HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT IV (69B)

Karya RD. Kedum

Aku masih menyisir tebing mengejar Rully. Melihat dia dibawa makin jauh ke lembah, aku semakin cepat mengejarnya. Kusingkirkan angin yang berpusar. Tiba-tiba aku dihantam seberkas cahaya. Cahaya itu menghalangiku mengejar Rully. Aku menghindar lalu berusaha mengembalikan pukulannya. Benturan keras terjadi. Hanya saja karena siang hari, cahaya itu tidak terlalu jelas. Sejenak aku bergulat dengan pukulan-pukulan gaib tanpa melihat sosok penyerang. Kali ke dua di alam gaib, aku dihadapkan dengan yang gaib juga.

Akhirnya aku mendesak mendekati arah pukulan itu. Aku yakin, penyerang bukan makhluk biasa. Semakin dekat energinya semakin kencang. Aku berusaha untuk melawan agar tidak tumbang. Tak lama aku berada di sebuah ruang yang gelap. Aroma lembab, pengap, dan anyir, menyengat sekali. Di hadapanku sesosok ratu ular berwarna kuning keemasan. Tubuhnya sangat besar melingkar, motif batik kulitnya cantik sekali. Rambutnya panjang keemasan, bermahkota terbuat dari emas berhias permata kerlap-kerlip seperti hidup. Melihat aku berdiri di hadapannya, senyum sinisnya tersungging. Aku melihat Rully diapit dua nenek yang sudah sepuh. Wajahnya bengong seperti orang linglung. Dua nenek penjaganya sudah bongkok, memegang tongkat sebagai penyanggah tubuh mereka. Yang menarik adalah, mereka berdua memakai kain hitam sebatas dada. Rambut mereka yang sudah putih nampak semerawut. Mirip penduduk kampung asral yang kutemui di lembah dekat sungai.
“Kenapa kau menyusul kemari anak gadis. Apa ruginya memberikan kawanmu yang satu ini. Bukankah kawan kalian yang lain banyak. Izinkanlah kawanmu yang satu ini di sini. Dua tiga hari akan kami kembalikan.” Ujar salah satu nenek. Aku tidak menanggapinya. Aku mengucapkan salam pada ratu ular. Namun tidak beliau jawab. Malah dia bertanya mengapa aku kemari. Kusampaikan aku menjemput Rully kawanku yang diapit oleh dua nenek itu. Aku disambut dengan tawanya yang menggelegar.
“Kalau aku tidak mau menyerahkan pemuda itu bagaimana? Aku suka padanya,” pertanyaan ratu ular sekaligus menantangku. Aku langsung menatapnya sekaligus menampakkan wajah amarahku.
“Kalau tidak mau menyerahkan kawanku, berarti kamu berurusan denganku dan menginginkan aku menghancurkan sarangmu termasuk juga kamu!” Ancamku serius. Kubisikkan takbir berulang-ulang dari jauh ke telinga Rully untuk memulihkan kesadarannya. Kubimbing detak jantungnya terus bertakbir. Dua nenek marah bukan main. Sesekali mereka mengerang sambil menutup telinga. Mata mereka nanar seperti cahaya api. Keduanya menjentikkan jari. Aku melihat ada serbuk terbang cepat sekali menujuku. Kutangkap dengan cahaya mustika biru di telapak tanganku. Jika kukibas aku khawatir serbuk ini akan terbang liar lalu meracuni Rully yang tidak memiliki kekuatan apa-apa. Serbuk itu adalah racun terbang.

Aku langsung memasang kuda-kuda, kuubah diriku menjadi empat. Lalu kusuruh banyanganku menyelamatkan Rully melawan sepasang nenek tua yang menjaganya. Sementara aku akan menghadapi Ratu Ular.
Dalam sekejap, ruang yang dalam dan gelap istana Ratu Ular ini kubuat berguncang. Angin badai dan petir kuaduk jadi satu. Ratu Ular menyerangku dengan sambaran ekornya dan jilatan lidahnya berkali-kali. Tubuhnya meliuk-liuk. Kadang seperti melata, kadang seperti terbang. Berkali-kali jilatan api seperti hendak membakar berasal dari semburan liur Sang Ratu. Aku hentakkan selendangku untuk melawan serangannya.
“Lepaskan cambukmu Selasih.” Suara kakek Njajau mengingatkanku. Aku segera menarik cambukku lalu kulepas sesuai petunjuk kakek Njajau. Cambukku bergerak liar. Sementara selendangku terus menolak dan menyerang. Aku melihat Ratu Ular agak kewalahan menghadapi dua senjataku sekaligus. Suara ledakan berkali-kali seperti hendak meruntuhkan istana Ratu Ular. Pijar api kadang menyilaukan dari ruang istana Sang Ratu. Baru terlihat olehku, jika di balik mahkotanya ternyata Sang Ratu bertanduk.

“Hentikan berkata-kata anak manusia. Bikin panas saja!” Suara salah satu nenek serak. Rupanya setiap detak jantung Rully yang bertakbir mampu membuyarkan konsentrasi dua nenek sakti ini. Bayanganku, terus bertempur dengan dua nenek hebat itu. Tubuh keduanya seperti burung melayang ke sana kemari. Kubekali bayanganku masing-masing dengan selendang pemberian ratu ular kuning yang pernah kutolong. Pertempuran mereka pun tak kalah gencarnya. Beberapa kali suara ledakan selendang melawan pukulan sang nenek. Kadang beradu, kadang seperti bergumul. Suara dua nenek kadang berdengung mirip suara lebah. Kadang-kadang keduanya mengerutu tak jelas. Entah apa yang mereka omelkan dengan bahasa daerah.
“Yak cacam! Adau anak manusiau luak belut. Kah liut pulau.” Ujar salah satu mereka seperti kaget lalu mengatakan rupanya ada anak manusia seperti belut, sangat licin. Mereka mengatakan bayanganku seperti belut. Dalam hati aku ingin tertawa, omelan si nenek kedengaran lucu.

Hiiiiaaat!!! Aku mengubah selendangku menjadi ular lalu kuhimpun kekuatan di dalamnya untuk mengikat Ratu Ular. Dengan cepat selendangku melipat tubuh ratu ular sehingga tubuhnya seperti gulungan tikar. Sementara cambukku tetap bergerak memukul mengeluarkan suara seperti ledakan bertubi-tubi. Racun yang Ratu Ular semburkan kutampung dengan cahaya biru dari mustika di telapak tanganku.

Melihat ratunya terikat, ribuan bala tentara berupa ular berukuran kecil menyerangku serentak. Suara desis mengisi ruang istana Ratu Ular. Kuhantamkan cahaya matahari ke arah mereka. Dalam sekejap semuanya hangus terbakar. Tinggallah dua nenek yang masih bergerak gamang melihat ratu dan pasukannya kulumpuhkan.
Das!!! Kusedot energi kedua nenek sehingga tubuh mereka terhempas ke tanah. Tak lama si nenek mengerang sambil mengacung-ngacungkan tongkat. Sumpah serapah tidak jelas ke luar dari mulut mereka.
“Bagaimana Ratu? Aku bisa membunuhmu saat ini sekaligus menghancurkan kerajaanmu.” Ujarku. Sang Ratu menitikkan air mata. Kepalanya terkulai lemah.
“Aku mengaku kalah. Kau hebat cucu Adam. Jangan bunuh aku. Aku ingin bercerita padamu anak manusia?” Ujarnya. Aku menatap matanya dalam-dalam. Kucoba membaca hatinya. Makhluk seperti ini jangan mudah dipercaya. Namun aku melihat dia hendak berkata jujur. Akhirnya kukatakan silakan ingin bercerita apa.
“Sebenarnya, tubuh asliku bukan ular. Aku putri seorang raja Besisir. Aku disumpah oleh leluhurku gara-gara aku jatuh cinta dengan anak manusia. Leluhurku marah” Ujarnya sambil terisak.
“Lalu wujudmu yang asli seperti apa?” Sambungku.
“Aku sebangsa peri. Karena tidak ada yang mampu memutuskan sumpah leluhurku, aku tetap seperti ular. Tidak ada yang bisa menolongku. Dalam tapa yang sudah kulakukan ratusan tahun lamanya, aku mendapat wangsit suatu saat aku akan bertemu dengan anak manusia yang berasal dari arah matahari hidup. Di dalam dirinya menitis darah harimau. Dialah yang bisa memutuskan sumpah itu. Dan itu adalah dirimu. Sudah lama aku menunggu kehadiranmu. Berkali-kali aku mencoba menggiringmu ke mari, namun selalu gagal.” Ujarnya lagi.
“Ah! Jangan membuat cerita dongeng, Ratu. Kalau kau minta tolong padaku, tidak mungkin kau menculik temanku, lalu menyerang aku begitu dasyat mulai dari aku turun ke lembah ini” Ujarku.
“Itu karena aku ingin memastikan apakah benar sosok yang kucari itu kamu. Ternyata benar, ciri-ciri itu ada padamu. Pertama seorang perempuan muda dari golongan manusia cucu Adam, yang di dalam darahnya menitis manusia harimau, ke dua bisa mengalahkan racunku dengan mudah dengan cara menampungnya, pertanda ilmu yang dimilikinya sempurna, ke tiga bisa hidup di dua alam, alam nyata dan alam gaib dengan mudah. Semuanya ada padamu. Ciri yang ke empat, jika diizinkan aku ingin melihat telapak kaki kananmu. Di situ ada tahi lalat bawaan lahir. Dan nama perempuan cantik itu Putri Selasih. Lalu Putri Selasih pula yang akan memberikan pakaian baruku.” Ujarnya dengan wajah masih berurai air mata seperti orang yang terharu.

Aku mencerna dua ciri yang terakhir disebutnya tahi lalat dan nama. Lalu pakaian baru? Apa maksudnya? Namun aku belum juga yakin dengan ucapannya.
“Bagaimana aku bisa percaya ya? Apa yang bisa membuat aku yakin jika ceritamu itu benar? Bangsamu kan suka berbohong dan licik.” Ujarku. Akhirnya untuk meyakinkan aku, kuminta dia mengembalikan Rully dalam keadaan pulih ke rumah persinggahan pintu masuk Dusun Tinggi Sebakas. Dalam waktu sekejap, Rully dipulangkannya, kembali ke rumah singgah tempat kawan-kawanku menunggunya. Aku melihat Rully seperti bermimpi ketika tiba-tiba dirinya sudah berada di lokasi yang berbeda. Rully dicercah pertanyaan kawan-kawanku terlihat seperti bangun tidur. Dia bingung menoleh kiri dan kanan. Nafasnya nampak memburu seperti orang yang habis berlari jauh. Sementara aku masih berpikir apa lagi untuk membuktikan jika apa yang disampaikan Ratu Ular ini benar meski kulihat hatinya jujur. Sementara aku tidak punya banyak waktu.
“Selasih, bebaskanlah putri itu. Apa yang disampaikannya benar. Dia kena sumpah leluhurnya sudah ratusan tahun lamanya. Dan ratusan tahun pula dia menunggumu. Kau putuskanlah sumpah itu. Lalu gantilah pakaiannya.” Ujar Kakek Andun. Aku bingung dengan pakaian. Pakaian apa yang harus kuberikan? Aku tidak punya pakaian yang layak kuberikan pada Ratu ini.
“Selasih, yang dimaksud dengan pakaian itu keyakinanan yang dimilikinya. Syahadatkan dia.” Ujar kakek Andun. Aku kaget! Ternyata yang dimaksud pakaian itu menyuruh Ratu memeluk agama yang kuanut?
“Ratu, jika kau sudah kubebaskan, apakah engkau berkenan jika disyahadatkan? Menganut agama sebagai bentuk keyakinan? Se-agama denganku?” Ujarku. Dengan cepat beliau menjawab, justru dirinya menunggu-nunggu untuk segera diberi ‘pakaian baru’ itu.

Kutarik cambuk dan selendangku. Ratu Ular bebas dari ikatan. Lalu kusuruh beliau mandi terlebih dahulu. Beliau langsung berendam sejenak di telaga tidak jauh dari ruang pengap ini. Selanjutnya, kuajarkan beliau menyucikan diri terlebih dahulu, lalu kubimbing berwudu. Ternyata apa pun yang dilakukan Ratu Ular, diikuti oleh dua nenek tua pengawalnya. Setelah semuanya selesai, kubimbing beliau mengucapkan dua kalimah syahadat. Tiba-tiba tubuhnya berubah menjadi seorang perempuan yang cantik jelita. Kecantikannya luar biasa. Begitu juga dengan dua nenek tua pengawalnya. Tubuhnya berubah bersih dan parasnya muda kembali. Selanjutnya kuayunkan tangan, kupinjam senjata dari langit dan bumi, kebaca mantra, lalu dengan cepat kuputuskan semacam cahaya yang mengikat Ratu Ular. Tiba-tiba dari tubuh Putri Ular dan dua nenek, melesat cahaya ke langit kecepatannya melebihi kecepatan meteor. Tak lama suara ledakan seperti petir mengguncang angkasa hingga ke bumi. Lalu kututup dengan doa. Alam hening kembali. Semua ruangan pengap bau amis ular, sekarang berubah terang dan menebar bau wangi. Menyadari itu semua, Ratu Ular sujud padaku mengucapkan terimakasih berulang kali.

Aku bergerak hendak kembali ke rumah singgah di pinggang bukit. Namun Ratu Ular mencegahku sejenak. Diambilnya gelang yang melingkar di lengan kiri dan kanannya, lalu disarungkannya ke lenganku. Selanjutnya diambilnya mahkota kecil di dekat sanggulnya, lalu dipasangkannya ke kepalaku.
“Pakailah, Selasih. Ini untukmu. Jika kau membutuhkan aku, panggillah aku. Namaku Putri Badabas atau cukup kau elus mahkota ini, aku akan segera datang” Ujarnya kembali sambil sujud. Aku mengucapkan terimakasih kembali, lalu secepat kilat kembali ke jasadku di musolah. Ketika aku bangkit, Rully langsung mendekati.
“Dek, kok kamu di sini? Tadi aku melihat kamu bertempur dengan ratu ular dan dua nenek tua untuk membebaskan aku. Bahkan kamu membimbing aku mengucapkan takbir dalam hati terus menerus. Nyatanya kamu ada di sini. Lalu siapa yang sakti mirip dirimu itu tadi ya?” Rully heran dan garuk-garuk kepala. Yang lain menimpali, mungkin hantunya Dedek yang membantu. Aku tertawa mendengar candaan kawan-kawanku.

Rully kembali duduk di hadapanku. Matanya tajam menatapku. Aku paham perasaannya. Rully kembali menceritakan awal peristiwa mulai dia seperti ditarik energi lalu tiba-tiba sudah berada di sebuah ruangan, di hadapannya ada Ratu Ular bermahkota, parasnya cantik sekali tapi tubuhnya ular. Lalu dia melihat Dedek berkelahi dengan Ratu Ular untuk menyelamatkannya. Semua kawan kami dari rautnya tidak ada yang percaya cerita Rully. Sebab setahu mereka aku ada di dalam musolah. Aku hanya tersenyum melihat wajah Rully yang tetap keheranan. Berulang kali dia mengatakan serius sambil menatapku yakin. Terakhir dia bilang, masih siang begini saja mistis, apalagi malam hari? Akhirnya kukatakan, ambil saja hikmahnya, jangan kosong, tetap isi jiwa kita dengan syalawat atau zikir agar tidak ada yang mengganggu. Rully mengangguk-angguk meski aku tahu di dada dan benaknya masih memikirkan sesuatu hal yang mustahil. Antara pengalaman gaib dan pengalaman nyata berkecamuk di benaknya. Rully masih terlihat bengong seperti hidup di alam mimpi. Jangankan Rully, aku juga serasa hidup di negeri dongeng.

“Kau sudah memutuskan sumpah leluhur Ratu Ular di lembah, Selasih. Baru saja langit seperti hendak runtuh ketika kau memutuskan sumpah itu,” tiba-tiba nek Nang menghampiriku. Kusampaikan pada dasarnya aku hanya ingin menyelamatkan kawanku yang diculiknya. Ternyata malah menolongnya memutuskan sumpah setelah bertarung lebih dulu. Selanjutnya kata nek Nang, apa yang telah aku lakukan adalah jalan takdir, rahasia Allah yang tidak pernah kita ketahui. Ratusan tahun peri itu menunggumu. Bayangkan kesabarannya demi kesembuhannya. Dan karena takdir pula dia berjumpa denganmu lalu memeluk keyakinan yaitu agama. Sebelumnya dia termasuk jin fasik, tidak bertuhan.
“Berapa tahun usia Ratu itu, nek Nang. Kok ratusan tahun bertapa, dan ratusan tahun pula menunggu kehadiranku?” Tanyaku. Kata nek Nang usianya sudah dekat lima ratus tahun. Aku terbengong-bengong. Sungguh banyak sekali rahasia alam ini yang tak terbaca. Aku menatap nek Nang dengan senyum bahagia. Ternyata nek Nang tahu apa yang kulakukan barusan. Sekarang malah sebaliknya, justru sosok beliau menjadi teka-teki bagiku. Benarkah beliau hanya sekadar tinggal di seputaran rumah singgah ini? Mengapa beliau tahu kiprahku? Kalau bukan karena memiliki kemampuan, mustahil nek Nang bisa ikut menelusuri perjalananku meski di alamnya sendiri. Aku menatap punggungnya yang pelan-pelan meninggalkan musolah.

Hari sudah petang. Kalong-kalong berukuran besar mulai terbang ke arah barat. Namun meski sudah jelang magrib, di area perbukitan ini masih nampak terang. Udara semakin terasa dingin. Aku segera mengambil mantel dan memakainya. Sambil menunggu waktu magrib kami berkumpul di teras musolah, mengadakan evaluasi sekaligus mematangkan langkah-langkah yang harus kami lakukan besok. Selanjutnya Bang Wira mengingatkan agar kami senantiasa menjaga etika, baik zahir maupun batin. Malam ini beristirahat, tidak ada bakar-bakar api unggun seperti biasanya. Kawan-kawanku mengangguk-angguk memahami. Tak lama berselang waktu magrib tiba. Adi kawanku azan. Selanjutnya Ahmad salah satu team kami bertindak sebagai imam. Aku melihat beberapa makhluk asral datang ke mari untuk solat berjamaah. Termasuk nek Nang kulihat ikut berdiri menjadi makmum. Aku makin kagum pada beliau. Padahal jika dipandang dari sisi pemahaman, beliau sangat paham tentang agama. Suaranya merdu, bahasa arabnya fasih. Namun beliau memilih menjadi makmum bersama bangsa manusia.

Usai solat magrib kami kembali duduk-duduk di musolah menunggu salat isya. Kulihat Ahmad dan Rully membaca Al Qur’an yang memang tersedia di musola ini. Suara keduanya seperti bergumam moratal masing-masing. Mereka tidak menyadari jika di sekeliling mereka bebera jin muslim ikut menyimak setiap ayat yang mereka baca.
“Habis salat isya aku mau langsung tidur, Na.” Ujarku pada Ina. Tidak kuceritakan jika malam ini aku akan berkunjung ke salah satu dusun gaib di lereng bukit ini. Ina juga menjawab dirinya juga akan memilih tidur.

Ketika waktu solat isya tiba, kembali Adi azan. Ahmad juga kembali menjadi imam. Lagi-lagi aku melihat bangsa jin menjadi makmum. Nek Nang pun bertindak jadi makmum kembali. Ada enam perempuan bangsa jin berdiri di belakangku, dua orang di sampingku. Mereka juga solat. Nampaknya mereka tinggal di sekitar sini. Dalam hati aku membatin, ketika magrib tadi mereka ke mana? Mengapa tidak ikut solat berjamaah? Sementara bangsa manusia harimau tidak kulihat ikut solat di sini. Usai solat masih saja beberapa sosok duduk khusuk larut dalam zikirnya. Nampaknya dalam sekali. Terlihat dari gelombang yang ke luar dari tubuh mereka seperti cahaya berpendar-pendar dengan warna lembut dan indah. Cahaya-cahaya yang tidak mereka sadari sebenarnya adalah energi zikir mereka sendiri.

Kadang-kadang aku mengagumi keragaman milik Allah ini dengan perasaan yang tidak bisa dilukiskan. Bagaimana tidak, saat-saat tertentu aku membuka batin, semua semesta ini bertasbih. Batu, pasir, tanah, pohon, angin, awan, gunung, bukit, bahkan daun-daun kering yang jatuh, semuanya bertasbih. Belum lagi satwa-satwa, bahkan setiap kepak makhluk yang bersayap adalah tasbih. Seharusnya semua makhluk yang ada di muka bumi ini berpikir, benda yang dianggap mati saja selalu memuji kebesaran Sang Maha pencipta, sementara kita yang diberi nikmat setiap detik kerap kali lupa bersyukur. Seperti saat ini, melihat cahaya dengan warna-warna lembut dan indah ke luar dari tubuh para pezikir itu saja membuat kagumku buncah. Meski kerap kali aku melihat cahaya-cahaya yang memantul dari tubuh orang-orang soleh, tapi kadang tidak sempat memikirkan secara dalam. Kali ini aku benar-benar mengagumi kekuatan sang Maha. Cahaya-cahaya itu menjadi benteng kuat yang tak terkalahkan. Kadang bentuknya melingkar, kadang berputar, kadang seperti bola membukus tubuh pezikirnya. Masya Allah, dan getar energinya membuat jin fasik lari menjauh dengan muka merah. Mereka kepanasan dan ketakutan.

Plak!! Bahuku kena tepuk. Rupanya Ina memerhatikanku.
“Husss…jangan melamun. Pikiran kita tidak boleh kosong. Kamu dari tadi terlihat bengong, ngapain Dek. Ayo ngucap! Istighfar!” Ujarnya. Aku ikuti dengan istighfar berkali-kali. Selanjutnya kami bangkit naik ke rumah panggung bergabung dengan beberapa orang yang sama dengan kami berniat menginap di rumah singgah ini. Sementara rombongan yang mengadakan sedekah tadi, menjelang magrib sudah turun bukit. Suasana rumah singgah di perut bukit ini mulai sepi.

Aku, dan Ina langsung mencari sudut untuk berbaring. Sementara yang laki-laki sudah seperti ikan salai menyusun diri jauh di seberang kami. Sebagian lagi masih asyik ngobrol di tengah-tengah ruangan. Wakfu sudah merangkak tengah malam, tapi Ina masih juga ngajak cerita ini itu. Padahal sudah ditegur Bang Wira agar istirahat. Akhirnya mendekati tengah malam kubuat semua yang ada di sini mengantuk berat agar tidur. Sebab sebentar lagi ada nenek gunung yang akan menjemputku.

Ruangan jadi sepi. Semua yang ada di ruangan luas ini sudah tertidur pulas. Lampu petromak yang digantung nampak dikerumuni serangga-serangga hutan. Angin pebukitan makin malam semakin dingin. Di kejauhan cahaya lampu dari rumah-rumah penduduk berkedip-kedip. Suara satwa malam seperti berlomba memenuhi alam semesta. Beberapa makhluk asral melintas, seakan mengawasi kehadiranku dan kawan-kawan. Aku memagari rumah singgah dari makhluk yang hendak berbuat jahat sembari menunggu jemputan.
“Kamu dimana, nduk?” Suara Eyang Kuda. Tiba-tiba ada perasaan rindu dan terasa sudah sangat lama tidak berjumpa beliau. Kujawab aku sedang berada di Bengkulu Selatan, di bukit dusun Tinggi Sebakas. Kudengar Eyang berdehem tertawa kecil. Aku memang tidak sempat pamit dengan beliau ketika pergi.

Hawa dingin kembali terasa. Beberapa kunang-kunang berkedip-kedip menampakkan keindahannya. Lagi-lagi aku tercenung mengagumi serangga kecil yang memiliki cahayaitu. Aku senyum-senyum sendiri saat ingat ketika masih kecil seringkali ditakut-takuti jika kunang-kunang itu berasal dari kuku orang mati. Ide dari siapalah hingga jadi mitos masyarakat pada umumnya.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *