HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT III (41A)
Aku kembali mendengar hiruk pikuk kota kecil Pagaralam. Kendaraan simpang siur tidak ada aturan, melintang pulang seenaknya, jalan umum mirip terminal. Suara klakson dan asap kendaraan campur aduk jadi satu.
Setelah masuk ke gudang kopi Bapakku, suara perempuan penampi kopi dan gancu mulai memenuhi gudang. Obrolan panjang lebar para perempuan ikut meramaikan aktivitas siang ini. Seperti biasa Bik Sumi paling antusias ketika melihat aku. Beliau langsung meletakan tampa berisi kopi, lalu berlari menghampiri.
“Aduuuuh, bibik rindu sekali Dek. Lama sekali pulang kampung. Masya Allah…Dek, kulitmu makin keling. Main apa saja di sana? Hmmm..
Tapi bibik lihat kamu makin dewasa saja. Tidak ngompol lagi kan?” Goda bik Sum sambil memelukku. Aku sedikit menahan nafas. Aroma keringat dan debu kopi campur aduk dari tubuh bik Sum.
“Dedek juga rindu, Bik. Sstttt…Bik, Dedek mau makan…suapin…” Bisikku ke telinga bik Sum. Senyumnya langsung mekar. Bik Sum langsung menarik tanganku masuk ke dalam rumah. Beliau langsung ke kamar mandi bersih-bersih terlebih dahulu, lalu gantian menyuruhku membersihkan tangan. Kemudian kulihat sibuk mengambilkan nasi untukku.
“Tadi bibik beli gulai rebung, ikan lele goreng, sambal petai.” Ujarnya. Ibu ikut-ikutan melihat isi tudung saji. Mereka terlibat obrolan sebentar. Ibu bertanya sibuk sekali Bik Sumi selama ditinggal pergi. Selain bekerja di gudang Bapak, juga sibuk menyiapkan makan dan beres-beres rumah. Mereka ngobrol sambil menyuapiku. Nikmat sekali rasanya disuap Bik Sum. Tangannya lincah sekali memisahkan daging dan tulang ikan. Sesekali aku diberinya minum jika melihat terasa seret ditenggorokan. Sepiring nasi amblas seketika. Perutku terasa sangat kenyang. Sebenarnya Ibu tidak setuju melihat Bik Sum menyuapiku. Tapi berhubung aku ngotot, Bik Sum juga ngotot, kami berdua menang.
“Makasih, Bik. Besok lagi ya.” Ujarku sambil berlari naik tangga. Aku langsung ke kamarku memeriksa majalah Bobo dan Kuncung. Ada empat majalah. Dua kali penerbitan. Aku memilih-milih mana yang terbit lebih dulu. Duduk dan membacanya. Tidak terasa dua majalah ludes kebaca. Tinggal membaca dua majalah lagi.
“Putri Selasih….” Tiba-tiba aku mendengar suara halus sedikit mendesis. Aku mengangkat kepala, mencoba fokus pada panggilan itu. Siapa gerangan? Mengapa suaranya mirip suara perempuan yang meringis? Apa mungkin makhluk gaib bangsa jin berupa pocong, atau hantu?
“Selasih….” lagi-lagi suara itu mirip desis.
“Siapa kamu” balasku. Aku mereka-reka asal suara. Aku mulai serius menyisir darimana arah suara itu. Yang jelas bukan berasal dari rumahku. Aku segera menutup pintu kamar, mulai duduk bersedekap, mengikuti arah suara. Aku mulai berjalan ke arah utara kota Pagaralam. Sampai ke Air Laga. Perkampungan pinggiran kota Pagaralam yang masih terbilang sepi. Banyak sekali paok (kolam) milik masyarakat. Hampir setiap sisi air. Jalan untuk ke rumah penduduk hanya dihubungkan pematang paok yang kecil. Aku terus berjalan meniti pematang. Suara itu sepertinya tidak jauh dari sini.
“Aku di sini Selasih, aku ditindih batu besar ini…” Aku mendengar lagi suara perempuan yang sudah sangat lemah. Aku terperanga! Rupanya ular berwarna keemasan ditindih batu sebesar meja. Bagaimana bisa? Aku tak habis pikir. Kulihat kiri kanan tidak ada bekas batu menggelinding atau jatuh. Bagaimana ular besar ini bisa ditimpa batu?
“Sabarlah..aku akan berusaha menolong untuk menyingkirkan batu ini.” Ujarku. Namun melihat ruang tepat ular terjepit dan sempit, dan tidak memungkinkan untuk mendorong batu sebesar ini, aku jadi berpikir keras. Hendak menghancurkan batu ini pun tidak mungkin. Aku takut si Ular malah terluka. Di tengah berusaha berpikir keras untuk menyingkirkan batu, ditambah melihat ular sudah semakin lemah, muncul rasa panikku. Aku harus minta tolong siapa? Ah! Paman raksasa!!
“Paman sini bantu aku…” Aku memanggilnya sembari meningkatkan kekuatan batinku. Dalam sekejab paman Raksasa datang. Langkah kakinya yang besar membuat bumiku berpijak bergetar.
“Apa yang bisa paman bantu, anakku yang cantik!” Ujar paman gembira. Aku segera minta beliau mengangkat batu yang menimpa si Ular. Tanpa berpikir panjang, paman langsung mengangkat batu dengan sebelah tangannya. Lalu batu itu digenggamnya dengan kedua belah telapak tangan, diremuknya hingga jadi debu.
Belum selesai paman Raksasa membersihkan tangan, dari arah barat kulihat seberkas cahaya menyerang paman Raksasa. Secepat kilat kusambar cahaya itu. Benturan tak dapat dihindarkan. Aku mencari-cari siapa penyerangnya. Kulihat dari dalam jurang yang tidak terlalu dalam, seorang perempuan tua berambut kusut bersiap-siap melakukan serangan kembali. Aku segera melompat menghampirinya sembari menahan serangannya.
“Stop! Nek. Mengapa sangat bernafsu sekali melakukan penyerangan” Ujarku. Matanya berkilat-kilat. Telinganya yang lancip membuat wajah perempuan tua ini semakin serem.
“Hei harimau bulukan, jangan ikut campur urusanku!” Seringainya. Dalam hati aku menggerutu dibilang harimau bulukan.
“Nek, makanya pakai kacamata. Masak harimau putih bersih sepertiku Nenek bilang bulukan? Nenek yang bulukan. Gigi nenek aja hitam, kulit keriput. Nggak ada cantik-cantiknya.” Balasku sedikit bercanda. Rupanya matanya semakin berkilat.
“Beraninya kau mengejek aku harimau kecil! Kau cari mati! Bagaimana kau tidak bulukan, harimau kok warna putih. Harimau itu belang kuning dan hitam. Baru kelihatan cakep” Si Nenek mengayunkan tongkatnya. Seketika aku merasakan desingan angin begitu kencang. Aku segera menghindar. Hantaman tongkatnya seperti ular yang mematuk. Nenek ini serius melakukan penyerangan yang mematikan. Aku tak mau mati konyol. Akhirnya kulayani juga nenek tua ini. Berharap dia tidak terluka gegara pukulanku. Jika melihat gerakannya si Nenek hebat juga. Ilmu bela dirinya juga kuat. Aku melihat tusuk kondenya berkilat-kilat. Tusuk konde itu suwaktu-waktu bisa berubah jadi senjata mematikan.
“Nenek kenapa marah? Bukankah paman raksasa menolong ular yang hampir mati tertindih batu? Masak nenek tidak kasihan? Kita harus saling tolong menolong, Nek. Siapa tahu suatu saat nenek sakit. Pasti butuh pertolongan makhluk lain kan?” Ujarku mengajaknya berinteraksi. Aku berharap dengan demikian dapat mengorek penyebab ular kuning itu dijepit batu
“Harimau kecil bulukan, dengar ya. Ular itu telah mengambil hati kekasihku. Dia perempuan gatal yang tidak tahu malu” Ujarnya. Dalam hati aku mau tertawa sebenarnya. Apa iya nenek tua ini punya kekasih?
“Aaah..kan kumbang tak seekor, bunga tak sekuntum, Nek!” Ujarku ingat salah satu lirik lagu kesukaan Bapak.
“Nenek kan cantik, tidak mungkin tidak mendapatkan kekasih yang gagah dan ganteng. Saya yakin, dua tiga lelaki pasti akan memperebutkan nenek yang cantik.” Sambungku lagi. Aku jadi ingat dialog dalam komik dongeng yang pernah kubaca. Kali ini kupraktikan pada si Nenek. Aku kaget tiba-tiba Nenek menghentikan serangannya. Sambil menatapku serius beliau berkata.
“Tadi kamu bilang aku tidak ada cantik-cantiknya!” Protesnya.
“Itu tadi aku ngajak Nenek bercanda.” Ujarku.
“Hmmm…Betul juga katamu harimau bulukan. Ada dua pria saat ini tengah mengejar-ngejarku. Mengapa aku mempertahankan penghianat ya? Artinya dia tidak setia kan ya” ucapnya serius. Aku bingung, Nenek ini blo’on atau sinting?
“Nah! Tepat sekali, Nek. Tidak kusangka nenek sangat cerdas. Sudah cerdas, cantik pula. Untuk apa mengharapkan orang yang tidak setia, Nek. Bikin sakit hati saja.” Tambahku lagi. Si Nenek manggut-manggut. Lalu pergi begitu saja.
“Urus olehmu ular jelek itu, harimau bulukan ya…aku akan temui pria-pria yang mengidamkanku.” Si nenek berlalu. Demi mendengar itu, paman Raksasa tertawa terpingkal-pingkal.
“Jangankan naksir, dikasih saja aku tidak mau. Dah bau tanah, perasaannya perawan muda. Dasar siluman buaya!” sambung Paman Raksasa lagi. Aku juga ikut tertawa. Ada juga makhluk di muka bumi ini seperti itu? Aku menepuk jidat. Mirip-mirip bermain sandiwara aku hari ini. Aku teringat ular kuning yang masih melintang di jurang sempit. Kuhampiri. Dia tidak bisa bergerak.
Melihat ruang geraknya sempit sekali, paman Raksasa mengambil inisiatif untuk memperbesar jurangnya. Dengan mudah paman Raksasa menggeserkan tanah. Aku langsung meraba tubuh ular kuning. Remuk! Akhirnya aku mencoba mengobati tulangnya yang remuk. Kusalurkan energi dari mustika dari telapak tanganku. Sinar biru mengalir pelan. Lalu pelan- pelan kuraba tulang yang remuk. Untung lukanya tidak seberapa. Aku hanya melihat sisiknya terkelupas beberapa. Ketika dia sudah bisa menggerakan tubuh ke kiri dan kanan, aku mulai lega. Kuambil air bersih, lalu kumantrai. Selanjutnya kuminumkan. Selebihnya kusiramkan pada sekujur tubuhnya yang kering. Pelan-pelan tubuhnya mulai kuat.
“Terimakasih, Selasih. Paman Raksasa. Aku ditindih batu oleh nenek itu. Dia menuduh aku merebut kekasihnya. Padahal aku tidak tahu menahu, siapa kekasihnya itu. Kenalkan aku Putri Sauri. Aku penghuni air di paok Besak ini.” Lanjutnya. Aku semakin paham ternyata di dunia gaib pun ada rasa cemburu. Melihat kondisi Putri Sauri sudah sehat, aku izin pulang. Paman Raksasa juga izin pulang ke gunung Merapi di balik gunung Dempu.
“Tunggu Selasih, ambillah ini. Semoga bermanfaat.” Putri Sauri menyerahkan sabuk berwarna kuning yang bertengger di kepalanya.
“Lilitkanlah di pinggangmu. Sewaktu-waktu bisa kau gunakan sebagai senjata.” Ujarnya. Aku mengamati sabuk yang diberikan. Bentuknya mirip ular. Warnanya juga kuning keputihan. Lembut sekali. Kulilitkan di pinggangku. Pas! Aku suka warna dan bentuknya.
“Terimakasih Putri Sauri.” Ucapku senang. Sekali lagi aku mohon diri.
Ketika aku terjaga ada langkah menghampiri pintu kamar. Aku segera meraih majalah lalu pura-pura membacanya. Ibu rupanya memperhatikan aku. Lalu beliau turun kembali. Aku melanjutkan membaca. Kembali kupegang sabuk pemberian Putri Sauri. Aku merasakan energi di dalamnya. Akhirnya kubentang di lantai lalu kucoba raba dengan energiku. Dasyat!! Sabuk ini benar senjata yang mirip seperti pedang, bisa juga berubah menjadi tali, menjadi selendang. Akhirnya kembali kulilitkan di pinggang. Sama halnya seperti selendangku, kapan saja ketika aku butuh, maka dia akan muncul dan melilit sesuai kehendakku. