Sambangi Documenta Fifteen Tiga Kali, Antara Bangga dan Sedikit Kecewa
Salah satu perhelatan penting yang ditunggu banyak insan seni adalah Documenta. Saya yang berada di Jerman tentu saja tak melewatkan kesempatan ini. Documenta Fifteen berlangsung dari tanggal 18 Juni hingga 25 September di kota Kassel. Event tersebut dikurasi oleh komunitas seniman asal Indonesia, Ruangrupa.
Sebagai pemegang tiket transportasi se-provinsi Hessen, saya datangi Documenta tersebut sampai tiga kali. Setiap kedatangan punya masing-masing cerita yang bisa saya bagikan buat sobat surat dunia.
Pertama kalinya sambangi event tersebut di tanggal 21 Juni. Saat itu saya meliput perhelatan Rampak Genteng yang diselenggarakan oleh Jatiwangi Art Factory dari Majalengka. Menurut saya, pertunjukan yang bisa mengajak masyarakat lokal untuk berpartisipasi itu keren banget! Apalagi para seniman bisa membuat para bule-bule antusias, makanya animonya sangat luar biasa.
Di samping acara tersebut, saya juga penasaan dengan kabar ada warung makan kekinian asal Tebet Jaksel yang katanya buka cabang di Kassel. Berlokasi di belakang Museum Fridericianum ternyata warung viral tersebut bukan buat umum. Saat saya datangi sudah seperti dapur umum self-service yang ditujukan buat para seniman atau yang terlibat dalam Documenta.
Sayangnya, sebelum tiba saya over ekspektasi gara-gara info yang wara-wiri di tanah air soal warung ini rasanya agak berlebihan. Saya berpikir bisa jajan dan rasakan khas warteg di sana, sehingga saat tiba berasa kena prank hahaha.
Namun yang pasti sih, konsep nongkrong yang dihadirkan cukup bisa diapresiasi karena bisa rekatkan networking antar seniman. Saya ketemu seniman Malaysia dan Filipina dan mereka semua lebih friendly kadang dibandingkan saudara sendiri. Yaa saya positif thinking aja mereka lagi sibuk hihi.
Kemudian, untuk kedua kalinya saya mendatangi Documenta pada tanggal 24 Agustus 2022. Momen itu berbarengan dengan teman-teman kuliah Southeast Asian Studies. Kami mengunjungi beberapa lokasi seperti Hallenbad Ost yang isinya hasil karya seniman Taring Padi, Huebner area, kawasan Koenigplatz dan Museum Friedericianum. Lumayan seru karena ini pertama kalinya saya pergi bareng sejumlah teman. Serasa lagi karya wisata.
Berikutnya saya pergi ke Kassel pada tanggal 31 Agustus. Saya pergi bersama seorang teman Jerman yang tertarik dengan budaya Indonesia. Namun baik pada kunjungan kedua dan ketiga, ada sedikit kekecewaan yang terasa saat datangi Hallenbad Ost.
Di sana karya-karya apik dalam dua dimensi tersaji, baik berupa poster-lukisan hingga standing banner. Tapi sayangnya karya ini kebanyakan berbahasa Indonesia dengan penjelasan minim Inggris dan Jerman.
Isu yang dibawa pun menurut saya menarik namun terlalu melokal. Bayangkan bagi mereka yang tidak tahu soal Indonesia dan masalah yang ada di dalamnya, ditambah bukan bahasa yang mereka pahami. Jadinya kelihatan banget banyak wajah bingung.
Saya pun harus menjelaskan sejumlah hal kepada teman saya. Begitu pun saat ada seorang perempuan paruh baya asal Belanda yang bingung dan saya pun menjelaskan dalam bahasa inggris soal sebuah karya. Sesungguhnya bagi saya yang orang Indonesia hal ini jadi hal yang kurang nyaman, tetapi harapanya karya seni itu universal, bisa dinikmati banyak orang tanpa dibatasi bahasa.
Di Jerman sendiri, event ini mendapat perhatian publik lantaran banyaknya orang yang hadir. Namun sempat ada prokontra isu antisemitisme perihal karya dari Taring padi. Banyak yang menyoroti dan menganggap para seniman kurang sensitif terhadap isu ini. Meski begitu antuasisme pecinta seni patut diacungi jempol.
Ada lagi nih yang jadi catatan saya, harga tiketnya juga lumayan mahal buat seharian menyambangi event tersebut, yakni 27 euro atau sekitar Rp 400.000an. Sedangkan spot yang ada cukup banyak yang agak berjauhan. Sehingga lebih baik Documenta Fifteen didatangi lebih dari satu hari biar bisa eksplor lebih banyak.
Keren 👍