu kita belum berhenti mencari sela untuk mencari tahu, Kakek Andun. Lihatlah tatapan dan garis di keningnya. Darah Besemah benar- benar mengalir deras dalam dirinya. Karakter turun temurun nenek moyangnya” ujar Puyang yang hingga kini tidak kuketahui namanya. Yang aku tahu beliau adalah puyang leluhurku, yang pertama kali membawaku ke dalam masjid di dalam perut bukit Selepah beberapa tahun yang lalu.
“ Iya, benar sekali Puyang. Darah dan karakter Puyang mengalir deras dalam dirinya. Dia adalah cerminan Puyang ketika masih muda. Senang berpetualang, selalu ingin tahu, tidak ada rasa takut, dan yang paling utama adalah keras kepalanya” Ujar kakek Andun sambil mengelus kepalaku. Seketika derai tawa keduanya meledak. Aku hanya bisa senyum malu mendengar ledekan Kakek Andun. Kurasakan kasih sayang mereka seperti mata air – mata air di cadas yang memagari aliran sungai Endikat. Bening menyejukkan. Kasih sayang dan keikhlasan memang memiliki nilai berbeda. Jika mendapatkan hal itu, jiwa kita akan terasa lebih tenteram, damai, dan tenang. Yang jelas, tidak ada rasa cemas dan takut.
Ketika aku masih memikirkan larangan kakek Andun untuk mendekati Eyang Kuda dan Dewi Sekar Wangi, dari kejauhan aku melihat Alif berjalan sedikit tergesa menuju ke arahku dan kakek Andun. Melihat ekspresinya nampaknya dia terburu-buru. Tak lama Eyang Kuda juga menyusul. Aku merenggangkan diri dari dekapan kakek Andun.
“Maaf Puyang, kakek, dan Selasih, saya harus pulang sekarang. Mohon maaf tidak bisa berlama-lama di sini meski saya masih sangat mau. Guru dan santri di pondok, tegah menunggu saya pulang, mereka khawatir denganku. Bahkan beberapa orang sudah mencoba untuk menembus gerbang ke mari” Suara Alif sedikit memburu. Matanya tajam menatapku meminta kepastian. Sejenak aku berpikir apa yang bisa aku lakukan? Sebenarnya Alif bisa saja pulang sendiri tanpa harus diantar, atau berkomunikasi batin dengan gurunya. Tapi entahlah mengapa dia tidak melakukannya. Namun karena beliau ke mari lantaran aku, sedikit banyak aku merasa punya tanggung jawab pula. Apalagi tempat ini adalah kampung halamanku.
Eyang Kuda mengangkat-angkat alis tidak bisa berkata-kata. Aku tahu, beliau tetap menginginkan Alif berlama-lama di sini. Sama dengan perasaan Alif.
“Kemari” kata Puyang sambil meraih tubuh Alif. Tak lama Puyang mengayunkan tangannya ke atas lalu perlahan menurunkannya. Kemudian seperti meniup tubuh Alif sambil berbisik. “Huuuuu….Allah…” Tiba-tiba aku melihat tubuh Alif membelah dua. Sekarang ada dua Alif di hadapanku. Baru aku paham, mengapa tidak terpikir olehku sejak tadi? Bukankah cara ini paling efektif sehingga dua keinginan makhluk hidup di dua alam ini bisa sinergi. Alief tersenyum puas. Berkali-kali dia mencium tangan Puyang sebagai ucapan terimakasih. Akhirnya pecahan diri Alif diizinkan untuk pulang. Lagi-lagi Puyang meniupkan tangan ke arah bayangan Alif lalu membantunya turun ke bumi menemui jasadnya. Kulihat wajah Kakek kuda sumringah. Beliau sangat puas dan bahagia melihat muridnya dengan mudah dapat menembus dimensi ini. Apalagi memiliki murid yang soleh seperti alif.
“Bukankah Alif memiliki kemampuan untuk memecah dirinya, Eyang” Ujarku bertanya pada Eyang Kuda.
“Betul, tapi bukan dalam suasana seperti ini. Kemampuannya hanya untuk digunakan saat bertempur melawan kebatilan dari makhluk-makhluk fasik” Eyang Kuda menjelaskan. Aku mengangguk paham. Kupikir bisa dilakukan dalam semua kesempatan.
“Silakan, lanjutkan aktivitasmu Alif. Nampaknya kamu bertemu dengan tamu kita dari Kairo. Dia mempunyai pondok ta’afiz di sana. Kamu bisa berkujung ke sana kapan saja” Ujar Puyang menatap Alif sambil tersenyum. Demi mendengar itu aku terperangah. Tamu dari Kairo Mesir? Pondok ta’afiz? Aku menjadi merinding. Jadi teman ngobrol Alif lelaki bersorban dan becabang tipis itu dari Kairo? Wajahnya memang wajah Timur Tengah, bahkam mirip dengan wajah Puyang leluhurku. Hanya saja dia lebih muda. Lagi-lagi aku penasaran mengapa beliau bisa sampai ke mari? Sama halnya penasaranku pada hubungan Puyang Bukit Selepah dengan Dewi Sekar Sari.
Alif pamit dari hadapan kami dengan wajah cerah. Aku melihat gerakkan lamban punggungnya di antara sosok-sosok yang berdiri, berjalan dan duduk. Alif kembali menuju pemuda yang berwajah Timur Tengah. Saking penasarannya batinku mengikutinya. Setelah mereka dekat dan duduk bersebelahan, aku mendengar percakapan mereka. Mereka layaknya sahabat lama yang sering kali bertemu. Akrab dan hangat. Tapi yang membuatku takjub adalah bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Arab. Rasa kagumku pada Alif makin menjadi. Obrolan mereka membahas hadist, mengupas ayat, dan membicarakan tentang berbagai kitab yang aku tidak paham. Kedua-duanya berbagi wawasan dan pengalaman. Terakhir, lelaki itu mengundang Alif untuk berkunjung ke pondok pesantrennya di Kairo. Wow!!
Aku masih duduk di samping Kakek Andun. Mendengarkan obrolan mereka dengan Puyang meski kadang terdengar dan tidak. Karena menurutku tidak ada sangkut pautnya denganku, aku memilih diam saja. Beberapa sosok yang ikut terlibat obrolan dengan kakek dan Puyang sebagian besar tidak kukenal. Meski mereka tersenyum dan merasa sangat mengenal aku. Hal ini terlihat dari sikap mereka ketika tersnyum dan menyapa selalu menyebut namaku.
“Sini telapak tangamu” Sosok lelaki tinggi besar, bersorban warna putih tulang meraih tanganku. Aku membuka telapak tanganku, menadahkannya ke atas. Lelaki tinggi besar ini tidak kuketahui asalnya darimana. Tetapi selintas aku tahu beliau adalah sahabat seperjuangan Puyang leluhurku yang tak kuketahui namanya itu. Sebenarnya aku heran, mengapa tiap kali ingin menanyakan dan ingin tahu siapa namanya, aku seperti menemukan jalan buntu. Akibatnya aku mengenalnya, dan sangat tahu dengannya, tetapi aku tidak tahu siapa namanya. Yang aku tahu beliau adalah leluhurku. Demikian kata kakek Njajau suatu kali.
‘Sudah lama aku menunggu moment seperti ini, anak gadis. Aku telah lama melihatmu dari atas. Namun belum ada waktu tepat untuk bertemu. Bersyukur sekali kita bersua di sini. Allah memang Maha Kaya. Tanpa campur tangan Allah, tak mungkin keinginanku bisa terwujud. Mohon izin, Syech…” Kata lelaki tinggi besar itu menatap Puyang dengan wajah teduh.
“Silahkan Syech Zakir. Aku berterimakasih karena kamu pun memiliki perhatian pada cucuku ini. Apa yang akan engkau berikan padanya, berikanlah. Aku jamin dia tetap amanah meski kadang suka iseng dan tidak sabar” Lanjut Puyang membalas tatapan lelaki yang disapanya Syech Zakir itu. Sejejank aku terperangah ketika beliau menyapa Puyang dengan sebutan Syech. Jadi kedua orang di hadapanku ini adalah Syech? Puyangku Syech juga? Ingin aku menjatuhkan diri ke pelukannya, lalu mencium tangannya sepuas mungkin. Aku seperti mendapatkan sebuah jendela baru dan bernafas sepuasnya setelah mengetahui Puyang Syech. Tinggal lagi Syech siapa namanya?
Syech Zakir mengangguk pelan lalu menyuruh aku duduk bersila di hadapannya. Herannya aku patuh saja tanpa berniat bertanya tentang segala hal. Selanjutnya beliau memintaku memejamkan mata sambil bersyalawat pelan-pelan, mengatur pernafasan pelan-pelan, lalu membiarkan darah mengalir dalam tubuhku setenang mungkin.
“Ikhlaskan batinmu, Cu!” Ujarnya lagi sembari seperti meraih telapak tangan kananku. Dalam keadaan telapak tangan terbuka aku mengatur pernafasan dan membiarkan darah mengalir ke seluruh tubuhku pelan-pelan. Degup dadaku pun juga pelan. Aku dalam suasana yang sangat tenang sembari bersyalawat sesuai anjurannya.
Tidak berapa lama, aku merasakan ada hawa mengalir dan langsung menghujam ke jantung, ke hati, dan kepalaku. Aku mencoba menyingkronkan hawa yang mengalir ke seluruh tubuhku. Setelah semuanya terasa padat, aku kembali fokus pada kekuatan baru yang di transfer itu. Tak lama aku melihat cahaya biru yang sangat terang menyusup ke tubuhku. Seketika hawa dingin membuat tubuhku bergetar. Aku menggigil. Namun aku tidak bergeming dari tempat dudukku meski tubuhku terasa sedikit terlonjak. Untung kejadian itu tidak terlalu lama. Tak lama aku merasakan cahaya biru itu serupa tabir tipis membalut tubuhku. Lalu hadir cahaya seperti bola bekel mencari tempat untuk bersemayam di salah satu sudut tubuhku. Dia adalah senjata gaib berupa pedang naga emas yang diberikan lelaki tinggi besar ini padaku.
“Senjata ini berjodoh padamu, Putri Selasih. Sejak lama aku hendak mewariskannya pada bangsamu, mau pun pada bangsa jin. Tapi semuanya tertolak. Setelah aku tirakat, puasa tujuh hari tujuh malam, barulah aku mendapatkan petunjuk jika senjata ini akan bertemu dengan jodohnya yang di darahnya mengalir darah seorang raja. Dan aku melihat cahaya dirimu. Ratu Utara Banyuwangi, cucu Puyang tanah Besemah, Puyang Pekik Nyaring dan Puyang-Puyang tanah Besemah” Ujarnya pelan. Suaranya yang sedikit berat namun terdengar berwibawa dan tegas justru menjadi penyemangatku. Entah dari mana asalanya perasaan itu. Senyum lebar para puyang dan kakek Andun tertuju padaku. Mereka seakan menjadi saksi kebenaran dan turut menerimanya. Bahkan aku melihat cahaya berkaca-kaca Kakek Andun menandakan beliu turut terharu dengan peristiwa ini.
“Terimakasih, Puyang. Mohon maaf jika suatu waktu aku akan gunakan senjata pemberian Puyang” Ujarku sembari merunduk.
“Pakailah, Cu. Itu milikmu. Namun pesan saya gunakan senjata ini saat terdesak dan sangat dibutuhkan saja. Sebab, jika dia sudah ke luar dari sarangnya, maka apa yang terlintas dibenakmu tak akan bisa terbendung lagi, maka dia akan melaksanakannya secepat kilat. Ibaratnya, saat kau inginkan laut bergelombang, maka secepat itu juga laut akan menggelombangkan ombaknya” Ujarnya lagi. Aku terbengong membayangkan dasyatnya senjata yang diberikan. Puyang tinggi besar ini seakan tahu jika aku kerap kali bertarung dengan makhluk gaib yang rata-rata memiliki kesaktian yang luar biasa.
“Saat-saat tertentu, kita bertahan untuk tidak menyakiti makhluk lainnya. Namun jika lawan kita tidak bisa diajak kebaikan maka lakukanlah tindakan dengan tetap menggunakan hati nuranimu sebagai makhluk Allah. Gunakan untuk membela diri, bukan untuk memusnakan apalagi sengaja membunuh lawan” Ujarnya. Aku mendengarkan nasehatnya secara seksama. Rasanya seperti mimpi. Rasanya begitu cepat menjatuhkan pilihan untuk menitipkan miliknya dan mengamanahkannya padaku. Padahal aku merasa tidak pernah bertemu beliau sebelumnya. Selanjutnya aku ke mari pun tidak bisa lama, dan hadir karena undangan Puyang Bukit Selepah. Tapi ketika aku berpikir jika semua apa yang kualami adalah takdir, aku menuntup semua pertanyaan di batin yang hanya akan membuat batinku bingung. Padahal aku harus gesit dan berusaha sebijak mungkin menghadapi semuanya.
Tus!! Aku kaget! Ada sebersit cahaya kembali menyusup ke tubuhku. Jentikan ke dua jari Puyang Syech Zakir seperti memercikkan cahaya runcing tepat mengenai keningku.
Apa lagi ini Puyang?” Ujarku kaget.
“Sebuah lencana agar kau aman naik ke atas bersamaku dan Puyangmu” Ujarnya singkat. Aku tidak paham apa maksudnya ke atas itu. Aku menatap ke langit. Tidak berubah. Masih seperti tadi. Gemerlap bintang dan awan yang melebar diam. Lalu sesekali semilir angin terasa halus sekali.
“Sudah waktunya, Cucumu dikenalkan tempat kita Syech. Kapan-kapan kita ajak dia ke sana” Ujar Syech Zakir.
“Kemana Puyang? Ke atas? Maksudnya?” Aku bingung. Apakah ada kehidupan lagi di atas ini. Bukankah bukit ini adalah jajaran bukit yang cukup tinggi dari permukaan laut setelah gunung Dempu? Bahkan bintang berkedip-kedip seakan bisa diraih. Aku jadi ingat dengan istana di atas awan yang pernah kulihat ketika aku bersama Puyang Purwataka. Tapi istana itu bukan di langit Besemah ini. Di pulau Jawa. Apakah maksud Puyang Syech Zakir berasal dari salah satu kerajaan di atas awan itu? Aku penasaran menunggu ada yang menjawab pertanyaan batinku. Lagi-lagi aku mendapat bisikan Eyang Putih, suatu saat tanpa dijelaskan pun aku akan tahu. Akhirnya aku hanya menarik nafas panjang.
Ketika aku berniat hendak berdiri tanpa terasa tubuhku terangkat tinggi. Menyadari hal ini aku kaget. Mengapa aku terbang seketika tanpa ada perintah dari batinku? Puyang dan kakekku tidak menujukkan wajah kagetnya. Termasuk juga tamu-tamu yang lain. Aku saja yang kaget dan bertanya-tanya pada diri sendiri mengapa aku bisa seperti ini? Melihat semua tidak menampakkan kekagetannya aku segera mengendalikan diri menjaga keseimbangan lalu pelan-pelan turun. Dalam hati aku yakin ini bisa terjadi karena ada kekuatan baru dari Puyang Syech Zakir yang telah disematkan padaku.
“Masya Allah Puyang, aku kaget!” Ujarku setelah kembali berhadapan dengan para Puyang. Mereka tertawa ringan berbarengan. Padahal aku tidak main-main. Belum kering lidahku menyatakan kekagetanku, tiba-tiba telingaku mendengar suara suling dari kejauhan. Ini adalah signal yang menghubungkan aku dengan orang-orang terdekatku dalam keadaan berbahaya.
“Macan Kumbang!” Aku membatin. Apakah Macan Kumbang dalam keadaan berbahaya? Darahku terasa berdesir sangat cepat. Aku segera memajamkan mata. Fokus pada arah suara suling yang masih terdengar nyaring.
“A Fung!” aku sedikit terpekik. Aku buru-buru mohon izin pada Puyang dan Kakek yang menatapku sedikit heran.Tanpa menunggu persetujuan mereka aku melesat ke luar rumah panggung.
Sreeeeeeet!!
Aku kaget, tiba-tiba tubuhku melesat ke belakang. Kembali berada di hadapan Puyang dan Kakekku. Sejenak aku hendak menangis dan protes. Mengapa aku dilarang pergi?
“Berikan ini pada adikmu itu” Syech Zakir mengalungkan tasbih berwarna putih ke leherku. Tasbih dari batu alam yang memancarkan sinar putih namun tidak menyilaukan. Padahal cahayanya sangat terang. Aku kembali pamit dan fokus pada suara suling. Lalu kembali menembus belantara yang pekat menuju arah suara. Hanya dalam beberapa detik aku sudah berada si sebuah perbukitan. Dari jauh aku melihat kilatan dan kelebatan cahaya seperti benang kusut. Kadang rendah seperti turun ke bumi, namun kadang kembali naik melebihi tinggi bukit. Aku segera menajamkan mata fokus pada gumpalan cahaya itu. Semakin dekat semakin membuat jantungku berdegup. Perasaan khawatirku benar-benar sampai puncaknya. Aku sangat menghawatirkan keadaan A Fung.
Sejenak aku diam terpaku melihat pertempuran itu. Aku ingin memastikan A Fung tidak apa-apa. Tapi suara suling yang kudengar tadi pertanda A Fung dalam bahaya. Apakah dia telah melewati masa berbahaya itu? Aku kaget ketika melihat pakaian gamis A Fung tinggal separuh. Dada dan pahanya terluka. Namun A Fung masih lincah bergerak ke sana ke mari. Meski aku tidak tahu dari mana dia mendapatkan kemampuan bertempur seperti ini. Setahuku dia belajar agama dan tidak tertarik dengan ilmu kanuragan? Lalu siapa lawannya? Empat makhluk aneh bertungkai dan bertangan panjang, sedikit bongkok dan berwajah sangat tua, dengan mata melotot semua. Di kepala mereka masing-masing ada dua tanduk yang berjajar lurus. Tangan-tangan mereka yang berkuku panjang bergerak cepat masih berusaha hendak mencabik-cabik A Fung. Tubuh mereka yang berwarna cokelat kemerahan nampak seperti putih ketika mereka bergerak cepat. Sangat berbeda dengan kulit Afung yang putih bening dan bertubuh kecil layaknya anak-anak.
Hiiiiiaaaaat!!!
Aku melakukan satu gerakkkan pukulan jarak jauh untuk memecah pertempuran sembari menarik tubuh A Fung agar mendekat padaku. Dan berhasil! Melihat tubuh A Fung dengan pakaian compang-camping membuat darahku mendidih. Tanpa bertanya apa sebab terjadi perkelahian dan siapa lawannya, aku segera maju menggantikan A Fung. Melihat kehadiranku A Fung hanya bisa menyebut “Kakak!”. Aku heran mengapa A Fung sendiri di sini? Kemana paman Raksasa yang kuamanatkan untuk menjaganya?
Dus!!! Dus!!! Hantamanku mendapat perlawanan dari empat sosok aneh yang berwarna cokelat kemerahan. Tubuh keempatnya tidak berbalut sehelai benang pun. Telanjang bulat! Aku melihat alat kelaminnya ikut terlonjak-lonjak ke sana kemari. Ternyata, alat kelaminya berfungsi sebagai senjata selain kuku kaki dan tangannya yang panjang itu. Dalam hati aku menggerutu melihat pemandangan aneh yang menjijikan ini. Nafas mereka terdengar mendengus cepat. Nafsu melumpuhkan lawan sangat terlihat dari ekspresi dan gerakan tubuh mereka. Aku merasakan energi mereka cukup tinggi. Terbayang bagaimana A Fung melawan mereka. Pantas saja A Fung terluka dan pakaiannya nyaris cabik semua. Yang kuhadapi bukan makhluk biasa.
Des!!! Aku menjentik pita suara mereka agar mereka bisa berbicara dan aku mengerti bahasanya.Tak lama yang ke luar dari mulut mereka ancaman kematian.
“Mati! Mati Kau! Akan kumakan sukmamu! Hggggrrrr aku lapar sekali” Ujar salah satu di atara mereka. Sambil berkelit, aku mencoba mengorek untuk mengetahui siapa mereka sebenarnya. Mengapa mereka bertempur dengan A Fung adik gaibku itu? Ternyata mereka adalah makhluk yang berasal dari rawa-rawa sisi bukit Utara yang menghadap ke laut Selatan Bengkulu. Mereka kebetulan melihat A Fung berjalan sendiri, dan berniat untuk menculiknya. Hendak menjadikan A Fung tawanan sekaligus pekerja ke kerajaan mereka. Aku menertawakan niat mereka yang membuat kemarahan mereka makin memuncak karena merasa gagal menawan A Fung.
“Kalian salah, A Fung bukan makhluk liar seperti kalian. Jika kalian mengganggunya, berarti kalian telah melawan kerajaan Pekik Nyaring” Ujarku lantang. Wajah mereka sedikit berubah mendengar kerajaan Pekik Nyaring. Antara melanjutkan pertempuran dengan tidak terlihat dari gerak tubuh mereka yang beberapa kali mundur.
Aku segera mengangkat tangan ke atas, tak lama kuayunkan lalu kulilitkan ke pinggang mereka masing-masing. Gerakkanku tidak mereka rasakan. Ketika mereka sadar, dipinggang mereka telah terlilit jaring tipis menutupi alat kelamin mereka. Beberapa kali keluar suara dan erangan tidak jelas. Mereka berusaha melepaskan lilitan jaringku. Mata keempatnya yang melototot, nampak protes dan sangat marah. Aku terkesima ketika mereka membuka mulut menyersingai marah. Lidah mereka berlapis-lapis. Demikian juga giginya.
“Mengapa? Kalian tidak bisa melepas jaring itu bukan? Jaring itu akan melekat selamanya. Agar kalian terlihat lebih santun. Tidak telanjang bulat seperti tadi. Aku tidak bisa berkelahi dengan lawan tanpa busana. Apalagi alat kelamin kalian, kalian jadikan senjata” Ujarku menelan ludah menahan rasa jijik. Sebab dari alat kelamin itu selalu ke luar cairan putih seperti lendir yang mengeluarkan bau amis yang menyengat.
“Mengapa kalian mengeroyok adikku dan melukainya? Darimana asal kalian?” Tanyaku sedikit bernada tinggi meski aku sudah tahu asal mereka. Keempatnya seperti tidak peduli dengan pertanyaanku. Mereka masih sibuk hendak melepaskan jaring yang melilit di pinggangnya masing-masing. Rupanya mereka kehilangan kekuatan ketika kemaluannya tertutup. Makanya mereka tidak bisa menyerang balik lagi. Melihat tingkah mereka seperti kegerahan diberi penutup kelaminnya, aku ingin sekali tertawa. Tapi mengingat kondisi A Fung, aku segera balik badan.
Aku segera menghampiri A Fung yang terduduk lesu di atas batu. Wajahnya yang melas manja membuatku sedih. Aku segera meraih tubuhnya, lalu kuminta angin untuk memangkunya. Tubuh A Fung seperti mengambang di hadapanku. Aku segera mengobati luka-lukanya yang cukup parah. Pelan-pelan kusatukan kembali kulitnya yang koyak-moyak. Bahkan serpihan daging seperti hendak lepas dari tulangnya. Tak ada ekspresi rasa sakit A Fung. Wajahnya tetap tenang dan tidak bersuara. Detak jantungnya saja terdengar tak henti bertasbih. Dia tahu aku tengah konsentrasi menyembuhkannya. Hanya bola matanya menatapku dengan air bahagia.
“Huuuuf, Huu…Alllah…” Aku mengeluarkan saparuh energiku untuk menyatukan kembali luka-lukanya yang sedikit mengaga. Pelan-pelan, usapan telapak tangaku bermain di bagian tubuh A Fung yang luka. Pelan-pelan pula kulitnya kembali mulus seperti semula. Aku mulai meraba bagian dalam tubuhnya. Kulihat punggungnya memar hingga ke dalam jantung dan hatinya. Hebat juga adikku ini. Dalam keadaan terluka dalam seperti ini dia masih bisa bertahan.
“Paman, bawakan pakaian A Fung ke mari” Aku membatin, berkomunikasi dengan Paman Raksasa. Tak lama angin mendesing dan muncullah sosok Paman Raksasa. Beliau kaget melihat A Fung yang masih terbaring di pangku angin. Apalagi ketika melihat baju A Fung koyak- moyak.
“Ada apa dengan A Fung? Mengapa dia bisa seperti ini?” Paman kaget. Dia langsung menoleh kepada empat sosok yang masih sibuk melepaskan lilitan di pinggangnya. Melihat ekspresianya nampak dia langsung naik darah dan hendak menyerang empat sosok yang menyakiti A Fung. Secepat kilat aku menghalangi paman agar tidak melakukan penyerangan. Aku paham perasaannya.
“Kita lihat saja Paman, mereka sudah tidak bisa apa-apa setelah kulilit dengan jaring itu. Biarkan mereka sibuk dengan ikatan itu” Ujarku lagi. Akhirnya Paman mengurungkan niatnya. Kembali memandang haru pada A Fung yang masih terbaring.
Desss!!
Aku memberikan totokan terakhir pada A Fung. Akhirnya dia bangkit dan langsung memelukku. Aku segera mengganti pakaiannya yang compang-camping. Wajahnya terlihat cerah dan sangat bahagia.
“Untung kakak datang. Kalau enggak aku hancur” Ujarnya manja. Aku teringat jika aku mendapatkan amanah dari Puyang Syech Zakir. Aku segera melepaskan tasbih batu putih yang melingkar di leherku, mengalungkannya pada A Fung. Tiba-tiba wajah A Fung semakin terang. Cahaya tasbih itu seperti menembus seluruh tubuh A Fung. Paman Raksasa nampak makin bahagia.
“Maafkan Paman, Selasih. Paman tidak tahu kalau A Fung pergi dari kelas belajarnya” Ujar Paman Raksasa dengan nada menyesal.
“Akulah yang minta maaf, karena aku bandel, Kak. Hukumlah aku” Ujar A Fung menimpali. Aku tersenyum melihat keduanya.
“Semuanya sudah dimaafkan, dan semuanya sudah dimaklumi. Alhamdulilah tidak terjadi hal tidak diinginkan. Lain kali hati-hati kalau pergi main. Karena banyak juga makhluk yang mengicar sosok lucu sepertimu. Tuu lihat, berapa banyak maksumai yang menatap ngiler padamu. Karena kau anak kecil yang lucu, A Fung” Ujarku menunjuk pada beberapa sosok wanita berambut panjang dengan buah dada menjuntai sampai ke tanah dan tidak mengenakan busana. Mereka menatap ngiler sambil menjilat-jilat bibir seperti kehausan dan lapar. A Fung terlihat bergidik menatap sosok-sosok yang kutunjuk. Maksumai, adalah makhluk asral bersosok perempuan yang suka menyembunyikan anak kecil, terutama bangsa manusia, menyusuinya, dan memberinya makan dengan telur semut dan cacing.
“Hmm..kok aku dibilang maksumai?” Tiba-tiba suara Alif muncul dari belakang. Aku kaget dibuatnya. Mengapa aku tidak mencium sama sekali kehadirannya? Aku menyesali ketidakpekaanku. Alif berjalan pelan mendekati kami. A Fung langsung menyambar tangannya dan menciumnya. Alif mengelus-ngelus pundak A Fung dengan penuh kasih sayang. Mata nakal A Fung mulai bermain. Dia senyum-senyum menatap aku lalu menatap Alif berkali-kali. Paman Raksasa ikut tertawa melihat tingkahnya.
“Kok kemari?” Tanyaku sedikit heran.
“Iya, Aku melihat tubuhmu melesat ke mari. Lalu Eyang Kuda menyuruhku menyusulmu. Ternyata Kanjeng Ratu tengah menyelamatkan adik kesayangannya” Jawabnya sambil tersenyum, menyebutku dengan Kanjeng Ratu.
“Terimakasih Kanjeng Ratu, Terimakasih Tuan Pangeran” A Fung menggoda sambil membungkuk. Kami serentak tertawa.
Setelah kulihat sosok A Fung sudah beres, mereka kuminta kembali pulang ke gunung Dempu. Paman Raksasa langsung membimbing A Fung dan seketika mereka lenyap dari hadapan kami. Tinggallah aku dan Alif berdiri menatap empat sosok yang masih sibuk dengan lilitan jaring di tubuhnya.
“Kita tidak mungkin meningglkan mereka di sini dalam keadaan seperti ini, Selasih. Izinkan aku mendekati mereka” Ujar Alif berjalan menghampiri empat sosok astral yang tidak mempedulikan sekelilingnya itu. Kulihat Alif berusaha berinteraksi dengan mereka. Keempat sosok itu nampak berhenti dengan aktivitasnya hendak melepas jaring yang melilit. Alif mengangkat tangan sembari berdoa lalu ada cahaya putih muncul ke genggamannya, selanjutnya cahaya itu dia masukkan ke dada empat makhluk berbarengan. Cahaya itu langsung menyusup ke dalam hati keempatnya. Rupanya Alif memberikan nur Islam ke dalam dada-dada mereka. Mereka seperti terperanjat melihat hamparan alam yang teduh dan luas. Batin dan jiwa mereka tiba-tiba terasa nyaman.
“Apa dan di mana itu? Mengapa tiba-tiba semua berubah? Bagaimana caranya kami bisa ke sana?” Tanya salah satu sosok itu. Alif menjelaskan mereka bisa masuk ke alam itu asalkan mereka mau bersyahadat. Akhirnya setelah bernegoisasi cukup lama, mereka meminta untuk disyahadatkan. Alif menuntun keempatnya. Selanjutynya dikirimkannyalah empat sosok itu bergabung ke pondok pesantren gaib gurunya. Aku tersenyum bahagia melihat pemandangan di hadapanku. Empat sosok itu berubah menjadi sosok yang bersih dan tubuhnya sempurna seperti manusia.
“Ayo, kita kembali ke tempat Puyang” Ajak Alif ketika melihat aku termangu. Padahal aku masih takjub melihat apa yang dikerjakannya. Aku mengangguk setuju. Lalu kupanggil angin untuk kembali membawaku dan Alif menuju bukit tempat bersemayamnya Puyang di sisi bukit Marcawang.
Bersambung…