HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT III (46A)

Karya RD. Kedum

Tiba-tiba aku merasakan angin berhembus sangat kencang. Padahal aku berada dalam kamarku yang hanya berukuran tiga kali tiga meter. Aku baru saja menyelesaikan lukisan vinyet di dinding. Akhirnya kuhentikan semua aktivitas. Aku heran. Tak lazim angin berhembus kencang. Kecuali kalau aku punya kipas angin. Pasti ada sesuatu yang aka terjadi. Aku mengira-ngira. Suasana seperti ini salah satunya jika Gundak dan pengawalnya turun dari bukit. Atau para Puyang hendak datang. Sejenak aku menerka-nerka sekaligus menunggu. Namun sudah menunggu beberapa saat tidak ada tanda ada yang menemui. Lalu apa maksud angin kencang ini? Hap! Hap! Aku duduk dengan tapak tangan ke atas. Aku merasakan ada gelombang energi yang melingkari tubuhku, namun ada juga gelombang yang hendak menembusnya. Dalam hati aku bertanya-tanya, ada apa? Apa yang terjadi? Aku sendiri tidak bisa menembus gelombang itu. Siapa yang melindungi aku? Lalu mengapa aku dilindungi?

Di luar aku mendengar hiruk pikuk. Nampaknya terjadi pertempuran dasyat. Suara benturan senjata, dengusan tenaga dalam nampak ramai sekali. Aku ingin sekali mengetahui siapa yang bertempur tersebut? Tapi mengapa aku tidak bisa menembus dinding ini seperti biasanya sekadar untuk ingin tahu peristiwa apa yang terjadi di luar sana? Untuk mengetahui siapa yang bertempur. Akhirnya aku hanya terduduk lesu. Aku hanya bisa mendengar benturan-benturan yang membuat jantungku berdegub. Aku mencoba komunikasi dengan nenek Kam, gagal. Kucoba dengan Kakek Andun, pun gagal. Kakek Njajau, Macan Kumbang, sama. Semuanya gagal. Aku merasa seperti hidup sendiri. Mengapa aku diasingkan sendiri? Ingin rasanya menangis. “Puyaaang..Puyang Pekik Nyaring!” Aku menjerit. Sama saja, gagal!

Akhirnya aku baring di lantai dalam posisi telentang. Kuabaikan pagar gaib yang melingkar. Aku memandang langit-langit kamar yang berwarna gelap. Lampu lima watt berwarna biru membuat kamar ini terkesan mistis. Cahaya redup membuat suasana sedikit mencekam. Tapi aku suka. Beberapa kali Bapak hendak menggantinya dengan warna bening selalu kutolak. Angin pelan-pelan reda. Kamarku hening kembali. Gelombang yang melingkar masih bergerak seperti balon transparan. Kadang mirip fatamorgana berpendar pula warna-warna pelangi. Aku kembali ke keadaan semula. Kamar semi permanen, separuh tembok, separuh lagi papan. Darimana angin akan masuk? Nyaris tidak ada sela kecuali ventelasi di atas jendela. Pelan-pelan terdengar suara dinding dikeruk-keruk. Aku mencoba menajamkan panca indera dengar dan penciumanku. Panca indera yang kututup sekian lama. Hmmm..Dinding kamar Bapak! Bapak tidak akan mendengar suara yang mengeruk-ngeruk itu. Hidungku mencium aroma nenek gunung. Tapi bukan dari bangsa manusia harimau. Bangsa siluman. Tapi ketika ingat kejadian kebakaran itu, niat untuk tahu banyak tentang hal yang tidak terlihat oleh kasat mata kuurungkan.

“Eiiit…jangan diam saja melihat kezoliman depan mata. Lawan!” Tiba-tiba aku dibentak. Suara nenek Ceriwis. Aku jadi takut lebih tepatnya trauma. Nenek Ceriwis tidak hanya nyiyir, tapi suka mencubit. Mendengar nenek Ceriwis mengawasiku, aku langsung buru-buru meningkatkan kewaspadaan. Kuintai. Benar, siluman harimau jantan. Tubuhnya besar sekali. Mengapa dia menggaruk-garuk dinding? Mau apa dia? Makhluk darimana pula? “Hei, kamu sedang apa?” Sapaku dengan nada biasa. Melihat kehadiranku dia kaget. Diturunkannya kakinya buru-buru.. “Ah, tidak! Aku cuma mengasah kuku saja.” Ujarnya agak gagap. Aku mencoba membacanya. Membaca hati dan pikirannya. Termasuk membaca asalnya darimana. “Hiaaat! Das! Das!” Aku menyerangnya tiba-tiba. Siluman itu terpental jauh. Sebelum sempat dia bangkit, kuhantam lagi dengan pukulan tajam. Aku ingin mengorek kejujurannya. Makhluk ini suruhan dukun dari Banten, berniat mencelakai Bapakku. “Katakan, apa maksudmu datang kemari!” Kuinjak tubuhnya setelah dia terguling dan kukunci. “Ampun..ampun..aku hanya disuruh untuk membuat Bapakmu sakit, lalu mati..” Ujarnya menyembah minta ampun. “Tidak ada ampun sebelum kamu mengaku dengan jujur. Kalau kamu berbohong maka akan kuhancurkan tubuhmu!” Ancamku. “Aku tidak bisa menyebutkan siapa yang menyuruh.” Ujarnya memelas.

Iya aku tahu, makhluk peliharaan dukun ini tidak akan pernah mengaku siapa yang menyuruhnya. Itu semacam sumpah dan mereka memegang teguh janji itu meski taruhannya nyawa sekali pun. Jika mereka mengaku, maka siksaan akan lebih berat mereka terima dari sang dukun. “Kamu bodoh! Mau saja disuruh dukun untuk mencelakai manusia. Sudah kuhancurkan saja ya!” Aku main-main. “Ampun…ampun…ampunkan aku. Aku tidak ada pilihan. Anak baik, sudah jujur. Bapakmu adalah tumbal yang dilakukan seseorang. Aku hanya disuruh majikanku. Nah aku sudah jujur. Lepaskan aku ya,” ujarnya menunduk dalam sekali. Tapi aku tidak peduli. Siluman itu menjerit menolak ketika kutarik lalu kisimpan dalam jariku. Baru saja hendak bernafas lega, datang serangan tiba-tiba. Hantaman tenaga dalam diiringi dengan senjata rahasia menyerangku bertubi-tubi. Rupanya serangan Dukun dari jarak jauh. Dukun itu tidak terima anak buahnya kuambil. Serangan demi serangan terus dilakukannya. Dalam hati aku kagum juga dengan sang Dukun. Sakti! Dia menyerang nyaris tidak ada jeda. Mirip air hujan terus mengucur tidak ada henti. Aku berusaha mencari titik keberadaan sang Dukun. Oh rupanya beliau tidak seberapa jauh. Satu kilo ke arah hulu dari rumahku. Pantas dia lancar betul melakukan penyerangan. Jika sebelumnya aku hanya bertahan dan menghindar dari serangannya kali ini aku beralih melakukan penyerangan balik. Kuhantamkan halilintarku. Duar!!! Aku melihat sang Dukun terpental. Benda-benda ritualnya porak-poranda. Rupanya tidak hanya sampai di situ, dari jauh aku melihat jenglot peliharaan sang Dukun bangkit dari kotak. Makhluk hitam mengkeret bemata api itu menyerangku bertubi-tubi tidak dalam jarak jauh, tapi secepat kilat dia hadir di hadapanku. Gerakan dan pukulan tak kasat mata yang dimilikinya dasyat sekali. Aku berusaha untuk menangkapnya. Iblis ini akan kuhancurkan. Aku berusaha menyedot energinya. Ternyata jenglot menangkis tenaga dalamku. Benturan demi benturan terjadi. Asap berwarna ungu membumbung petanda kekuatan jenglot memang luar biasa. Cukup lama aku menyerang dan menghindar. Kali ini tenaga yang ke luar dari mata jenglot berupa api runcing meluncur tajam ke arahku. Aku berusaha menghalanginya dengan perisai payung dari kakek Bukit Ulu Selepah. DuaRR!!! Benturan terjadi kembali. Tanganku sampai bergetar hebat. Ini tidak bisa dianggap main-main. Jenglot memang berniat membunuhku. Aku mengayunkan tangan ke atas, kuambil energi halilintar membakar gunung, warisan Puyang Pekik Nyaring yang belum pernah kugunakan. Aku membaca mantra-mantra, seketika kurasakan energi mengumpul di telapak tanganku. Nampaknya jeglot menyadari hal itu. Dia siap-siap pula dengan serangan baru. Aku tak mau membuang waktu, secepat kilat kuhantamkan ke arah jenglot. Sinar kuning dari tanganku meluncur kencang sembari mengeluarkan suara seperti desing suling lalu menderu seperti deru angin. Halilintarku berkilat-kilat memancarkan api. Benar saja, benturan dasyat membumbungkan api besar sekali. Api tersebut membakar jenglot. Aku mulai lega.

