HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT II (33)

Karya RD. Kedum

Pagi sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Tapi karena kabut, suasana seperti baru pukul enam. Untuk mengusir rasa dingin aku duduk di dekat tungku dapur yang kupelihara agar apinya terus menyala. Berkali kali kurekahkan tangan menghadap api agar telapak tanganku hangat. Kadang-kadang kuhangatkan punggung dengan berbalik membelakangi perapian.

Air yang kujerang sudah dua kali mendidih. Kopi yang pertama sudah terasa dingin. Begitu juga juadah gulung terasa lempam. Kucelupkan ke air kopi sebelum kumakan. Cara ngopi di dusun mencelupkan roti atau panganan lain ke dalam teh atau kopi sebelum dimakan sepertinya memang sudah tradisi. Sebenarnya perutku belum kenyang baru berisi kopi dan juadah gulung. Perutku minta nasi. Aku memeriksa periuk dengan harapan ada nasi dan akan kugoreng ala kebun. Tambahkan minyak, daun bawang dan garam saja. Tapi setelah kubuka, periuk kosong. Aku mencoba mencari simpanan beras nenek Kam. Biarlah aku akan coba memasak nasi. Sudah kucari kaleng beras, atau tempat simpanan lainnya, tidak ada. Semuanya kosong. “Nenek Kam ini bagaimana makannya? Mengapa di pondok ini tidak ada bahan makanan? Yang ada hanya kopi dan gula” bisikku dalam hati. “Sebentar lagi akan ada yang mengantarkan makanan dari Ulu. Nek Kam kalau di kebun tidak pernah masak. Dah sepuh kok disuruh masak. Apa lagi harus memasakkan dirimu yang suka makan” Suara Selasih pelan. Aku mendelik mendengar kata terakhirnya.

Kata memasakkan dirimu yang suka makan terdengar menyakitkan. Selalu saja Selasih berbicara bergelambir. “Hmmm kayaknya senang mencari-cari masalah denganku ya? Kalimat terakhirmu itu benar-benar menyudutkanku.” Ujarku. “Memang suka makan kan?” “Memang suka makan, tapi tak secangok seperti katamu!” Bantahku. Aku bangkit ke luar pondok mencari nenek Kam. Tidak ada. Aku hanya melihat pohon kopi seperti pagar tumbuh melingkari pondok dan halaman kecil di depannya. Teghung juluk di sudut pondok berbuah lebat. Ada yang hijau ada juga yang sudah masak berwarna merah hati. Air liurku langsung merembes dari sisi kiri kanan pipi. Kudekati, aku sudah perkiraan akan memetik beberapa biji siang nanti. Ternyata teghung juluk ini sangat subur. Terlihat dari buahnya besar dan mengkilat, dahannya gemuk, daunnya lebar dan hijau. Lurus seberang pintu pondok, pohon petai nampak berbunga. Kudung petai bentuknya seperti subang raksasa bergelantungan di ujung-ujung dahan.

“Selasih, lihat itu ada dua anak kecil tengah memungut kudung petai yang jatuh. Siapa mereka?” Ujarku memerhatikan dua anak kecil tanpa alas kaki dan hanya memakai cawat saja. Padahal udara sangat dingin. Meski kabut begitu tebal namun tak menghalangiku melihat gerak-gerik dua anak itu. Aku tidak bisa memperkirakan apakah lelaki atau perempuan. Sebab rambut mereka panjang dan tebal nyaris menutupi wajah. Apalagi keduanya sering membelakangi. Aku tidak tahan melihat keduanya seperti tidak peduli denganku. Akhirnya aku turun lalu mendekati mereka. “Adik, kalian sedang mengambil apa?” Tanyaku selembut mungkin agar mereka tidak terkejut. Keduanya menoleh serentak. Betapa kagetnya aku. Tubuh mereka saja seperti anak-anak. Wajah mereka seperti orang tua, berkerut, bermata bulat dan besar. Yang lebih mengerikan lagi adalah taring mereka hingga melebihi dagu. Salah satu di antara mereka berbicara tidak jelas. Tapi nampaknya mereka tidak marah atau takut padaku. Tapi untuk komunikasi agak kesulitan. Aku tidak bisa memahami bahasa mereka. Mereka juga nampaknya tidak paham apa yang aku maksud. Akhirnya aku hanya mengatupkan tangan ke dada, mengangguk hormat dan tersenyum.

Belum usai aku berpikir tentang makhluk di hadapanku, dari balik kabut Nek Kam muncul. Aku langsung berlari mendekatinya. Kulihat di tangannya membawa beberapa biji buah pelam yang sudah masak. Aromanya mulai menyebar. Harum dan segar. Aku langsung bertanya tentang makhluk mirip manusia yang mengendap-ngendap mengambil kudung petai. Ketika kami menoleh, makhluk itu sudah tidak ada. “Biarkanlah, paling juga makhluk yang tinggal di hutan sekitar sini” Ujar nenek Kam. Aku masih berpikir makhluk apakah gerangan? Mengapa tiba-tiba menghilang bersamaan nenek Kam datang? Akhirnya aku dan nenek Kam naik ke pondok. Aku langsung kembali ke perapian memanaskan tubuh, bediang. Asap yang bergulung kadang ke arah wajahku membuat aku harus menutup mata karena perih. Kadang sampai berair seperti orang menangis. Sambil terus memanaskan badan, pikiranku kemana-mana membaca gelagat alam. Sunggguh banyak sekali rahasia alam yang tak terbaca olehku. Mulai dari peristiwa tadi malam, aku seperti dibawa terbang di atas punggung nenek gunung, lalu berada di hutan bukit Patah hingga kini aku tidak tahu di mana posisinya, menyelamatkan nenek gunung, menggendong tubuh besarnya, menginjak hutan belukar yang penuh duri tanpa alas kaki namun tidak terasa sakit sama sekali. Meski bayak hal aneh yang tidak masuk akal kualami sebelumnya namun peristiwa tadi malam sungguh paling berkesan. Namun ketika teringat aku ngompol, aku jadi senyum-senyum sendiri. Kalau tidak digoda Macan Kumbang tidak akan terjadi insiden memalukan itu. Untung hanya kami bertiga. Kalau di tempat orang ramai? Hmmm mau diletakan kemana mukaku.

Aku mengikuti gerak-gerik nek Kam dengan ekor mataku. Belum ada tanda-tanda akan ada sarapan pagi. Sementara perutku sudah dari tadi seperti balon kurang angin. Kecil dan kempis. Akhirnya aku kembali menyedu kopi. Hanya ini cara menghangatkan badan untuk mengusir rasa dingin dan lapar. Ingin makan teghung juluk atau pelam masih terlalu pagi. Sementara juadah gulung sudah hampir separuh kumakan. Namun belum bertemu nasi hidup ini rasanya belum afdol. “Nek, mana beras simpanan nenek. Biar aku menanak nasi” Ujarku memancingnya. “Tidak usah menanak nasi Sebentar lagi ada orang yang mengantarkan makan kemari” Jawabnya. “Siapa Nek? Nenek gunungkah? Seperti tadi malam lauk dan nasi tiba-tiba ada. Dari mana?” Tanyaku ingin tahu. Belum sempat nenek Kam menjawab, tiba-tiba aku melihat matanya yang kecil namun tajam itu ke luar. Lalu mulutnya mengeluarkan suara yang tidak jelas. “Dek, ambillah nampan di luar” perintah nenek Kam. Aku langsung berlari ke luar. Aku mencari-cari nampan yang nenek maksud. Tidak ada! Yang ada hanya bakul bambu tergeletak di sudut tangga. Mana nampannya? “Nek, nggak ada nampannya. Yang ada hanya bakul bambu.” Ujarku masih berdiri di garang. “Bawalah bakul itu. Itulah nampannya” Jawab nenek Kam. Aku pikir nampan yang dimaksud adalah wadah makanan yang terbuat dari kaleng berukuran lebar, datar, mirip baki bulat biasa dijadikan tempat meletakkan nasi lauk-lauk ketika orang ngobeng atau mengantarkannya ke masjid usai salat Ied untuk makan bersama. Di dusunku tradisi itu disebut nampan.

Uf!! Ternyata cukup berat juga. Bakul terbuat dari kulit bambu kapagh ini masih baru, belum terlalu layu. Aroma buluh masih menyengat. Alangkah rajinnya si pembuat bakul, kerap dan rapi. Oh! Isinya nasi lengkap dengan lauk pauk. Lagi-lagi makanan istimewa. Tapi siapa yang membawanya kemari? Mengapa tidak bertemu langsung saja dengan Nek Kam atau aku? Malah diletakan di pangkal tangga garang. “Nek, setiap hari nenek makan seperti ini. Enak betul! Makan besar trus” Ujarku. “Tidak selamanya, kebetulan di ulu lagi musim bagok. Makanya kita diantar makanan enak ini” Kata Nek Kam sambil menyomot ikan ghuan masak kecap. Masakan kesukaanku yang hanya akan ditemui pada acara sedekahan atau pantauan. Awal makan pagi yang mengasyikkan. Usai makan nek Kam menyuruhku membereskan semuanya. Aku pun merapikan kembali sisa makanan ke dalam bakul dan menutupnya rapat.

“Ada orang hendak datang ke mari. Bentangkan tikar” Ujar Nek Kam. Aku mengambil gulungan tikar yang paling besar di sudut pondok. Lalu membentangkannya di tengah-tengah. Dalam hati aku bertanya, siapa yang hendak datang pagi-pagi begini? Apakah nek Kam ada janjian dengan orang? Atau yang datang makhluk aneh tak kasat mata seperti dua anak kecil berwajah tua tadi? Belum selesai aku berpikir mengira-ngira siapa yang datang, tiba-tiba ada tiga gadis dewasa mengucapkan salam dan langsung naik tangga pondok berdiri di garang. Aku menyilahkan mereka masuk beralas tikar yang baru kubentang. Sekilas kuamati tiga gadis ini. Semuanya cantik dan berwajah lembut. Rambutnya panjang, lurus, halus dan hitam dibiarkan tergerai menutupi sebagian punggung mereka. Senyum ketiganya tidak pernah lepas. Menyembul gigi kecil putih dan rapi. Kulit mereka semuanya mulus berwarna kuning langsat. Ketika bersalaman, aku merasakan telapak tangan mereka sangat licin. Tak sedikit pun aku merasa menyentuh kulit manusia. Aku heran mengapa bisa begini? Namun perasaan itu kubuang jauh-jauh. Aku tak ingin berprasangka. Apalagi dengan tamu Nek Kam.

“Neeeek, ada tamu nenek nih. Sudah datang” Teriakku memanggil Nek Kam yang berada di belakang pondok. “Iya…tunggu sebentar Cung, suruh masuk dulu” Jawab nek Kam. Suaranya agak jauh. Aku balik ke ruang tengah. Menghampiri tiga tamu yang duduk rapi. “Ayuk-ayuk darimana?” Tanyaku membuka percakapan. Aku terperanjat ketika bertatapan dengan mereka. Tiba-tiba mata mereka berubah, berbinar-binar tajam sekali. Dan bitik hitamnya kecil sekali. Aku jadi teringat ratu ular yang melilit rumpun bambu di rumah bik Sum. Apakah ketiga perempuan cantik ini pun makhluk seperti itu? Instingku mulai berjalan. Kutajamkan semua pancaideraku. Aku mulai mencium aroma anyir, aroma ular. Tidak salah lagi. Ke tiga putri ini jelmaan ular. Ada apa mereka datang kemari? “Kami bertiga dari sendang ulu Air Getapan” jawab salah satu mereka. Air Getapan? Bukankah tempat itu jauh dari sini? Jauh di hulu kebun Kakek Haji Yasir. “Oh, jauh juga Yuk dari sini. Pukul berapa dari sana. Apa tidak dingin di jalan berkabut” Tanyaku demi melihat ketiganya memakai gaun pendek sebetis. Lengannya pun pendek mendekati bahu. “Di sana ada kebun Bapakku. Ciri-ciri kebun Bapakku dikelilingi bambu kapagh seperti pematang” Ujarku lagi. Sebab aku pernah diajak Bapakku ke sana ketika biliau mengecek kebun kopinya. “Iya, kami di hulunya, tidak jauh dengan kebun Hasan, Bapakmu” jawab salah satu lagi dari mereka. Oo rupanya mereka kenal dengan Bapakku. Tapi bagaimana mereka tahu kalau aku anak Hasan? Bertemu juga baru kali ini? “Kami sudah kenal dirimu sejak bayi. Sejak kamu masih digendong ibumu” Kata salah satu lagi dari mereka. Aku hanya mengangguk-angguk kecil. Ya wajar saja, di seberang Endikat ini umumnya semuanya kenal. Tidak ada yang tidak meski terdiri dari beberapa dusun. Rupanya tiga makhluk ini diam-diam mengenali bangsa manusia juga. Aku meletakan toples berisi juadah gulung dan tiga cangkir air putih. Meski tidak ada yang disentuhnya, paling tidak aku tidak akan ditegur nenek Kam karena tidak menghargai tamu.

Tak lama berselang pondok terasa berderit. Rupanya nek Kam naik dari tangga pondok belakang. Di tangannya beberapa daun banglai, adas manis, daun jeruk purut dan daun pedas abang. Kukira nek Kam akan membuat ayek seghebat dengan daun rempa-rempa itu. Nek Kam memang jagonya membuat herbal dari rempa-rempa. Apalagi jika ada yang datang minta obat pada beliau, maka daun, akar, kulit kayu dan sebagainya entah darimana dapatnya pasti akan beliau racik untuk obat. Melihat nek Kam datang, ketiga gadis manis itu bangkit dan sujud dengan nenek Kam. Lalu kembali duduk rapi. Melihat nek Kam sudah duduk aku undur diri agak menjauh. Namun tetap saja aku penasaran kedatangan manusia ular itu.

Aku duduk di garang dekat dapur menghadap ke kebun belakang. Aku ingin tahu apa yang mereka lakukan. Aku mulai mendekati mereka. Nenek Kam tahu kejahilanku. Tapi beliau tidak melarang. Oh ternyata tiga makhluk cantik itu tahu juga kehadiranku. “Cucu Nek Kam satu itu hebat luar biasa. Rasa ingin tahunya tinggi. Tapi dia tetap bisa menjaga diri. Tidak sombong dan sopan” Ujar salah satu perempuan cantik itu. Aku jadi malu. Padahal ingin mengamati dengan cara sembunyi-sembunyi. Tapi ternyata ketahuan juga. “Iya, dia sebenarnya tahu siapa kalian bertiga. Tapi dia buang perasaan itu karena tidak mau berburuk sangka” ujar Nek Kam membelaku. Ketiga putri cantik itu tersenyum. “Silakan apa maksud kedatangan kalian? Aku sudah menunggu sejak tiga hari lalu” Ujar Nek Kam sambil membetulkan duduknya. Tangan nek Kam kulihat mengusap-ngusap telapak tangan. Aku melihat ada kabut putih ke luar dari sana. Lalu kabut itu membuat lingkaran mengelilingi tiga dara manis itu. “Maaf, saya terpaksa memagari kalian karena ada Panglima Selatan mengejar kalian. Aku silamkan kalian dari pandangan Pangglima itu” kata nenek Kam. Tak lama berselang aku mendengar desingan angin kencang sampai-sampai pohon di sekitar pondok bergoyang-goyang.

Benar! Tak lama setelah itu aku melihat seorang laki-laki bertubuh merah berdiri di tengah halaman pondok nek Kam. Melihat perawakannya lelaki serba merah ini menurutku termasuk makhluk yang cukup menyeramkan. “Relingin. Keluarkan tiga putri Ulu Ayek Getapan. Jangan kau sembunyikan!” Ujarnya kasar. Mendengar suaranya yang menggelegar membuat aku sedikit marah. Apalagi memanggil nama nek Kam dengan nada tinggi seperti itu. Rupanya nek Kam paham dengan perasaanku. Beliau menatapku lalu menggoyangkan dagunya agar aku saja melayani lelaki jelek itu. Aku melompat ke luar. Kurasakan tubuhku sangat ringan. “Bisakah dengan cara sopan sedikit memanggil nama nenekku, Mang? Datang-datang kok nada nya marah?” Ujarku tidak senang. “Kamu siapa anak kecil. Cucu Relingin? Minggir saja. Aku tidak mau berhadapan dengan anak ingusan. Mana nenekmu suruh dia ke luar. Kalau tidak terpaksa aku menyingkirkanmu” Lelaki yang nenek sebut Panglima Selatan mengibaskan tongkat kayunya.

Luar biasa, hanya sekadar menggoyangkan tongkat saja aku merasa kibasan anginnya dasyat sekali. Batinku mengatakan lelaki ini berasal dari laut selatan Bengkulu. Ada perlu apa dia mencari tiga gadis tamu nek Kam? “Sebaiknya Mamang pergi saja dari sini. Saya tidak suka melihat kehadiran Mamang. Apalagi nenekku” Ujarku mulai dengan nada mengancam. Panglima Selatan tertawa lebar sehingga terlihat mulutnya berwarna merah darah dan hawa yang keluar dari mulutnya berhawa panas sekali. Lagi-lagi aku kaget! Panglima Selatan ini rupanya seekor naga dari laut. Aku mulai meningkatkan kewaspadaanku. Rada-radanya dia akan menyerangku karena aku mengetahui siapa dia.

Aku segera mengatupkan tanganku ke dada. Kubaca mantra angin untuk melawan serangan Mamang Panglima Selatan ini. Rupanya dugaanku benar. Usianya saja tua. Tapi naga laut ini tidak pandang bulu sedang berhadapan dengan siapa. Dia sudah siap-siap menyerangku. “Relingin jangan salahkan aku kalau cucumu mati di tanganku” Suaranya kembali menggelegar. Aku mulai memasang kuda-kuda jurus dasar kuntau. Gerakan-gerakanku ternyata ditertawakan Panglima Selatan. “Menghadapi aku dengan menari seperti itu unik juga ya! Lucu sekali! Aku seperti melihat seni pertunjukan tari harimau lapar, letoi tak berdaya.” Ujarnya lagi.

Mendengar ucapannya panas juga telingaku. Namun aku berusaha santai. Aku tidak boleh menghadapi siapapun dengan emosi meski sangat ingin mencakar mulutnya yang merah itu. Aku melihat ekspresinya berubah ketika aku mulai melakukan serangan lebih dahulu, angin kubuat seperti pusaran menyerang mulutnya yang mengangah hendak menyemburkan api. Tiba-tiba tubuhnya berubah menjadi seekor naga dengan sayap dan kaki yang berkuku tajam. “Pulang sajalah kembali ke laut mamang Panglima Selatan. Aku tidak ingin melihat bangkaimu di sini.” Ujarku sedikit mengancam. Aku berterima kasih pada angin yang selalu membantuku bergerak. Sambaran hawa panas dari tiap gerakkannya diusir angin berbalik padanya. Tubuhnya meliuk-liuk di udara kadang berusaha menyambar tubuhku.

Aku jadi ingat pertarugan kakek Andun di bumi pekemahan dengan ratu ular naga yang ganas, ketika menyelamatkan kawanku yang hendak dijadikannya tumbal. Kalau dulu aku menghadapi tiga anak buahnya ratu ular, tapi kini yang kuhadapi Panglima Naga yang tentu kemampuannya luar biasa. Namun aku tetap menyakinkan diri, aku bisa menghadapi makhluk laut satu ini. Beberapa kali tubuhku terangkat ke udara melakukan serangan dengan senjata yang diberikan kakek Andun. “Hiaaaaat!!! Cahaya biru dari tangan kananku kukerahkan sepenuhnya mengarah ke wajah mamang Panglima Selatan. Ternyata dia mampu menghindar, hanya ekornya yang kena karena bertepatan meliuk ke udara. Ternyata hasilnya luar biasa. Panglima Selatan terhempas ke tanah. Ekornya lumpuh tak bisa bergerak lagi. “Buuum!!” tubuh besarnya terhempas membuat bumi seperti gempa. Melihat tubuhnya sudah jatuh, aku menghentikan serangan dan ikut turun berdiri di hadapannya.

“Mamang naga Panglima Selatan, maafkan aku sudah menyakiti Mamang. Silakan pulang Mang, aku harap Mamang jangan datang kemari lagi” Nadaku sedikit menyesal. Aku terkejut ketika ada yang bertepuk tangan ramai sekali. Ternyata ada kakek Andun, Kakek Bujang Kuning, kakek Njajau, Macan Kumbang, nenek Ceriwis dan beberapa nenek gunung berdiri beraris di atas tanah seperti gundukan. Aku menoleh pada mereka. Mengapa mereka semuanya hadir? Belum sempat aku menyapa semuanya, Pangling Selatan telah menghilang. “Biarlah dia pulang ke laut Bengkulu lagi. Dia sudah terluka oleh senjata Putri Selasih. Tidak usah dikejar.” Ujar kakek Andun setelah melihat Kakek Bujang Kuning hendak bergerak.

Aku langsung berlari menghampiri Kakek Andun terlebih dahulu. Kupeluk beliau erat sekali. Aroma harum yang khas dari tubuhnya kuhirup dalam-dalam. Aroma yang kerap aku rindukan. Selanjutnya aku menyalami kakek Njajau, kakek Bujang Kuning, nenek Ceriwis dan kawan-kawannya. Aku tahu, mereka datang untuk melihat pertarunganku. Atau ingin membantuku. Aku bahagia karena banyak sekali kakek dan nenek yang memerhatikan dan menyayangi aku. “Angin mantramu telah mengirimkan pesan tentangmu. Makanya kami semua hadir di sini. Kami tidak khawatir padamu. Kami yakin untuk menghadapi ular naga itu cukup dengan tangan kecilmu. Makanya kami hanya menonton saja. Dia adalah bangsa jin dari laut selatan Bengkulu.” Ujar kakek Andun berulang kali. Aku hanya mampu mengucapkan Terimakasih pada mereka yang sangat perhatian padaku. Entahlah, aku sendiri tidak tahu begitu dekatnya jiwaku terhubung pada mereka. Sehingga mereka tahu jika aku dalam bahaya sekali pun.

“Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Silakan masuk tamu-tamu agung dari uluan” tiba-tiba nenek Kam menongolkan wajah dari balik jendela pondok. Semua menjawab salam nenek Kam serentak. “Kami tidak bisa berlama-lama, Relingin. Kami juga ada kerjaan. Kami mohon diri. Putri Selasih, jaga dirimu baik-baik” Ujar kakek Andun. Selalu saja setiap bersua kakek Andun berpesan agar aku menjaga diri baik-baik. Aku mengangguk kecil mengiyakan. Selanjutnya mereka lenyap dari pandanganku. Aku berlari segera menaiki tangga pondok, mendekati jasadku di garang belakang. Lalu menghampiri nek Kam dan tiga perempuan cantik itu.

“Siapa Mamang Panglima Selatan itu, Yuk. Mengapa dia mencari kalian?”. Tanyaku. “Dia memang selalu mencari kami bertiga, karena hendak menjadikan kami istrinya. Namun kami tidak mau. Makanya kemana kami pergi selalu dikejarnya. Untuk itulah kami kemari untuk meminta pertolongan nek Kam agar kami tidak dikejar-kejar oleh makhluk laut itu” Ujar salah satu mereka. Barulah aku paham, rupanya mereka minta disilamkan dari pandangan Panglima Selatan. Meski bau ketiganya masih akan tercium oleh naga laut itu namun dia tidak akan bisa melihat wujud ketiganya. Tiba-tiba aku melihat wujud tiga ular kecil sebesar jari kelingking berwarna putih. Di atas kepala mereka ada bintik hitam seperti mahkota. Ketiganya meliuk-liuk minta izin pulang dan berterima kasih karena sudah ditolong nenek Kam. Lalu seperti semut berbaris ketiganya beiringan ke luar pondok. Aku menyusul ketiganya. Sampai di pangkal tangga. Selanjutnya ketiganya raib entah kemana. Makhluk itu menghilang. Tinggallah aku berdiri di pintu sembari mengusap mata, kutepuk-tepuk pipiku. Ini nyata, bukan mimpi! Aku meyakinkan diri.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *