Umroh Sekeluarga Dari Perancis, MasyaAllah Nikmatnya (Bagian II)

Di airport Marseille, kami bertemu dengan para jamaah umroh lainnya yang berasal dari kota-kota di Perancis Selatan. Salah satunya membawa perlengkapan kami berupa dokumen penting dan surat-surat lainnya. Rupanya jamaah umroh yang jumlahnya sekitar 70 orang terbang dari beberapa airport namun kami semua dari satu travel disatukan nantinya di Madinah. Penerbangan kami adalah langsung menuju kota di mana makam Nabi Muhammad SAW, berada.

Dari Marseille ada tiga keluarga yang berangkat. Kami berempat dan dua pasangan suami istri usia lanjut ditemani oleh menantu prianya. Saat berada dalam pesawat, kegaduhan kecil terjadi, rupanya pasangan suami istri yang akan berangkat bersama kami, duduk terpisah. Sang istri cemas, dia tidak pernah naik pesawat. Kamipun duduk tidak bersama-sama berempat. Saya dengan si kecil dan suami dengan sulung. Bisa dimengerti bagi yang tak pernah naik pesawat, cemas berada awang-awang.

Sayang penumpang lain tidak ada yang berempati. Dan pramugari tidak begitu bisa diajak bekerjasama. Biarpun kami tidak bersama duduk, namun kami berada dalam satu barisan. Suami saya sangat iba melihat situasi ini apalagi pramugari mulai sedikit membentak pasangan tersebut, karena sang suami meminta kepada penumpang lain agar mereka berdua bisa duduk bersama.

Jadilah suami saya yang selalu saya panggil dengan sebutan Akang, rembukan dengan. Dia ingin memberikan tempat duduknya dan anak sulung kami agar pasangan tersebut bisa duduk berdampingan. Saya yang mulai merasa cemas, karena berarti sulung sendiri. Tapi setelah dipikir dia bukan anak-anak lagi karena sudah berusia 17 tahun. Dan pertukaran tempat duduk akhirnya terjadi. Suami jauh duduk di depan, begitu pula dengan sulung Adam, berada di belakang. Beribu-beribu terimakasih mereka panjatkan karena bantuan ini. 

Perjalanan tidaklah terlalu lama, Marseille – Istanbul (transit) hanya 3 jam 15 menit. Menunggu di Istanbulnya yang lama, harus sabar sekali. Kita diberi voucher makan malam gratis di sini untuk beberapa tempat.

Tengah malam, kami melanjutkan perjalanan ke Madinah. Sebelumnya, petugas chek in bandara di Marseille, sudah berpesan, bahwa Istanbul – Madinah sangat penuh, jadi tempat duduk kami akan terpisah. Benar, kami berempat duduk berjauhan. Saya, suami dan anak-anak tidak satupun ada yang duduk berdampingan. Satu pesawat rupanya isinya adalah para jamaah umroh, merekapun sama, saling mencoba untuk dapat duduk bersebelahan dengan pasangan atau keluarga. Keributan sana sini mulai terdengar, kali ini para crew awak pesawat sangat sabar melayani permintaan dari penumpang. Sedih sekali berpisah cukup lama nantinya selama perjalanan dengan anak dan suami.

Entah karena perbuatan tadi yang kami lakukan di pesawat atau memang rezeki, tapi saya yakin ini sudah diatur, beberapa penumpang muda menawari kami agar duduk berdekatan, mereka yang sibuk sesama mengatur tempat mereka agar saya bisa dengan bungsu berdampingan dan suami dengan sulung. Dan agar kami tidak terpisah terlalu jauh. Mereka begitu tak segan, malah mereka yang menawarkan, dan mengatur sesama mereka, padahal mereka pun tidak saling mengenal. Rela mereka bertukar tempat duduknya. Alhamdulillah, Maha Besar Allah. Dan kami memanjatkan puji syukur juga berterimakasih, semoga kebaikan mereka dibalas segera oleh Allah SWT.