Tiba-tiba aku mendengar tawa terbahak-bahak. Jenglot yang kukira telah terbakar ternyata tidak. Dia pandai mengelabui pandangan lawan. Yang terbakar tadi bukan jenglot asli. Tapi jenglot palsu, bayangannya. Demi melihat itu akhirnya aku membelah diri. Aku mulai menyisir mencari jeglod yang asli. Sementara pecahan tubuhku berhadapan dengan jeglod banyangan yang masih menyerang dengan bola api dari matanya. Rupanya sang jenglot asli duduk semedi. Tubuh kecil kasat mata tak bergerak itu, ternyata lebih ganas dari manusia. Ada kekuatan iblis di dalamnya. Tanpa menunggu lagi, langsung kuarahkan telapak tanganku. Api berkobar membakar tempat duduknya. Aku mencari- cari jenglot yang melesat ke mana. Kurang ajar!! Rupanya iblis ini licik sekali. Dia menyerangku dari belakang. Angin gerakkannya sangat dasyat. Aku langsung memutar badan sembari menunduk menghindar. Lalu kembali kulakukan serangan.”CeduaaaRR” Benturan keras terjadi. Kulihat dia agak mundur jauh ke belakang. Melihat dia bergerak mundur aku kembali menyerangnya. Kali ini dia tidak dapat menghindar. Hantamanku telak mengenai tubuhnya. Dalam sekejab tubuhnya hangus terbakar. Aku hanya menemukan sepotong arang sebesar ibu jari. Segera kunetralisir, lalu kuremuk jadi abu.

“Dek….Dedek….” Bapak menggedor-gedor pintu kamarku. Aku segera berlari membukakan pintu. Setelah terbuka kulihat Bapak melihatku heran.”Kamu tidak apa-apa kan?” Ekspresi Bapak sambil menyapu serius kamar dengan matanya. Aku tersenyum melihatnya. Rupanya kata Bapak dia mendengar ada suara menggeram, meraung, dan berisik sekali dari arah kamarku. Makanya sampai terbangun. “Tidak ada apa-apa. Bapak. Dedek baik-baik saja. Dedek belum tidur dari tadi. Suara Dedek bereskan kamar, Pak.” Ujarku menenangkannya. Bapak menarik nafas lega. Meski hidungnya bergerak-gerak seperti mencium aroma tertentu. Bau gosong jenglot. Untung Bapak tidak melanjutkan bertanya, lalu kembali masuk kamar melanjutkan tidurnya yang terganggu.

Aku tidur telentang memandang langit-langit kamar. Kembali kunikmati aura mistis lampu kamarku. Rencana mau membuka buku pelajaran. Batal. Aku kehilangan mood. Lama aku tercenung sendiri. Kutelusuri peristiwa barusan. Mulai dari suara angin dan hiruk -pikuk yang tidak kutemukan sumbernya, sampai berkelahi dengan siluman harimau, dukun dan jenglot. Rangakaian peristiwa yang sebenarnya sudah ingin kutinggalkan. Tapi panggilan hati, sungguh tidak bisa dibohongi. Andai anak nenek gunung di sirkus itu kubiarkan saja, aku tidak mau membantu nenek gunung rasanya tidak manusiawi sekali. Sementara mereka sudah minta tolong padaku. Lalu dukun yang masih saja mau mencelakakan Bapakku. Jika dulu aku diam saja, tidak peduli dengan teluh dan santet menyerang Bapak, karena aku benci dengan diri sendiri. Aku memiliki kampuan namun tidak boleh kugunakan. Sungguh penyiksaan batin hingga kini. Kalau tidak ditegur nenek Ceriwis, aku juga tidak peduli.Ah! Aku hempaskan nafas panjang. Mengingat masa lalu sungguh sakit. Hingga kini kehidupan kami seperti merangkak. Pejuangan Bapak dan Ibu luar biasa.

Dalam ketidak mampuannya Ayukku Nismah Hasan setengah terpaksa melanjutkan D2- nya di Universitas Lampung. Berangkatlah beliau ke Lampung dengan uang saku sekadarnya. Beruntung di Lampung ada saudara sepupuku. Ayuk Nismah menumpang di sana. Kakakku Syahrial Hasan, terpaksa drop out dari ATPU Cirebon, jurusan Arsitektur, gara-gara tidak ada biaya untuk Ujian Negara. Kakak yang paling pendiam dan pemalu ini akhirnya mencoba mengadu nasib, bekerja di Jakarta. Tapi akhirnya gagal, malah pulang ke Seberang Endikat, membantu-bantu di kebun kopi hingga kini menjadi petani. Akhirnya calon arsitektur itu jadi orang kebun. Lalu Arsito Hasan melanjutkan di MAN, adikku Andy Wijaya, sebentar lagi masuk SMP, si bungsu sekolah TK.

Sudah terpuruk seperti ini masih juga ada yang berniat mencelakai Bapak. Aku berpikir, terbuat dari apalah manusia seperti ini. Beruntung aku punya orang tua yang kuat. Aku sudah mau tidur. Waktu sudah menunjukkan pukul satu malam. “Selasih…mau ikut tidak?” Suara Macan Kumbang. “Kemana?” Tanyaku panasaran. “Ke Jarai. Depatkah bunting” Ujarnya. Depatkah bunting maksudnya menjemput calon pengantin. Pahamlah aku pasti ada nenek gunung yang berjodoh dengan bangsa manusia. “Depatkah bunting? Bunting siapa?” Tanyaku. Sebenarnya aku masih capek. Sudah lama aku tidak bertarung seperti tadi. Tubuhku masih lelah. Tapi demi mendengar depatkah bunting rasa ingin tahu mendorongku untuk ikut. Padahal besok aku harus kembali melatih kawan-kawanku baris-berbaris dalam rangka menyambut HUT RI. Sudah seminggu ini kakiku serasa mau copot. Setiap aku latihan, dua peri berpakain Jawa selalu mengawasiku. Saking seringnya, akhirnya aku tidak terlalu memperdulikannya lagi. “Mau ikut tidak? kalau mau ikut aku jemput,” Macan Kumbang lagi. Aku langsung menjawab ‘iya’.

Dalam sekejab Macan Kumbang sudah ada di hadapanku. Wow! Macan Kumbang ganteng sekali dalam pakaian adat ini. Berbaju Telo Belango berwarna hitam satu setel dengan celana panjang. Tanjak Pelembang, dan berkain tanjung warna merah marun sebatas dengkul. “Aku pakai baju apa? Masak pakai kaos oblong dan celana pendek?” Ujarku. “Justru itu, aku mengajakmu. Ini bajumu dari nenek Putri Kuning,” lanjut Macan Kumbang kembali. Mataku terbelalak. Aku disuruh pakai kebaya? Aduh! Aku langsung menepuk jidat. Bagaimana caranya? Akhirnya aku memakai baju yang diberikan Macan Kumbang. Macan Kumbang membantuku memakaikan kain agar terlihat anggun. Rambut panjangku segera kusanggul, lalu kupoles sedikit wajahku dengan bedak. “Nah, baru terlihat perempuan tulen,” Macan Kumbang tersenyum. Aku mesem-mesem mendapat pujian tersebut.

Akhirnya kami berangkat. Aku menunggangi Macan Kumbang. “Kita lewat depan rumah Guntoro saja” Ajakku. Mendengar permintaanku Kumbang mendengus marah. “Ini malam hari di alammu, sempat-sempatnya ngajak lewat depan rumah Guntoro. Jangan samakan dengan alam nenek gunung. Malam serasa siang, dan siang adalah malam.” Akhirnya aku diam saja. Aku memeluk Macan Kumbang. Lalu aku merasakan seperti terbang. Dalam sekejab kami sudah berada di Jarai bergabung dengan rombongan yang lain. Aku terperangah ada dua kelopok besar kehidupan. Satu kelompok nenek gunung lengkap dengan pakaian adat membimbing seorang lelaki muda, berkulit sawo mateng, tinggi sedang, berjalan diapit sepasang orang tua dengan senyum sumringah. Satu kelompok lagi bangsa manusia turun naik tangga rumah dalam suasana mencekam. Seorang ibu menangis tersedan diikuti oleh beberapa orang berurai air mata. Di hadapannya terbujur kaku jenazah yang ditutup dengan kain panjang. Jantungku berdebar kencang. Ingin bertanya, namun aku takut. Aku bertemu dengan nenek Ceriwis yang memelukku penuh rindu. “Aiii…cucungku gadis Besemah, anggun sekali.” Nenek Ceriwis memerhatikan aku dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. “Terimakasih bajunya, Nek” Aku tersenyum. Sebab baju yang kupakai sama motifnya dengan yang dipakai nenek Ceriwis dan beberapa perempuan. Artinya yang memakai seragam seperti ini ada hubungan kekerabatan. Beberapa lelaki memakai pakaian telo belango sama seperti yang dipakai Macan Kumbang.

Aku masih bertanya-tanya dalam hati melihat situasi agak aneh ini. Sang calon pengantin nampak tegang, ekspresinya sangat kaku. Meski kelihatannya ganteng, namun bibirnya pucat. Pandangan matanya lurus. “Pengantin perempuan mana, Nek?” Ujarku pada Nenek Ceriwis. Terus akan dibawa kemana?” Tanyaku penasaran. “Pengantin perempuan di Ulu, di sana sedang menunggu kita mengantarkan bunting lanang (pengantin laki-laki). Makanya tugas kita depatkah buting, untuk kita antar ke rumah pengantin perempuan, persiapan untuk menikah dan langsung bagok’an” Ujar Nenek Ceriwis lagi. Dalam hati aku bertanya-tanya. Artinya sebentar lagi kami akan ke gunung Dempu. Akhirnya aku diam saja mempelajari situasi yang tidak sinkron antara rombongan kami yang berbahagia dengan rombongan kaum manusia yang berduka. Calon pengantin diarak oleh kelompok lelaki memakai terbangan, tambore, biola, akordion sembari bersyalawat dan puji-pujian berirama riang berjalan pelan menjauh dari perkampungan. Aku juga berada di barisan belakang. dibimbing nenek Ceriwis. Rata-rata ekspresi yang kulihat cerah, bahagia. “Ringankan tubuhmu,” Nenek Ceriwis mengingatkan. Aku patuh. Dalam waktu sekejab rombongan kami seperti berjalan di atas angin meniti jalan lurus dan lengang. Aku berada dalam dimensi yang lain. Baru kali ini aku ke gunung Dempu ikut dengan fisikku. Biasanya jasadku tinggal. Kami berjalan seperti melayang. Aku pasrah saja tidak ikut menggerakkan angin.

Salawat masih menggema sepanjang perjalanan. Para pemain musik dan vokalisnya semangat sekali. Tidak hanya memukul alat dengan energik, tapi ikut bergerak dan menari-nari. Sekarang kami sudah memasuki gerbang dusun. Sesampai di dekat gerbang, rupanya ada yang menjaga. Penjaga ini sengaja menghadang rombongan kami. Jadi rombongan kami berhenti sejenak harus minta izin dulu sebelum memasuki pintu gerbang dusun. Penjaga gerbang dusun menyapa kami dengan pantun yang isinya bertanya maksud kedatangan kami. ‘Ikan bilis beranak pinak segera goreng agar tak busuk. Apa maksud kedatangan sanak. Sebelum kami ijinkan masuk..Selanjutnya rombongan kami ada jubir yang menjawab pertanyaan itu dengan pantun pula; Burung bubut berbulu tembaga. Kutilang kuning hinggap di ranting. Izinkan kami masuk tuan penjaga. Kami berniat mengantarkan bunting.

Ada tiga batang (bait) berbalas pantun hingga kami diizinkan masuk. Dalam hati aku kagum dengan mereka begitu cepat berangkai kata menjadi puisi klasik ini. Usai berpantun lalu penjaga membuka semacam kayu yang sengaja dibuat melintang. Akhirnya kami masuk. Kali ini kami berjalan menyusuri jalan berumput yang dipotong rapi. Tak lama kami sampai di depan rumah panggung yang ramai. Di depan rumah ada semacam tenda yang ditata sedemikian rupa. Tiap sisi tenda dipasang janur dengan aneka bentuk. Nampaknya inilah rumah mempelai wanita. Beberapa orang tua berseragam duduk berjejer menyambut kedatangan rombongan kami. Jika sebelumnya arakan kami bersalawat, sekarang gantian diambil alih rabana oleh ibu-ibu yang suaranya merdu, dan sangat fasih ketika menyanyikan lagu-lagu bahasa Arab. Aku merasa benar -benar di negeri asing yang tidak dikenal sebelumnya. Kami di arahkan menuju panggung yang ditata dengan nuansa religi. Latar panggung serupa bubungan masjid berwarna keemasan dibantu lampu warna-warni. Kesannya mewah sekali. Rupanya kami disuruh menikmati berbagai macam kuliner yang disusun dalam hidangan panjang. Berbagai kue tersaji rapi. Calon mempelai lelaki ikut duduk dan makan minum juga.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *