Promosikan Jamu di “Les Papilles du Monde ke-13” La Rochelle, Prancis

Catatan Dewi Hadin

Pertamakali membuat Jamu Kunyit Asam dan diapresiasi oleh orang lain itu senang juga rasanya. Siapa sangka, minuman tradisional kita ternyata disukai oleh publik Prancis. Dengan rasa dan aromanya yang khas, minuman berbahan dasar rempah serta memiliki banyak manfaat bagi kesehatan ini cukup membuat stand saya ramai didatangi pengunjung.

Sabtu, 23 November, saya berpartisipasi memperkenalkan budaya kuliner Indonesia di acara “Les Papilles du Monde” ke-13 yang diadakan di Salle de l’Oratoire, La Rochelle. Acara tahunan bertema interkultural ini diadakan oleh asosiasi Avenir en Heritage, sebuah asosiasi di La Rochelle yang bergerak di bidang solidaritas internasional. Berhubung La Rochelle adalah kota tujuan belajar bagi mahasiswa dari berbagai negara, warga kota setempat kerap berinteraksi dengan komunitas warga asing dari berbagai latar belakang budaya.

Tiap tahun, Les Papilles du Monde menjadi sarana interaksi yang ditunggu-tunggu oleh warga asing dan warga lokal untuk saling mengenal melalui budaya kuliner. Berbagai komunitas seperti komunitas Turki, Al Jazair, Amerika Serikat, Jerman, China, Korea, Jepang, Togo, dan lain-lain turut serta dalam acara ini. Panitia mengganti biaya makanan yang disediakan oleh peserta, dan pengunjung dapat mencicipi setiap makanan di setiap stand secara gratis dengan menukarkan kupon.

Sebagai pemilik Gulalie Épicerie Indonésienne –sebuah toko online yang menjual produk makanan khas Indonesia di Prancis- ini adalah kegiatan tahunan yang paling saya sukai selain kegiatan bisnis sehari-hari atau berpartisipasi dalam event budaya atau bazar. La Rochelle adalah kota dimana saya memulai interaksi pertama saya dengan Prancis dua belas tahun yang lalu sebagai seorang mahasiswa. Kini, sebagai auto-enterpreneur, saya merasa makin ingin untuk memperkenalkan Indonesia dan budaya kulinernya di kota kesayangan saya itu.

Ketika panitia menghubungi saya di awal November, saya langsung mengiyakan sambil berpikir kira-kira makanan apa yang bisa saya siapkan. Tahun sebelumnya saya membuat mi ayam dalam mangkuk kecil-kecil, kue sarang semut dan kue pisang atau nagasari. Untuk memeriahkan acara, saya juga pernah mengadakan lomba ngulek sambal yang cukup membuat pengunjung tergelak. Tahun ini saya putuskan untuk tetap menyediakan mi ayam, lalu membuat dua kue tradisional yang mudah dibuat seperti wingko babat dan kue talam ubi serta satu kue kuno yang terinspirasi dari jaman kolonial Belanda namun menggunakan rempah-rempah Indonesia, yaitu Ontbijkoek. Untuk kripiknya, Mbak Maya Gauvin di Périgné menyiapkan untuk saya rempeyek kacang dan rempeyek kacang ijo buatannya. Satu minggu sebelum acara, tiba-tiba saya pikir kok rasanya kurang seru kalau belum menunjukan sesuatu yang spesifik Indonesia. Akhirnya saya putuskan saja: bagaimana kalau saya sediakan juga Jamu Kunyit Asam? Dan untuk menyumbang acara dipanggung, saya bisa demonstrasi cara membuat jamu di hadapan pengunjung !

Saya belum pernah membuat jamu sebelumnya, jadi saya coba kontak mbak Sita Phulpin di Paris yang jamu buatannya sudah terkenal enak. Tapi karena waktunya cukup mepet untuk pengiriman dan tidak memungkinkan, akhirnya saya mencoba membuat jamu sendiri. Berbekal resep di internet, voilà…. jadi deh dua botol jamu kunyit asam. Yang satu dengan gula jawa, satu lagi dengan madu.

Di hari-H, saya berbagi meja dengan adik-adik PPI La Rochelle yang juga mempresentasikan cemilan tradisional Indonesia berupa tempe mendoan, bakwan, dan tahu isi. Mereka juga membuat wedang ronde. Adik-adik mahasiswa ini menambah seru stand kami dengan keceriaan dan antusiasme mereka. Dengan bahasa Prancis mereka yang fasih, para pengunjung dibuat terkagum-kagum dengan penjelasan mereka atas makanan Indonesia.

Pengunjung tampak penasaran dengan wingko babat dan talam ubi karena bentuk dan bahan dasarnya yang berbeda dengan kue-kue yang biasa mereka lihat. Mereka penasaran dengan kue berbahan dasar kelapa, ubi dan santan. Tentu saja, ini acara Les Papilles du Monde. Rata-rata pengunjung adalah orang Prancis di La Rochelle yang sangat antusias dengan petualangan kuliner mancanegara. Berbeda dengan warga Prancis di desa tempat saya tinggal, mereka adalah orang-orang yang belum pernah atau jarang berinteraksi dengan makanan asing. Karena itulah, kue Ontbijkoek yang saya bagikan di acara antar tetangga lebih mendapat respon positif. Mungkin karena bentuk bolunya yang familiar dan aroma rempahnya yang mirip dengan pain d’épices, kue khas Prancis.

Pukul 15.45 sore, panitia mengumumkan acara demonstrasi pembuatan jamu dan memanggil saya ke panggung. Pengunjung pun dengan antusias mendekat. Saya mulai bercerita sekilas tentang jamu dan khasiatnya bagi kesehatan. Saya jelaskan bahwa jamu adalah ‘minuman kesehatan alami berbahan dasar tumbuhan’ yang populer di Indonesia. Ada berbagai jenis jamu seperti jamu kunyit asam, jamu beras kencur, jamu berbahan dasar jahe, dan sebagainya. Saya juga bercerita bahwa selain dijual di warung, jamu biasa dijajakan oleh perempuan penjual jamu yang berkeliling dengan menggendong bakul berisi botol-botol berbagai jenis jamu. Sebelum memperagakan cara membuat jamu kunyit asam saya juga menjelaskan beberapa khasiatnya seperti antioksidan, pereda nyeri, pereda perut kembung dan pengendali gula darah. Tentu saja karena panitia tidak boleh menggunakan kompor di ruang acara, adegan merebus jamu hanya ditampilkan di layar melalui proyektor. Kendati demikian, presentasi saya mendapat sambutan yang positif.

Awalnya, banyak pengunjung yang belum tertarik untuk mencoba jamu kunyit asam. Kalaupun ada yang mau, mereka memilih jamu kunyit asam dengan madu. Mungkin karena mereka tidak kenal dengan gula jawa. Namun setelah menyaksikan presentasi saya, mendadak stand saya didatangi lebih banyak pengunjung yang ingin mencoba ‘minuman herbal indonesia’, dan rata-rata ingin mencoba jamu yang menggunakan gula jawa. Pria, wanita, orang tua, muda, bahkan anak-anak juga ingin mencobanya. Saya berkali-kali mengingatkan bahwa minuman ini mungkin agak terasa ‘asing’ karena rasanya cenderung asam dan ada aroma khas dari kunyit. Namun respon mereka ternyata positif, mereka bilang “Wah, rasanya unik ! Saya belum pernah mencoba ini sebelumnya !”. Seorang ibu sangat tertarik dengan khasiat jamu kunyit asam dan menanyakan resepnya pada saya. Seorang pengunjung bertanya, “Kapan biasanya anda meminum jamu? Apakah ini dihidangkan untuk acara-acara khusus?”. Saya dan adik-adik PPI menjawab dengan berkelakar, “Biasanya sih kami minum pada saat kita sedang sakit atau tidak enak badan !”. Saya menambahkan “Jamu bisa diminum kapan saja, tapi memang untuk merasakan manfaatnya kami meminumnya secara rutin.”Sepasang suami istri dan anaknya yang masih kecil berbagi segelas kecil jamu kunyit asam karena penasaran ingin mencobanya.

Waktu menunjukan pukul lima sore. Matahari mulai condong ke barat. Sesuai perhitungan durasi acara dan perkiraan jumah pengunjung, makanan dan minuman yang kami sediakan mulai menipis. Kami mulai melirik ke kiri dan ke kanan, rasanya ingin juga mencicipi makanan yang disediakan oleh komunitas bangsa lain. Di sebelah kanan kami ada komunitas Korea Selatan yang diwakilkan oleh Pusat Kebudayaan Korea. Mereka punya teokbokki dan kimbap. Di hadapan kami ada asosiasi komunitas Aljazair dengan kue-kue dan teh khas mereka. Di belakang stand kami ada komunitas Jepang, komunitas Togo, dan lain-lain. Kami pun bergantian meninggalkan stand untuk menyapa komunitas tetangga, sambil icip-icip makanan mereka tentunya. Orang-orang dari stand komunitas lain pun bergantian mengunjungi stand Indonesia. Seorang pria dari stand Kamboja dan dua orang gadis dari stand China mampir untuk mencoba mie ayam, yang tentu sangat familiar dengan makanan mereka. Orang-orang dari stand Korea Selatan bergantian datang untuk mencicipi jamu kunyit asam, dan ternyata mereka jatuh cinta dengan rempeyek! Saya sendiri terkesan dengan makanan dari Togo, yaitu black eyed beans yang diolah dengan bawang dan tepung singkong, tumis bawang bombay dengan tomat dan sambal jahe udang khas Togo yang … Masyaa Allah sedapnya!

Acara ini sukses dan memang selalu dipadati pengunjung. Tapi bagi saya, yang penting saya berhasil meninggalkan kesan tentang keunikan budaya kuliner Indonesia. Banyak sekali efek domino yang bisa didapat dari ketertarikan pengunjung seperti membuka peluang wisata Indonesia, memperluas pasar bagi para diaspora Indonesia yang memiliki usaha restoran, toko bahan makanan, toko kerajinan, dan usaha lainnya yang membawa bendera Indonesia. Kalau bukan kita yang mempromosikan budaya Indonesia di luar negeri, lalu siapa lagi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *