HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT II (27)
Aku memasukan beberapa lembar baju pramuka, atribut dan segala macam kebutuhan ke dalam ransel. Bersyukur aku diberi ransel tentara oleh kak Yudikat. Nampaknya saja ransel yang kupakai kecil ternyata muatannya banyak . Ditambah pula kantongnya kiri kanan luar dalam, dilengkapi tali-temali yang kuat. Tidak satupun yang tidak bermanfaat.
Aku akan ikut kemah pramuka selama lima hari lima malam di Bumi Kemah Bandar Jaya utusan sekolahku. Ibu yang membantu menyiapkan berbagai hal, terus saja wanti-wanti agar aku pandai-pandai menjaga diri, jangan lancang, tetap jaga sopan santun,jangan lupa untuk ibadah dan lain sebagainya.
Meski tinggal di alam terbuka, di hutan, tetap harus tahu sopan santun. Jika mandi di sungai jangan lupa minta izin. Sebab di sungai banyak sekali penghuninya yang tak kasat mata. Jangan buang air sembarangan..bla…bla…bla…Ibu terus merepet serupa trompet.
Tangannya bekerja tapi mulutnya tak henti menasehati. Aku tahu, apa yang disampaikan ibu pernah juga disampaikan nenek Kam. Aku hanya mengiyakan. Dan meyakinkan Ibu bahwa aku akan baik-baik saja.
Akhirnya dengan mengendarai mobil bak terbuka, dua regu putra dan putri dilepas kepala sekolah, Martinus Dohari Sain. Wajah ceria kawan-kawanku mengekspresikan awal libur sekolah yang menyenangkan.
Bersama kakak Pembina, Bapak Muslimi, kami menuju bumi perkemahan dengan gembira. Sepanjang jalan kalau tidak diskusi materi lomba kreativitas yang akan kami laksanakan selama kemah berlangsung, kami isi dengan bernyanyi dan canda. Puluhan lagu, teka-teki, berbalas pantun dan lain sebagainya menghiasi perjalanan kami yang menyenangkan.
Sampai di Bumi Perkemahan, aku dan kawan-kawannku langsung mendirikan tenda. Aku bahagia, meski sebagian besar kawanku keturunan cina tapi mereka cekatan, menarik tali tenda, memasang patok, membentuk terpal untuk alas dan lain-lain. Sebentar saja tenda kami berdiri sempurna.
Selanjutnya kami berbagi tugas. Ada yang mengambil air ke sungai, ada yang memasak di dapur darurat di belakang tenda, ada yang merapikan tenda menyusun bekal dan ransel kami agar kelak malam bisa istirahat. Ada yang berusaha mempercantik area kemah dengan berbagai pernak-pernik yang kami peroleh dari alam. Menanam bunga, membuat kolam mini dan kegiatan lainnya.
Malam ini, malam pertama aku tidur bersama kawan-kawanku di alam perkemahan yang luas. Pohon-pohon mahoni yang lurus dan tinggi membuat cahaya bulan tak tembus hingga ke tanah. Hanya lampu badai nampak kerlap-kerlip menerangi setiap tenda.
Beberapa kelompok masih terlihat ramai bercengkrama dan bernyanyi. Aku memilih istirahat dengan pakaian pramuka lengkap, bersandar di ransel yang berfungsi jadi bantal.
Udara Bumi perkemahan terasa sangat dingin. Mantel yang kukenakan tak banyak membantu. Baru saja hendak lelap, gemuruh angin kencang tiba-tiba seperti berpusar di area kemah. Tak lama berselang terdengar beberapa orang menjerit. Aku terkesima. Aku berusaha menajamkan pendengaranku dengan dada gemuruh. Kawan-kawanku sudah lelap. Redupnya lampu penerangan menyulitkanku untuk melihat jarum jam. Jantungku kembali berdebar ketika mendengar jeritan sahut menyahut lebih kencang dari tadi. Kesurupan!
Aku mencoba mengintip ke luar tenda. Kulihat kerumunan orang di tenda pembina. Meski mereka menggunakan penerangan lampu petromak tapi aku tidak bisa memastikan apakah suara menjerit itu dari sana. Tak lama berselang, jeritan semakin kencang dan tidak hanya satu dua orang.
Akhirnya aku tidak tahan. Aku melompat ke luar tenda menuju keramaian. Kakak-kakak pembina dan beberapa orang penggalang putra kulihat memegang beberapa orang putri yang memberontak. Mata mereka nampak nanar dan merah.
Seorang Pembina seperti membaca mantra pengusir roh jahat. Aku hanya diam melihat gelagat para dukun dadakan dan makhluk pengganggu manusia itu. Beberapa makhluk asral itu berusaha mendekati dan hendak mengusirku. Bahkan ada yang berusaha menyerangku. Aku hanya diam bertahan sembari berdoa. Para penyerang beberapa kali terpental.
Jangankan menyentuh, mendekatiku saja mereka tidak bisa. Rupanya mereka ini ke luar masuk tubuh teman-teman pramukaku dengan berbagai macam pola tingkah laku. Mantra dan doa beberapa orang yang mengelilingi mereka tak mampu menyembuhkan kawan-kawanku yang kesurupan.
Melihat kondisi ini, aku menjadi tidak tahan. Aku mencoba menarik beberapa sosok yang masuk ke dalam tubuh kawanku dari jarak jauh. Lalu mereka satu persatu sadar.
Ternyata belum cukup sampai di situ, usai kawan-kawanku tersadar para makhluk asral marah padaku. Mereka tidak terima dan ramai-ramai menyerangku serentak. Mereka tahu kalau kawan-kawanku itu kujaga. Aku memilih posisi duduk. Beberapa di antara makhluk asral itu membawa senjata. Mereka mulai menyerangku dengan penuh amarah. Beberapa bola api mengitari dan hendak menghantamku. Kilatan-kilatan cahaya yang menyeramkan terasa panas membakar. Wajah dan mata mereka sebagian seperti kilatan api. Mengerikan!
Entah datang darimana tiba-tiba aku melihat sosok harimau kuning berdiri membelakangiku. Sepertinya dia melindungiku. Satu gerakan saja makhluk-makhluk yang nakal itu dia serang serentak. Dalam sekejab mereka terpental. Beberapa orang penyerang tubuhnya lebur di ujung jaring. Tak sedikit yang lari tunggang-langgang. Pertarungan singkat yang tidak seimbang itu cukup seru. Aku tidak tinggal diam. Beberapa senjata asral sempat kuhancurkan. Peluh mulai membanjiri seluruh tubuhku.
Angin berhembus kencang kembali. Beberapa tenda roboh dibuatnya. Dalam suasana angin bertiup kencang tersebut, aku melihat harimau berwarna kuning itu mengelilingi Bumi Perkemahan, berusaha mengusir dan mengejar makhluk-makhluk asral yang berniat mengganggu. Cahaya kuning yang mengelilinginya serupa kilatan cahaya api menyapu ke sana ke mari. Kadang-kadang cahaya yang mengibas dari Tangannya mirip selendang pelangi mengibas ke sana ke mari. Gerakannnya sangat cepat. Dalam sekejab Bumi perkemahan hening kembali. Aku menarik nafas lega.
“Assalamualikum, Kakek. Terimakasih kakek sudah melindungi aku dari serangan-serangan makhluk itu” Aku sujud padanya. Kutatap wajahnya. Ia tersenyum padaku. Nenek gunung satu ini sudah cukup sepuh. Namun melihat gerakannya siapa yang menyangka bisa dilakukan oleh seorang kakek yang sudah tua. Setua ini saja dia luar biasa apalagi ketika beliu masih muda. Ujarku kagum dalam hati.
“Waalaikum salam gadis kecil yang cantik. Selamat datang dan salam kenal. Kamu anak kecil yang hebat. Kakek kagum padamu. Panggil saja saya kakek Andun. Jangan kagum berlebihan, Cung. Kakek tidak mempunyai kepandaian apa-apa kecuali ilmu untuk memertahankan diri. Dan mejaga wilayah ini sebagai titipan leluhur kakek. Sejak tadi saya memperhatikanmu ketika kamu berusaha menolong kawan-kawanmu itu. Yang mengganggu itu sebagian besar bukan penghuni sini. Tapi mereka makhluk datangan yang sengaja hendak mengacau kemah yang kalian laksanakan. Saya berkewajiban melindungi kalian dari serangan-serangan makhluk jahat. Dari awal sesepuh kalian sudah minta izin untuk melaksanakan kegiatan di sini” Ujar kakek Andun.
Aku mengganguk mengerti. Rasanya beruntung sekali aku bertemu dengan nenek gunung yang baik hati ini. Melihat tutur kata dan wajahnya, kakek Andun pasti disegani. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih padanya.
“Tidak usah berlebihan, kamu cucu nenek Kam bukan? Nenekmu itu manusia hebat. Beliau salah satu anak kesayangan junjungan kami di huluan.” Lanjutnya kembali. Ada rasa bangga ketika beliau megatakan kenal dengan nenek Kam. Meski aku bukan cucu kandungnya, ternyata aku diakui sebagai cucunya.
“Terimakasih, Kakek. Maafkan jika tingkah laku kami kurang berkenan. Kebanyakan kami orang awan yang tidak paham sama sekali tentang dunia lain, Kek” ujarku menunduk.
Menatap mata nenek gunung satu ini aku tidak tahan. Mata itu sungguh sangat berwibawa. Ada kekuatan-kekuatan lain yang dimilikinya di balik kilatan-kilatan cahaya matanya. Belum sempat aku mengangkat kepala, tiba-tiba aku melihat seberkas cahaya datang tiba-tiba berubah bentuk menjadi sosok Macan Kumbang.
Aku kaget. Macan Kumbang langsung sujud pada kekek Andun. Rupanya mereka saling kenal. Terlihat mereka berpelukan sambil tertawa sangat akrab sekali. Beberapa kali Kakek Andun menepuk-nepuk punggung Macan Kumbang.
“Selasih, beruntung dirimu berkenalan dengan Kakek Andun. Beliau orang terhormat di wilayah ini” Ujar Macan Kumbang menatap kakek Andun dengan kagum.
“Ah, Kumbang berlebihan. Siapa tadi namamu? Selasih? Nama yang cantik seperti orangnya. Jangan percaya, kakek biasa-biasa saja Selasih. Kebetulan saja kekek dipercaya untuk menjaga tanah leluhur ini.” Keduanya tertawa lepas.
“Maafkan saya tidak bisa berlama-lama di sini Kek. Saya harus melapor ke hulu. Beberapa hari ini saya ditugaskan Panglima Kumbang untuk menangkap jabalan yang telah memakan manusia di hilir Musi kecil. Untung ada Datuk Raja Marangga dari Ranau. Beliaulah yang membantu saya menangkap jabalan itu. Terimakasih sudah berkenan menjaga Putri Selasih, Kek.” Ujar Macan Kumbang sebelum berpamitan.
“Ah, sudah lama sekali saya tidak bertemu dengan Datuk Raja Marangga. Semoga beliau sehat-sehat saja. Saya pun rindu padanya.” Potong Kakek Andun. Lalu keduanya berpelukan kembali.
Usai berpelukan, Macan Kumbang mendekatiku lalu bepesan agar aku mejaga diri baik-baik.
“Semoga kemahmu menyenangkan dan usai kemah nenek Kam menunggumu di dusun. Besok ketika matahari sudah muncul, pandanglah ke sana. Di situ ada bukit yang melintang berjajar ke arah Timur. Di situlah letak dusunmu. Ada nenek Kam dan Kakek Haji Yasir sudah menunggu” Ujar Macan Kumbang lagi. Usai mengusap kepalaku, Macan Kumbang melompat dan langsung lenyap. Tinggalah aku bersama kekek Andun. Selanjutnya beliau meminta izin padaku. Sambil berpesan persis seperti Macan Kumbang agar aku pandai-pandai menjaga diri.
“Jika ada apa-apa, panggil saya ya. Kamu sebut nama saya lalu hentakkan kaki tiga kali ke bumi. Saya akan segera datang” Ujar Kakek Andun. Aku menganguk paham. Aku kembali sujud.
Tiba-tiba aku terkejut ketika Kakak Pembinaku, Bapak Muslimi menyentuh dan menggoyang-goyang bahuku.
“Dek..Dedek, ayo masuk kembali ke tenda. Lanjutkan istirahatmu. Besok banyak kegiatan yang harus kita laksanakan” Ujarnya. Aku segera bangkit dan langsung berlari kembali ke tenda. Entah berapa lama aku duduk di tengah lapangan terbuka itu.
Kulihat hanya beberapa orang saja yang masih berjaga-jaga sembari membakar kayu membuat api unggun kecil sekadar untuk menghangatkan badan sekaligus penerangan. Beberapa orang berkeliling mengawasi tenda-tenda. Aku kembali meringkuk berselimut kain sarung. Cukup lama untuk terasa sedikit hangat, baru aku terlelap.
Aku dan kawan-kawan terjaga ketika jelang subuh peluit apel berbunyi. Aku berlari menuju titik kumpul. Membuat barisan lalu melapor kapada komandan. Selanjutnya kembali ke tenda masing-masing untuk siap-siap salat berjamaah.
Seperti kemarin, aku bersama kawan-kawanku berbagi tugas sesuai jadwal. Ada yang bertugas menyiapkan sarapan pagi, ada yang bertugas membersihkan dan merapikan isi tenda. Aku bertugas membersihkan sekitar tenda. Mencabut rumput, menyapu, dan mengumpulkan sampah di tempat yang sudah disediakan. Udara terasa sangat dingin. Aku dan kawan-kawanku berusaha mengusir dingin meski terus menggigil.
Aku terkejut ketika tiba-tiba dari hilir jalan menuju sungai mendengar kawan-kawanku menjerit sambil berlari tergesah-gesah sembari meminta tolong. Tak lama dia terjatuh di tanah. Dalam waktu singkat semua berlari menolong dan mencari tahu apa yang terjadi.
“Adi tenggelam di sungai. Dia tergelincir ketika sedang mengambil air” Ujarnya putus-putus setengah berbisik karena sudah kehabisan tenaga.
“Adi? dari Gudep mana?” Aku bertanya dalam hati. Ah, tidak penting siapa orangnya. Namun dia butuh pertolongan segera.
Mendengar itu sebagain lelaki berlari ke arah sungai. Untung beberapa hari ini tidak turun hujan Jadi jalan setapak yang menghubungkan bumi perkemahan dengan sungai yang berfungsi sebagai MCK hanya lembab karena embun. Kalau tidak hati-hati tetap saja terpeleset.
Aku berusaha menenangkan dadaku yang berdegup. Aku teringat kakek Andun. Segera kupanggil namanya dan kuhentakan kaki ke bumi tiga kali. Dalam sekejap beliau datang. Aku langsung memberitahu kalau ada kawanku yang tenggelam. Tanpa menjawab, beliau menghilang. Aku menunggu dengan harap cemas.
Akhirnya aku tidak tahan menunggu. Aku berlari menuju sungai setelah memerintahkan beberapa orang kawanku agar jangan meninggalkan tenda. Tenda tidak boleh kosong.
Sesampai di tepi sungai, aku melihat air sungai makin deras. Gemuruh air makin keras. Sementara di bibir sungai ramai sekali seperti pasar. Tidak hanya dipenuhi oleh anak-anak pramuka yang penasaran tapi juga ramai didatangi oleh orang sekitar Bumi Perkemahan.
Tentang tenggelamnya Adi beberapa menit saja sudah menyebar. Ada yang hanya berdiri dengan perasaan harap cemas, ada juga yang berusaha mencari menyisir sisi sungai dan sebagian lagi berusaha berenang.
Di hilir beberapa orang, terutama petani yang tinggal di sekitar sungai ikut menyisir sisi sungai dan berusaha melempar jaring ke tengah. Aku memilih sisi agak sepi. Bersyukur aku menemukan batu agak ceper. Aku minta izin untuk duduk di atasnya. Aku segera duduk diam dan fokus pada jejak kakek Andun.
Oh! Aku terkesima. Ternyata Kakek Andun tengah bertempur hebat dengan wujud perempuan ular. Air sungai seperti ombak yang memecah karang, memercik ke sana kemari. Sementara kulihat Adi dikurung dan dijaga ketat oleh tiga pengawal bersenjata lengkap.
Sejenak aku bingung harus berbuat apa. Pertarungan kakek Andun sendiri luar biasa. Ujung ekor perempuan berwujud ular itu seperti lecut api yang menyambar ke sana-kemari. Terkadang mereka berdua seperti burung terbang di udara, lalu kembali menukik ke dalam sungai.
Rupanya Adi sengaja mereka gelincirkan lalu mereka tarik ke dalam lubuk yang dalam untuk mereka jadikan tumbal. Entah tumbal pada siapa dan untuk apa. Yang jelas, hampir setiap tahun rupanya di tempat ini ada yang mati.
“Kakek, izinkan aku ikut dalam pertempuran” Aku membatin. Dan langsung dijawab kakek Andun dengan ucapan silakan Selasih, hati-hati menghadapi tiga pengawal yang menjaga Adi. Mereka juga berilmu tinggi.
Tanpa menunggu lama aku langsung meluncur ke hadapan Adi di tahan. Melihat ada orang asing, tiga pengawal langsung siaga. Tatapannya tajam berhawa kematian. Mereka mengusirku agar jangan mendekat.
“Lepaskan kawanku, mengapa kalian mengurungnya? ” Ujarku. “Tidak bisa, dia sudah kami persembahkan pada junjungan kami” jawab salah satu mereka.
“Kalau kalian tidak mau melepaskannya, aku akan paksa mengambilnya” Ujarku berani.
Oh, ternyata mereka juga berwujud ular naga yang pandai mengubah diri serupa manusia. Lidah mereka rupanya adalah senjata. Tidak hanya bisa menyemburkan api, namun juga berfungsi sebagai penyedot tubuh lawannya. Aku mulai waspada.
Apa kata kakek Andun benar, aku harus hati-hati. Aku mulai membaca mantra dan minta pertolongan angin agar dapat menolak semburan api dari mulut tiga ular naga yang ganas ini. Secepat kilat angin berdesir melingkariku. Tiap kali mereka menyemburkan api, api seperti berbalik pada mereka. Aku melihat mereka cukup kewalahan menolak api yang berbalik.
Selanjutnya mereka gunakan ekornya serupa cemeti. Tiap sabetannya pasti mematikan. Hal ini terlihat tiap kali ekor itu menyabet batu, maka batu itu akan hancur berkeping-keping. Aku cukup kewalahan menghindari tiga serangan mereka sekaligus. Sementara waktu terus berjalan. Secara logika, Adi bisa mati lemes berada di dalam air. Namun kakek Andun telah menotoknya dari jauh agar Adi tetap bisa bertahan di dalam air.
Aku tidak punya banyak waktu untuk bertempur lama-lama. Sambil menghindari serangan aku berpikir keras untuk melakukan perlawanan dan balik menyerang mereka.
Ilmu apa yang harus aku lakukan? Angin benar-benar sudah bekerja sempurna. Tubuhku selalu dibawanya menghindar tiap kali ada serangan datang. Tapi aku hanya mengelak saja. Bagaimana aku harus melakukan serangan untuk menyelamatkan Adi?
“Selasih, ubah dirimu menjadi dua. Satu untuk menghadapi tiga ular naga itu, tetap pancing ketiganya dan lakukan pertahanan seperti sekarang hingga mereka lelah sendiri. Lalu bayanganmu selamatkan kawanmu itu” Pesan Kakek Andun.
Aku pun segera melakukannya. Secepat kilat bayanganku meluncur mendekati Adi yang terkurung. Aku segera hendak membuka kunci kurungan itu. Tiba-tiba tanganku ada yang menarik dengan cepat. Rupanya angin menghalangi tanganku. Aku membatin mengapa aku dihalangi membuka kuncinya kurungan itu?
“Gunakan ilmu penawar racunmu Selasih. Kunci dan sekeliling kurungan ini sudah dilumuri matra racun ular yang mematikan. Sedikit saja tubuhmu tersentuh maka kau akan mati” Bisik angin.
Aku terkejut bukan main. Untung aku belum menyentuhnya. Aku langsung membaca mantra penawar racun. Kukumpulkan kekuatan penawar di telapak tangan. Aku melihat cahaya biru mengalir sehingga tanganku berubah menjadi biru terang. Dengan cepat kulepaskan kunci yang menjuntai di pintu. Pintu terbuka.
Adi duduk lemas di sudut. Sepertinya dia tidak punya tenaga untuk keluar dari kurungan ini. Kembali aku bingung. Bagaimana mungkin aku mengangkat tubuhnya. Sementara dia lebih besar dari aku. Kembali angin berbisik, angkat saja, kau tidak akan merasa berat. Aku akan membantumu, ujarnya.
Aku pun melakukannya dengan cepat kuraih tubuh Adi. Angin mendorongku ke atas permukaan air. Secepat kilat aku sudah berada di permukaan. Orang ramai serentak menjerit menunjuk sambil berteriak “Itu Adi! itu Adinya!” Aku membawa Adi ke tepi.
Beberapa orang lelaki dewasa langsung melompat ke air dan meraih tubuh Adi dari tanganku. Adi mereka bopong beramai-ramai. Aku lega, tidak satupun di antara mereka yang melihat aku. Aku kembali ke dalam air. Tubuhku kembali menjadi satu.
Aku berbisik pada kakek Andun yang masih bertempur. Aku bertanya lagi apa yang harus kulakukan menghadapi tiga ular ini? Lalu kakek mengirimkan selendang apinya padaku. Aku menangkapnya dengan cepat. Pakai senjata ini. Mintalah angin membantumu untuk menyerang tiga ular naga itu. Ujarnya. Akhirnya aku sabetkan selendang pemberian kakek Andun. Aku kaget sendiri. Ternyata selendang ini dasyat luar biasa. Tanpa tenaga dalam, tiap sabetan yang kuayunkan mengeluarkan api. Api akan melawan api? Pikirku.
Melihat kedasyatan selendang kakek Andun, aku mulai mengumpulkan tenaga dalamku sembari terus menghindari serangan-serangan mereka.
Mantra angin kutingkatkan. Dalam waktu singkat, setiap sabetan selendang yang kuayunkan menyambar tubuh tiga ular itu. Aku membuat selendang dengan gerakan memutar lalu mengibaskannya. Hasilnya luar biasa, selendang menjadi api berwarna ungu menyambar dan menggulung tubuh tiga ular ganas tersebut lalu membakarnya. Dalam waktu singkat tubuh mereka hangus terbakar.
Namun tidak cukup sampai di situ. Aku melihat tiga bola hitam melesat dari tubuh mereka. Tiga bola hitam ini berusaha menyerangku. Lagi-lagi angin membantuku. Ternyata tiga bola hitam itu seperti lidah ular menyambar-nyambar. Semburan yang dikeluarkannya seperti cairan berwarna hijau lumut kehitam-hitaman. Tiap kali semburan itu menghantam kayu, batu, maka akan berubah menjadi hitam.
Aku menduga, tiga bola ini adalah racun berbahaya para ular. Aku tak mau berlama-lama. Selendang kakek Andun kembali kuayunkan lalu kuputar seperti pusaran angin. Aku berusaha menggulung tiga bola tersebut ke dalam selendang. Kali ini kukerahkan tenagaku semaksimal mungkin. Aku menarik nafas lega, ketiga bola racun itu meleleh, mendidih seperti tetesan timah. Sementara Kakek Andun aku lihat hampir menyelesaikan pertarungan.
Mahkota ular berhasil direbutnya. Padahal kekuatan sang ular ada di mahkota dan permatanya. Aku melemparkan selendang kakek Andun. Dengan cepat kakek Andun menyambarnya lalu mengibaskannya ke arah ular besar itu. Dalam sekejab, ular bertina itu terbakar meleleh seperti bola racunnya. Aku menarik nafas lega. Air sungai tidak berguncang lagi. Tapi sudah mengalir seperti biasa. Aku berlari mendekati kakek Andun, mantapanya kagum.
“Kakek hebat! Kakek Luar biasa. Terima kasih Kek. Kakek telah menyelamatkan kawanku” Aku memegang tangannya. Aku terkesima ketika mendengar suara berdehem di sisi kanan. Rupanya ada Macan Kumbang, Nenek Relingin, dan Nenek Ceriwis berdiri dan bertepuk tangan. Ketiganya langsung menghampiri kakek Andun dan mencium tangannya.
Ternyata Nenek Relingin dan nenek Ceriwis sama, sangat menghormati Kakek Andun. Apakah karena beliau sudah sepuh atau karena hal lain aku tidak paham. Aku turut menyalami Macan Kumbang, nenek Relingin, dan nenek Ceriwis. Bahagia sekali rasanya berjumpa dengan mereka.
“Terimakasih Kek, sudah membantu cucuku” kata Nenek Relingin penuh hormat. Kulihat matanya berbinar-binar memandangku.
“Cucumu ini luar biasa, Relingin. Usianya memang masih muda bahkan masih kanak-kanak. Namun kalian telah membuat pikiran dan sikapnya dewasa. Dalam mengambil tindakan pun demikian, tidak gegabah. Sikap tidak umum dimiliki oleh anak seusianya. Berbahagialah kalian, punya cucu berhati bersih, dewasa, dan berilmu tinggi sepertinya.” Ujar Kakek Andun membuat hidungku sedikit mengembang.
Aku memeluk tangan nenek Relingin yang lembut.
“Terimakasih, Kek. Putri Selasih memang ditakdirkan untuk itu.” Ujar nenek Relingin sambil tersenyum.
“Aku mencium aroma raja uluan sisi berat gunung Dempu di tubuhnya. Apa hubungannya dengan Selasih?” Sambung Kakek Andun lagi.
“Benar, Kek. Selasih adalah keturunan kerajaan Pekik Nyaring” Sambung nenek Relingin. Kakek Andun manggut-manggut.
“Pantas aku tidak hanya mencium aromanya saja tapi juga melihat gerakan dan mantra anginnya. Tidak ada yang menguasai ilmu itu selain keturunan dari uluan barat itu. Hanya keturunan Pekik Nyaring saja yang menguasai ilmu badai. Matra anginnya sangat sempurna” Lanjut Kakek Andun.
Selanjutnya beliau mendekatiku. Beliau mengeluarkan sebuah benda berwarna hijau dari telapak tangannya. Diraihnya tanganku. Lalu telapak tangan kami beradu. Aku merasakan ada getar lembut seperti aliran air menyusup ke dalam aliran darahku. Benda hijau seakan menyatu dengan darahku.
“Kakek hanya bisa memberikan ini untukmu. Pakailah ketika kau terdesak dan untuk kebaikan saja, Selasih” Kakek Andun mengusap kepalaku. Aku segera mengucapkan terimakasih dan mencium punggung tangannya.
Tak lama berselang semua berpamitan. Aku disuruh pulang ke kemah terlebih dahulu. Akhirnya aku melangkah meninggalkan mereka berempat. Kulihat ada tiga nenek gunung duduk melingkar membentuk formasi seperti memagariku. Melihat aku datang, ketiganya menyingkir seakan memberi jalan. Aku menunduk memberi hormat pada mereka. Rupanya mereka sengaja diutus Kakek Andun menjaga jasadku.
Ketika aku membuka mata, sisi sungai sudah sepi. Aku segera bangkit berlari kecil menaiki jalan yang menanjak. Aku segera menuju tenda dan mendengarkan cerita seru kawan-kawanku tentang Adi yang selamat. Aku hanya tersenyum mendengarkan penuturan mereka. Sungguh berbagai rumor yang muncul bila sudah di tangan manusia. Ibarat gulai, banyak sekali bumbu penyedapnya. Mereka seakan-akan penonton yang menyaksikan perjalanan Adi bahkan seperti pelakunya.
Aku mendongak. Di rimbun daun mahoni, kakek Andun melambaikan tangan lalu mengacungkan kedua jempolnya. Aku balas melambai-lambai sembari tersenyum bahagia.
“Hei! Melambai dengan siapa?” Tanya Tuti sahabatku. Aku kaget dan baru menyadari jika mereka tidak dapat melihat dan merasakan sepertiku.
“Itu, melambai pada matahari yang mengintip di sela daun” Candaku sambil berlari pergi meninggalkan mereka. Aku menuju tenda Adi untuk melihat keadaannya.
Bersambung…