Jajanan Sunda di Rumah Turki
Menjadi warga negara Indonesia (WNI) yang berkesempatan untuk menetap di luar negeri tidaklah mudah. Harus beradaptasi dengan budaya, bahasa, dan makanan setempat. Menurut saya, lidah orang Indonesia termasuk yang fleksibel. Bisa menerima semua rasa masakan sedunia. Meskipun belum tentu menyukai masakan tersebut, tapi setidaknya mau mencoba. Indonesia sendiri terdiri dari berbagai macam suku dengan begitu banyak varian masakan. Dan, di Indonesia pun terdapat banyak restoran yang menyajikan cita rasa mancanegara.
Sejak tahun 2005 hingga sekarang, saya berkesempatan untuk menetap di Turki. Ceritanya sedang menjadi diaspora Indonesia di Turki. Tentunya saya harus beradaptasi dengan makanan Turki. Di Indonesia, Turki terkenal dengan kebabnya. Setelah datang ke Turki, kebab hanyalah salah satu masakan. Tentunya masih sangat banyak masakan Turki lain yang bisa dinikmati.
Meskipun saya sudah dapat menyukai masakan Turki dan sudah mendapatkan training khusus dari ibu mertua untuk belajar memasaknya, tapi sewaktu-waktu ada rasa bosan melanda. Oleh karena itu, saya selingi dengan memasak masakan nusantara terutama Sunda karena saya orang Sunda. Suami saya pun menyukainya. Hal ini memberikan kemudahan untuk saya.
Tidak hanya “makanan berat” yang saya sajikan, tapi jajanan street food pun saya sajikan sebagai menu makan malam. Seperti halnya seblak dan cilok menjadi andalan saya untuk menangani “menu’s block” saat akan memasak untuk makan malam. Sebagai penulis sering mengalami “writer’s block”. Nah, untuk masak memasak, para ibu RT suka merasa pusing untuk menu makan malam. “Nanti masak apa ya?” Pasti setiap hari merasa bingung. Saya istilahkan situasi ini dengan “menu’s block”.
Suatu malam saya memasak seblak khusus untuk makan saya sendiri. Saya buatkan makanan Turki untuk suami saya. Ternyata malam itu suami saya pulang cepat dan memergoki saya sedang makan seblak.
“Kamu makan apa?” tanyanya penasaran.
“Seblak,” jawab saya.
“Buat saya mana?” tanyanya lagi.
“Buat kamu saya buatkan makanan lain. Itu di dapur,” jawab saya.
“Saya mau seblak juga,” pintanya.
“Seblak ini cuma sedikit. Kamu makan itu aja,” ucap saya.
“Ga mau, saya mau seblak,” pintanya keukeuh.
Suami saya keukeuh ingin makan seblak. Saya mau menyisihkan sedikit dari seblak yang sedang saya makan, tapi dia tidak mau. Dia maunya khusus sepiring. Ah dasar, padahal saya sudah membuat makanan lain buat dia. Malam itu dia pundung (ngambek) karena seblak. Dari peristiwa ini saya mengambil pelajaran bahwa suami saya tidak mau dibeda-bedakan untuk menu makan malam.
Begitu pun dengan cilok. Kadang saya kangen makan cilok. Berarti untuk makan malam, saya membuat cilok untuk bertiga (saya, suami, dan anak). Saya membuat cilok tidak dengan bumbu kacang, melainkan memberinya kuah seperti sayur sop.
Selanjutnya, ketika saya mengalami menu’s block untuk makan malam, saya buatkan seblak atau cilok. Kedua menu ini tidak akan pernah salah, sudah menjadi andalan. Saya dan anak kadang makan duluan, karena suami pulangnya lebih dari pukul 10 malam. Sisa cilok atau seblak pastinya masih banyak. Suami saya bagian pembersihan, semuanya pasti disapu bersih