Umroh Sekeluarga Dari Perancis MasyaAllah Nikmatnya (Tamat)

Sejauh ini segala sesuatunya berjalan lancar. Ada hal yang membuat saya berkesan selama di Madinah yaitu, setiap malam, ketika anak-anak sudah istirahat, saya dan suami pergi keluar berdua ke mesjid. Berhubung mesjid tinggal menyeberang, jadi beberapa langkahpun sudah tiba. Biasanya kami gunakan untuk shalat mesjid, lalu kami berjalan berdua keliling mesjid. Jalan-jalan santai saja layaknya orang pacaran. Ternyata, banyak juga pasangan yang memiliki ide yang sama. Jalan-jalan santai sekitar mesjid, romantis? Bangetlah!

Hanya malam satu hari sebelum kepergian kami ke Mekkah, suami kena hawa dingin. Dan saya, yang mendapat cobaan sebulan sebelum keberangkatan dinyatakan mengidap kista besar (lebih besar dari bola tenis), hingga membuat saya mengalami pendarahan lama, dan berhenti hanya menjelang dua hari keberangkatan ke Madinah, dan satu hari sebelumnya itu, Akang jatuh sakit! Badannya menggigil. Dan saya tiba-tiba mulai mengalami pendarahan. Kami berdua pasrah. Soal panik tidak usah ditanya, tapi berakhir dengan pasrah. Jauh dari negara tinggal. Hanya kami sekeluarga, meminta dokterpun saat itu agak runyam.

Saya sudah sedih, karena pendarahan mulai lagi, tapi memikirkan suami yang menggigil sampai tak tega melihatnya, saya sampai tak ubris lagi soal kista ini. Air zamzam terus dan terus saya minum, minta pengobatan dari sang Penyembuh. Saya pasrah. Suami dengan badan menggigil malah bercanda terus. Dia hanya ingin menenangkan istri dan anak-anaknya. Wajahnya jadi sangat merah, karena suhu badannya yang tinggi. Saya sarankan agar umroh bisa dilakukan tidak usah esok. Pembimbing juga menyatakan hal yang sama. Bisa pergi tetap ke Mekkah, namun ibadah dijalankan nanti setelah badan sehat. Tapi suami bersikeras, dia ingin umroh sesuai jadwal yang ditentukan. Pembimbing kami saling berdoa untuk kami.

Baju ikhrom sudah digunakan oleh suami dan anak-anak. Haru saya makin berlipat-lipat. Ini adalah impian indah bagi saya yang menjadi kenyataan. Tapi saya miris melihat kondisi suami, yang masih panas. Wajahnya masih merah, tapi dia senyum terus, berulang berkata “ça va, je vais bien ne vous inquiétez pas”. Begitu selalu, jawabannya setiap ditanya jemaah lain, bahwa dirinya baik-baik saja dan tidak usah khawatir. Tapi memikirkan perjalan jauh dengan bis dan akan sampai di Mekkah pukul 2 pagi sudah membuat saya makin khawatir. Sayapun makin khawatir dengan kondisi saya, bagaimana apakah saya bisa melakukan ibadah? Mulai berkecamuk segala pertanyaan dan rasa khawatir.

Penjelasan pembimbing yang saya dapatkan membuat hati tenang. Saya hanya diminta berdoa, yakin dan bila harus, bisa membersihkan diri tanpa menggunakan sabun hanya air. Mereka menerangkan yang saya dapatkan adalah karena akibat penyakit.

Saya bersyukur, pembimbing kami sangat bijak. Bagi para pasangan kawin campur, berpasangan dengan mualaf, atau para mualaf itu sendiri, pembimbing seperti mereka sangat tepat. Sabar, bijak, dan selalu menekankan kebesaran dan kasih sayang Allah, hingga para mualaf tak pernah berkecil hati, karena merasa belum sempurna shalatnya, ibadahnya, membaca Al Qurannya dan masih banyak kekurangan lainnya. Tapi dengan senyum mereka selalu membesarkan hati suami dan para mualaf yang juga saat itu ada bersama rombongan kami. Berniat Umroh, datang ke rumah Allah, adalah ibadah yang insyaAllah dicatat oleh para malaikat, bila dilakukan dengan niat ikhlas. Penjelasan yang membesarkan hati para jamaah, karena banyak juga yang bukan mualaf namun masih merasa sangat kurang dalam beragama, seperti saya contohnya.

Perjalanan berjam-jam menuju Mekkah, diiringi dengan doa. Saya terpukau dengan Bazile, bungsu kami. Lantang sekali suara dia membacakan doa, dan hapal! Kakaknya saja yang sulung masih harus membaca. Terlihat sekali, si kecil kami bangga. Kami orang tuanya hanya tersenyum geli, dan merasa sangat beruntung.

Suami terus menggigil, membuat saya ngilu. Tapi lagi-lagi dia malah bercanda. Pembimbing dan para jemaah sibuk, saling bertanya, apakah kami membutuhkan sesuatu. Setiap kali bis kami berhenti, mereka langsung saling berebut untuk menolong suami turun.

Ketika akhirnya sampai kota di Mekkah, saat di hotel tempat duduk segera mereka carikan agar suami bisa istirahat. Kami mendapat kamar, lebih cepat juga agar bisa segera mempersiapkan diri, dan segera turun untuk memulai ibadah umroh. Sekali lagi pembimbing, mengingatkan, bila suami saya merasa tak kuat jangan memaksa, lakukan saja di lain hari, tak ada masalah. Ia hanya mengangguk.

Di kamar hotel, saya meminta suami untuk membatalkan niat umroh dini hari itu. Bayangkan sudah pukul 3 pagi. Dan ia tak tidur dengan benar selama perjalanan. Saya hanya membasuh badan dengan air sesuai saran pembimbing, dan pasrah semoga tak ada lagi pendarahan yang keluar.

Kami berempat akhirnya berniat melaksanakan umroh di hari itu. Akang sangat bersikeras. Kami bersama rombongan dengan orang tua, jadi boleh dibilang semua dilakukan  sesuai irama gerak usia yang sudah lanjut. Banyak jemaah lainnya memilih untuk melakukan sendiri atau ikut pembimbing lain.

Ibadah kamipun dimulai. Entah sudah berapa banyak kucuran air mata terkuras rasanya, saat mengelilingi Kabah. Saya tak tahu, apakah bisa datang ke rumah Allah ini atau melihat kami sekeluarga berjalan bersama dengan suami yang sakit namun bersikeras melakukan ibadah umroh yang membuat saya lebih tersedu-sedu.

Ketika tawaf dan shalat dua rakaat usai kami lakukan, kami menuju air zamzam, suami saya jatuh! Saya panik! Dia tidak pingsan, namun sangat lemas. Kami membawanya duduk senderan di tiang. Saat itulah seorang wanita tua tidak kami kenal, menyodorkan satu gelas air zamzam dan kurma. Dengan bahasa yang kami tidak mengerti, dia memperlihatkan jika suami saya harus meminum dan memakan yang ia berikan.

Ini yang harus saya ceritakan. Suami saya sangat tidak suka kurma. Bahkan ketika di Madinah, entah berapa kali dirinya diberi kurma, untuk tidak menyinggung, ia ambil tapi kemudia ia berikan kepada yang lain. Biasanya kebanyakan saya yang memakannya. Begitu juga dengan air zamzam. Ia ikut meminum, tapi saya tahu, khasiatnya, masih belum ia yakini. Namanya mualaf, memang harus pelan-pelan dengannya.

Tapi ketika ia tersandar sakit tak berdaya, ia pasrah, air zamzam yang diberikan ibu tua itu ia minum sambil berdoa, dan semua kurma ia makan hingga habis. Saya masih ingat dengan jelas hingga saat ini, ia berkata dengan mata berbinar “Ini kurma apa? enak banget, belum pernah makan kurma seenak ini” (tuturnya dalam bahasa indonesia). Si ibu tua itu hanya tersenyum dan mengangguk.

Ibadah kami lanjutkan, kondisi suami lebih membaik. Namun badannya masih panas. Dan ia letih sekali, keluhnya. Tapi kewajiban umroh yang harus kami lakukan masih belum usai. Ketika  melakukan Sa’i, setiap kali kami berhenti, di Shofa dan Marwah, para jemaah main cepat-cepatan mencarikan kursi untuk suami, agar bisa duduk. MasyaAllah, ini luar biasa, haru saya dibuatnya.

Ibadah selesai, kami berjalan menuju hotel. Shalat subuh yang belum tiba waktunya, disarankan oleh pembimbing agar kami melakukannya di kamar hotel dengan tenang, mengingat kondisi suami. Memang sudah diatur. Yang lain para pria menuju tukang cukur rambut,sambil menunggu waktu shalat tiba, sementara kami sudah membeli alat cukur di Madinah. Ini sebenarnya dikarenakan Adam, anak sulung kami yang takut dirinya bakalan dibuat botak licin oleh tukang cukur di Mekkah. Ia tak bisa membayangkan ketika masuk sekolah, akan muncul dengan kepala licin. Saya dan suami sampai terpingkal saat mendengar penjelasannya yang begitu serius, karena membayangkan kupingnya yang mendapatkan turunan dari saya alias, caplang dengan kepala botak plontos!

Jadilah alat cukur kami beli di supermarket di Madinah, apalagi saya memang sudah biasa memotong rambut anak-anak. Dan di kamar hotel, tiga klien saya cukur pendek rambutnya. Suami langsung tergelatak usai subuh. Rupanya badannya sudah tidak bisa menahan lagi rasa sakit. Tapi saya bersyukur, ia pada akhirnya bisa menyelesaikan ibadah ini mendampingi istri dan kedua anaknya.

Pukul 10 pagi, suami sudah bangun, hanya sebentar ia tidur. Badannya sangat bugar, wajahnya sudah tidak merah. Malah saya yang istilahnya tepar. Karena lebih cape pikiran memikirkan suami dan masalah saya. Alhamdulillah. Tidak ada pendarahan. (sebulan kemudian kista saya dinyatakan hilang). Ibadah umroh saya selesai. Ini berkah bagi saya, memang harus yakin. Dan Akang, bagaikan tidak pernah sakit. Melihat dirinya, seperti malam dan pagi. Kemarin ia tak berdaya, pagi itu bagaikan tak pernah sakit apapun.

Saat kami keluar untuk sarapan, para jemaah dan pembimbing menanyakan kondisi suami. Mereka semua bahagia, dan berkata yang sama. “Ah bersyukurlah kamu, ini semua berkat air zamzam yang kamu minum, keyakinan kamu saat beribadah dan Allah memberikan kesembuhan padamu”. Tapi ada juga yang bercanda “Alhamdulillah mon frère!(brother),  sekarang dosa-dosa kamu sudah dimaafkan Allah, rasa sakit sudah diangkatnya” Sambil matanya dikedipkan. Suami saya hanya cengengesan. Dan saya mencandai dia, “ehem, iya kali ya kamu banyak dosa sih jadi dilebur deh tuh dosa-dosa kamu”. Tawa saya, yang membuat suami makin pasrah.

Kami menghabiskan sisa waktu dengan mengunjungi beberapa tempat. Terus terang saya sangat sedih ketika melihat kota Mekkah yang dulu saya kenal berubah sangat jauh. Mall besar dimana-mana membuat hati ini miris. Anak-anakpun ikutan protes. Suasana agamais kurang bagi mereka, setiap keluar dari Masjidil Haram, mereka menghepaskan napas, melihat bangunan menjulang menutupi keindahan Masjid suci.

Tidak bisa disamakan memang. Beberapa jamaah banyak yang senang dengan situasi semacam ini. Tapi bagi yang terbiasa dengan sejarah, apalagi suami dan kedua anak saya sangat mementingkan sejarah, sangatlah mereka sayangkan. Banyak tempat ketika Nabi dulu tinggal, rumah ibunya dan tempat lainnya yang tidak bisa kami datangi, atau sudah musnah.

Karena itu, keseharian kami lebih banyak dihabiskan dalam Masjidil Haram. Kedua anak kami tak ada bosannya melihat Kabah. Si kecil, terus dan selalu bertanya penasaran, mengenai Kabah.

Bila di Madinah, kami shalat terpisah. Di Masjidil Haram ini, hanya sekat kayu bolong-bolong yang memisahkan kami. Hingga saat akan memulai shalat, saya bisa melihat tiga tubuh orang yang saya cintai, bersiap menghadap Allah.

Kami juga melakukan tawaf bersama, sekeluarga. Suami yang memimpin dalam berdoa. Saat itulah, kami mendapat kesempatan menyentuh Kabah, shalat di Hijir Ismail bersama. Suami dan anak-anak hingga saat ini masih membicarakan bagaimana beruntungnya mereka bisa menyentuh Kabah. 

Suatu kali, hari terakhir sebelum perjalanan umroh ini berakhir, suami meminta kepada anak-anak kami untuk subuh di kamar hotel saja. Kedua anak kami kelelahan karena semalam kembali telat. Jadilah subuh kami lakukan berdua di Masjidil Haram. Usai subuh, suami mengajak kembali melakukan tawaf, posisi kami berada di lantai atas.

Selama tawaf, ia yang memimpin doa. Tangan saya digenggamnya. Saya menangis diam-diam, hanya air mata yang menetes. Saya merasa sangat bersalah. Entah sudah berapa sering, saya mengeluh akan agama suami saya, yang selalu saya rasa kurang. Entah sudah berapa banyak perdebatan , kemarahan, kekecewaan yang sering kami sengketakan karena persoalan agama. Tapi, saya melihat, saat itu ia yang membimbing saya.

Ketika saya menoleh melihat wajahnya. Saat itulah saya terkejut. Wajahnya sangat bersih tidak pernah saya melihatnya seperti itu. Suami malah, kebingungan “jangan nangis terus, hayo doa sama-sama, doa buat kita berdua, doa untuk anak-anak kita, orang tua, masa depan, proyek kita, kalau nangis terus yang ada tidak konsentrasi nanti doanya”. Sempat-sempatnya si Akang bercanda. Saat itulah saya semakin berniat untuk merubah tabiat dan membantu langkah suami dengan menjadi lebih sholehah sebagai istrinya.

Sebelum meninggalkan Masjidil Haram, ia seperti biasa, meminum sepuas-puasnya air zamzam. Oh ya, sejak ia diberikan air zamzam oleh ibu tua, begitu melihat ada air zamzam, langsung ia minum. Kalau saya tanyakan, rajin benar minum. Jawabannya, “ya dong air mukjizat!”. Alhamdulillah, rupanya percaya ia akan adanya mukjizat. Bahkan ketika kami pulang, sudah banyak dirigen yang terisi dengan air zamzam yang kami penuhi dari Masjidil Haram, masih saja ketika di airport ia membeli lagi banyak air tersebut.

Ketika pesawat tinggal landas. Tidak usah ditanya bagaimana dengan saya, memang aslinya sudah melow, pastinya banyak air mata menetes. Tapi melihat suami dan kedua anak, menitikan air mata karena mereka sedih meninggalkan kenangan dan pengalaman beribadah sekeluarga, dada ini rasanya sesak dengan rasa bersyukur. Pergantian tahun 2017 ke 2018 adalah perubahan yang paling indah yang pernah saya rasakan.

Liburan agama indah, begitu anak-anak menyebutnya, ketika mereka mengucapkan terima kasih kepada orang tuanya. Umroh sekeluarga tentu banyak yang melakukannya. Bila begitu teristimewa bagi saya, karena pernikahan pasangan campur dengan suami mualaf dan memiliki keturunan yang dibesarkan di negara yang tidak mendukung, bukanlah hal yang mudah. Bagi saya, perjalanan umroh ini adalah bukti nyata dari panjatan doa.

(Tamat)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *