Berkat Meliput Dialog antar Agama Tambah Pengetahuan Perluas Jaringan
Hallo sobat Surat Dunia setelah sibuk dengan pemilihan umum sekarang saya siap nulis-nulis lagi. Salah satu yang terbaru adalah petualangan saya liputan ke Bonn untuk acara dialog antar agama. Kegiatan yang diselenggarakan oleh Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Jerman ini berlangsung Sabtu 2 Maret 2024 di Sankt Augustin.
Nah, kalau menurut jadwal, harusnya acara dimulai pukul 10 pagi dan terlambat gara-gara nunggu pembicara yang kena Streik alias mogok kendaraan. Yes, di Jerman pelaku transportasi publik lagi lucu-lucunya. Mereka “ngambek” menuntut hak dengan aksi tidak menjalankan armadanya.
Tidak hanya membuat saya harus bergegas lebih awal ke stasiun central, ternyata hal ini juga bepengaruh terkait kehadiran peserta. Ada hampir 200-an orang yang daftar, nyatanya yang hadir sekitar 150 orang. Meski begitu, tidak mengurangi semangat untuk mengikuti dialog.
Acara ini mengambil tema “How is Indonesian Religious Harmony Practised in Germany?”. Dialog menghadirkan sejumlah panelis, yakni I Ketut Adnyana dari Nyaman Braya Bali, Prof. Dr, Phil. Sahiron MA, Romo Vincencius Adi Gunawan yang merupakan Lecturer of the Philosophisch-TheologischeHochschule SVD Sankt Agustin dan Rȕstu Aslandur (DMK Deutschprachige Muslimkreis Karlsruhe).
Rüstu menceritakan bahwa muslim di Jerman juga berusaha inklusif dengan sering hadir dalam diskusi antar-agama (misalnya dengan komunitas Yahudi, gereja dan lainnya) serta memberikan selamat hari raya kepada para saudara non-muslim di hari besar mereka. Menurut saya, hal ini menarik, mengingat Islam bukanlah agama besar di Jerman.
Turut berpartisipasi dalam kegiatan, ada Duta Besar RI untuk Jerman Arif Havas Oegroseno yang memberikan sambutan lewat daring, kemudian hadir Konjen RI Frankfurt Antonius Yudi Triantoro, dan Konjen RI Hamburg Renata Siagian. Diskusi pun berlangsung hangat dan juga ada tanya jawab.
So far, wawasan saya jadi bertambah luas tentang beranekaragamnya orang Indonesia di Jerman. Mereka hidup dalam toleransi yang cukup mumpuni meski jauh dari Tanah Air. Pasalnya, bisa jadi saat jadi diaspora, kita jadi jauh atau malah makin dekat dengan Tuhan. Lewat segala tantangan yang ada, agama dan saudara sebangsa bisa jadi komponen yang menguatkan.
Usai diskusi, kami dipersilakan makan siang bersama. Sajian khas Indonesia dan bertemu dengan rekan jurnalis plus dapat kenalan baru, jadi momen yang menyenangkan. Meski saat pulang balik ke Frankfurt harus berjibaku lagi dengan transportasi publik hehe.