Berjualan Tempe Demi Meraih Gelar Doktorat Di Perancis (bagian I)

Banyak orang bilang, “wah dapat beasiswa dan kuliah di luar negeri pasti enak ya. Pasti uangnya banyak dari beasiswa yang ratusan juta per semester, atau 16 juta per bulan”. Bagi sebagian mahasiswa mungkin iya, tapi bagi sebagian yang lain mungkin tidak.

Bagi saya dan Rudi Yusuf Natamihardja, yang juga sama-sama mahasiswa doktorat di Marseille kami termasuk   generasi pertama di mana beasiswa yang kami dapat tanpa adanya tunjangan keluarga. Seandainya menerima lumayan bisa sekitar Rp 8juta/bulan. Karena itu tanpa adanya bantuan untuk keluarga terasa sekali bagaimana kehidupan kami jadi serba pas-pasan.  Dan ini yang membuat kami harus banting tulang mencari tambahan “amunisi” agar dapur bisa tetap ngebul untuk hidup di kota Marseille, kota terbesar kedua di Prancis.

Hidup di kota Marseille, “Surabaya”nya Prancis dengan membawa keluarga memang memiliki tantangan tersendiri, terutama pada saat jatah beasiswa sudah habis. Bagaimana tidak, separuh dari beasiswa dialokasikan untuk bayar sewa apartemen alias kontrakan.

Nah di sinilah kerap muncul kegalauan. Gimana caranya untuk bisa bayar kontrakan Rp 8 juta per bulan? Listrik 2 juta per bulan, popok bayi Rp 500 ribu per bungkus ? Makan sehari-hari? Bayar SPP kuliah? Transportasi? Belum kalau anak kami Rara minta beli mainan, makanan kesukaannya kebab, atau jajanan lain.

Di sinilah untungnya saya hidup di Perancis yang mana sekolah anak-anak gratis. Tapi dibalik kelegaan itu ada masalah yang harus dihadapi, yaitu setiap akhir tahun harus perpanjang ijin tinggal. Dan agar ijin dapat kita harus memiliki  setidaknya 90 juta  di rekening tabungan. Ini untuk menjamin pada pemerintah perancis bahwa kami bisa menjamin kehidupan istri dan anak yang ikut tinggal di Perancis. Nah kalau sudah begini, putar lagi otak,  trik pinjam-balikin ke orang tajir pun jadi pilihan. Karena kalau tidak kami hanya ada dua pilihan, yaitu  pulang dengan resiko gagal, atau bertahan tapi pontang-panting, cari kerja dan belajar. Keduanya merupakan pilihan yang sulit. Akhirnya, memang pilihan menetap yang selalu kami ambil, cari kerja apa saja dan tetap tinggal di Prancis.

Segala upaya dilakukan, putar otak, semua peluang dicoba. Jadi kuli panggul pindahan rumah pernah, mengurus taman, bersihkan genteng pernah dan mencat rumah orang pernah. Jualan sate, kerja di restoran asia, sampe cuci piring juga lakoni. Buatkan website warung pizza tapi ujungnya tidak dibayar pernah, padahal beli hosting dan domain pake rogoh kantong sendiri awalnya! Naas memang, tapi ya itulah resiko dan nasib! Jadi tukang delivery restoran thailand merangkap tukang cuci piring, ngupas bawang, bersih-bersih, merangkap terima order via telpon juga pernah. Sampai akhirnya resign karena skuter pinjeman rusak ditabrak mobil, dan suruh ganti uang bengkel sebesar 267€ (sekitar Rp 4,5 juta) jumlah yang sangat besar bagi kami saat itu! Sekali lagi cobaan hidup yang harus kami tanggung ditengah sulitnya yang sudah membuat kami sesak sebenarnya.

Kami harus bisa atur waktu, pagi kerja disertasi, malam kerja di restoran, begitu seterusnya ritme kami. Meskipun begitu, keuangan pun tetap mepet, tak jarang kami harus menggesek kartu kredit kami (thanks to BNI hehe), tiga kartu kredit: Gold affinity, Titanium, dan Hasanah Card digali ditutup, gali tutup, digali lagi…lagi…eh belum bisa nutup.

Gesak gesek terus sampai limit, minimum payment jadi andalan, trus koperasi pun gak luput kita ganyang habis. Saya sampai sedih ketika istri saya menangis dan ia merasa bersalah ” apa karena kami ikut ya, kondisinya jadi begini?”. Saya bilang ke istri bahwa setiap perjalanan hidup perlu pengorbanan, ini bagian dari ikhtiar, pasti ada jalan keluar. Untuk menguatkan hati istri, saya ceritakan beberapa kolega yang juga harus jual berpathok2 sawah, jual mobil dan masih banyak perngorbanan lainnya untuk menyelesaikan studi S3, jadi semua itu wajar, tambah saya. Mencoba membesarkan hatinya.

Rupanya Allah melukiskan bagi kami sebuah tambahan lembaran baru, yaitu istri saya hamil kedua. Pengalaman hidup makin seru! Karena ini merupakan pengalaman yang membuat saya dan istri harus saling bersabar dan mendukung. Di sinilah saya dilatih untuk menjadi suami dan ayah yang kuat. Karena mengurus kelahiran, dan membesarkan bayi semua harus dilakukan secara mandiri. Bayangkan saja, kegalauan istri saya Wahyu Eka Puspita, jauh dari sanak keluarga dan tidak bisa berbahasa perancis, tapi setiap dua minggu harus ke bidan untuk kontrol. Dan rupanya kehamilan di sini sangat dijaga, tiap bulan harus cek darah untuk kemungkinan-kemungkinan yang bisa membahayakan ibu dan janinnya. Tapi memang bagusnya di situ, untung ada asuransi pemerintah yang membantu. Dan setiap cek atau ke dokter untuk kontrol, saya harus selalu mendampingi karena bahasa planet yang kurang dipahami istri.

Paling seru sekaligus ngenes pas melahirkan di rumah sakit. Kalau di Indonesia yang satu RT atau kelurahanpun bisa jenguk dan mendampingi di RS. Di sini, kita hanya berdua saja! Hanya satu orang yang boleh mendampingi, ya saat itu ya hanya saya saja! Tapi saat pukul 9 malem saya disuruh meninggalkan ruangan oleh perawat. “Maaf pak, bapak tidak boleh menunggu di sini” kata perawatnya. Lah trus saya harus di mana? Langsung saya menuju kursi di luar kamar. Eh perawat datang lagi, “bapak tidak boleh tidur di situ, tidak boleh bermalam di RS”. Lah aku kudu piye….??

Saya pasrah karena itu sudah peraturan. Saat saya pamitan, seketika itu juga istri menangis. “Jangan pergi…aku mengko kepiye” Istriku takut  kalau ditanya macam-macam sama perawat. Lah istilah “Biberon” atau botol dot bayi saja baru tahu, apalagi istilah lainnya seperti popok, cebok, serum, dan istilah medis lain. Semua, akan jadi bahasa planet pluto baginya. Untuk menenangkan, saya bilang “ya sudah, besok pagi-pagi sekali kan sudah sampai RS lagi, sekarang langsung tidur saja”. Istri mulai tenang. Saya langsung pamitan, sekaligus ada ksempatan untuk nengok  Rara, anak pertama kami, yang  saya titipkan di rumah sahabat mas Rudi. Sampai di rumahnya  sekitar jam 11 malam, ternyata Rara sudah tidur. Karena saya cape, akhirnya sayapun ikutan ketiduran disampingnya.

Anak kedua kamipun lahir tepatnya tanggal 5 Desember 2016. Faris Ahsan Sugiarto itu nama yang kami berikan. Lahir dengan berat badan 2,85kg yang dianggap tidak normal bagi orang prancis, karena kekecilan, walah padahal di Indonesia itu berat badan normal, bantinku. Tiap hari disuruh diminumi susu formula, mungkin biar cepat tambah berat badannya, tapi sama ibunya anak-anak malah di buang ke WC. “Gen wae…ASI ku kik iso ogh, ngopo formula (minum ASI masih bisa kok disuruh minum susu formula)”, sahut istri sambil nggrundel.

Waktu terus berjalan, hingga akhirnya kita punya ide dan memutuskan untuk fokus berjualan tempe dengan merek Indo Tempe. Kami melayani penjualan tempe segar, aneka olahan tempe dan masakan Indonesia ke berbagai wilayah di penjuru Prancis. Ternyata, usaha tersebut juga tidak selalu berjalan mulus. Kadang-kadang harus menanggung rugi karena kendala cuaca, kadang karena kepanasan, atau karena kiriman telat akibat cuaca, salju misalnya.
“Mas tempenya sudah kami terima, tapi busuk” kata salah satu pelanggan di wilayah prancis utara. Maklum saja jarak pengiriman ke langganan ibu tersebut sama seperti seperti Jakarta-Surabaya, normalnya 3 hari, namun karena salju, menjadi 5 hari pengiriman. Akhirnya saya bilang “Bu tempenya nggak usah dibayar saja”. Duh rugi lagi. Ongkir sama harga tempe sama soalnya, nasib.

Masalah lain adalah masalah yang berkaitan dengan legalitas dan manajemen UKM. Di Prancis semua kegiatan usaha harus berijin dan tidak boleh sembarangan, yang paling serem kalau berurusan dengan pajak. Di Indonesia, mau jualan tinggal gelar tikar istilahnya, di sini? mana bisa!. Semua harus terdaftar resmi, tidak tercatat sama dengan penjualan ilegal. Sekali ketahuan ilegal, bisa “entek alas, entek omah” kata mas Agus, salah satu pengusaha souvenir sukses di daerah Monpellier, Prancis Selatan asal Jogjakarta. Tidak hanya itu, kita bisa sampai di deportasi!

Kesereman itu kami rasakan pada saat ada akun email ***@taxe.fr melakukan registrasi di website kami http://indotempe.com . Kami tidak tahu apakah itu akun asli atau palsu. Karena saat itu kita sedang gencar-gencarnya beriklan dengan fitur facebook ads. Cari aman, memilih kita memilih untuk menutup sementara website Indo Tempe.  Setelah sekian lama, dirasa aman, akhirnya kita hidupkan lagi website, tapi kami sembunyikan info harga dan fitur pembayarannya.

Masalah ternyata tidak hanya berhenti sampai di situ. Situasi membuat kita harus berpisah dengan istri dan anak. Juga masalah kesehatan orang tua…..(bersambung)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *