Tiga Orang Indonesia yang Menerangi Jalan Kreatif Saya
Penulis: Dr. Victor A. Pogadaev/Moskow
Saya mulai belajar bahasa Indonesia di Institut Bahasa-Bahasa Timur pada tahun 1965 dengan guru bahasa warga Rusia Lyudmila Demidyuk (1936-2023). Pada tahun kedua kami diperkenalkan kepada guru lain – Profesor Intojo (1912-1971) yang mengajar kelas bahasa percakapan. Profesor Intojo datang dari Indonesia ke Moskow pada tahun 1956 tepat ketika Institut Bahasa-Bahasa Timur didirikan dan karena peristiwa 30 September 1965 di Indonesia belau tidak pernah kembali ke tanah airnya. Selain daripada guru beliau adalah seorang penyair yang luar biasa, dan puisinya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Rusia. Selama di Moskow, beliau aktif bekerja juga di bidang penerjemahan buku kanak-kanak Rusia ke bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Penerbitan Progress. Beliau juga adalah seorang anggota panitia persiapan Konferensi Penulis Negara-negara Asia dan Afrika di Tashkent (1958).
Berbadan pendek dan mungil, namun bermata besar dan tajam, beliau selalu datang ke kuliah berpakaian setelan jas yang disetrika rapi dan memegang tas kerja yang besar. Profesor Intoyo tidak hanya mengajarkan kami berbicara bahasa Indonesia dengan benar, tetapi juga mendorong kami untuk lebih memahami logika bahasa, mengerti ecara kreatif materi yang kami bahas, dan melakukan diskusi tentang berbagai topik. Di bawah bimbingannya, kami menulis esai dalam bahasa Indonesia (misalnya, “Apa yang saya ketahui tentang sastra Indonesia”, “Bagaimana saya memahami karakter orang Indonesia”) dan surat kepada teman khayalan ke Indonesia. Dan pada suatu hari beliau benar-benar membuat kami bingung dengan meminta kami mencipta sepatah kata yang tidak ada dalam bahasa Indonesia, namun menurut kaidah tata bahasa mirip pada kata-kata dalam bahasa itu. Saya ingat betul bagaimana dalam sebuah esai saya menciptakan kalimat berima “Bukan mawar, bukan tinta, //Viktor kita jatuh cinta,” yang dapat dianggap sebagai puisi pertama saya, meskipun primitif, dalam bahasa Indonesia.
Sayangnya, ternyata karena sakit, beliau berhenti mengajar kami, dan guru Indonesia baru, Sjahrul Sjarif, diutus dari Bandung untuk menggantikannya. Beliau dikenang karena dia suka mengadakan kuliah di luar kamar kelas – di musim semi dan musim gugur kami sering berjalan-jalan bersamanya di dalam Kremlin Moskow, yang saat itu dibuka untuk umum. Dengan cara ini beliau mungkin ingin mengembangkan keterampilan kami sebagai pemandu-penerjemah pariwisata. Shahrul Sharif memberi juga sumbangan besar ke dalam ilmu leksikografi karena menjadi redaktur Kamus Rusia-Indonesia (1972).
Perlu disebutkan pula guru saya yang lain yaitu Effendi. Namun sampai tahun 1978 saya mengenalnya hanya dari suaranya: semua teks dan dialog buku teks bahasa Indonesia yang kami pelajari direkamkan olehnya. Saat saya mulai belajar bahasa Indonesia, beliau sudah tidak ada di Moskow lagi, namun saya duduk berjam-jam di laboratorium bahasa dan mendengarkan teks yang dihidupkan oleh suaranya. Tetapi akhirnya kita bertemu juga pada bulan Oktober 1978 di Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta, dan pelajaran saya bersamanya berlanjut – beliau diundang mengadakan kelas mingguan bahasa Indonesia untuk diplomat kedutaan besar Soviet.
Mustafa Kemal Ataturk pernah berkata bahwa “guru yang baik seperti lilin – dia membakar dirinya sendiri untuk menerangi jalan bagi orang lain”. Begitulah tiga orang guru dari Indonesia menerangi jalan bagi saya memasuki dunia bahasa, sastra, dan budaya Indonesia, ke mana saya berkecimpung sepanjang sekuruh kehidupan kreatif saya. Terima kasih dan hormat pada mereka karena itu.