Ing Pawon, Jamu Rasa Otentik dan Kekinian
Apa sih yang ada dipikiran sahabat Surat Dunia ketika mendengar kata ‘jamu’? Pasti masih banyak di antara kita yang berpikir bahwa jamu itu pahit, nggak enak, rasanya aneh, dan lain sebagainya. Alhasil, meski kita tahu khasiat jamu untuk kesehatan tubuh, namun tak sedikit dari kita tetap akan menolak meminum jamu.
Tapi sebenarnya jamu itu nggak melulu pahit atau nggak enak lho! Contohnya jamu yang dibuat oleh Agnes Sukenty Niken Puspitarini. Selain sehat, jamu buatannya terkenal memiliki rasa otentik dan kekinian. Nah, mau tahu lebih jauh tentang jamu buatan Agnes? Yuk, simak cerita selengkapnya!
Berawal Dari Hobi Minum Jamu
Agnes yang merupakan lulusan Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta tahun 2002 ini mengisahkan awal mula membuat jamu itu karena hobinya dan keluarga yang gemar minum jamu. Kebiasaannya meminum jamu itu seperti sudah menjadi tradisi turun-temurun di keluarga mereka.
“Saya sekeluarga itu hobi minum jamu, jamu tradisional ya bukan yang tinggal seduh. Ibu dan mertua saya juga suka minum jamu bahkan suka juga bikin jamu sendiri. Kata ibu saya, perempuan itu harus minum jamu meskipun pahit. Filosofinya seperti hidup ini yang tidak selalu manis, jadi harus tahu yang pahit juga,” kata Agnes.
Agnes mengungkapkan bahwa ia dan keluarga kesulitan mencari jamu dengan rasa yang pas di sekitar tempat tinggalnya yakni Kramat Jati, Jakarta Timur. Terlebih ia sempat mendengar isu negatif tentang proses pembuatan jamu yang tidak sesuai prosedur, sehingga membuatnya dan keluarga khawatir membeli jamu sembarangan.
Selama ini, selain mengandalkan jamu buatan sang ibu, ia dan keluarga juga kerap membeli produk jamu jika berkunjung ke daerah Jawa Tengah atau Yogyakarta, dan jika ada teman atau sanak saudara yang sedang di daerah tersebut, Agnes juga selalu titip beberapa botol jamu dari sana untuk stok di rumah. Hal itu diungkapkannya karena rasa dan tekstur jamu dari daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta lebih sesuai dan cocok di lidah.
Belajar Meracik Jamu Dari Banyak Sumber Dan Kalangan
Pada tahun 2017, Agnes mulai mencoba mencari tahu lebih dalam tentang jamu, mulai dari sejarah jamu, pergi ke museum, hingga blusukan ke pasar tradisional. Kemudian ia mulai mencoba meracik dan membuat jamu sendiri di rumah. Dalam prosesnya, ia awalnya belum mendapatkan racikan yang pas. Ia kemudian terus mencoba dan belajar juga dari sang ibu, hingga akhirnya ia mendapatkan racikan jamu yang pas menurutnya.
Pada awalnya, ia membuat jamu untuk stok di rumah, namun karena ia membuat dalam jumlah banyak, beberapa botol jamu ia bagikan kepada ibu-ibu siswa di sekolah anaknya. Tidak disangka, tanggapan dari mereka sangat positif. Bahkan mereka menyarankan untuk dijual.
“Teman-teman bilang jamunya enak, kenapa tidak dijual saja, mereka juga yang pada maksa beli sampai bilang katanya tidak mau minum jamu saya lagi jika hanya diberi gratis,” ucap Agnes.
Sejak saat itu, ia mulai mengemas jamunya dalam botol. Namun saat itu, ia masih bingung untuk menentukan harga jamu buatannya. Alhasil, justru teman-temannya lah yang menyarankan harga untuk jamunya.
“Saya tidak bisa kasih harga jadi saya bilang seikhlasnya. Lalu teman-teman bilang jangan seikhlasnya, yasudah saya bilang 5 ribu saja. Terus teman-teman malah protes, katanya terlalu murah. Harusnya 10 ribu, gitu,” kenangnya.
Agnes mengatakan, bahwa selain belajar dari ibunya, ia juga sempat belajar dari penjual jamu gendongan, penjual bahan baku jamu langganannya di Yogyakarta, YouTube, hingga buku-buku lama tentang jamu.
Cerita Di Balik Nama Ing Pawon
Setelah memutuskan untuk menjual produk jamu dan berhasil melakukan test market, Agnes mulai mengurus izin dagang seperti Halal di tahun 2018. Selain itu, Agnes juga mulai melabeli produknya dengan nama Pawon Reged.
Nama ini berasal dari bahasa Jawa, yakni Pawon yang berarti ‘Dapur’ dan Reged yang berarti ‘Kotor’. Menurutnya, nama tersebut mengandung makna tersendiri, yaitu menggambarkan dapur pada zaman dulu yang kotor karena jelaga bekas kayu bakar, namun dari sanalah makanan yang enak itu berasal.
Namun di luar dugaan, ternyata nama Pawon Reged justru banyak dikritik orang karena diartikan sebagai dapur kotor yang mana konotasinya dianggap memproduksi produk yang kotor. Akhirnya Agnes mengubah nama bisnisnya menjadi Ing Pawon, yang mana memiliki arti ‘di dapur’.
“Filosofinya sama, makanan dan minuman yang enak berasal dari dapur dan membawa kebahagiaan untuk mereka yang menikmati,” terangnya.
Mengurangi Jadwal Praktek Dan Mulai Fokus Pada Inovasi Bisnis
Pada saat merintis bisnis, Agnes mengatakan dirinya pernah mengalami kerugian hingga Rp2 juta. Hal ini karena produk jamu yang ia titipkan di salah satu toko di return atau dikembalikan karena tidak laku dan akhirnya dibuang karena kadaluwarsa. Meskipun begitu, Agnes tidak menyerah, dan sejak tahun 2019, Agnes sudah mulai mengurangi jadwal praktek dan memutuskan untuk benar-benar fokus pada bisnisnya.
Saat melakukan inovasi produk, Agnes banyak mengalami kendala dan kegagalan. Terutama karena inovasi yang dilakukan itu cukup unik, yakni bagaimana membuat minuman tradisional dengan rasa yang otentik dan kekinian. Nah, di sinilah peran suami benar-benar dirasakan sangat membantu bagi perkembangan bisnis yang dibangun Agnes, terutama terkait ide inovasi produk.
“Ide inovasinya banyak muncul dari suami saya, saya yang eksekusi,” katanya.
Tidak hanya produk ready to drink, Agnes juga membuat jamu dalam bentuk serbuk, sirup, hingga teabag seperti teh celup. Itulah beberapa inovasi produk yang telah dilakukannya. Inovasi produk selalu dilakukan dari tahun ke tahun mengikuti tren dan kebutuhan pelanggan, baik dari segi rasa maupun membuat varian produk yang baru.
Agnes juga mengungkapkan bahwa di tahun 2020 dirinya sudah memiliki badan hukum PT (perseroan terbatas) dan di tahun 2022 ia juga sudah memiliki izin BPOM. Sejak izin dagangnya sudah lebih lengkap, Agnes mulai memproduksi dalam jumlah besar dan mulai menerapkan manajemen bisnis dengan baik, dan semua pengetahuan tersebut ia peroleh dari berbagai macam pelatihan yang pernah diikuti sebelumnya.
Saat ini, ia telah memiliki beragam produk dengan banyak varian rasa. Diantaranya 13 varian rasa untuk jamu sirup, seperti empon-empon, jahe rempah, beras kencur, dan sebagainya. Kemudian ada juga 6 varian rasa untuk jamu serbuk, seperti temulawak, kunyit asam, bir pletok, dan sebagainya. Lalu ada 5 varian rasa untuk jamu celup teabag, seperti campur sari dan teh mawar. Selain itu, ada juga jamu tisane, yaitu jamu yang dikeringkan. Ini cocok untuk konsumen yang lebih suka dengan jamu yang direbus sendiri.
Harga produk Ing Pawon juga bervariasi. Mulai dari harga Rp6 ribu untuk jamu serbuk instan, kemudian ada juga harga RP45-55 ribu untuk jamu sirup, dan ada juga yang harga Rp250 ribu untuk paket hampers di momen-momen tertentu seperti idul fitri dan sebagainya.
Adapun keunggulan dari produk Ing Pawon ini diantaranya memiliki rasa unik, enak, praktis dan mudah disajikan, serta mudah di mix and max dengan minuman lain. Contohnya sirup rempah seperti kunyit, jahe, beras kencur, itu bisa di mix and max dengan teh, kopi, susu, cokelat, atau soda tawar. Ing Pawon berusaha membuat produk yang kekinian, sehingga bagi yang tidak menyukai jamu, itu bisa di mix and max sesuai selera. Begitu juga untuk anak”, produk Ing Pawon juga bisa di mix and max dengan jus lho!
Namun tentu saja, inovasi-inovasi di atas tidak meninggalkan esensi jamu sebagai minuman yang sehat dan tanpa bahan pengawet, dan Ing Pawon juga tetap memiliki produk jamu asli dengan rasa khas jamu tradisional.
Memberdayakan Masyarakat Sekitar dan Terus Mengembangkan Usaha
Nah, saat ditanya modal, Agnes mengaku awalnya ia menggunakan modal pribadi, kemudian karena mulai produksi dalam jumlah banyak, akhirnya ia mencari modal tambahan melalui pinjaman. Nah, karena produksi semakin banyak, maka untuk SDM (sumber daya manusia), Agnes memberdayakan ibu-ibu sekitar untuk membantunya di bagian produksi dan administrasi.
“Saya memberdayakan mereka-mereka yang merupakan tulang punggung bagi perekonomian keluarga. Seperti kurir juga, saya memberdayakan driver ojek online dan mobil online yang ada di lingkungan sekitar,” ujar Agnes.
Sejak pandemi 2020, Agnes memiliki 6 karyawan yang membantunya memproduksi jamu. Ia juga mengatakan bahwa Ing Pawon melakukan produksi setiap hari, dengan kurang lebih 50-70 kilogram empon-empon basah untuk dijadikan produk olahan dalam satu minggunya. Agnes juga mengungkapkan untuk saat ini, omzet per bulan berkisar antara Rp15-20 juta.
Merambah Saluran Pemasaran Offline dan Online untuk Jual Jamu
Sementara itu, untuk pemasaran, Agnes mengungkapkan bahwa dirinya sering mengikuti pameran, misalnya seperti pameran Food and Beverage Expo di JIEXPO Kemayoran, bahkan pernah mengikuti pameran African Food Expo di Egypt. Ia mengungkapkan bahwa dengan mengikuti pameran atau bazar dan sebagainya, itu bisa menjadi sarana untuk mengenalkan produk jamunya.
Selain mengikuti pameran, Agnes juga memiliki distributor dan reseller. Kemudian ia juga memasarkan produknya secara online dan offline. Secara online, produk Ing Pawon dapat ditemukan di E-commerce seperti Shopee dan Tokopedia atau melalui akun Instagramnya.
Permintaan Jamu Makin Naik di Masa Pandemi
Namun Agnes tetap bersyukur terutama ketika pandemi, bisnisnya justru semakin baik. Hal itu karena kebutuhan jamu untuk daya tahan tubuh saat pandemi cukup tinggi, khususnya untuk pemulihan. Ia mengungkapkan jika grafik penjualan naik tajam saat itu, bahkan menjadi yang tertinggi saat itu dengan omzet mencapai Rp25 juta per bulan.
Agnes menuturkan bahwa pasca pandemi, ia terus berupaya berbenah agar bisnisnya tetap bertahan. Mulai dari membenahi strategi marketing dan inovasi produk. Selain itu ia juga membekali diri dengan mengikuti beragam pelatihan dan pembinaan, misalnya kegiatan UMKM binaan dari Kementerian, BUMN hingga Bank BTPN. Dari kegiatan tersebut, Agnes mengaku memiliki lebih banyak kenalan, difasilitasi dalam hal keuangan, persiapan ekspor bahkan pameran di luar negeri.
Sebagai akhir dari sesi wawancara, Agnes menyampaikan beberapa harapan. Ia berharap bahwa kesadaran masyarakat untuk meminum minuman sehat semakin meningkat dan budaya minum jamu bisa tetap lestari, terutama di kalangan anak muda.
“Harapannya jamu ini bisa diminum dimana saja dan kapan saja dengan cara yang asik, seperti kita minum kopi atau teh dan semoga bisa menjadi kebutuhan serta lifestyle terutama anak-anak muda untuk lebih menjaga kesehatan,” tutupnya.
Penulis: Hastini Asih. Editor: Annisa Anastasya