Library Sebagai Bagian Membangun Generasi Dengan Literasi

Catatan Caesar M. Putri

Perpustakaan, mungkin dianggap sebagai tempat yang membosankan dan juga tidak menarik bagi sebagian orang. Di era yang serba digital saat ini, sebagian orang berfikir bahwa perpustakaan tidak diperlukan lagi. Bagi saya, pertama kali mengenal perpustakaan adalah ketika di sekolah dasar. Perpustakaan sekolah kala itu hanya sebuah ruangan yang difungsikan sebagai “perpustakaan” dengan berbagai buku cerita. Sebagai murid sekolah dasar yang berjarak 12 kilometers dari kabupaten kota, mendapati buku-buku tua dengan cerita fiksi sudah sangat menggembirakan dan kamipun biasanya membaca sambil duduk di atas lantai, karena rak buku tidak lebih tinggi dari satu meter.

Saat saya melanjutkan kuliah di sebuah universitas yang berada di Kota Pelajar, Yogyakarta, perpustakaan yang saya kunjungi adalah perpustakaan kampus dengan buku-buku mata kuliah. Di luar kampus, saya tidak pernah menemukan perpustakaan, entah saya yang tidak tahu atau memang tidak ada. Namun sesudah lulus, saya harus membuat surat keterangan bebas buku dari perpustakaan daerah, dan itu pertama kalinya saya ke sana, mendapatinya tidak lebih “menarik” dari perpusustakaan kampus. Hingga saya menjadi dosen di sebuah universitas di Yogyakarta, saya belum menemukan perpustakaan yang nyaman untuk segala macam usia. Jika teman-teman ada yang memiliki info perpustakaan di Jogjakarta atau wilayah sekitarnya misalnya di Kota Klaten, boleh kasih info di kolom komen di tulisan ini. It would be great!

Biblioteca Tecla Sala

Tidak seperti di Indonesia, perpustakaan yang dalam bahasa Spanyol disebut Biblioteca, keberadaanya seperti kantor kelurahan, yang selalu ada di setiap wilayah. Bagi saya pribadi, orang Indonesia yang memiliki mindset bahwa perpustakaan adalah tempat yang hanya untuk buku-buku pelajaran, masuk ke perpustakaan biasanya harus menitipkan tas dan seluruh barang bawan di locker dengan segala macam keribetanya seperti meninggalkan kartu identitas seperti KTP atau KTM, menjadikan saya merasa ragu dan enggan untuk masuk. Namun, pertama kali masuk di Biblioteca, saya mulai jatuh cita, bagaimana tidak, tidak ada keribetan-keribetan yang selama ini saya bayangkan. Kita masuk seperti masuk pusat perbelanjaan, bebas semau-mau kita, asalkan tetap menjaga ketenangan karena pintu masuk ruang perpustakaan selalu memasang logo larangan bersuara, atau menuliskan kata silent.

Salah satu perpustakaan yang akan saya ceritakan adalah perpustakaan Tecla Sala, yang terletak di wilayah Torrasa. Perpustakaan ini awalnya adalah pabrik textile Tecla Sala yang dibangun tahun 1854 dan di kategorikan sebagai warisan budaya lokal yang dilindungi di Spanyol. Saat ini selain difungsikan sebagai perpustakaan, ex-pabrik ini juga difungsikan sebagai pusat budaya (Tecla Sala Art Centre), Art Workshop, pusat Studi dan sebagai tepat Arranz-Bravo Fundation.

Bangunan Tecla sala dibagi menjadi dua, Biblioteca dan Art Center

Perpustakaan Tecla Sala sendiri, mengambil proporsi ruang sebesar sekitar 4.600 meter persegi yang dibagi menjadi dua lantai, lantai satu dan lantai dua. Karena posisi perpustakaan bukan di lantai dasar, maka akses masuk ke perpustakaan dibagai dua dengan berjalan melewati jalur pejalan yang agak menanjak dan jalur lift bagi para lansia dan difabel. Masuk memalui pintu jalur pejalan, pertama kali kita akan menemui semacam pantry dan vending machine, diperuntukkan bagi yang akan membeli makanan dan minuman atau yang akan menghabiskan bekal makanan siang. Di situlah satu-satunya tempat yang diijinkan untuk makan siang atau menerima telpon. Setelah itu kita akan menemui security post, dan disampingnya terdapat prototype wilayah Hospitalet. Sebelum masuk ke ruangan perpustakaan, tepat di sampinya ada sebuah aula yang biasanya digunakan untuk aktivitas seperti dialogue, theatre dan lain sebaginya.

Area anak-anak

Menariknya lagi, Perpustakaan di sini diperuntukan bagi semua usia, mulai balita hingga lansia. Perpustakaan untuk anak-anak dan lansia terpisah dengan perpustakaan usia produktif hal ini dikarenakan kebutuhan bacaan yang berbeda dan juga sarana dan prasarana yang dibutuhkan berbeda.

Area Lansia

Di lantai pertama ini, bangunan sebelah kiri menjadi perpustakaan untuk lansia, yang bacaanya lebih di dominasi surat kabar dan majalah. Tidak hanya buku dan majalah, perpustakaan ini juga meminjamkan DVD.

Kursi yang disediakan di ruang ini juga lebih nyaman, seperti kursi sedan empuk, agar orang tua mersa nyaman ketika duduk lama. Kursi-kursi dibuat melingkar, seperti peletakan kursi di ruang tamu, untuk memfasilitasi mereka berinteraksi. Sedangkan diruang sebelah kanan, yang hanya dipisahkan oleh batas kaca, terdapat perpustakaan untuk anak-anak dan balita.

Di perpustakaan anak, terdapat buku-buku bacaan bergambar mulai yang berbahasa Spanish, Catalan maupun English. Di ruangan ini pula, diletakkan kursi dan meja untuk memfasilitasi anak-anak yang ingin membaca di perpustakaan. Sedangkan perpustakaan untuk balita, diletakkan di paling ujung, dengan dilengkapi meja-kursi warna warni setinggi meja Taman Kanak-kanak.

Selain itu tersedia juga taman bacaan tanpa menggunakan kursi, supaya anak-anak bebas berekspresi hal ini dikarenakan, anak-anak lebih menyukai olah fisik dibanding duduk. Peletakan perpustakaan balita di ujung ruangan juga ditujukan agar suara berisik yang secara natural dikeluarkan oleh anak-anak tidak sampai terdengar ke wilayah perpustakaan yang membutuhkan ketenangan.

Menuju ke lantai lantai dua, kita bisa mengakses tangga atau lift bagi lansia dan penyandang difabel. Perpustakaan lantai dua diperuntukkan bagi pengunjung usia produktif sehingga buku yang disediakan sangat berfariatif, mulai buku pelajaran, buku memasak, buku membuat kerajinan, novel hingga komik tersedia di sini. Di Lantai dua, banyak disediakan kursi dan meja untuk para pelajar dan pekerja. Model meja sharing, dimana kita saling berhadapan dengan para pengunjung lainya, dan ada pula meja dengan model pembatas, supaya lebih private.

Perangkat computer hingga laptop juga disediakan bagi mereka yang tidak memiliki bisa memakainya di perpustakaan ini. Dilantai dua ini juga disediakan ruang-ruang privat, Sala, untuk bekerja kelompok atau melakukan meeting, kita bisa meminjam maksimal 2 jam dan bisa di perpanjang jika tidak ada yang mengantri.

Ruang pertemuan dan diskusi

Berbeda dengan di luar ruangan dimana kita tidak bisa bersuara, di Sala ini kita bisa bersuara misalnya berdiskusi atau melakukan meeting karena kedap suara. Bagi kita yang membutuhkan koneksi internet kecepatan tinggi, perpustakaan juga menyediakan Wi-Fi. Pengunjung perpustakaan bisa menggunakanya melalui akses sebagai tamu perpustakaan, yang password-nya dikirim lewat pesan atau bisa juga mendaftar sebagai penggguna tetap. Pendaftaran akses Wi-Fi perpustakaan secara permanen biasanya didapatkan ketika kita membuat kartu perpustakaan. Saat mendaftar kartu perpustakaan ini, kita hanya menyerahkan identitas kartu ijin tinggal sebagai dasar untuk registrasi.

Bagi pengunjung yang belum memiliki ijin tinggal, paspor juga bisa dipakai untuk mendaftar, artinya perpustakaan ini terbuka untuk siapa saja. Yang menarik lagi, kartu perpustakaan yang kita buat ini tidak hanya berlaku di perpustakaan dimana kita membuat, tetapi bisa dipakai di seluruh perpustakaan di kabupaten kita tinggal.

Ruang perpustakaan di lantai II

Melihat perpustakaan Tecla Sala yang disediakan dan dikemas secara menarik penyajianya, mengingatkan saya dengan Taman Literasi Martha Christina Tiahahu yang berada di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan dan juga Perpustakaan Jakarta dan Pusat Dokumen Sastra (PDS) HB Jassin di Taman Ismail Marjuki yang diresmikan di tahun 2022. Walaupun saya belum pernah berkunjung kedua tempat tersebut, membaca berita dan melihat di Youtube tentang taman yang di resmikan oleh Gubernur Jakarta saat itu, Anis Baswedan, memberikan sebuah harapan bagi generasi Indonesia, bahwa pelan tapi pasti Indonesia akan memiliki lebih banyak perpustakaan atau taman literasi yang layak dan menarik. Saya berharap pengembangan tempat-tempat seperti ini akan semakin menyebar di wilayah lain di Indonesia. Oya, apakah teman-teman yang berada di Jakarta apakah sudah pernah berkunjung ke Taman Literasi dan perpustakaann HB Jassin tersebut?

Melanjutkan cerita saya tentang perpustakaan Tecla Sala, bahwa petugas perpustakaan atau pustakawan sangat ramah dan juga helpful. Menurut hemat saya, pustakawan seperti orang yang “menjajakan” barang dagangan supaya “laku” dipinjam. Tak heran jika mereka selalu menampilkan buku-buku baru dengan dekorasi menarik. Biasanya buku-buku baru diletakkan rak paling depan dan di-update secara berkala, sehingga tidak membosankan. Terkadang display buku disesuaikan dengan season saat itu. Misalnya ketika memperingati hari bumi, dekorasi buku yang di-display juga disesuaikan dengan tema bumi. Saya berfikir, mungkin key performance indicator (KPI), para pustakawan tersebut diukur salah satunya berdasarkan banyaknya buku terpinjam. Semakin banyak buku terpinjam, berarti kinerja mereka bagus, karena mampu menarik minat masyarakat untuk membaca.

Koridor Perpustakaan, diujung terdapat meja pertugas peminjaman

Jangka waktu meminjam buku maksimal tiga puluh hari, cukup lama bukan? Dan lebih menariknya lagi kita bisa meminjam sampai tiga puluh buku! Ketika meminjam, kita cukup menunjukkan kartu perpustakaan untuk di scan barcode-nya, tanpa meninggalkan kartu identitas sebagai jaminan. Jika jangka waktu meminjam sudah akan selesai, bisanya lima hari sebelum jatuh tempo pengembalian, kita akan mendapatkan email notifikasi pengingat untuk mengembalikan. Selain buku kita juga bisa meminjam alat-alat permainan edukatif, sepeti papan catur dan ular tangga. Dua minggu lalu kami meminjam papan catur karena dengan meminjam pastinya lebih hemat. Papan catur dan permainan edukatif lain bisa dipinjam selama tiga puluh hari juga.

Ruang anak-anak

Jam buka perpustakaan ini juga cukup lama, mulai jam 9:00 hingga 20:30, dari hari Selasa hingga Sabtu, sedangkan setiap Senin buka jam 3:30 hingga 20:00 dan hanya tutup di hari Minggu. Tidak seperti kantor pemerintahan ataupun sekolah yang hanya menerapkan lima hari kerja, perpustakaan ini beroprasi enam hari kerja. Hal ini ditujukan untuk memfasilitasi masyarakat yang libur di hari sabtu bisa menghabiskan waktunya diperpustakaan. Anak-anak sekolah pun juga lebih sering belajar di sini, tak heran jika jam pulang sekolah, perpustakaan lebih ramai dibanding pagi atau siang hari yang lebih di dominasi para pekerja yang membutuhkan akses Wi-Fi atau tempat yang tenang.

Itulah sekelumit cerita tentang keberadaan perpustakaan di negara maju, khususnya di Barcelona Spanyol. Bagi saya, perpustakaan di sini menjadi sebuah tempat yang nyaman bagi semua usia dan golongan. Menjadikannya sebagai bagian untuk membangun generasi dengan literasi. Semoga kelak di negara tercinta kita Indonesia, tersedia lebih banyak lagi, dan tidak hanya di kota-kota besar namunn juga diprioritaskan di daerah, dimana akses ke buku-buku lebih susah jika dibandingkan di kota.

2 tanggapan untuk “Library Sebagai Bagian Membangun Generasi Dengan Literasi

  • 14 Maret 2023 pada 6 h 56 min
    Permalink

    Perpus nya keren banget, jd bisa membaca sekalian berwisata..👍
    di tunggu tulisan2 selanjutnya mbk 😍

    Balas
    • 24 April 2023 pada 11 h 05 min
      Permalink

      Iya mb Narmi, alhamdulillah representatif utk belajar dan bekerja perpusnya…

      Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *