Menyusuri Perbatasan Enveitg-Puigcerda
La Tour de Carol adalah sebuah kota di Prancis yang berbatasan langsung dengan Puigcerda, Spanyol. Terletak di ketinggian 1,200 meter di kaki pegunungan Pyrenees, menjadikan wilayahnya sejuk dengan pemandangan yang menakjubkan.
La Tor de Querol dalam bahasa Catalan memiliki luas sekitar 12.63 km² dan masuk wilayah Cerdanya Atas. Satu satunya kota yang berbatasan langsung dengan wilayah ini adalah Enveitg. Perjalanan kami dari Barcelona menuju La Tour de Carol menggunakan kereta regional ditempuh selama tiga jam empat puluh lima menit dari statsiun Barcelona-Sant. Jarak antara statsiun Puigcerda dan statsiun La tour de Querol, hanya lima setengah kilometer yang menyuguhkan pemandangan ladang gandum dan padang rumput selama perjalanan. Mulai mendekati statsiun, laju kereta mulai melambat dan kami menyaksikan beberapa orang hiking menyusuri rute sepanjang ladang gandum tersebut.
Hanya sekitar sepuluh penumpang yang turun di statsiun terakhir kereta Rodalies berkode R3 tersebut. Turun dari kereta, pemandangan pegunungan dan udara yang sejuk menyambut kami. Sangat berbeda dengan udara Barcelona yang panas, La tour de Querol masih menyuguhkan sejuknya udara musim semi. Statsiun La Tour de Querol tergolong terawat dengan toilet yang bersih dan dilengkapi dengan beberapa monitor jadwal keberangkatan dan kedatangan kereta. Keluar dari statsiun, tertulis La Tour de Carol-Enveitg di sisi atas bangunan statsiun, yang langsung terhubung dengan halaman parkir yang cukup luas dengan sejumlah mobil berkode E (España) dan F (France) terparkir rapi.
Kami pun mulai melihat kanan dan kiri halaman statsiun, beberapa orang datang dan pergi memarkirkan mobilnya. Tepat di sisi kanan statsiun, berdiri sebuah bangunan mungil namun cantik bertuliskan Bistrot de La Gare, dengan meja kursi putih tertata rapi di teras. Kami memutuskan untuk sarapan di café tersebut karena berangkat dari Barcelona sehabis subuh, otomatis kami belum sarapan. Memasuki café, suasana sedikit berbeda dari kebanyakan café yang biasanya simple untuk sekedar sarapan roti dan kopi.
Di La Gare, meja-meja tertata rapi lengkap dengan cover serta serbet makan warna merah yang ditata seperti restoran. Terlihat tiga orang pelayan sibuk mempersiapkan pesanan pelanggan dan menyapa kami dengan bahasa Prancis “bonjour” yang artinya selamat pagi. Namun seperti kebanyakan daerah perbatasan, pelayan-pelayan tersebut mampu bercakap dengan bahasa Catalan maupun bahasa Spanyol.
Sedikit mengingat sejarah, bahwa ketika perang Prancis-Spanyol berakhir di tahun 1659, ada 33 desa yang berada di perbatasan harus diserahkan ke Pranics. Salah satu yang jatuh ke tangan Prancis adalah La Tor de Querol. Sementara hanya Llivia yang bisa dipertahankan oleh Spanyol. Setelah melihat menu yang lengkap mulai dari menu ringan hingga berat, kami cukup memesan french fries, roti dan kopi. Saya sendiri memesan salad tuna, karena menu ini paling murah hanya 6€, sekedar untuk mengganjal perut dan juga tahan lama karena sayur mentah. Seperti kebanyakan pengunjung lain seumuran kami, tempat duduk di luar dengan meja yang lebih simple sembari melihat indahnya pegunungan Pyrenees adalah pilihan tepat untuk menghabiskan sarapan.
Selesai makan, kami melanjutkan mengelilingi kota Enveitg, kota yang asri, dengan rumah-rumah kas daerah dingin nan rapih namun terlihat beberapa rumah sudah ditinggal pemiliknya. Model rumah di Enveitg, berbeda dengan rumah-rumah di Spanyol.
Atapnya yang memiliki kemiringan curam mengindikasikan bahwa rumah tersebut memang dirancang untuk daerah bersalju sehingga ketika musim dingin, salju lebih mudah untuk longsor dan tidak membebani atap. Halaman rumah di kota ini juga dipenuhi dengan berbagai tanaman, dan yang paling menarik adalah pohon cherry yang tumbuh dengan subur, selain itu ada pohon lemon serta berbagai jenis bunga. Pohon-pohon cherry berbuah lebat seolah absen dipanen pemiliknya, “sayang ya…merah-merah namun tidak dipanen” celetuk saya.
Hal ini berbeda dengan kondisi Barcelona yang harus membeli cherry dengan harga yang cukup mahal sekilonya. Penduduk Enveitg hanya 659 jiwa mendiami wilayah seluas 30.5 km². Kota ini dulunya merupakan kota pertanian dan peternakan atau penggembalaan. Bahkan di abad 18 dan 19 kota ini menjadi pusat perdagangan dan negosiasi yang sangat penting. Sehingga, ketika melewati rumah-rumah penduduk, kami melihat beberapa traktor terparkir di depan rumah. Selain masih sebagai kota pertanian, kecantikan Enveitg menjadi daya tarik turis tersendiri. Tak heran jika di kota ini kita menemukan sebuah area kemah luas yang bisa disewa oleh para turis. Di area ini sudah tersedia rumah-rumah kecil semacam cottage dan juga area camping yang disewakan, sehingga wisatawan cukup membawa tenda.
Jika pembaca ingin mengetahui apa nama area camping yang dikelola secara professional tersebut maka cukup membuka website Robinson Cerdagne. Di sepanjang perjalanan kami disuguhi indahnya alam Enveitg, gemercik aliran sungai yang jernih seperti melodi alam yang menyatu dengan hijaunya pepohonan yang dibiarkan tumbuh liar.
Di sepanjang jalan, kami bertemu, saling menyapa dan tersenyum jika berpapasan dengan beberapa orang yang juga hiking menikmati indahnya alam. Di sepanjang jalan pula kami menemukan banyak pohon cherry liar, berbuah cukup lumayan yang bisa kami petik. Walupun ini bukan pertama kalinya kami menemukan pohon cherry liar, antusias memetik cherry liar masih tinggi bagi kami penduduk negara tropis yang biasanya hanya menikmati pohon rambutan atau mangga di halaman rumah. Setelah berjalan sekitar satu setengah kilometer menyusuri jalan setapak dari pusat Enveitg, kami sampai di padang gandum nan luas. Saatnya kami mengeksplor lahan gandum yang terhampar sepanjang jalur kereta api tersebut decara dekat. Sehingga untuk kembali ke statsiun Puigcerda, Spanyol, kami memutuskan untuk berjalan kaki saja.
Jarak antara Enveitg, Prancis ke Puigcerda, Spanyol hanya sekitar empat kilometer, sebuah jarak yang masih sangat mampu ditempuh dengan berjalan kaki, apalagi jalur pejalan kaki memang sudah disediakan bagi para pecinta hiking. Pengalaman pertama kami melihat pohon gandum membuat kami berlama lama di area ini. Kami mengamati pohon dan tekstur bijih gandum pada tangkai untuk mengenalkan bahan baku roti tersebut ke anak. Walaupun sedikit mirip dengan padi, namun bentuk bijih gandum dalam tangkai berbeda dengan padi.
Seperti kebanyakan area ladang dan pertanian di Eropa, ladang gandum di Enveitg sangat luas dan tersentraliasai di satu area, yang berbeda dengan area persawahan di Indonesia yang terkadang masih terpetak-petak dan menyatu dengan rumah-rumah penduduk. Selain menemukan ladang, di padang rumput kami juga menemukan sapi-sapi yang yang dilepas bebas dipadang rumput. Kami menyempatkan untuk menyentuh tangkai gandum dan juga mengambil beberapa foto ladang gandum yang diselingi beberapa bunga liar yang mempercantik hamparan ladang.
Wilayah perbatasan Enveitg-Puigcerda yang kami lewati selama perjalanan menyuguhkan suasana alam yang indah, sejuk, bersih, sepi, jauh dari hiruk pikuk kegiatan manusia sehari-hari. Kami hanya bertemu orang bersepeda atau berjalan kaki spanjang perjalanan. Setelah sekitar satu setengah jam berjalan kaki menyusuri ladang gandum di sisi rel kereta api tersebut, maka sampailah kami di statsiun kereta Puigcera untuk menunggu kereta yang akan membawa kami kembali ke Barcelona.
Bagi pembaca yang nerdomisili di Catalunya, Spanyol, berkunjung ke La Tour de Querol bisa menjadi akternatif mengisi liburan musim panas tahun ini karena bisa mendapatkan udara yang lebih sejuk, menikmati keindahan alam kota di Prancis selatan dan bertemu dengan penduduk yang ramah di wilayah ini.
Kalau jalan-jalan di Eropa tuh kesannya gimana gitu ya. Selalu senang baca perjalanan diaspora Indonesia di LN