Liburan Musim Dingin di Llivia, Sebuah Oase Spanyol di Prancis.
Selama tinggal di Spanyol, saya sering melihat peta Spanyol untuk mengetahui wilayah-wilayahnya. Salah satu yang paling menarik adalah keberadan Llivia karena terpisah dengan Spanyol. Saya sebenarnya tertarik untuk mengunjunginya namun biaya menuju ke sana lumayan mahal karena mengharuskan naik Tren R3, sebuah kereta yang menghubungkan wilayah-wilayah regional di dalam autonomous community Spanyol, sehingga saya dan keluarga tidak pernah merencanakan untuk ke sana. Bersyukur, sejak kondisi ekonomi Eropa mulai tidak stabil di pertengahan tahun 2022, pemerintah membantu rakyatnya dengan memberikan potongan harga tiket Tren sejak September hingga Desember 2022, dan kami hanya membayar 10€ untuk pemakaian berulang selama sebulan.
Llivia adalah sebuah kota yang masuk provinsi Girona, Cataluña namun terletak di wilayah Prancis. Llivia menjadi potongan kecil yang terpisah dari induknya Spanyol, sejauh lima kilometer di dalam wilayah Prancis, mendekam di pegurungan Pyrenees. Kondisi ini berawal dari perjanjian Pyrenees atau Treaty of the Pyrenees tahun 1659 yang mengahiri perang Prancis-Spanyol sejak tahun 1635. Singkatnya dalam perjanjian itu, Spanyol harus menyerahkan 33 desa yang berada di utara Cerdanya ke Prancis. Namun, Spanyol mengklaim bahwa Llivia adalah sebuah villa (kota) bukan desa sehingga tidak perlu diserahkan ke Prancis. Sebuah taktik jitu yang akhirnya bisa mempertahankan Llivia menjadi bagian dari Spanyol, walaupun keberhasilan ini tidak tanpa perlawanan Prancis.
Perjalanan menuju ke Llivia dari Barcelona dengan transportasi umum tidak semudah dengan kendaraan pribadi. Dari Barcelona, kami berangkat dari statsiun Barcelona Sant, menaiki kereta R3 jurusan La Tour de Carol. Sesudah menempuh perjalanan 3 jam 40 menit, kami berhenti di stasiun Puigcerdà. Dari statsiun Puigcerdà, dengan berjalan kaki sejauh satu kilometer, kami menuju pemberhentian bus Alsa, satu satunya bus yang membawa penumpang ke Llivia. Perlu diperhatikan bahwa jadwal bus ini hanya ada setiap satu jam atau satu setengah jam, jadi kita harus mengeceknya di google. Sampainya di tempat yang ditunjukkan oleh googlemap, ternyata tidak ada tanda-tanda pemberhentian bus Alsa, sehingga saya memutuskan untuk bertanya dengan seorang bapak yang sedang berada di situ, beliau menunjukkan dan mengantarkan kami ke pemberhentian bus tersebut. Jadi saran saya, jika kita berada di suatu tempat baru, jangan hanya bergantung pada teknologi, pastikan dengan warga lokal apakah sudah benar yang kita cari.
Setelah menunggu hampir empat puluh menit, bus warna biru berkapasitas 60 penumpang itu datang dengan tulisan Puigcerdà-Llivia. Sesudah pintu dibuka, saya naik dan menanyakan ke drivernya apakah bus tersebut adalah bus menuju Llivia. Pertanyaan saya ini untuk memastikan karena sebelumnya ada bus Alsa, namun bukan jurusan Llivia. Sesudah memastikan, kami membayar tiket yang hanya seharga 1.75€ per orang. Tepat jam 13.17 sesuai jadwal, bus yang hanya berisi lima penumpang tersebut mulai bergerak meninggalkan Puigcerda menuju Llivia. Bus menyusuri jalan raya yang melintasi desa Ur, Prancis dan juga padang rumput. Setelah Sembilan belas menit menempuh perjalanan, kami masuk wilayah Llivia disambut tulisan Villa de Llivia dan bus berhenti di sebuah persimpangan jalan. Sebelum meninggalkann bus, saya memastikan jam kembali bus dari Llivia ke Puigcerdà ke driver, ternyata hanya ada dua bus yaitu jam 17.17 dan 18.06. dan sesudah itu tidak ada lagi.
Tujuan kami pertama kali menuju Riu Segre atau sungai Segre. Sungai yang melintasi dua negara tersebut, seperti sungai di Eropa lainya, bersih, jernih dan dingin. Kami turun melewati jalan yang sudah disediakan untuk menyentuh air karena arus sungai tidak deras. Hal ini mengingatkan saya dengan sungai-sungai jernih tanpa sampah di dekat tempat tinggal kakek saya beberapa dekade lalu namun jarang ditemukan saat ini. Sehingga inilah saatnya saya memperkenalkan ke anak saya sungai jernih tanpa sampah dan dia sangat exciting. Tanpa mempedulikan sepatunya menjadi basah, dia mulai memasukkan kakinya di gemercik aliran Segre.
Selesai menikmati kejernihan Segre, kami melanjutkan perjalanan ke old town Llivia, tempat dimana balai kota Llivia, Ajuntament de Llivia, berada. Menikmati wilayah kota tua Llivia, satu kesan yang saya dapat adalah senyap, mungkin karena Llivia hanya berpenduduk sekitar 1.700 orang sehingga kami hanya bertemu dengan beberapa orang saja. Disekitar balai kota terdapat Musium Llivia, toko-toko souvenir dan café. Sayang museumnya tidak buka, mungkin masih libur natal, sehingga kami tidak bisa masuk. Tepat didepan balai kota, berdiri tegak dan menjulang tinggi menara gereja dengan dua lonceng raksasa yang berdentum sebanyak dua kali.
Kami mencoba memasuki komplek gereja yang disambut halaman luas berkerikil-kerikil kecil. Seperti kebanyakan gereja di Eropa yang memiliki arsitektur indah dan klasik, kami dan para pendatang menikmati arsitektur luar bangunan yang masih terawat di usianya yang mencapai ratusan tahun. Di depan sebelah kiri bangaunan, terdapat dua buah kursi yang terbuat dari kayu glondongan tanpa di cat, menambah nuansa klasik bangunan gereja. Di depan sebelah kanan, ada sebuah batu yang biasanya untuk meletakkan kran air namun sudah tidak berfungsi. Tepat ditengah bangunan, sebuah pintu masuk yang diatasnya bertuliskan tahun 1617 yang hanya terbuka sebagian, menandakan bahwa pengunjung boleh memasukinya.
Setelah puas menikmati arsitektur gereja, kami menuju Castella de Lliva. Tepat di belakang komplek gereja, ada sebuah jalur pendakian menuju bukit dimana kastil tersebut berada. Kami harus menempuh jarak 1.7 km untuk mencapai puncak bukit. Walaupun ini bukan pertama kalinya kami hiking di perbukitan Spanyol, saya agak ragu karena keberadaanya yang jauh dari Barcelona. Namun karena anak saya sangat antusias, maka kami melanjutkan perjalanan dan sekitar 20 menit mendaki, sampailah kami di kastil Llivia. Berdasarkan informasi dari website costabrava.org, kastil yang berdiri tahun 672 ini dihancurkan oleh raja Prancis Louis XI ketika terjadi perang antara dua negara tersebut. Seperti kebanyakan kastil, kastil ini dikelilingi benteng yang kuat untuk pertahanan.
Di atas bukit kami bertemu dengan para pendaki lainnya, mulai anak-anak hinga pasangan lansia. Memang di sini budaya hiking sudah ditanamkan sejak kecil dan melekat hingga mereka tua. Dari atas bukit, kami bisa melihat secara utuh Llivia, bagaimana kota in dikelilingi oleh wilayah Pancis dan mendekam dibawah pegunungan Pyrenees yang atasnya mulai tertutup salju.
Anak saya, Ilman, sangat menikmati dan tidak mau turun, menurutnya di atas bukit itu serasa bebas dan luas. Selesai melaksanakan sholat duhur di atas bukit dan puas menikmati pemandangan, kami memutuskan turun mengikuti rute hiking pasangan lansia tadi karena mereka sepertinya sudah sering melakukanya, sehingga banyak membuat shortcut jalur untuk turun agar lebih cepat. Tak lupa kami menyempatkan foto di bawah tiang bendera Cataluña.
Waktu yang masih cukup longgar, memberikan kesempatan bagi kami untuk menikmati kota Llivia. Tujuan kami selanjutnya, mencari playground untuk Ilman bermain. Sebuah taman bermain luas, Parc de San Guillem, menjadi pilihan kami untuk melepas lelah. Taman yang didominasi wahana mainan dari kayu tanpa dicat ini, menjadikannya memiliki nuansa klasik dan artistik. Banyak anak-anak yang sedang bermain di sana ditemai oleh orang tuanya. Tidak jauh dari taman berdiri sebuah kapel yang tertutup rapat. Di area taman menglir aliran sungai Segre, aliran air menimbulkan suara gemercik memberikan nuansa relaksasi.
Saya menyempatkan menengok ke aliran sungai itu lagi, mengambil foto dan kemudian meninggalkan tempat tersebut untuk kembali ke halte bus untuk mengejar bus yang akan datang dalam waktu limabelas menit. Di halte bus, sudah menunggu beberapa orang dan tak lama bus berwarna abu-abu bertuliskan Llivia-Puigcerdà itu datang dan kemudian bergerak meninggalkan Llivia dengan segala keindahanya. Begitulah cerita perjalanan kami ke Llivia di libur musim dingin tahun 2022 ini.