Perjalanan dalam pesawat dimulai dengan doa khusus untuk menempuh beribadah, dilakukan secara bersama karena disetiap layar kursi dan layar besar, panjatan doa ditayangkan. Saya menghela napas, beda sekali memang umroh priadi yang pernah kenal dulu saya lakukan, dengan travel rupanya seperti ini. Lebih khusyuk rasanya.

Kami pergi tanpa adanya pembimbing, rupanya seorang pembimbing ada yang ikut namun dari kota lain yaitu Lyon. Pembimbing lainnya menunggu di Madinah. Perjalanan berlangsung dengan lancar, ketika akan mendarat mendekati Madinah kembali doa-doa ditayangkan di layar.

Oh ala ketika sampai di Madinah, kaget luar biasa melihat antrian yang sangat panjang. Dua jam kami mengantri untuk bisa keluar dari imigrasi bandara, badan sudah sangat lelah. Namun, ketika  melangkah ke luar dari Bandara, suara yang selama ini selalu terdengar di telinga membuat diri ini kerap gundah dan memaksa untuk menjalani ibadah ini terdengar! Suara azan, yang tak berhenti saya tanyakan kepada orang dan membuat yang orang dipertanyakan kebingungan.

Saya menangis, tetesan air mata pertama yang keluar. Selama ini, selama berpuluh hari, diliputi kebingungan, kenapa hanya telinga ini yang mendengar azan? Hingga sempat berpikir apakah ada yang salah di otak ini? Dan rupanya, azan ini. Saya tidak tahu siapa yang berazan saat itu. Dan tak pernah tahu. Hanya suara panggilannya yang sangat khas di telinga ini, membuat jiwa ini luruh. Ya Allah, inikah yang kau maksud? Aku datang, disambut oleh suara yang selalu menarik hati ini, agar keinginan kembali ke rumahMu terlaksana.

Suami dan anak-anak mulai bertanya “mamah, ca va? baik-baik aja? kenapa nangis? sakit?” Hanya kepada suami aku menceritakan suara azan misteri ini sambil kami berempat menuju masjid bandara untuk shalat subuh.

Di Bandara para pembimbing kami sudah menunggu. Ada empat pembimbing. Dua pembimbing untuk dua kelompok dari paket confort dan dua lainnya untuk paket ekonomi. Hotel kami berada tepat di depan Masjid Al Nabawi. Hanya menyeberang, sudah sampai. Ini benar-benar sebuah keberuntungan, karena dari subuh hingga isya, bahkan bertahajudpun kami dengan nikmatnya bisa melakukan di Masjid yang dibangun oleh Nabi Muhammad.

Salah satu yang membuat kami juga merasa senang berada di sini adalah karena adanya rumah makan indonesia. Dari mulai bakso, nasi rames dan masih banyak makanan indonesia lainnya bisa kami nikmati. Berada tidak jauh dari Masjid Nabawi, dengan jalan kaki dari pintu gerbang 16 hanya 5 menit. Yang enaknya lagi adalah, makanan lainnya dari Arab atau Marokopun ada. Pelayan sangat ramah.

Udara di Madinah bulan Desember juga sangat ideal untuk umroh. Kami tidak berbelanja banyak layaknya jemaah lain. Tapi namanya wanita pastilah oleh-oleh dari kota di mana Nabi Muhammad hijrah dari Mekkah, rasanya kurang afdol. Maka, sajadah asli buatan kota ini dan kurma khas kota ini tak luput dari acara belanja saya.

Di sini mungkin ada yang harus saya sampaikan. Mungkin ada yang lebih menyukai bila pembimbing selalu bersama kita, memimpin doa dan segala ibadah. Tapi pembimbing kami selama di Madinah, kami bertemu hanya saat sarapan pagi, dan antara Dzuhur dan Ashar, biasanya akan diadakan pertemuan. Di sini pembimbing akan menerangkan proses umroh, bagaimana tata cara dan masih banyak lainnya. Ini masalah pribadi juga, cocok-cocokan. Hanya bagi saya yang menikah dengan mualaf, dan saya sendiri pribadi masih belajar dan terus belajar soal agama, serta anak-anak kami, cara ini lebih fleksibel. Lebih santai. Tidak ada saklek istilahnya dalam beribadah. Masing-masing datang dengan keinginan dan tujuan pribadi untuk menjalankan umroh. Pembimbing beberapa kali menegaskan, mereka akan memimpin doa yang wajib dipanjatkan saat ibadah umroh nanti, selebihnya setiap individu, bebas berdoa. Dengan bahasa masing-masing.

Ini sangat memudahkan bagi suami dan anak-anak kami. Mereka terbiasa berdoa dalam bahasa perancis. Tidak ada antar jemaah yang saling menghakimi, tingkat dari keimanan seseorang. Suami saya masih belum lancar membaca Al Quran, bungsu apalagi. Tapi dengan tenang pembimbing menerangkan bagaimana keindahan, kebesaran, keluasan Allah dalam melihat setiap umatNya.

Begitu pula, ketika banyak yang memaksa akan melakukan ini, itu. Hingga terdesak, terhimpit, seperti melihat makam Nabi, mendaki gua Hiro, Kewajiban shalat di Uhud. Pembimbing kami selalu menekankan, jangan pernah memaksa, malah biarkan kesempatan atau tempat jika memungkinkan bagi yang lebih ingin. Mereka selalu mengingatkan jaga kesehatan, jaga diri, jangan sampai ketika justru saatnya keberangkatan dan penunaian ibadah umroh, gagal karena kita terbentur masalah kesehatan dan lainnya.

Jemaah yang ikut dari travel kami rata-rata adalah asli bangsa dari Maroko, Aljajair, Senegal dan Tunisia. Bahasa pengantar yang digunakan adalah perancis. Mualaf saat itu adalah, suami saya dan seorang pria muda, yang masuk islam dua tahun yang lalu. Dan satu keluarga, di mana ibu dari anak-anak itu yang menjadi mualaf saat menikahi dengan suaminya, kemudian anak-anaknya ia didik dengan cara islam. Suaminya telah tiada, ia berangkat dengan kedua anaknya. Ia berhijab begitu pula dengan putrinya.

Saya sebenarnya masih belum berhijab saat itu. Jilbab yang saya kenakan adalah untuk pertama kalinya demi perjalanan umroh ini.

Selama di Madinah, bungsu Bazile, tak berhenti mendapatkan kado. Setiap kali dia keluar hotel menuju masjid, selalu saja ada orang yang memberinya, makanan hingga barang-barang. Bahkan di toko perhiaspun dia mendapatkan cincin. Ini membuat kami tertawa, karena dia merasa dirinya sangat beruntung…bahkan ia berkata, sesuai ya dengan nama saya Bazile, Raja Bazile, Raja Perancis! Jadi banyak yang kasih saya hadiah…ucapannya membuat kami terbahak. Tapi kami syukuri karena sejak kedatangan kami di Madinah, ia sangat menikmati setiap harinya. Bahkan semangatnya untuk selalu shalat di masjid membuat saya kerap meneteskan air mata.

Entah sudah berapa banyak tetesan air mata yang keluar dari kedua bola mata ini. Saat shalat, saat azan, bahkan ketika usai shalat di mana saya terpisah dengan anak dan suami, lalu saya melihat mereka telah menunggu di tempat yang kami janjikan, melihat mereka bertiga, saya selalu haru, tak dapat menahan kebahagiaan.

Tempat pertemuan dalam halaman masjid Al Nabawi itu, kami namakan pertemuan cinta. Karena di situlah saya melihat bagaimana para pria menunggu, istri, ibu, anak wanita mereka keluar usai shalat lalu berjalan bersama. Dan selama beberapa hari, hal itu selalu menjadi sesuatu yang membuat dada ini diliputi kebahagiaan, melihat enam mata mencari dan kemudian tersenyum saat melihat yang dinanti datang, enam pandangan yang membuat saya meneteskan selalu air mata, suami dan dua buah hati.

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *