HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VII (102B)
Usai sudah mendapatkan jamuan dari tiga bidadari, Aku dan Puyang Syech Zakir kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini kami ditemani oleh seorang bidadari yang sengaja diutus untuk mendampingi kami. Entah siapa yang mengutusnya. Apakah raja di lapisan ini atau ada penguasa lain, aku tidak tahu. Namanya Dewi Kencana.
Sebelumnya ditemani Dewi Kencana, kami singgah di lapisan ke empat, meski tidak berjalan-jalan seperti dari tempat sebelumnya, namun selintas terlihat bagaimana kehidupan di lapis ini. Menurut Dewi Kencana, lapisan ini dihuni oleh Raja-raja dan pasukkannya, petapa-petapa hebat yang pernah hidup pada masanya namun memiliki sifat serakah, suka membuat keonaran di alam raya, rakus dengan jabatan, dan merasa paling sakti. Karena mereka memang memiliki kesaktian mandaraguna. Semasa hidup mereka selalu perang dan perang serta melakukan kerusakan di mana-mana. Kebanyakan mereka memiliki karakter keras kepala, jelas Dewi Kencana. Hingga kini mereka masih tetap adu jotos ingin menang sendiri dan saling menjatuhkan.
Mendengar penjelasan ini aku jadi teringat sejarah kerajaan Majapahit dan peperangan di bumi. Kerajaan itu runtuh setelah 200 tahun kejayaannya. Salah satu penyebab runtuhnya kerajaan itu adalah perang saudara, berebut kekuasaan. Perang saudara yang dikenal dengan sebutan perang Paregreg. Akibat perebutan kekuasaan antara Wikramawardana dan Bhre Wirabhumi, putra Hayam Wuruk dari selirnya itulah, kerajaan yang semula jaya akhirnya runtuh. Lalu ada lagi kerajaan Blambangan. KononBlambangan merupakan pusat logistik yang kaya sumber daya alam dengan wilayah terbentang dari Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso, Jember, hingga Lumajang. Kerajaan Blambangan menjadi rebutan. Upaya penaklukan Blambangan oleh banyak pihak, mulai dari Kerajaan Majapahit, Mataram Islam, hingga VOC. Berbagai cara VOC berusaha menakhlukkan Blambangan. Hingga akhirnya Blambangan memang benar-benar dikuasai VOC. Itu pun dengan tipu daya.
Belajar pada sejarah itulah akhirnya aku membentengi kerajaanku berlapis-lapis. Aku tidak ingin kerajaanku jadi incaran makhluk-makhluk yang haus kekuasaan. Aku ingin rakyatku hidup tenang. Biarlah meski kerajaanku tidak terkenal di alam gaib, apalagi di alam nyata. Yang penting kehidupan rakyatku aman sejahterah. Mereka bisa ibadah dengan tenang, beraktivitas dengan tenang, roda pemerintahan tetap berjalan, memiliki rakyat yang setia, bagiku sudah cukup. Bersyukur sekali aku diperlihatlkan hal semacam ini. Banyak hal yang bisa kuambil hikmanya.
Aku mengangguk-angguk dalam hati ketika Dewi Seruni menceritakan perihal sifat-sifat makhluk di lapisan ini. Jadi pemimpin-pemimpin yang memiliki sifat tamak semasa kepemimpinannya, mereka diletakkan di lapisan ini. Dan masih saja mereka bertingkah laku seperti di bumi. Artinya sifat-sifat itu telah mendarah-daging. Aku membatin.
“Betul, berebut kekuasaan adalah sifat serakah yang tersimpan di dada mereka. Mereka adalah makhluk-makhluk ambisius, lupa diri. Bahkan untuk mendapatkan kekuasaanya mereka tidak memandang berhadapan dengan siapa. Saudara bahkan orang tua bisa menjadi lawannya. Ambisi kejayaan dan kehormatan. Maka berbagai macam cara mereka lakukan. Tatah dan harta dijadikan tujuan” Ujar Dewi Kencana membaca benakku. Syeh Zakir mengangguk-angguk membenarkan. Aku menatap keduanya bergantian.
Mendengar penjelasan Dewi Sekar, aku jadi ingat nasehat Kakek Njajau ketika beliau menemaniku singgah di sebuah gubuk sederhana, berdinding bambu dan beratap daun ilalang. Di dalamnya meringkuk lelaki tua renta di atas bilik bambu tanpa alas. Bantal tanpa sarung tempatnya menenggerkan kepala berwarna hitam kumal, licin mengkilap. Lelaki itu dulu kaya raya. Juragan tanah. Di kampungnya dialah yang paling banyak harta. Nyaris semua tanah perkebunan di desa itu miliknya. Tak terhitung jumlah hektar kebun dan ladangnya dan digarap oleh penduduk desa. Beliu terkenal bukan karena hartanya saja, namun terkenal juga pelitnya. Bahkan beliau ingin dianggap sebagai raja di kampungnya. Bagi penduduk yang penjilat maka akan menyembah-nyembah membuatnya semakin pongah. Penduduk desa dikondisikannya bergantung hidup padanya. Dia akan sangat bahagia ketika melihat penduduk dusun berduyun-duyun hutang dengannya. Tidak ada satu pun penduduk yang berani melawannya. Konon siapa yang tidak patuh dengan kemauannya, maka diajaknya orang sekampung mengucilkannya. Bahkan beliau tidak segan menyantet orang yang berseberangan dengannya.
Suatu hari, lelaki itu jatuh sakit dan tidak sembuh-sembuh. Satu-persatu hartanya dijual untuk pengobatan. Sakitnya sangat aneh, seluruh tubuhnya mengeluarkan bau busuk. Akibatnya tidak satu pun yang betah dekat dengan beliau. Semakin hari semakin busuk hingga semua anak dan istrinya mengasingkannya jauh ke tepi dusun dan meninggalkannya sendiri. Hanya ada satu ekor monyet yang terlatih, bertugas mengantarkan makanan untuknya hingga bertahun-tahun. Hilanglah kejayaannya. Penduduk yang semula hidup dalam tekanan akhirnya seperti lepas dari ikatan.
“Lihatlah manusia ini. Tubuhnya membusuk, dan dia ditinggalkan oleh kerabat dan keluarganya di tepi hutan ini. Padahal dulu beliau kaya raya, semua orang tunduk padanya. Mungkin dia kira akan hidup selamanya. Sekarang dia seperti mayat hidup. Di dalam tubuhnya ribuan, bahkan jutaan ulat menggerogotinya sampai seluruh tubuhnya membusuk, mengeluarkan air kuning dan nanah. Tapi dia masih hidup. Dia ditinggalkan oleh orang-orang yang selama ini dia kira setia padanya. Ini pelajaran buatmu, Selasih. Jika kau dalam keadaan berada, maka jangan merasa hidup di atas angin seakan-akan hidup selamanya” Ujar kakek Njajau ketika itu. Melihat kondisinya yang sangat memprihatinkan, batinku menangis. Ternyata harta dan kekayaannya tidak bisa membantunya. Penderitaan yang dialaminya sungguh luar biasa. Terlepas dengan masa lalunya, sebagai manusia aku kasihan melihatnya. Kakek Njajau tahu jika aku ingin menolongnya, dan membiarkan ketika tanganku mulai bergerak menarik semua ulat yang bersemayam di tubuhnya. Meski resikonya setelah semua ulat itu kutarik tak lama orang itu akan meninggal. Ulat-ulat itu adalah makhluk astral yang memakan darah, daging, sum-sum, otak, dan menyandera sukmanya. Ternyata, demi merasakan kehidupan bergelimpangan harta sekejab, orang itu sanggup melakukan pesugihan. Bahkan masih hidup pun tubuhnya telah digerogoti makhluk astral yang banyak membantunya selama ini. Artinya, kekuasaan itu tidak akan kekal. Kesaktian, kejayaan hanya akan menjadi penghambat seseorang menuju Jannah jika memanfaatkannya di jalan kesesatan.
Di lapisan ini, kurang lebih sama. Mereka adalah makhluk-makhluk yang di hatinya bersemayam nafsu untuk saling mengalahkan dan ingin dianggap kuat, hebat, berkuasa di mata makhluk lainnya. Aku menarik nafas berat ketika kami melakukan perjalannan berikutnya. Membayangkan ekspresi kematian, nafsu membunuh di wajah-wajah mereka membuatku takut. Belum sempat aku mengulas ulang pertemuan di lapisan sebelumnya dengan batinku, kini aku, Syech Zakir, dan Dewi Kencana sudah berada di depan sebuah istana yang memiliki lapangan yang snagat luas. Saking luasnya, istana yang megah terlihat kecil mengintip di antara awan lembut berwarna putih. Aku tidak bertanya dalam hati kecuali menatap kagum. Tak kalah kagumnya dengan tempat-tempat sebelumnya. Dewi Kencana menjelaskan jika kami saat ini berada di lapisan ke sepuluh.
Aku terheran-heran melihat sosok lelaki gagah-gagah dengan pakaian kebesarannya. Wajah mereka tampan-tampan. Bertubuh kekar dan lengkap dengan atributnya masing-masing. Rahang yang keras dan sedikit menonjol semakin menguatkan wibawah mereka. Mataku tertuju dengan mahkota-mahkota yang mereka pakai. Demikian juga dengan peding yang melingkar di lengan kiri kanan, kalung yang besar seperti lidah, sabuk bermata kemilau, dihiasi kain warna-warni. Nyaris semua berkilau seperti emas. Melihat raut mereka aku menerka-nerka apakah mereka bangsa manusia atau makhluk Allah yang lain, sengaja menghuni lapisan ini? Sebagian wajah mereka mirip dengan gambar raja-raja di buku pelajaran sejarah. Tapi aku lupa wajah siapa saja.
“Mereka adalah raja-raja pilihan yang pernah hidup di muka bumi, termasuk dari kerajaan-kerajaan besar yang ada di Nusantara, di negerimu Selasih” Ujar Dewi Kencana. Aku tak mampu berkata apa-apa meski hanya membatin ketika kata Syech Zakir menjelaskan jika para raja-raja ini tengah menunggu tugas baru untuk menitis kembali pada manusia, turun ke bumi guna meluruskan kepemimpinan-kepemimpinan yang telah banyak menyimpang. Mereka akan kembali menyelamatkan bumi yang sudah porak-poranda. Tapi entah kapan.
Mendengar itu jantungku berdegup. Apakah ada hubungannya dengan apa yang disampaikan oleh Puyang Pekik Nyaring ketika mengadakan pertemuan bulan purnama bersama nenek gunung-nenek gunung di gunung Dempu? Termasuk juga ketika Puyang Purwataka dan Eyang Putih menasehatiku. Salah satu hal yang mereka sampaikan adalah bahwa akan sampai pada masanya plenet bumi akan porak-poranda. Bencana di mana-mana. Banjir, tanah longsor, gunung meletus, badai, angin putting beliung, tsunami, peperangan baik nyata mau pun tidak nyata, rasa kemanusiaan setipis kulit ari, saling bunuh, wabah lapar, kemarau panjang dan kekeringan, menyebarnya penyakit-penyakit aneh dan lain sebagainya. Manusia-manusianya kehilangan adab dan akhlaknya. Kaum Luth berkembang bebas dan dianggap biasa. Punya istri namun tetap menggemari lelaki. Demikian juga sebaliknya, kaum perempuan menyukai sejenis padahal mereka punya suami. Perselingkuhan dianggap biasa, seks bebas dianggap budaya, kejahatan berbagai motif merajalela. Dan Dajjal makin menancapkan taringnya. Mereka menyusup dipemerintahan, di tubuh-tubuh para ulama, tokoh-tokoh agama, menghancurkan masa depan anak-anak mudanya untuk melupakan Tuhan, menyusup pada pikiran-pikiran manusia agar lebih mengutamakan duniawainya. Agar manusia bergiat untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, sementara hati mereka ditutup untuk tidak peduli pada saudara-saudaranya yang kelaparan. Haus pujian, pamer, dan selalu menebar pecintraan, dan lain sebagainya. Selanjutnya beliau mengatakan jika gunung, laut, sudah muak melihat tingkah laku manusia. Mereka tengah menunggu perintah saja, meski kadang mereka sesekali tetap bergejolak meski hanya sekadarnya, namun dasyat bagi kehidupan manusia.
Mendengar penjelasan Syech Zakir dan ingat cerita Puyang dan Eyangku semakin meyakinkan aku suatu saat bumi akan rata termasuk juga dengan penghuninya. Lalu muncullah kehidupan baru. Akan muncul peradaban baru. Karena sebagain besar makhluk hidup di muka bumi akan terkubur. Termasuk juga aku. Aku membatin.
Aku kembali fokus pada apa yang diperlihatkan padaku. Puyang Syech Zakir menjelaskan jika raja-raja ini umumnya adalah petapa-petapa hebat. Di akhir hayat mereka, mereka melakukan tapa brata demi mendekatkan diri pada Hyang Widhi atau Sang Hyang Tunggal.Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya mereka moksa. Raib di alam bumi manusia sekalian dengan fisiknya. Mereka berkumpul di Svarga Loka ini atau disebut nirwana. Sebutan-sebutan tempat itu karena rata-rata raja yang pernah bertahtah menganut Hindu dan sebagian lagi Budha. Namun sekarang, mereka telah di syahadatkan oleh Sang Penguasa Alama gaib. Sebagian lagi ada raja-raja yang memang telah menganut Islam. Demikian penjelasan Dewi Kencana. Lagi-lagi aku membatin siapakah Sang Penguasa Alama gaib? Jika mendengar penjelasan Syech Zakir dan Dewi Kencana, yang dimaksudnya penguasa alam gaib itu makhluk hidup. Tapi apakah bangsa manusia atau bangsa ghaib? Ini yang belum terjawab sejak tadi. Jadi tempat berkumpulnya para orang pilihan ini mereka menyebutnya Svarga Loka? Aku membatin. Menyadari kebesaran dan kekuasaan Sang Maha Khalik, semakin aku rasakan betapa kerdilnya aku. Ternyata pengetahuan yang kumiliki tidak ada apa-apanya.
“Di samping para raja, di sini juga berkumpul para Auliya. Para auliya juga adalah orang-orang pilihan yang selalu menebarkan kebaikan semasa hidupnya. Selalu memikirkan kemaslahatan umat, selalu bersikap adil, dan mengajak ke jalan kebaikan. Setelah ditempatkan di sini, Raja-raja itu, mendapatkan hidayah. Sang Penguasa alam gaib telah memasukkan hikma Islam ke dada-dada mereka. Jika dibumi mereka menganut Kepercayaan, Hindu, Budha, Kristen, dan berbagai keyakinan lainnya, ketika di sini berkat sang Penguasa Alam ghaib, mereka diberi hidayah lalu semua bersyahadat” Ujar Dewi Kencana.
Lama aku tercenung berhenti berjalan hingga Syech Zakir ikut berhenti dan menoleh. “Bisakah aku bersua dengan Eyang Ratu, Puyang Syech? Apakah Eyang Ratuku berada di lapisan ini, bersama para raja-raja yang Agung itu? Aku ingin bersua dengan Eyang Ratu. Aku rindu” Ujar batinku bergetar. Tanpa kutunggu lama, tiba- tiba muncul sosok wanita anggun muda dan cantik. Di kepalanya bertengger mahkota yang bertata Intan berlian. Mahkota itu persis mahkota yang kumiliki. Matanku lekat menatapnya dengan perasaan gugup sembari bertanya siapa beliau. Aku semakin gugup kala beliau semakin dekat dan tersenyum menatapku.
“Apa kabar cucuku Ratu Utara Laut Banyuwangi, Eyang juga rindu padamu” sapanya pada batinku. Aku hanya menatapnya dan pasrah ketika beliau memeluk dan menciumku. Sebab sulit untuk kupercaya jika aku punya Eyang yang begini cantik dan muda. Terakhir bersua dengan Eyang Ratu di tempat beliau bertapa, Beliau sudah sangat sepuh meski kecantikannya masih jelas. Ternyata Beliau paham dengan keherananku. Selintas beliau menjelaskan kehidupan di sini membuat mereka kembali muda seperti usia dua puluh hingga dua puluh lima. Makanya jika dibandingkan aku, kami seperti adik kakak. Bedanya beliau sangat cantik, sementara aku terlihat burik dan lebih tua. Dalam hati aku sangat bersyukur bersua dengan Eyang Ratu meski rasa kagum dan heranku tak bisa hilang. Aku seperti bermimpi. “Kau telah membawa kerajaan kita semakin baik, Cucuku. Eyang kerap melihatmu dari sini. Di alam gaib di bumi, Eyang tak mendapat hidayah, setelah di sini, Eyang baru mendapatkan hidayah bersama ribuan raja-raja yang pernah berkuasa di alam lapisan bumi” Jelasnya. Kembali aku membatin, dapat hidayah seperti apa maksudnya. Oh, ternyata Eyang telah bersyahadat dibawah pimpinan atau penguasa lapisan alam ini. Sungguh sulit untuk dipercaya. Tapi aku yakin apa yang disampaikan Eyang pasti benar. Beliau mendapat hidayah justru setelah moksa. Aku harus ikhlas bersua Eyang Ratu sangat singkat. Setelah itu beliau seperti melayang meninggalkan aku. Ingin aku mengejarnya, namun sentuhan Syech Zakir seperti memakuku tidak bisa bergerak mengejar.
“Jangan meminta lebih, Cu” beliau mengingatkan. Aku segera istghfar. Aku dan Syech kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini kami seperti menuruni anak tangga yang sangat indah. Karena tidak ada sisi tangga ini yang tidak tersentuh dengan ukiran berwarna emas. Semua makhluk di sini baik laki-laki mau pun perempuan wajahnya terlihat selalu tersenyum. Saking kagumnya aku tidak tahu kami berada di lapis berapa. Otakkku sudah tak mampu menghitung dan mengingatnya lagi. Percikan embun air terjun di sisi tangga tidak membuat aku dan Puyang Syeck Zaki basah atau lembab. Melihat aku melambatkan langkah, Puyang Syech Zakir berhenti sambil tersenyum. Beliau sepertinya paham jika aku ingin sejenak menikmati pemandangan yang maha indah ini. Di sudut air terjun aku mendengar suara merdu wanita yang tengah bercanda. Tawa mereka renyah sekali. Padahal hanya sekadar mendengar namun aku merasakan tawa itu membuat batinku gembira. Aku menoleh ke bagian utara ketika tangan Puyang Syech Zaki mengembang menyilahkan aku ke sana. Sementara beliau tetap berdiri di jenjang tangga, menungguku. Sebaliknya Dewi Kencana sembari tersenyum mengisyaratkan aku untuk turun bersamanya.
Betapa aku terpukau ketika melihat tujuh wanita cantik, berambut panjang tergerai, memiliki paras yang sama, tengah bercanda sambil berendam di air bening seperti kaca. Tubuh mereka sangat ideal, tinggi semampai dan berkulit kuning langsat yang bening. Bahkan penglihatanku mereka seperti batu pualam yang diasah halus mengkilap berbentuk wanita. Menyadari kehadiranku dan Dewi Kencana, ke tujuh wanita itu berhenti bercanda dan serentak memandang padaku. Aku menyapa mereka dengan senyum dan sedikit merunduk, karena memang aku tidak bisa berbicara. Ternyata sapaanku mereka sambut dengan senyum gembira. Mereka melambaikan tangan. Lambaiannya terasa sangat akrab. Satu-satu mereka naik dari menghampiriku. Langkah mereka sangat ringan. Sutera yang melekat ditubuh mereka terlihat membentuk karena basah. Masya Allah, dalam batin aku kagum sekali dengan kesempurnaan yang dianugerahkan pada mereka. Dalam keadaan basah seperti ini saja mereka cantik luar biasa. Apalagi jika mereka mengenakan pakaian keagungannya.
Aku meyakini mereka adalah putri raja yang sedang mandi. Setelah mereka mendekat satu-satu mereka menyalami dan memelukmu. Masya Allah, lagi-lagi aku kagum karena meski tubuh mereka terlihat basah namun tidak membuat aku ikut basah. Aroma tubuh mereka sangat wangi. Aku merasa sangat tersanjung disapa tujuh wanita cantik yang berjajar di hadapanku. Satu persatu mereka mengenalkan nama mereka. Wanita yang berkain pelangi merah itu namanya Dewi Sekar Sari, lalu yang berkain warna jingga namanya Dewi Anjani, yang berkain kuning Dewi Larasati, yang berkain pelangi hijau Dewi Pitaloka, yang berkain biru Dewi Saraswati , Dewi Laksmi berkain berwarna nila, dan Dewi Gayatri berkain warna ungu. Ketika mereka berbaris, mereka persis seperti pelangi. Lagi-lagi aku bingung dibuatnya. Di hadapanku sosok seperti manusia yang memiliki kecantikan luar biasa, tapi mengapa ketika mereka berdiri berjajar seperti ini langsung seperti pelangi yang kulihat di bumi?
“Pelangi adalah tangga mereka untuk turun ke bumi, ketika mereka hendak mandi di tempat-tempat tertentu yang mereka anggap bersih dan suci. Kain mereka memancarkan cahaya sesuai dengan warna pelangi” Ujar Dewi Kencana. Aku hanya mampu menyebut asma Allah dalam hati meski beberapa hal tidak mampu kucerna dengan akal dan logika. Lagi-lagi aku kagum dengan rahasia Sang Maha khalik yang terpapar di alam semesta ini. Ini hanya setitik kekuasaanNya. Tapi dasyatnya luar biasa. Kembali aku tak mampu berkata-kata. Usai berkenalan dengan tujuh bidadari aku dan Dewi Kencana kembali menemui Syech Zakir yang masih berdiri menghadap ke Barat. Mulutnya yang komat-kamit menandakan jika beliau sedang berzikir.
Rasanya baru sekejap, tapi kata Syech Zakir sudah waktunya kami pulang. Bidadari Dewi Kencana hanya mengantar kami batas pintu gerbang, lalu kembali kami seperti menuruni anak tangga yang sangat luas dan indah. Sebab kiri kanan sisi tangga gumpalan awan seperti kapas berjajar bergelombang. Angin berhembus semilir, lagi- lagi alunan zikir terdengar. Makin lama makin jelas dan ramai. Aku menarik nafas panjang setelah setengah menuruni jenjang tangga seperti ada yg berdetak di leherku. Aku kembali bisa berbicara. Menyadari hal itu ingin aku menjerit, namun mengingat saat ini aku bersama Syech Zakir membuatku segera mengendalikan diri. Dalam batin Aku tidak percaya jika aku baru saja masuk ke alam gaib yang letaknya di antara langit dan bumi. Apakah aku bisa kembali ke sana, aku tidak tahu. Namun setiap titik perjalanan yang baru kualami benar-benar melekat dalam benak.
Banyak sekali pembelajaran yang kuperoleh dari kehidupan alam semesta. Semula aku mengira alam gaib hanyalah alam para nenek gunung dan kaum kerajaan Utara Laut Banyuwangi dan kerajaan- kerajaan makhluk astral dari gunung, laut, dan gurun. Ternyata ada kehidupan di lapisan awan antara bumi dan langit jumlahnya berlapis-lapis dan tiap lapis ada kehidupan. Semua makhluk di sana serupa dengan ruh, berbentuk namun sangat ringan.
Pelan-pelan aku menuju sosokku yang masih duduk dengan mata terpejam. Allahu Akbar! Aku membuka mata dan terpukau, di hadapanku para nenek dan puyangku masih duduk khusuk sambil bergoyang-goyang. Mereka masih larut dengan zikirnya. Aku berusaha menyakinkan diri menghitung-hitung waktu perjalanananku bersama Syech Zakir. Rasanya jauh dan panjang sekali. Tapi kenyataannya di lereng bukit Mercawang, di rumah panggung ini keadaan masih sama seperti ketika aku pergi. Mataku bertabrakan dengan mata Macan Kumbang. Jauh di belakangnya Alif duduk di samping Eyang Kuda. Kulihat mata Macan Kumbang berkaca-kaca. Apa yang menbuatnya terharu aku tidak tahu pasti. Ketika semua pelan-pelan mengahiri zikir dan membuka mata, mereka seperti tersenyum. Semua mata tertuju padaku. Sementara aku ingin menangis membayangkan kehancuran bumi, dan itu pasti.
bersambung…