HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT V (72B)
Kami masih saling tatap. Rasa ingin tahu Melati nampak jelas di wajahnya.
“Apa yang ingin kau ketahui tentang agama, Melati?” Tanyaku serius setelah menatap wajahnya bingung ingin bertanya tapi tidak tahu mulai dari mana.
“Aku tidak kenal agama, Selasih. Berarti aku atis…artis…artis?” Ujarnya membuatku ingin tertawa.
“Ateis, Melati. Artinya tidak percaya ada Tuhan. Ateis bukan agama.” Ujarku lagi. Lalu Melati bilang kalau dia ingin memeluk salah satu agama itu bagaimana caranya? Maka dengan pelan kujelaskan. Bergantung Melati mau memeluk agama apa. Selanjutnya aku disuruhnya menyebutkan kembali nama-nama agama yang ada di negeri ini.
“Aku ingin coba agama Budha dulu.” Ujarnya. Aku tertawa mendengarnya. Kembali kujelaskan agama bukan untuk coba-coba. Tidak boleh mempermainkan agama, terus pindah-pindah. Tetapkan dulu hati kita. Pahami setiap ajarannya, baru tentukan pilihan.” lanjutku lagi. Wajah Melati makin penasaran.
“Kemana aku harus belajar untuk mengetahui setiap agama itu? Sementara di alamku aku belum pernah bertemu dengan mereka yang menganut agama yang kau maksud Selasih?” Ujarnya. Dalam hati aku mengiyakan. Benar juga, dia tinggal di lingkungan jin fasik. Sementara yang beragama biasanya tinggal di dekat-dekat rumah ibadah, atau di rumah-rumah mereka yang sekayakinan dengan mereka.
“Kau pergilah sejenak ke rumah-rumah ibadah yang kumaksud. Lalu perhatikan aktivitas manusianya, dan akfivitas bangsamu. Aku akan bantu kau dari sini.” Ujarku.
Melati setuju. Akhirnya aku bantu mengarahkannya singgah-singgah ke rumah ibadah untuk melihat aktivitas kegiatan beragama bangsa manusia dan aktivitas bangsa golongan mereka. Aku mulai mengarahkannya mulai dari masjid Jamik terlebih dahulu, Melati kuajak melihat aktivitas manusia dan di situ ada juga bangsanya. Di sana aku bertemu dengan Eyang Kuda. Melati memperhatikan gerak-gerik manusia dan bangsanya mulai dari wudu sampai salat. Dia perhatikan bagaimana gerakan salat. Kujelaskan yang memimpin solat paling depan itu namanya imam. Lalu yang diucapkan itu namanya bacaan solat. Satu hari satu malam, solat dilakukan lima kali. Setiap hendak solat berwudu dulu, maksudnya menyucikan diri. Ini namanya agama Islam. Lama Melati memperhatikan yang perempuan memakai mukena sehingga tertutup semua tubuhnya kecuali wajah.
“Kalau aku Islam aku harus pakai baju panjang itu ketika solat ya?” Tanya Melati. Aku menggangguk.
“Wajib pakai kalau perempuan, Melati. Auratnya harus tertutup, kecuali wajah. Yang mereka pakai itu namanya mukena.” Jawabku menjelaskan.
Selanjutnya Melati kuajak ke gereja Gekari Rohobot Sumber Jaya Kp. Melayu. Melati pun melihat aktivitas jemaat gereja berduyun-duyun, lalu melihat pula bangsa mereka ikut sembayang di sana. Aku beritahu gereja ini tempat jemaat Kristen, yang berdiri di depan itu pendeta. Lalu Melati mengawasi ada salib terpajang besar sekali di belakang mimbar.
Usai dari gereja Gekari Rohobot Sumber Jaya, kuajak lagi Melati ke Gereja Kristen Injil Indonesia Kebun Tebeng. Sama seperti sebelumnya, banyak manusia dan bangsanya sedang melakukan ibadah di dalamnya. Kebetulan jamaatnya sedang misa, jadi Melati melihat berbagai rangkaian ibadah yang dipimpin romo pastor. Melati bertanya ini disebut agama apa. Kusampaikan mereka saudaraku yang Katolik. Melati mengangguk-angguk ketika melihat salip tergantung di dinding dan patung bunda Maria. Melati melihat beberapa orang setengah berdiri telapak tangan menyatu diletakkan di dada, mereka tengah mengakui dosa.
Selanjutnya usai melihat Gereja Injil Indonesia Kebun Tebeng, Melati kuajak ke viara Cetiya Dharma Via di Pintu Batu. Dia pun melihat aktivitas bangsa manusia dan bangsanya beribadah. Aku pun menjelaskan jika mereka adalah umat Budha. Melati memperhatikan para biksu dengan pakaian seperti kain panjang yang di lilit saja, lalu kepalanya botak semua. Di bagian depan ada pedupaan tempat membakar gaharu. Banyak umat yang sedang khusuk ibadah.
Terakhir, kuajak dia ke Pure Santi Muara Dipa di Lingkar Barat. Sama dengan sebelumnya Melati melihat aktivitas manusia dan bangsanya melakukan ibadah di pure tersebut. Melati memperhatikan beberapa orang dan bangsanya duduk khusuk dengan tangan diangakat, di ujung jemarinya terselip bunga kamboja. Aku jelaskan mereka pemeluk Hindu.
Usai berkeliling di rumah-rumah ibadah di Bengkulu, aku dan Melati kembali ke rumahku. Kutatap wajahnya. Ada nuansa puas tersendiri nampaknya. Ini adalah pengetahuan baru baginya. Meski usianya sudah ratusan tahun, dia bilang tidak tahu-menahu jika di alam manusia dan di alamnya ada aktivitas keagamaan. Selama ini dia tidak peduli dengan masalah itu. Apalagi lingkungan golongannya, tidak sama dengan golongan yang lain meski hidup berdekatan. Aku paham maksudnya, kehidupan makhluk asral ini memang bermacam-macam, berbeda-beda golongannya. Yang seringkali berbenturan dengan bangsa manusia. itu adalah golongan yang fasik. Selanjutnya Melati bercerita, katanya tiap kali bangsa manusia berteriak-teriak membaca mantra, kaum mereka bersembunyi jauh hingga ke lubang-lubang di dasar bumi atau laut. Aku tertawa Mendengar cerita polosnya. Maksudnya suara azan dan dan bacaan solat dari toak masjid disebutnya mantra.
“Melati, makhluk asral sepertimu kami sebut jin fasik. Karena bangsa kalian selain tidak punya agama suka sekali mengganggu bangsa manusia bukan? Kadang mencelakakan, menyesatkan agar jauh dari agama, mempengaruhi pola pikir bangsa kami agar melakukan dosa, kalian ada yang bersarang di otak, hati, jantung, aliran darah manusia. Sering dipakai para dukun santet menjadi budaknya untuk mencelakakan manusia dan lain sebagainya. Mengapa kamu tidak?” Tanyaku penasaran.
“Tidak semua bangsa kami yang atis suka mengganggu manusia. Kami golongan lain. Kami tidak mau mencampuri urusan makhluk-makhluk golongan seperti yang kau sebutkan itu.” Tuturnya.
“Bukan atis, Melati. Tapi ateis. Nanti salah-salah kamu sebut artis. Beda lagi itu.” Ujarku sambil tertawa. Melati kembali mengulang-ngulang kata ateis. Selalu lidahnya terpeleset jadi ‘atis.’ Kami tertawa berdua. Susah sekali rupanya siluman ular ini menyebut ateis.
“Selasih, jadi kalau mau memeluk agama itu harus pilih salah satu ya? Tidak boleh pilih dua?” Tanyanya lagi. Lagi-lagi aku tertawa.
“Satu saja belum tentu kamu lakukan sebaik-baiknya, kok malah pilih dua. Apa sanggup melakukan ibadah dengan dua cara, baca kitab yang berbeda, menyebut nama Tuhan, menyembahnya dan cara ibadahnya pun berbeda-beda. Sudah, sekarang kamu pikirkan baik-baik. Kalau kamu yakin dengan salah satu agama yang telah kusebutkan tadi, maka datangilah rumah ibadah yang menurutmu paling pas untukmu. Temuilah bangsamu yang ada di sana, katakan jika kau mau memeluk agama mereka.” Ujarku.
Aku sengaja tidak menawarkan agamaku pada Melati seperti yang sering kulakukan pada makhluk asral sebelumnya. Pertama kasusnya berbeda, ke dua tidak ada paksaan dalam pilihan memeluk keyakinan apa pun. Termasuk juga untuk bangsa halus seperti mereka. Aku ingin Melati berpikir rasional. Biarlah dia sendiri yang memilih.
Baru saja aku hendak duduk, tiba-tiba ada sosok berkelebat menarikku. Tarik menarik terjadi. Sosok itu adalah kekuatan batin yang hendak mengambil sukmaku.
Aku langsung takbir, istighfar, bersalawat, lalu berzikir sekencang-kencangnya. Aku merasakan ribuan kekuatan gaib berusaha keras melawanku. Mereka adalah para dukun yang kawannya yang kukalahkan tempo hari. Mereka kembali dibantu pasukan jin yang kekuatannya seperti gelombang. Ternyata benar kata Datuk Sarik, mereka selalu mengintaiku.
“Huu Allah, Huu Allah, Huu Allah…” kutuntun hati dan jiwaku pasrah. Kupusatkan semua jiwa ragaku berzikir. Aku melihat makhluk-makhluk itu tidak bisa mendekati aku. Namun energinya seperti menyedotku. Melati ikut terbanting-banting mendengar zikirku. Padahal dia tidak menyerangku. Tapi Melati nampaknya paham. Akhirnya dia sedikit menyingkir.
Melihat banyak makhluk datang menyerang hendak mengambil sukmaku, meski dirinya terbanting-banting, Melati bangkit lagi, lalu balik menyerang pasukan para dukun. Perkelahian Melati dan para pasukan dukun terjadi. Aku melihat keseriusan Melati dalam bertempur. Dia berusaha keras melindungiku. Aku kaget Melati rela menjadi tameng demi aku. Akhirnya aku tidak sabar. Aku takut Melati cidera. Aku bangkit, kukeluarkan pukulan-pukulan mematikan sembari tetap melindungi diri agar sukmaku tidak disandera mereka. Namun kekuatan dukun dan ribuan pasukan yang mereka kirim bukan pasukan jin biasa. Mereka adalah jin api yang memiliki kekuatan dasyat luar biasa. Beberapa kali aku nyaris terseret. Melihat aku dikeroyok ribuan pasukan, Melati ngamuk, hilang wajah cantik dan lembutnya. Ternyata Melati sangat ganas. Ratusan anak buahnya datang membantu. Dalam sekejab, dua kelompok beradu sengit. Aku melihat sekitar rumahku menjadi arena perang. Tubuh Melati berubah menjadi besar. Dia keluarkan ajian-ajian pamungkasnya. Ternyata Melati memiliki ilmu yang tinggi juga.
Tiba-tiba aku kembali merasakan ada hawa panas seperti menarik sesuatu dari ragaku. Aku kembali bertahan. Sambil mengirimkan pukulan aku berusaha untuk tidak mengikuti daya yang menarikku. Aku tetap bertahan agar tidak terbawa.
Duar!! Duar!!! Aku terkejut mendengar suara benturan sangat keras. Percikkan api di mana-mana. Dalam waktu bersamaan aku melihat kakek Andun dan Eyang Kuda sudah di tengah arena pertempuran menyerang kekuatan yang hendak menyeretku. Jin api digulung eyang Kuda seperti bola lalu di hantamkannya sambil menarik energinya. Pelan-pelan cahaya jin api kian kecil dan redup. Sementara kakek Andun masih bertempur dengan batara karang. Melihat batara karang makin banyak yang datang menyerang kakek Andun, eyang Kuda mengeluarkan senjatanya berupa cemeti berwarna emas. Sementara kakek Andun sudah menggeram seperti harimau lapar. Kakek Andun mengeluarkan ilmu pamungkasnya. Seingatku baru dua kali ini aku melihat kakek Andun menggeluarkan ilmu harimau ini.
Dum!..Dum!! Gerakkan kaki kakek Andun mengeluarkan suara berat membuat bumi bergetar. Kakek Andun sudah siap melakukan serangan. Setiap gerakkannya mengeluarkan suara deru angin. Kakek Andun mengaum. Energi yang dikeluarkan luar biasa dasyatnya tidak saja membuat tubuh lawan terjungkal, namun ada juga yang lebur.
Cetar!!! Eyang Kuda mengayunkan cemetinya. Sekali hentakan, bumi langsung bergetar. Tak lama seperti desingan suling cemeti berkelebat menyerang batara karang. Aku tidak bisa lagi melihat tubuh kakek Andun dan eyang Kuda. Baru kali ini aku melihat pertempuran begitu dasyat dari orang-orang hebat ini.
Dusss!! Cemeti eyang Kuda mengikat beberapa jenglot, lalu memutarnya dengan ajian mengunci. Sementara Kakek Andun berhasil mencabik-cabik tubuh jenglot lalu setiap cabikan di mantrainya agar tidak bisa menyatu lagi. Selain batara karang tidak bisa mati, rupanya makhluk ini memiliki ilmu rawa rontek. Lalu makhluk-makhluk itu mereka satukan kemudian dengan cepat kakek Andun dan eyang Kuda mengikat semuanya, melumpuhkannya. Ada tujuh sosok jeglot dikurung kakek Andun dan eyang Kuda.
Tak lama kakek Andun dan eyang Kuda duduk berdua. Sebelah tangan mereka terangkat ke atas. Kekuatan api dari matahari berkumpul di tangan kakek Andun. Demikian juga eyang Kuda kekuatan api pun ada di telapak tangannya. Lalu keduanya mengarahkannya ke jenglot yang telah mereka lumpuhkan, selanjutnya mereka bakar. Dalam sekejap aku melihat dua bara mengumpul jadi satu. Dari kakek Andun api berwarna biru, sedangkan eyang Kuda berwarna merah. Jenglot mereka musnakan bersama-sama meski nampaknya sangat alot sekali. Sebab masing-masing jenglot memiliki energi yang super dasyat.
Aku segera duduk simpuh, aku terus berzikir. Mengalirkan beberapa energi zikir ke aliran darah lalu membaginya ke seluruh penjuru tubuh. Hawa hangat mulai mengalir. Aku kembali merasakan nyaman setelah energi yang terkuras seakan teresodot oleh para batara karang. Kulihat Melati berdiri agak jauh menatap aku, kakek Andun dan Eyang Kuda. Dia tidak tahan dengan energiku menurutmu sangat panas.
“Ke mari Melati. Kau hebat sekali. Terimakasih sudah membantu.” Ujarku mengajaknya mendekat. Dia melangkah agak ragu-ragu. Aku tahu, dia tidak berani mendekat ketika aku masih bezikir.
“Kalian juga hebat. Tempo hari aku juga melihat batara karang berkelahi hebat dengan orang tua itu.” Ujar Melati menunjuk Eyang Kuda. Aku mengiyakan. Dua kali beliau membantuku melawan jenglot para dukun.
“Bagaimana caranya supaya aku tidak kepanasan dekatmu, Selasih. Dua kekek itu juga sama panasnya.” Ujar Melati lagi. Kujelaskan jika dua kakek itu adalah ahli zikir. Zikir itu salah satu ibadah bagi muslim untuk mendekatkan diri pada sang Maha Pencipta. Tuhan yang mereka sembah. Efeks zikirlah yang membuat makhluk bangsa jin fasik tidak berani mendekat karena terasa panas. Melati tercenung.
“Seandainya aku memeluk agama Islam, apakah aku masih akan kepanasan?” Tanyanya lagi. Kujawab tidak. Kembali melati diam. Nampaknya dia tengah berpikir. Tiba-tiba tangannya diayunkannya ke atas, lalu seperti menarik sesuatu. Dalam hitungan detik di hadapanku berdiri lima sosok lelaki. Aku heran, apa maksudnya Melati menarik orang-orang ini. Mereka adalah bangsa jin berwujud manusia. Bentuk aslinya macam-macam.
“Aku ingin melihat, bagaimana reaksi mereka, ketika kau bacakan matra agamamu, Selasih.” Ujar Melati.
“Astaghfirullah adziim Melati, Yaa Allah…” Tiba-tiba empat di antara mereka menjerit marah. Aku kaget bukan main. Aku lupa, padahal aku mengucapkannya spontan saja.
“Jangan kau ucapkan lagi kata-kata itu. Bikin kami merasa terbakar!” Ujar salah satu mereka. Aku terbengong menatap Melati.
“Aku kaget melihat Melati membawa kalian, aku memohon ampun pada Tuhanku, lalu aku sebut nama Tuhanku sebagai ungkapan rasa kagumku. Apa itu salah? Bangsa kami, umat kami memang setiap saat jika kaget, jika bersyukur, jika sedih, dan lain sebagainya selalu menyebut nama Tuhan kami. Baru menyebut namanya saja efeknya sudah begini dasyat bukan? Apalagi jika kami solat, membaca doa, dan membaca ayat demi ayat kitab kami.” Ujarku pada Melati dan lima lelaki di hadapanku. Hanya satu di antara lima lelaki ini yang tersenyum sambil mengangguk-angguk padaku. Dia tidak mengalami efeks apa-apa. Melati bertambah heran.
“Darimana kau ambil lelaki itu, Melati?” Ujarku. Melati mendekat ke telingaku, lalu berbisik dia ambil dari salah satu rumah ibadah di Bengkulu ini. Aku mengangguk sambil menatapnya. Kakek Andun dan eyang Kuda ternyata memperhatikan kami. Beliau mengamati kami tanpa bicara. Aku minta izin pada Melati untuk menyalami kakek dan Eyang terlebih dahulu.
Aku disambut Kakek Andun dengan pelukan. Seperti biasa tiap kali bertemu pasti beliau mencium ubun-ubunku.
“Alhamdulilah, untung ada Eyangmu. Kalau tidak, entah bagaimana nasib kakek” Ujar kakek Andun. Aku melanjutkan mencium tangan eyang Kuda. Eyang Kuda tersenyum ringan mendengar pujian kakek Andun.
“Justru Eyang yang berterima dengan kakekmu. Mana akan sanggup Eyang melawan batara karang sendiri.” Aku tersenyum melihat mereka berebut saling merendah diri. Mereka orang-orang hebat. Tidak angkuh meski aku tahu mereka memiliki kemampuan luar biasa. Ini pulalah yang selalu diajarkan oleh nek Kam dan mereka padaku sejak dulu. Kami bertiga akhirnya kembali mendekat pada Melati dan lima lelaki yang disanderanya.
“Coba Selasih, bacaan apa lagi yang membuat mereka panas? Coba ayat-ayat kitab sucimu. Yang seperti apa itu? Terus yang dibaca oleh orang yang pakai baju tertutup semua itu apa namanya?” Susah sekali Melati menjelaskannya. Lalu aku jelaskan, tata cara umat muslim salat, perempuan memakai mukena. Mereka berdiri tegak mengucapkan bacaan solat. Lagi-lagi Melati memaksaku meminta aku menyebutkan bacaan solat. Aku menatap lelaki yang dari tadi berdiri senyum-senyum. Kuucapkan salam padanya. Lalu dijawabnya. Kuminta dia azan. Lalu dengan sedikit serak dia pun azan. Baru mendengar Allahu Akbar, Melati dan yang lainnya menjerit-jerit menyuruh berhenti.
“Itu namanya azan, panggilan untuk melaksanakan Solat, Melati. Belum solat, belum berzikir, belum syalawat, dan lain-lain.” Ujarku. Melati dan makhluk yang ditawanannya ngos-ngosan. Kakek Andun dan eyang Kuda saling pandang. Mereka betah berlama-lama memperhatikan perdebatan kami. Melati pakai acara mengundang makhluk lain untuk membuktikan kekuatan dzat sumber kehidupan.
“Baik, aku sudah tetapkan untuk ikut keyakinanmu, Selasih. Bagaimana caranya?” Ujarnya. Aku memandang Kakek Andun dan Eyang Kuda. Keduanya mengangguk.
“Mandikan dan wuduhkan, Selasih.” Ujar kakek Andun. Aku segera melaksanakannya secepat mungkin, lalu kuajarkan Melati menyucikan diri terlebih dahulu, tanpa paksaan, pasrah, dan ikhlas. Tak lama, kuhadapkan kembali Melati pada kakek Andun dan eyang Kuda.
“Tunggu, aku akan panggil semua pengikutku terlebih dahulu.” Ujarnya. Tak lama, ribuan pasukannya ditarik Melati dan berkumpul di belakangnya. Lalu Melati memerintahkan mereka untuk bersyahadat bersamannya.
Kakek Andun mensyahadatkannya disaksikan eyang Kuda. Usai mereka bersyahadat, aku sujud syukur saking terharu. Melihat kesungguhan Melati, bahagia karena dia mendapatkan hidayah secepat itu, membuatku tak mampu menahan mata yang berkas-kaca.
“Melati, bagaimana dengan lima sosok yang kau culik ini?” Ujarku. Melati kaget, dia baru ingat. Ketika dia baru bergerak hendak mengembalikan ke limanya, salah satu mereka berteriak.
“Tunggu! Aku juga mau disyahadatkan” Ujarnya. Demikian juga tiga sosok lainnya. Kekek Andun menasehati mereka agar jangan. ikut-ikutan, tapi pikirkan lagi matang-matang. Sebab, keyakinan bukan mainanan. Mereka ngotot minta di syahadatkan ingin menyembah Tuhan yang sebenarnya.
Mendengar permintaan dan kesungguhan mereka akhirnya mereka dibebaskan dari kuncian Melati, selanjutnya kakek Andun kembali mensyahadatkan mereka. Usai bersyahadat, eyang Kuda memberikan nasehat sebagai bekal pemula pada mereka. Tak sedikit pasukan Melati yang menitikan air mata mendengar tausia singkat eyang Kuda tentang rahmat, dan hikma hidayah. Aku melihat wajah-wajah mereka lebih cerah dan bersinar dibandingkan sebelumnya. Sekarang mereka telah memiliki keyakinan sebagai hamba, sebagai makhluk hidup.
“Kakek dan Eyang, aku akan membangun istana kerjaan yang Islami. Mohon bimbingannya,” Melati menunduk. Kakek dan Eyang tersenyum lebar. Selanjutnya eyang Kuda siap mengutus seseorang untuk mengajari Melati dan rakyatnya.
“Kami tinggal di mana, Kakek, Eyang” Ujar empat orang lagi. “Kalian ikut aku, ke masjid Jamik. Itu bersama Abdullah. Nama kalian tidak usah diubah ya, tapi kalau mau tambahkan Muhammad silakan. Dan Melati boleh kamu tambahkan Siti di depan namamu.” Lanjut eyang Kuda lagi. Mereka serentak menyebut nama masing-masing dengan Muhammad di depannya.
Aku merasakan langit dan bumi begitu teduh seakan ikut mendoakan makhluk-makhluk yang sejatinya menerima kebesaran sang Maha yang telah menciptakan bumi dan langit beserta isinya. Pun malaikat turut mendoakan siapa pun yang berniat baik karena Allah. Zikir di batin kakek Andun dan Eyang Kuda terdengar semakin kencang. Keduanya tak henti bermunajat melihat kebesaran sang Maha lewat hamba-hamba yang dikehendakki-Nya.
Baru saja kakek Andun dan eyang Kuda hendak bergerak pulang, entah datang dari mana jutaan pasukan datang dipimpin sosok hitam legam, besar tinggi dan sosok leak. Mereka langsung melakukan penyerangan mendadak. Kakek Andun dan eyang Kuda kembali bertepur. Aku juga turun ke arena pertempuran. Aku belum tahu apa motif penyerangan mendadak ini. Di antara pasukan yang datang ada yang hendak menerkam para mualaf. Dengan sigap kulindungi mereka. Aku melakukan perlawanan sembari tetap menjaga mereka.
“Siapa mereka?” Tanyaku pada salah satu mualaf itu
“Mereka pasukan dari pantai Utara. Mereka marah nampaknya. Mungkin di antara kita ada yang dikenalnya.” Ujarnya. Oh, rupanya mereka marah karena ada kelompoknnya mendapat hidayah. Mereka tidak suka.
Tak lama kulihat kekek Andun telah berhasil melumpuhkan leak. Leak menggeram minta ampun dan mengatakan menyerah. Kakek Andun menguncinya hingga dia tidak bisa bergerak. Kekek melanjutkan melumpuhkan pasukan-pasukan yang datang seperti gelombang bersama eyang Kuda dan Melati.
“Kita lumpuhkan saja mereka, Siti. Jangan di bunuh.” Ujar eyang Kuda menyapa Melati. Kulihat Melati tersenyum senang disapa ‘Siti.’ Senyumnya mengembang bahagia. Sementara aku ingin tertawa. Ada rasa lucu mendengar Melati dipanggil Siti. Dia pun ikut-ikutan setiap bergerak selalu takbir, hantamanya pun diiringinya dengan takbir. Dorongan tenaga dalamnya tidak seberapa, namun dia merasakan kekuatan pukulannya luar biasa. Aku melihat wajahnya kaget sendiri. Baru tahu dia jika di balik takbir itu ada energi dasyat mengiringinya tanpa kita sadari.
Melihat masih saja banyak pasukan yang datang menyerbu, anak buah Melati mengamuk sambil ikut-ikutan takbir menirukan eyang Kuda dan kakek Andun. Akhirnya bukan suara teriakan, jeritan, erangan yang ke luar saat sedang berhadapan dan saling melumpuhkan. Tapi gema takbir pasukan Melati. Para penyerang semakin tidak bisa menjangkau wilayah kami. Akhirnya sosok genderowo pun dilumpuhkan Eyang. Barulah Melati mengintrogasi mereka.
“Mengapa kau menyerang kemari Baka?” Ternyata genderowo itu kenal dengan Melati.
“Aku tidak suka kau memeluk kepercayaan manusia harimau itu. Kita tidak bisa bersatu.” Ujarnya marah. Akhirnya perdebatan terjadi, Melati ngotot, lalu mengatakan bahwa dirinya punya hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Jika Baka ingin bersatu dengannya maka dia harus memeluk agama yang baru saja ia yakini. Baka meludah marah.
“Tidak akan pernah! Aku tidak akan mengikutimu perempuan ular. Cukup sampai di sini saja pertemuan kita. Selanjutnya, kau dan pasukanmu adalah musuhku!” Ancamnya. Lalu dia menatap pada kakek Andun, eyang Kuda, terakhir padaku.
“Lagi-lagi kau biang kerusuhan di mana-mana. Kau lagi otak kehancuran bangsa kami. Tak bosan-bosannya kau mengubek-ubek kehidupan kami!” Ujarnya padaku. Aku mengerutkan kening. Apa maksudnya aku biang kerok kerusakan di alamnya?
“Aku tidak pernah kenal kamu”
“Memang kamu tidak kenal aku. Tapi aku sering melihatmu melenyapkan, merusak, membunuh, bangsa kami,” lanjutnya lagi. Baru aku sadar, mungkin maksudnya adalah jin-jin fasik yang kumusnakan itu.
“Oh! Pasti golonganmu yang suka mencampuri urusan manusia. Tentu saja aku tidak akan diam. Akan kucari pengganggu itu sampai ke lubang semut sekali pun. Akan kumusnakan agar bangsaku tidak kalian ganggu dan sesatkan.” Lanjutku lagi.
Dia terdiam. Tubuhnya tak bisa digerakkan. Berkali-kali dia berusaha melepaskan mantra kakek Andun dan Eyang Kuda namun selalu gagal.
“Dengar, sekarang kau dan anak buahmu dalam keadaan tidak berdaya. Aku bisa membunuhmu, bahkan memusnakanmu” Ancamku. Soal ancam mengancam ini memang urusanku, manusia. Agar mereka fokus padaku mesti yang lain ikut membantu meringkusnya. Sebab aku tidak ingin ada perang saudara, sehingga muncul dendam sesama mereka. Permusuhan padaku kadang memang harus kuciptakan untuk mengalihkan hal itu.
Mendengar ancamanku, Genderowo terdiam. Dia menatap anak buahnya yang terkapar. Leak yang membantunya pun ikut tak berdaya. Mengerang kesakitan dari tadi.
“Baiklah aku mengaku kalah, aku akan tunduk dan ikut padamu.” Ujarnya dengan mata berair. Selanjutnya kukatakan, aku tidak menghendaki siapa pun untuk tunduk padaku. Aku akan bebaskan dirinya, silakan kembali dengan kehidupannya seperti biasa. Jika mereka mengganggu manusia, atau berbagai macam hal yang ada kaitannya denganku, maka aku tidak akan tinggal diam, Ujarku. Akhirnya dia sepakat tidak akan mengusik manusia, dan tidak akan ikut campur segala macam urusanku. Dia, leak, dan anak buahnya kubebaskan. Kemudian kusuruh mereka pergi. Dalam sekejap mereka hilang dari pandangan kami.
Untuk ke dua kalinya kakek Andun dan eyang Kuda mohon diri. Aku berharap tidak ada lagi hal-hal aneh yang menghalangi mereka. Aku memeluk kakek Andun manja. Eyang kuda juga mencium kening dan menepuk-nepuk pundakku. Usai keduanya lenyap, giliran Melati minta izin.
“Silakan Siti, sampai ketemu lagi. Kapan-kapan aku akan main ke istanamu. Kita kan bertetangga, bisalah saling kunjungi” Ujarku. Melati tersenyum lebar dan sujud ketika kupanggil Siti. Demikian juga anak buahnya. Tak lama mereka pun lenyap dari pandangan.
“Dedek, Dedek! Ngapain malam-malam di luar? Tidur di dalam. Waktu baru pukul setengah empat, masih lama subuh.” Tiba-tiba Bapak membangunkan aku yang duduk dengan mata terpejam di luar teras. Aku lupa jika jasadku berada di luar rumah. Aku juga tidak memecah diri. Aku buru-buru masuk menghindari pertanyaan Bapak. Masuk kamar menguncinya sambil memandang permata pemberian Melati. Permata putih bergaris-garis hitam, halus sekali. Aku fokus sejenak, lalu kusimpan permata itu di telapak tangan kiriku. Aku merebahkan badan di lantai. Tubuhku terasa penat. Program komunitas pecinta alamku masih terletak di lantai. Belum selesai kubaca. Di ruang tamu, suara Bapak seperti bergumam tidak jelas. Beliau tengah membaca kirab suci sambil menunggu waktu salat subuh.
“Uuuuaaahh! Auzdubiillahiminasyaitonirrojiim… “
Bersambung…