Karena Wabah Corona Kami Sekeluarga dipulangkan Kembali ke Prancis dari Indonesia
Tidak sangka harus ikut pemulangan dari Indonesia ke Prancis begitu dadakan padahal suaminya baru 10 hari berada di Bali. Monica Norel adalah satu dari WNI yang ikut pemulangan dari pasangan berwarga prancis ke negaranya. Kepada Surat Dunia Monica menceritakan pengalamannya.
Rabu sore tanggal 25 Maret, suami saya menelpon Kedutaan Besar Prancis ke nomor darurat untuk menanyakan bagaimana repratiate (memulangkan) kami yang sedang di Indonesia karena pesaat kami sudah ditunda kepulangannya berkali-kali. Suami juga menjelaskan kodnisinya yang pernah mengalami cangkok ginjal. Mengetahui hal ini Kedutaan Prancis memasukan suami ke dalam RED LIST (daftar merah, prioritas utama) untuk berangkat. Embassy menyatakan jika saat itu mereka sedang mengatur pesawat yang akan dipesan oleh Pemerintah Prancis. Dan kami akan segera dikabarkan secepatnya.
Tetapi rabu malamnya kami sudah menerima email bahwa kami di berikan tempat duduk untuk penerbangan pertama dengan penerbangan Qatar untuk jumat 27 Maret pukul 14:00. Dengan biaya 450€/orang. Walah sedikit kaget juga kok rasanya kecepatan. Masih ingin tinggal di Bali karena suami baru saja 10 hari di Bali sudah harus pulang lagi ke Perancis.
Kamis tanggal 26 Maret saya telpon ke Kedutaan Prancis untuk menyakan kemungkinan ada penerbangan lainnya karena siapa tahu masih bisa tinggal beberapa hari lagi di Bali. Kata mereka pasti akan ada tapi tidak tahu kapan dan kalau kami tidak ambil Jumat 27 Maret sesuai yang sudah mereka tawarkan, status prioritas utama kami akan ditarik dengan asumsi sudah menolak penawaran pertama sementara masih banyak orang prancis lainnya yang sudah mengantri dan mereka ingin segera bisa pulang.
Pontang Panting saya belanja buat bekel dan harta karun di Prancis nanti, karena hanya tinggal hari ini untuk belanja besok sudah harus meninggalkan Bali. Dan saya tidak mau dong pulang dengan koper kosong. Walaupun Suami udah bilang jangan bawa makanan apapun karen kita bukan naik pesawat komersial, takutnya ada pemeriksaan sangat ketat untuk kesehatan dan juga bagasi. Tetapi kali itu saya tidak terlalu hiraukan nasehat suami……
“Diam-diam saya orderlah semua pesanan dan minta antar pake gojek lalu langsung masuk koper besar saya dan tutup.” Tutur Monica kepada Surat Dunia.
Kamis malam kami terima email, ternyata pesawat keberangkatannya diundur jamnya menjadi pukul 22:00 dan kami diminta sudah berada di Airport pukul 18h:00. Wah lumayan masih ada waktu bisa menikmati kolam hôtel ternyata selang hanya 10menit dapat email kembali pesawat tetap jam 22:00 tetapi harus di airport pukul 16:00. Oh! saya bilang yang benar saja karena bingung juga mau ngapain aja selama 6 jam bisa di Airport? Ya mungkin pengecekan kondisi kesehatan, bagasi dan pengaturan lainnya kali ya, pikir saya saat itu.
Tibalah hari Jumat 27 Maret. Saya Sengaja sejak hari kamis sudah check in di Novotel Ngurah Rai Airport supaya tidak telat. Dan memang jam 16:00 pas kita sudah berada di terminal keberangkatan A.
Antrian sudah ramai sekali tapi ternyata itu antrian warga jerman dengan benderanya yang besar mungkin supaya WN jerman langsung segera lihat
Saya tanya ke security katanya “Belumlah mbak ini untuk Jerman saja baru buka check in untuk penerbangan pukul 19:00.”
Ok lah Lalu kami tunggu duduk cantik dekat counter bersama anak kami saking capenya bayi kami sampai ketiduran di kereta bayinya.
Jam 18:00 saya lihat antrian panjang padahal tidak ada pengumuman apapun. Karena bingung saya tanya lagi ke penjaga di sana.
“Pak ini antrian apa ya?” “Ke Perancis Mbak!” Jawab si bapak. “Ya ampun, saya nunggu dari jam 4 sore Pak! Saya duduk di sana dari tadi masa saya harus antri lagi dari belakang jauh banget.” Tutur saya sedih banget.
Alhamdulillah Bapak itu baik hati dan dipanggillah kami begitu counter Check in buka jam 19:30.
Suami minta pindah ke kelas Bisnis karena penting baginya untuk bisa tidur dengan tenang dan tidak terlalu teras cape karena perjalanan jauh dan untuk kesehatannya. Sayangnya menurut staff semua tempat duduk sudah diatur dari Kedutaan Prancis dan mereka tidak bisa mengganti. Suami juga telpon ke Embassy Jakarta utk ganti kelas tentu saja dengan pembayaran tambahan yang kami siap membayarnya tapi ternyata tetap tidak memungkinkan karena semua nama yang terdaftar sudah mendapatkan nomor bangku. Kesalahan kami dari awal adalah saat menyatakan persetujuan untuk keberangkatan lupa meminta kelas bisnis.
Kami meminta kelas bisnis bukannya apa-apa tapi karena suami tinggi dan besar jadi untuk penerbangan jarak jauh baginya jauh lebih nyaman jika bisa tidur dengan nyaman juga ditambah dengan adanya bayi. Tapi setidaknya kami bisa duduk bersama selama perjalanan dan itu sudah sebuah keberuntungan.
Saran saya, bagi yang akan ikut pemulangan sebaiknya dari awal sudah meminta kelas bisnis jika memang menginginkan agar dicatat permintaan itu untuk dikordinasikan dengan staff penerbangan.
Saat check in saya menunjukan Carte de Séjour (CDS, Ktp bagi orang asing) rupanya saya satu-satunya berpassport hijau, saat itu saya tidak melihat orang Indonesia lainnya. Entahlah kalau nyelip. Saya bersyukur karena CDS saya yang baru saja keluar Januari lalu membuat saya diperlakukan layaknya warga prancis asli dan bisa kembali ke Prancis bersama suami dengan mudah tanpa repot urus visa.
Ternyata masalah lain datang ketika boarding kursi untuk anak saya tidak ada! Padahal ketika chek in saya tanya berkali-kali jika boarding pass yang saya pegang ini benar untuk 3 kursi yang dijawab, ya!
Kami makin kebingungan karena awalnya minta bisnis class supaya suami bisa nyaman istirahat dan anak kami juga kini kami di kelas ekonomi harus duduk bertiga. Di dalam pesawat kami coba kembali supaya dapat kursi bisnis class tapi tetap tidak memungkinkan. Kebayang selama 19 jam harus memangku anak kami.
Sayangnya staff penerbangan juga tidak terlalu ambil peduli malah suruh kami telpon Kedutaan padahal mereka tahu mana mungkin malam-malam begini buka. Untungnya ada 3 kursi kosong yang bisa kami tempati setelah suami sempat ngotot untuk meminta kursi sesuai dengan permintaan kami untuk 3 orang.
Saran saya bagi yang bawa anak seperti kami agar pastikan jika anak mendapatkan kursi. Begitu juga saat chek in sebaiknya di pastikan lagi berkali-kali kalau perlu direkam saja pembicaraannya karena dalam keadaan seperti sekarang ini banyak yang lalai atau tidak menghiraukan permintaaan.
Saya tidak terlalu tahu pasti mengapa pengaturan jadi agak kacau. Mungkin karena ini penerbangan pemulangan pertama sehingga dari mulai waktu yang berubah-ubah sampai masalah kursipun ikutan kacau. Tapi Alhamdulillah saya merasa bersyukur penerbangan kami pada akhirnya bisa berjalan lancar. Kami juga sangat berterima kasih kepada Pemerintah Perancis yang begitu perduli dengan rakyatnya termasuk saya padahal bukan berwarga negara prancis.
Selama perjalanan dari mulai di Bandara Bali sampai di Prancis kami tidak mendapatkan pemeriksaan apapun. Tidak ada deteksi suhu tubuh. Bagasi juga lewat lancar-lancar saja. Malahan masuk Departure International Bali sécurité check suhu tubuh dan waktu kami datang di kedatangan international ada camera pendeteksi suhu badan seperti di Singapura. Waktu transit juga dikasih kertas information bagaimana kondisi kita saat tiba.
Saya yang sempat deg-degan karena harta karun saya yang 50kg saya beli di Bali dengan rusuh yaitu berisi cireng, bakso, sambal baby cumi, tempe teri kacang pokoknya isi koper bikin harum semeriwing wanginya bikin lapar, alhamdulillah lolos! Bahagianya saya, padahal sempat diomelin suami.
Sampai di Prancis alhamdulilah lancar dan kami sudah mempersiapkan surat otorisasi untuk dijalan menuju rumah karena di Prancis sudah masa lockdown jadi yang keluar hanya boleh dengan syarat tertentu dan sesuai dengan ijin yang tertera.
Benar saja, di pintu tol kami diperiksa polisi untungnya kami membawa surat otorisasi. Polisi yang memeriksa juga baik dan tampan.
Alhamdulilah kami bisa kembali dengan selamat sampai di kampung halaman suami.