HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT II (39)

Karya RD. Kedum

Mataku terbelalak melihat di sudut dapur banyak sekali buah lenggugugh masak. Siapa yang mengantarkan buah rimba ini kemari? Sementara nenek Kam sedang ke luar. Katanya mau keliling kebun melihat-lihat apakah masih ada sisa buah kopi yang harus dipetik? Menurut nek Kam, nenek gunung paling suka makan lenggugugh. Biasanya mereka akan berangkat malam hari bersama nek Kam untuk mucung buahnya yang jatuh. Tapi mengapa siang hari buah ini di sini? Atau tadi malam nek Kam berangkat mucung buah rimba ini bersama kawan-kawannya? Lalu aku tadi malam beliau tinggal sendiri? Tega betul!

“Lenggugugh itu diantar Macan Kumbang. Katanya dapat mucung di bukit Selepah” Ujar nek Kam tiba-tiba di belakangku. Aku kaget! Nek Kam pasti tahu apa yang ada dalam benakku. Aku tersenyum sumbang. Kucicip satu. Hmmm…manis asem-asem segar. Pantas nenek gunung menyukai buah satu ini. Ternyata memang enak. “Dek, mau beli apa kamu jelang sekolah nanti? Kopi kita sudah dipanen. Mau beli bedak telok Cap Nona Manis? Bedak basah diamond? Atau beli setip warna abang? Atau mau beli kalung dan gelang emas-emasan?” ujar nek Kam padaku ketika aku asyik memilih daun sirih yang baru dipetiknya. Aku tertawa lebar mendegarnya.

Nenekku satu ini mungkin terobsesei masa remajanya yang jadul. Jadi yang beliau ingat adalah merek bedaknya jaman dulu. Apakah masih ada merek itu dijual di pasaran, aku tidak tahu. Demikianlah cara orang tua jaman dulu hendak membahagiakan cucu. Kalau perempuan maka ditawarkan alat-alat kecantikan. Atau beli kain sarung batik untuk simpanan. Maksudnya kalau sudah remaja nanti, pergi ngule ke dusun orang maka butuh kain sarung anyar untuk dipakai di kampung jeme (dusun orang). Melihat aku tertawa, kembali nek Kam berkata, anak gadis itu perlu banyak persiapan. Siapa yang tahu tiba-tiba baru meghanjak besak (naik remaja) sudah dilamar orang.

Mendengar itu tawaku makin jadi. “Nek, jangan samakan jaman nenek dengan jaman Dedek sekarang. Dedek mau sekolah tinggi dulu. Cobalah nenek berpikir kayak Kakek Haji Majani. Beliau malah berpesan agar Dedek jangan cepat-cepat belaki. Katanya sekolah aja dulu tinggi-tinggi’ Ujarku. Nenek Kam mencibir tanda tidak setuju. Wajahnya sedikit berkerut. Entah apa yang membuatnya tidak setuju. Aku tidak tahu. Atau barangkali dalam pikiran nenek Kam, meski sekolah tinggi akhirnya akan ke dapur juga. Atau jika aku sekolah tinggi, maka aku sudah tidak bisa berpetualang, membantu para nenek gunung. Lalu interaksi denganku jadi terbatas dan lain sebagainya. Aku kembali pura-pura sibuk. kutepis obrolan tentang cepat belaki, dan ngule ke dusun orang dan sebagainya. Termasuk juga membeli bedak segala merek. Anggap saja itu hiburan seorang nenek pada cucu tercintanya.

Liburan sekolah tinggal beberapa hari lagi. Artinya aku sudah harus pulang ke Pagaralam, meninggalkan kampung seberang Endikat yang kucintai ini. Padahal rasanya baru berapa hari. Aku belum sempat tidur bersama dan mendengarkan cerita kakek Haji Majani dan Kakek Haji Yasir. Aku juga belum sempat mancing di tebat Betelogh dekat pancuran tempat biasa kakek bersih-bersih. Aku juga belum sempat bermain dengan sepupuku Juli, Ilen, dan mang Arsun. Padahal mereka berulang kali berpesan hendak mengajak aku nginap di sawah mereka. Aku jadi resah sendiri. Waktu satu minggu lagi bagiku sangat pendek. Rasanya belum puas berlama-lama di sini. Kupandang nenek Kam yang masih asyik memilah daun sirih. Perempuan ringkih ini sebentar lagi akan kutinggalkan di sini. Mengapa tiba-tiba aku jadi sedih? Meski aku bisa saja mengunjunginya kapan aku mau, tapi tetap saja jauh. Aku tidak bisa berlama-lama.

“Nek, nenek Sulijah mana? Aku mau tanya, apa saja yang dilakukannya ketika beliau menggantikan aku? Kok aku tidak tahu ya Nek? Nenek juga si nggak ngasih tahu aku” Ujarku manja sembari menepis perasaan tidak enakku. Nenek Kam tersenyum tipis. Lalu katanya kalau saja Dedek tidak digantikan nenek Sulijah, maka tentu Dedek tidak akan bisa membantu keluarga besar nenek gunung. Dan kita tidak akan mendapatkan cerita lucu yang membuat nenek Sulijah nyaris kabur. “Nyaris kabur?” Tanyaku. Rupanya, kata nenek Kam, ketika melihat Dedek, saking senang dan sayangnya, kakek Haji Yasir langsung memeluk, mencium, dan menggendongnya. Beliau tahunya di hadapannya adalah Dedek cucunya. Mana beliau tahu kalau itu Dedek palsu. Nenek Sulijah tidak berani balas memeluk apalagi balas mencium. Akhirnya beliau pasrah saja. Pura-pura malu. Padahal memang beliau malu beneran.

Mendengar cerita itu aku tertawa terbahak-bahak. Aku tak bisa bayangkan bagaimana jika tiba-tiba Dedek palsu berubah wujud menjadi nenek peot? Yaa Allah kasihan sekali kakek Haji Yasir. Nenek Kam juga tertawa sampai mengeluarkan air mata. Bahkan sampai terbatuk-batuk. “Waktu Sulijah bercerita, nenek sampai terkencing-kencing, Dedek. Nenek tidak bisa bayangkan bagaimana jika kak Haji Yasir tahu yang dicium dan digendongnya itu nenek gunung yang sudah ompong?” Nenek Kam kembali terpingkal-pingkal. Aku juga ikut tertawa sambil memegang perutku yang terasa keram menahan lucu. Bahkan sampai susah bernafas.

“Lalu apa lagi yang lucu. Nek?” Lanjutku ingin tahu. “Ketika jelang malam tiba, kamu dijemput kakek Haji Majani di dusun, di tempat ibumu untuk diajak tidur di kebun bersama kakek Haji Majani dan Kakek Haji Yasir. Alasannya pagi-pagi mau mengajak kamu memetik cengkeh. Kamu kan pandai naik pohon.” Belum selesai bercerita, nek Kam sudah tertawa terpingkal-pingkal lagi. Kali ini sampai terguling-guling. Lama aku menunggu tawanya reda. Aku sangat penasaran kelanjutan ceritanya. Berkali-kali nek Kam menarik nafas namun kembali terkekeh-kekeh. “Lalu bagaimana, Nek? Nenek Sulijah dipeluk cium sama kakek Haji Majani?’ Tanyaku. Aku dan nenek Kam kembali tertawa terbahak-bahak. Masya Allah sulit sekali meredakannya. Semuanya jadi serba lucu. Kasihan sekali dua kakekku itu. Mending yang dicium gadis cantik. Ini nenek peyot! “Nenek Sulijah tidak bisa menolak ketika beliau tidur diapit dua kakekmu. Nenek Sulijah kayak mayat katanya tidak berani bergerak ke kiri maupun ke kanan. Apalagi hendak memeluk seperti kebiasaanmu.” Kami berdua kembali terbahak-bahak. Kali ini giliran aku mendengar cerita nek Kam kebelet pipis. Saking lucunya kami tertawa, sampai-sampai tidak menyadari jika ada yang datang.

“Apa yang kalian ceritakan. Lucu sekali nampaknya? Sampai-sampai tiga kali salam saya tidak dijawab” Tiba-tiba di pintu nongol kepala. Lelaki separoh baya, berdiri di pintu masuk. “Ai maaf Sangkut, kami tidak dengar jika ada tamu saking lucunya cerita tentang Dedek” Nenek Kam menahan tawa sambil bangkit. Aku saja yang masih senyum-senyum terbayang dua peristiwa yang dialami nenek Sulijah. Aku anggap itu adalah hukum karma karena membohongi ibu dan dua kakekku.

Orang yang panggil Sangkut, duduk di gaghang depan. Mereka terlibat obrolan serius. Samar-samar kudengar lelaki itu bercerita hendak membuka kebun. Tapi, dua malam berturut-turut beliau mimpi didatangi dua perempuan cantik. Gawatnya, dua perempuan itu minta dia nikahi sekaligus. Padahal sudah kusampaikan jika aku ini sudah beristri, punya anak, bahkan sudah punya cucu. Katanya. Jadi dia datang ingin bertanya dengan nenek Kam perihal mimpinya itu. Apakah sekadar mimpi atau memang benar dia didatangi dua makhluk cantik itu. Nenek Kam diam sejenak. Dari balik dinding aku menyimak dengan batin. Aku melihat nenek Kam pergi menuju kebun Mang Sangkut. Sementara jasadnya masih asyik ngobrol. Kuikuti beliau dari belakang. Dalam waktu singkat aku melihat nenek Kam sudah berada di hutan yang kayunya sudah dibabas. Kayu besar kecil melintang pukang persis seperti hutan ketika aku bertempur dengan petapa dari pulau Jawa malam itu. Nenek Kam sesekali berhenti, lalu memandang ke beberapa sudut. Tibalah beliau di dekat pohon besar yang sudah tumbang. Oh! Rupanya di dekat pangkal pohon besar itu ada sendang. Aku melihat beberapa rumah unik di sekitar pohon porak-poranda. Dan sendang pun tertutup kayu, ranting dan daun. Jika ada yang tidak tahu di sana ada sendang, bisa saja kejeblos ketika menginjak daun dan ranting yang menutupinya.

“Assalamualaikum penunggu kampung. Aku relingin nak betanye. Keluarlah (Assalamualaikum wahai orang kampung. Aku Relingin hendak bertanya. Keluarlah)” Nenek Kam berucap berulang kali, lalu tangannya bersedekap sejenak. Masih sambil berdiri tangannya seperti menyapu seluruh penjuru. Aku melihat banyak makhluk halus yang digiring tangan nek Kam. Makhluk-makhluk itu dikumpulkan nek Kam persis di hadapannya. Lalu nak Kam bertanya siapa di antara mereka anak gadis yang menemui Sangkut yang punya tanah ini, dan minta di nikahi? Tiba-tiba muncullah dua gadis muda cantik sekali. Kulitnya halus berwarna kuning langsat, rambutnya panjang lurus sampai ke betis. Tinggi langsing semampai. Wajah keduanya mirip, berbentuk oval dengan alis tebal, berbola mata hitam, bulu matanya lentik, bibirnya tipis berwarna merah muda. Kecantikan yang sempurna. Tubuh mereka dibalut baju kurung dan kain sarung. Mengapa dua gadis cantik ini minta dinikahi Mang Sangkut? Lelaki setengah baya, berperawakan kecil, berwajah kusut? Bukankah akan terlihat seperti siang dan malam? Seperti bumi dan langit? Aku tak habis pikir. Seperti tidak ada orang lain saja.

Dari kejauhan aku melihat nek Kam berinteraksi serius dengan dua gadis itu. Entah apa yang mereka bicarakan. Aku tidak terlalu tertarik ingin tahu. Tapi dalam hati sangat menyayangkan secantik mereka minta dinikahi mang Sangkut. Lagi pula bukankah kehidupan bangsa manusian dan jin berbeda. Mang sangkut bangsa manusia, sementara mereka adalah bangsa jin? Ah! Aku enggan memikirkannya. Aku berniat hendak pulang dan memutar badan. Cacam! Aku terkejut bukan main. Persis di belakangku Gundak berdiri ikut memperhatikan nenek Kam. Aku menggerutu dalam hati. Mengapa aku tidak mengetahui sama sekali kehadirannya? Apakah ketajaman penciumanku sudah hilang? “Megapa kamu ada di sini? Kapan kamu datang?” Ujarku tak mampu menyembunyikan keterkejutanku. Gundak hanya mengangkat bahu tak peduli denganku. Matanya masih lurus memperhatikan nenek Kam, atau memerhatikan dua gadis cantik itu. Sekali lompat aku sudah ada di belakang Gundak. Aku bergegas pulang tanpa menoleh lagi meninggalkan lokasi kebun yang baru dibuka. Kulihat di pondok jasad nenek Kam masih diam duduk berhadapan dengan mang Sangkut.

Mang sangkut duduk diam sambil memainkan ibu jari kakinya yang kotor dan kapalan. Nampak sekali beliau ini pekerja keras, tidak mempedulikan tubuh sendiri. Rambut nya kusut seperti bangun tidur. Belum lagi kumis dan jenggotnya yang jarang-jarang dibiarkan panjang tak beraturan. Jauh sekali jika mau dibilang ganteng. Lagi-lagi aku tidak habis pikir mengapa dua gadis cantik itu minta mang Sangkut menikahinya. Dunia sudah mulai terbalik rupanya. Belum sempat aku duduk, aku mencium bau Gundak di bawah pondok. Aku melongokkan kepala lewat jendela. Sendiri rupanya. Pasti sebentar lagi pengawalnya akan menyusul kemari. Benar saja dari kejauhan aku mendengar derap kaki cepat sekali. Gundak hanya duduk-duduk di bawah. “Naik, Gundak. Kenapa kamu duduk di bawah” nenek Kam menegur. Tak ada jawaban dari Gundak. Padahal nenek Kam belum kembali ke pondok. Beliau masih bercengkrama dengan dua gadis di hutan yang baru ditebas mang Sangkut. Tak lama berselang aku melihat nenek Kam kembali. Beliau mengangkat kepalanya. “Benar Sangkut, dua anak gadis itu minta kamu nikahi. Semua keluarga dan kerabatnya sepakat. Mereka sudah menyiapkan persiapan bagok’an besak (pesta besar). Saya sudah bernegosiasi minta batalkan. Tapi mereka tetap bersikeras. Karena menurut mereka dari jauh hari mereka sudah menemuimu agar jangan sampai merusak rumahnya dekat sendang itu. Kalau rusak, sendangnya kamu harus nikahi mereka. Demikian kata mereka.” Ujar nek Kam panjang lebar. “Lalu bagaimana untuk membatalkannya, Nek? Perlukah aku minta maaf atas semua kesalahanku? Apa yang harus aku lakukan? Sungguh aku tidak tahu jika aku telah merusak rumah mereka. Karena aku tidak punya kemampuan untuk itu melihat hal yang tidak kasat mata” Mang Sangkut nampak makin mengkeret. Tubuhnya yang kecil makin kecil. Beliau nampak sangat takut. Aku melihatnya ada dua kemungkina yang akan terjadi pada mang Sangkut. Pertama, mang Sangkut tetap menikah namun fisiknya bagi orang awam melihatnya seperti orang gila. Ke dua mang Sangkut tetap menikah tapi beliau akan diambil dengan fisiknya. Lalu fisiknya di dunia akan digantikan dengan benda lain untuk mengelabui manusia awam seakan beliau sudah mati.

Hm…apa memang begitu hukum di dimensi makhluk halus itu? Aku berpikir bagaimana cara menghalanginya agar mang Sangkut selamat, tidak menjadi mati atau gila. Ketika aku masih berpikir apa yang mesti kulakukan untuk dapat menolong mang Sangkut, tiba-tiba aku mendengar suara anjing melengking di hulu kebun. Aku melompat dari pintu belakang langsung berlari ke sumber suara. Betapa terkejutnya aku ketika melihat Gundak dan tiga pengawalnya sedang berhadapan dengan sepasang makhluk, manusia berkepala anjing. Mengapa makhluk ini ada di sini? Yang lelaki itu sudah pernah bertarung denganku berapa hari lalu. Sejenak kubiarkan. Aku menjadi penonton saja dulu . Aku ingin melihat bagaimana sepak terjang Gundak menghadapi lawan. Aku ingin melihat ilmu bela diri apa yang dia miliki? Mengapa tiba-tiba mereka bertempur di sini? Apa pasalnya?

Nenek gunung dewasa membantu Gundak melawan manusia berkepala anjing yang laki-laki. Selanjutnya nenek gunung pengawal Gundak yang dua lagi bertarung dengan manusia kepala anjing yang perempuan. Aku melihat perkelahian tidak seimbang. Manusia kepala anjing itu bukan makhluk biasa. Mereka berilmu tinggi. Sementara pengawal Gundak lebih banyak berusaha melindungi Gundak agar tidak terkena pukulan maut manusia berkepala anjing itu, sesekali ingin menyerang tetapi selalu gagal. Melihat kondisi itu aku tidak tahan. Apalagi setelah makhluk itu melihat padaku. Nampaknya dia ingin menyelesaikan pertempuran secepatnya. Gundak terdesak. Beberapa kali pengawalnya kena pukulan karena melindungi Gundak. Nenek gunung ini tega mengorbankan diri demi melindungi Gundak, atasannya. Dalam keadaan genting, ketika pukulan maut makhluk berkepala anjing itu hendak menghantam Gundak dan pengawalnya, aku lemparkan ujung selendangku menghalanginya. Siluman itu terpental beberapa hasta. Sambil melengking dia berusaha bangkit.

“Kamu lagi kutu anjing!” ujarnya marah. Aku maju dihadapnya membelakangi Gundak dan pengawalnya. Mereka berdua kusuruh agak mundur ke belakang. Aku siap-siap mengajak makhluk aneh ini bertarung. Sekilas kulihat kerlingan mata yang betina tajam penuh dendam. Mungkin dia tahu kalau akulah yang telah melukai suami dan anaknya kemarin. “Rupanya peristiwa kemarin belum membuatmu kapok? Sekarang datang untuk menuntut balas ya? Kemarin kenapa kabur” ujarku. Siluman ini tidak menjawab pertanyaanku lagi. Dia langsung melakukan penyerangan. Tubuhnya nampak gesit ke sana kemari. Nampaknya dia sudah sembuh dari luka dalamnya. Kuku tangannya selalu mekar siap mencakar. Aku masih berusaha menghindar sembari mempelajari serangan dan pukulannya. Pukulannya lebih berisi sekarang dibandingkan dengan kemarin.

Hiat! Hiat!! selendangku kusapukan secepat mungkin. Suara benturannya seperti percikan api beradu dengan cahaya redup matahari. Ternyata suara benturan itu terdengar juga oleh nek Kam. Beliau pun hadir memperhatikan aku di pinggir kebun. Tak lama berselang kulihat beliau melompat di tengah arena. Aku menghentikan serangan sejenak. Kutahan angin dan halilintar di badan selendang. Aku beralih menatap nenek kam yang berdiri gagah seperti pendekar di antara aku dan makhluk aneh itu. Yang perempuan pun menghentikan pertarungan. Semua terpusat pada nenek Kam.

“Hentikan dulu. Aku mau bertanya apakah kamu yang punya rumah di ayek tulung sendang rimbe kepayang itu? Ayah Las dan Lis?” Tanya nek Kam. Suaranya tegas dan jelas. “Iya! Rumah kami rusak semua. Kami telah tinggal di sana ribuan tahun. Tapi akibat ditebas oleh Sangkut, rumah kami jadi hancur. Sebagai gantinya dia harus menikah dengan dua anak kembarku!” Jawab siluman anjing dengan suara berat. Oh! Jadi dua putri cantik itu yang kemarin ikut mengeroyok Gali, mereka dalam bentuk anjing hutan? Aku membatin. Pahamlah aku mengapa siluman ini datang kemari. Rupanya dia mencium bau mang Sangkut yang menemui nenek Kam. “Jika tidak kami izinkan, kira-kira bagaimana? Bukankah alam kita berbeda. Kalian bangsa jin, kami bangsa manusia. Sangkut juga tidak tahu jika di situ ada rumah kalian. Karena dia tidak punya kemampuan untuk melihat alam kalian.” Ujar nek Kam.

“Tidak bisa!!! Semua sudah terlambat. Kami tinggal mejemput Sangkut calon bunting (pengantin) saja. Semua persiapan sudah semua. Tidak mungkin dibatalkan. Ibarat teghas sudah menjadi batu. Perjanjian bersama Sangkut sudah disepakati bersama.” Ujar siluman anjing kembali. “Kapan kalian melakukan perjanjian? Kalian hanya melakukan perjanjian sepihak. Sangkut tidak pernah merasa berjanji dengan kalian.” Sambung nek Kam kembali. Bangsa jin ini memang pandai menjerumuskan manusia. Berbagai macam alasan dan cara mereka lakukan untuk menjerumuskan manusia. “Dengar Jin, cara perjanjian kita berbeda. Kalian sengaja menyesatkan manusia dengan dalih perjanjian. Sekali lagi aku minta batalkan! Kalau tidak cucuku akan obrak-abrik kembali tempat itu, dan kalian akan ditangkapinya. Bagaimana? Sudah siap?” Ancam nenek Kam.

Siluman anjing rupanya tidak kalah gertak. Dengan cara mengangkat moncongnya dia berusaha menunjukan keangkuhannya. “Jangan coba-coba mengancam dan menakuti Remas Intan, putra asli suku Besemah!” Ujarnya menepuk dada. “Jangan mengaku-ngaku putra asli Besemah, hei anjing! Putra asli Besemah bangsa manusia. Bukan sepertimu. Kau adalah buangan yang berubah menjadi anjing karena masa hidupmu culas, dengki, jahat, pemerkosa, perampok!” Lawan nenek Kam mematahkan setiap perkataan siluman anjing ini. Dia kehabisan akal. Mulutnya menggeram lalu menyeringai menampakan taringnya yang tajam. Nenek Kam memberi kode padaku untuk membereskan makhluk ini. “Tangkap!” Ujar nenek Kam. Aku mengayunkan tangan lalu Membuatnya bersilang. Jari tanganku mulai mengembang. Siluman ini akan kutangkap, kusandera dalam jari tanganku. Siluman anjing memberontak tatkala aku menyedot energi yang ada dalam tubuhnya. Semakin memberontak, energinya semakin tersedot. Akhirnya tubuhnya pun ikut tersedot. Makhluk ini kusandera di ujung jari bersama beberapa jin bandel lainnya. Tinggalah siluman yang betina. Melihat suaminya begitu mudah kulumpuhkan dia langsung membantingkan diri sujud minta ampun.

Melihat dia minta ampun aku tidak tega. “Panggil semua anak dan keluarga besarmu kemari!” Perintahku. Tak lama dia menggeram sekuat tenaga mengumpulkan semua warganya. Setelah mereka hadir semua, aku ancam mereka. Jika tidak mau patuh denganku maka akan kutarik untuk kupenjara di ujung jariku. Rupanya mendengar siluman anjing betina berjanji akan patuh yang lain ikut patuh. Aku memanggil paman Raksasa untuk mengkarantina mereka agar mereka berubah dan mengenal agama. Paman Raksasa membawa para jin tersebut ke lereng Merapi belakang gunung Dempu. Aku menarik nafas lega. Demikian juga nek Kam. Mang Sangkut semula kulihat wajahnya pucat pasi karena jiwanya telah disandera makhluk gaib itu sekarang berubah lebih cerah. Jiwanya telah kembali.

Aku menoleh pada Gundak yang masih berdiri di belakangku. Kulihat sudut bibirnya berdarah. Kuhampiri, lalu tanpa bertanya kuusap dengan telapak tangan. Darah yang semula terlihat mengalir seketika menjadi kering. Kutempelkan tanganku ke dadanya untuk mengobati beberapa luka dalam yang ringan. Lalu pengawalnya yang beberapa kali kena pukulan siluman anjing pun aku coba terapi. Ku obati bagian memar dan luka dalam akibat pukulan keras siluman anjing. Setelah selesai semua, aku berniat kembali ke pondok menyusul nenek Kam. “Tunggu Selasih!” Gundak meraih tanganku. Sekilas aku menatapnya. Ada apa pula dengan makhluk ini? “Tolong, tanganku sakit, Selasih. Nampaknya keseleo.” Ujarnya sembari menyodorkan tangan kanannya. Aku langsung merabanya dengan cepat. Ternyata tangan Gundak tidak apa-apa. Aku tidak merasakan tangannya cedera. Aku membatin, ini akal-akalan Gundak. Kutepuk sikunya agar teras nyilu. Gundak terjerit sembari memegangi tangannya sambil tertunduk. Aku langsung berlari secepatnya sambil menertawakannya. “Awas kau Selasih!!” Gundak berusaha mengejar sembari masih menahan nyilu tangannya.

Aku masih tertawa ketika Gundak berhasil meraih kakiku yang baru beberapa langkah naik tangga. “Aduh!” aku tergelincir. Nyaris tubuhku jatuh ke tanah. Untung ada Gundak dengan cepat menahan tubuhku. Aku terkesiap. Begini rasanya jika tidak memfungsikan kemampuan warisan leluhurku. Gundak mencubit betisku ketika aku kembali berusaha mendahuluinya. Wajah Gundak tidak terlihat sewot dan cuek lagi. Matanya sudah mulai mau betatapan langsung dengan mataku. Anak manja ini sudah ramah kembali. Peluh yang berkumpul di sisi bibir atasnya seperti embun yang jatuh di ujung daun. Sesekali bercahaya seperti cahaya bintang.

Mendengar liburanku sebentar lagi akan berakhir, sekolah akan dimulai dan aku harus pulang ke Pagaralam, Gundak menjadi murung. Alasannya dia tidak punya teman bermain lagi. “Kan bisa main setiap waktu ke pondok nenek Kam. Main dengan nek Kam saja” Ujarku seadanya. Gundak diam saja. Tangannya asyik mengorek-ngorek lantai kayu yang bolong. “Petang ini aku mau ke sawah sepupuku, kamu mau ikut tidak Dak? Tapi kasihan, mereka tidak bisa melihat wujudmu. Aku akan menginap di sana malam ini” Ujarku. “Aku ikut! Ikut nginap juga di sana. Biarlah mereka tidak bisa melihat aku. Kamu kan bisa.” Wajah Gundak gembira.

Mendengar itu, nenek Kam langsung mengingatkan Gundak. Bagaimana pun Gundak tentu tidak bisa sebebas aku. Dia itu mirip Putra Mahkota. Penyambung jurai satu-satunya. Semua menyanyanginya dan semua menjaganya. Makanya Gundak selalu dikawal kemana saja dia pergi. Dasar Gundak saja suka melawan arus. Sering pergi sendiri kabur dari pengawasan pengawalnya. Berburu sendiri. Dia lupa orang menyayangi dan menjaganya karena dialah satu-satunya pewaris utama jurainya. Tapi Gundak menganggap semua ingin mengekangnya. “Tapi Nek, Selasih kan sebentar lagi akan pulang ke Pagaralam. Entah kapan dia akan pulang ke sini lagi. Masih lama. Nek.” Nadanya merengek. Dalam hati aku tidak habis pikir, Gundak lelaki tapi lembek. Dia memang harus banyak belajar di luar agar paham jika hidup ini tidak mudah. Tapi butuh perjuangan, butuh bersosialiasi, butuh wadah untuk bisa mengembangkan diri. “Bakmu tak akan mengizinkanmu, Gundak.” lanjut nenek Kam. Wajah Gundak mejadi kecut. Nampaknya dia tidak mempedulikan nasihat nek Kam.

Jelang petang, langit buram. Aku berharap tidak terjadi hujan. Entah apa yang akan kami lakukan malam ini bersama sepupuku. Apakah jadi sesuai rencana mereka mencari jangkrik jantan malam-malam di tanah-tanah renggang sawah sisa orang ngetam, lalu mengadu jangkrik , membiarkan bergulat hingga salah satu di antaranya mati karena kalah kuat . Kata Ilen, pertarungan mereka seru. Meski dalam hati aku tidak setuju dengan permainan ini. Tapi aku akan ikut irama mereka saja dulu. Kebetulan sebagian sawa orang tuanya habis panen. Sudah dituai. Paling tidak aku bisa melihat para kerbai mengirik padi, lalu menjemurnya. Selajutnya padi yang kering ditutuk dengan berik (kincir air). Gundak disuruh nek Kam pulang ke Ulu Bukit Selepah. Artinya aku aman tidak dipusingkan harus berinteraksi dengan dua alam sekaligus. Aku akan fokus bermain dengan Ilen dan Juli sesuai rencana. Jelang petang aku dijemput Siadi kakak Ilen. Kami berjalan sambil bercerita panjang lebar melalui setapak yang sisi kanan kirinya ada ladang, sawah, kebun kopi, dan hutan belukar kecil.

Di jalan beberapa kali aku bertemu dengan nenek gunung. Aku menyapa mereka lewat batin saja. Khawatir Siadi tahu perihal makhluk itu, atau melihat aku sedikit aneh, bisa-bisa dia kabur ketakutan. Sekarang di hadapanku terhampar dataran yang luas. Sawah sebagian besar masih menguning. Aku berhenti sejenak. Di ujung sana aku melihat dangau Bakcik, orang tua Ilen dan Siadi berdiri kokoh di tengah-tengah sawah. Tidak jauh dari dangau aku melihat beberapa kerbai masih asyik nyucugh padi. Memisahkan padi hampa dengan yang bernas, memanfaatkan pertolongan angin. Beberapa kali kulihat mereka berputar-putar mempelajari arah angin. Saat angin tidak bertiup kencang mereka berhenti sambil bercerita. Sementara berik, terus berputar mengangkat alu, menumbuk padi yang masih hangat karena baru diangkat dari tikar jemuran. Aku langsung berlari menuju para kerbai yang sedang nyucugh padi. Rupanya mereka sebagian besar adalah saudara Bapakku yang sengaja diajak untuk membantu Makcik panen. Mereka pekerja harian, atau upahan pada Bakcik. Mulai dari ngetam, ngirik, jemur, sampai nutuk hingga menjadi beras.

Melihat aku datang, mereka menyambutku dengan gembira. Sikap ramah gidak dibuat-buat mereka, kerap kali jadi pelajaran untukku. Aku menyalami mereka satu-satu. Tak sedikit mereka mengelus-ngelus kepalaku pertanda sayang. Aroma peluh bercampur aroma padi benar-benar khas dari tubuh mereka. Melihat mereka berdiri memegang nighu yaitu alat untuk menampi yang bentuknya mengerucut terbuat dari bambu, berisi padi yang sudah kering, membuatku terharu. Mereka pekerja keras yang benar-benar bergantung dengan keramahan alam. Mereka bersama-sama menyucugh padi. Lalu padi yang bernas mereka tuang di lesung-lesung berik. Gemericik suara air yang menyentuh roda berik membuat suasana dataran sawah menjadi lain.

Di sisi tempat mereka mengirik, dan nyucugh, puluhan karung padi tersusun rapi ditutup dengan terpal plastik. Beberapa anak kecil berguling-guling di atas sisa tangkai padi yang ditumpuk seperti gunung. Melihat cucughan mereka masih banyak, sementara angin enggan berhembus karena sudah petang, membuat aku kasihan. Pelan-pelan kuminta angin berhembus sedang, agar para kerbai ini bisa melanjutkan pekerjaannya sebelum malam tiba. Merasakan angin pelan berhembus, wajah para kerbai berubah gembira. Mereka buru-buru mengangkat nighu setinggi-tingginya, pelan-pelan menuangkan padi sedikit demi sedikit dengan menggoyang-goyangnya seperti mengayak. Padi seperti air menyucur jatuh tanpa putus sampai isi nighu habis di atas tikar yang sudah mereka susun rapi. Kain dan tutup kepala para kerbai melambai-lambai seirama padi yang mereka cucugh. Sesekali mereka menyekah keringat dengan ujung kebaya. Mataku tak lepas memandangi mereka. Mereka begitu cekatan, terampil, dan tidak banyak tuntutan hidup kecuali berharap ada yang bisa dimakan hari ini dan esok.

Dalam waktu singkat puluhan karung padi berhasil mereka pisahkan dari padi yang hampa. Wajah-wajah mereka nampak puas. Artinya mereka akan mendapatkan beras sebagai upah lebih banyak hari ini. Sebab upah ngirik, jemur, nyucugh, dan menutuknya hingga menghasilkan biji beras tentu lebih besar dan itu penghasilan hari ini.

“Dedeeeek!!” Aku melihat Ilen dan Juli berlari dari arah dangau. Mereka baru menyadari kalau aku sudah tiba di sawah mereka. Aku memekarkan tangan siap memeluk saudara sepupuku ini. Wajah gembira mereka terlihat di air muka mereka yang ikhlas. Usia kami tidak jauh berbeda. Bedanya meski bapak kami bersaudara kandung, kulit mereka lebih coklat tua dibandingkan aku. Juli lebih mirip wajah Emaknya, Ilen juga demikian lebih dominan wajah Emaknya. Sementara aku, tidak ada yang mengatakan aku mirip Bapak, atau mirip ibuku. Lalu aku mirip siapa? Akhirnya kami bercerita sambil duduk di atas karung padi. Kadang-kadang suara kami di bawa angin ke hilir, kadang pelan-kadang kencang. Nyucugh padi sudah selesai. Para kerbai tinggal menampi padi yang sudah di tutuk. Kalau hanya menampi padi yang sudah ditutuk tidak butuh angin kencang. Dengan angin sepoi-sepoi cukup. Aku kembali meminta angin untuk bertiup normal. Malam tiba, para kerbai penumbuk padi ternyata tidak pulang. Mereka masih bekerja malam ini. Alasannya sederhana, besok mereka berharap cuaca bagus. lalu dilanjutkan dengan menjemur padi yang sudah diirik.

Bakcik menyalakan dua lampu petromak untuk penerangan. Usai makan malam mereka kembali bekerja. Makcik membekali mereka dengan kopi hangat dan makanan kecil. Sawah jadi terang benderang. Terutama di pinggir sawah dekat berik yang berdentuk-detuk teratur seperti nada lagu. Usai waktu isya, aku bersama Ilen dan Juli sudah siap-siap turun dari dangau. Aku berusaha menyembunyikan ketidaksetujuanku menangkap jangkrik. Lama aku berpikir untuk bagaimana caranya supaya jangkrik-jangkrik itu selamat. Sebab aku tahu betul, kedua saudaraku ini paham di mana jangkrik bersemayam dan jangkrik jantan yang mereka anggap super hero, bertubuh besar, warnanya lebih tua, suaranya lebih berat. Pencarian dimulai. Aku berdoa dan masih terus berpikir bagaimana menghalangi agar jangkrik-jangkrik tidak mereka temukan. “Selasih….!” Aku menoleh. Aku melihat Gundak duduk di pinggir sawah memerhatikan aku dan sepupuku. Sudah kuduga pasti Gundak menyusul meski sudah dilarang. Buktinya dia duduk santai menghadap ke sawah. Memerhatikan aktivitas orang-orang di tengah cahaya lampu petromak. Diam-diam kuajak dia mendekat. Kukatakan jika sepupuku mencari jangkrik. Aku minta bantuan Gundak untuk menyentuh atau menghalangi tangan mereka saat mau menangkap jangkrik. Gundak menyambut dengan gembira.

Saat Juli dan Ilen menyongkel tanah hendak menangkap jangkrik yang asyik berderik, tiba-tiba tangan mereka dielus gundak. “Iiih!!! Ada yang menyentuh tanganku. Apa ya?” ujar Ilen sambil mengelus-ngelus punggung tanganmu. Aku menjawabnya dengan menggeleng pura-pura tidak tahu. Dalam hati aku tertawa. Lucu sekali melihat ekspresi mereka. Lalu ke duanya pindah ke tempat lain memperkirakan jangkrik bersembunyi. Senter kecil dibiarkannya menyala terus tanpa henti. Sekarang giliran tangan Juli yang disenggol Gundak. Juli juga menampakan kekagetannya. Bahkan berlari pulang meninggalkan kami berdua. Dalam hati aku tertawa melihat tingkah mereka. Benginilah ekspresi manusia jika takut. Melihat Juli lari pulang, Ilen jadi ikut-ikutan cemas. “Pulang yok Dek, di sawah ini ada hantunya!” Ujarnya menarik tanganku. Tabung seruas bambu yang rencananya tempat menyimpan jangkrik dia lempar jauh-jauh. “Itu pasti hantu jangkrik. Sebab kita mau menangkap anak buahnya.” Tambahku lagi sambil ikut berlari.

Mendengar kataku ada hantu jangkrik, Ilen semakin bergidik. Angin berhembus pelan sekali. Rasa dingin baru terasa menggigit ketika aku berusaha membuka jaket karena terasa ada padi yang masuk ke dalam baju. Gundak yang berdiri di sampingku senyum-senyum. Rupanya dia senang sekali bisa menggoda saudaraku. Bahkan tangannya mencoba mencolek pipi Ilen kembali lari terbirit-birit. Akhirnya selamatlah para jangkrik malam itu. Semoga untuk selamanya. Aku membatin.

Ketika jelang subuh kira-kira pukul tiga dini hari aku mendengar langkah halus ramai sekali. Aku mencoba menajamkan pancainderaku. Kemana langkah itu kuikuti. Oh rupanya mereka menuju tempat para kerbai menampi beras. Suara candaan para kerbai sudah tak ada. Sebagian mereka terlelap, tidur sambil duduk saking lelahnya. Sebagian lagi tidur di sela karung padi dengan menutup kepala mereka dengan nighu. Sesekali kulihat di antara mereka memompa petromak sekaligus memeriksa minyaknya. Suara berik masih berlalu-talu. Meski lesungnya tidak berisi padi namun dibiarkan terus menutuk. Kadang-kadang diisi sekam padi agar terkesan suasana masih bekerja. Hal ini untuk menghindarkan datangnya binatang buas karena ada bunyi-bunyian.

Para nenek gunung mendekat di sekitar berik. Aku mengiring mereka dari belakang. Sebagian mereka memakan dedak halus dari kulit ari beras yang sudah ditelas di tumpukan tampian. Tak kurang lima, nenek gunung yang berjalan pelan di sekitar ini. Bersyukur sebagian besar para kerbai tidur, yang lain juga nampak sudah lelah bersiap-siap pula hendak tidur. Aku menitikan air mata melihat mereka meringkuk beralas dan berselimut tikar purun berbantal lengan. Udara yang lembab tidak mempengaruhi mereka merangkai mimpi. Perempuan-perempuan ini rela tidak tidur di rumah mendekap anak-anaknya, demi membantu suami-suami mereka agar dapur tetap ngepul.

“Kenapa menangis” Gundak menyentuh bahuku. Mendengar pertanyaannya air mataku makin deras. Kehidupan sederhana yang kerap kali memacuku untuk mangajak saudara-saudara sepupuku agar berubah. Mereka harus bisa mengubah nasib. Jangan jadi pekerja harian terus menerus. Tapi ubahlah nasib, berpikir bagaimana agar kita berubah. Kalau tidak mampu untuk bertani maka sekolahlah tinggi-tinggi. Semoga dengan pendidikan kita bisa medapatkan pekerjaan yang layak. “Jika Ibu bapak kita kesehariannya memegang cengkang, sengkuit, parang, cangkul, maka kita harus tunjukkan buah keringat mereka dengan tidak ikutan memegang cangkul, arit, sengkuit dan parang. Kita harus memegang pena.” Ujarku suatu kali pada saudara-saudara sepupuku. Aku berharap suatu saat ada di antara mereka yang menjadi guru di kampung ini, menjadi kades yang cerdas, mampu membangun desa agar lebih baik, membuka cakrawala berpikir warga menjadi lebih cerdas dan lain sebagainya.

“Tapi mereka senang bisa tidur berkumpul seadanya seperti ini, Selasih” lanjut Gundak lagi. “Mereka terpaksa, Gundak. Tidak ada pilihan. Kebutuhan hidup membuat mereka seperti ini. Mereka umumnya tidak punya sawah. Mereka punya kebun kopi yang panen setahun sekali. Makanya upahan harian seperti ini cara mereka menyambung hidup jelang panen tiba.” Ujarku menjelaskan. Gundak hanya mengangguk-angguk kecil. Lima nenek gunung yang duduk melingkar memakan ghetih padi sesekali menoleh padaku. Kuusap air mataku. Aku mercoba menetralisir udara yang menyelimuti para kerbai ini agar tidak kedinginan. Aku duduk di atas karung padi sembari mengawasi nenek gunung dan para kerbai yang tertidur.

Kulihat Gundak berkeliling-keliling di sekitar sawah. Entah apa yang dilakukannya. Sekadar jalan-jalan atau ada yang dicarinya aku tak tahu. Sambil bersandar aku mengurai perjalanan selama aku pulang kampung. Rangkaian peristiwa yang kualami semuanya seperti mimpi. Terbayang kembali Endikat tempat mengasuh dan membasuh diri, Tebing Sekip yang penuh tantangan. Yang membuat lebih berkesan adalah bisa berkenalan dengan Kakek Bujang Kuning penjaga Tebing Sekip, dan Kakek Njajau penunggu sungai Endikat.

Tanpa kusadari, rupanya aku terlelap duduk di atas karung padi ini. Ketika aku melek para nenek gunung sudah tidak ada. Kerbai pengirik masih meringkuk lelap. Kulihat Gundak juga tertidur di bawah karung tempatku duduk. Beberapa kali aku menguap. Sebenarnya aku tidak mengantuk, tapi entah mengapa menguap tak bisa ditahan. Aku mengeliat membuang rasa penat sambil berdiri. Aku pulang ke dangau bergabung dengan sepupuku. Gundak sengaja tidak kubangunkan biarlah dia menjaga para kerbai. Suara berik masih berlalu-talu. Air sungai memercik ketika bertabrakan dengan roda berik. suaranya menderu mengisi dataran sawah menyambut fajar, pertanda roda kehidupan masih terus berputar.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *