Tulisan Pilihan Juri : Perayaan Kemerdekaan Indonesia di Seminari

Monteiro Van Halle

Saya menemukan dua definisi tentang “perantauan” dalam aplikasi KBBI luring; pertama, perantauan berarti negeri lain tempat mencari hidup dan lain sebagainya; kedua, perantauan merujuk pada daerah yang didiami oleh orang yang berasal dari daerah lain. Dari definisi tersebut, terlihat jelas bahwa kata kunci dari “perantauan” adalah “tempat” atau locus baru seseorang menjalani hidupnya.

Saya adalah seorang bekas seminaris (calon imam Katolik) yang menghabiskan enam tahun (SMP – SMA) tinggal di Seminari Menengah St. Maria Bunda Segala Bangsa – Maumere, Flores – NTT. Sejak tahun 2009 – 2015, saya bersama teman-teman hidup berasrama dalam suatu komunitas heterogen, sembari menjalani formasi pendidikan untuk menjadi imam Katolik.

Beberapa teman saya berasal dari seputaran Flores, bahkan dari luar NTT. Sejalan dengan definisi “perantauan” sebelumnya, saya kira tidak keliru bila menyebut seminaris sebagai seorang perantau, yang meninggalkan rumah atau tanah kelahirannya demi menempuh pendidikan di seminari.

Salah satu momen menarik di seminari adalah perayaan kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal tersebut, perayaan ekaristi yang dilaksanakan dengan tema kemerdekaan itu terlihat berbeda. Lagu-lagu yang dinyanyikan selama perayaan ekaristi adalah lagu-lagu nasional seperti Satu Nusa Satu Bangsa, Padamu Negeri, atau Gugur Bunga. Doa-doa yang didarasakan pun berkaitan dengan harapan untuk Indonesia ke depan, pun tidak lupa juga doa dengan intensi khusus bagi para pahlawan yang telah gugur.

Di sini, saya akhirnya menyadari, bahwa kemerdekaan itu diraih dengan persatuan erat, tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, atau budaya. Para pahlawan kemerdekaan telah membuktikan bahwa persatuanlah yang dapat menghantar bangsa ini ke pintu kemerdekaan. Hal
ini adalah contoh yang baik bagi generasi sekarang, sekaligus menjadi senjata melawan oknum-oknum yang doyan memecah belah persatuan dengan dalih perbedaan.

Saya masih ingat renungan pastor saat misa tujuhbelasan. Katanya, kemerdekaan Indonesia yang telah diperjuangkan para pahlawan juga harus dimaknai secara rohani, sebab
perjuangan mereka itu sejatinya tidak jauh beda dengan misi para tokoh perintis agama dulu yang membawa kemerdekaan rohani bagi pemeluknya; meski perlu diakui juga bahwa bangsa ini tengah marak akan penjajahan rohani gaya baru: pembatasan akan kebebasan beribadah.

Selain ekaristi dan apel bendera, terlibat dalam rombongan karnaval keliling Kota Maumere keesokan harinya adalah kegiatan yang paling dinantikan. Kami akan dibagi ke dalam berbagai kelompok seperti barisan Bhineka Tunggal Ika, kelompok profesi dan olahraga, musik tradisional, atraksi bela diri, dan barisan pakaian adat lokal.

Dalam kaitannya dengan perantauan, mengenakan pakaian adat daerah masing-masing dalam bingkai ke-bhineka-an memiliki kesan emosional tersendiri. Rasanya seperti kembali ke pangkuan ibu, dan menuntaskan semua kerinduan akan tanah kelahiran. Kerinduan akan tanah kelahiran yang masih bermuatan lokal itu akan menjelma menjadi spirit kesatuan di bawah satu nama: Indonesia.

Seruan-seruan lokal seperti “Saya orang Maumere!”, “Saya orang Bajawa!”, atau “Saya anak Papua” akan melebur menjadi “Kami orang Indonesia, kami anak Indonesia”. Tidak ada lagi tanah perantauan, sebab ini adalah tanah kita, tanah Indonesia.

Seminari, meski kental dengan nuansa Katolik, bagaimanapun juga telah menjadi tempat yang kondusif untuk menumbuhkan spirit persatuan dan kesatuan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Saya sepakat dengan semboyan Mgr. Soegijapranata, uskup pribumi pertama di Indonesia: 100% Katolik, 100% Indonesia. Pro ecclesia et patria.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *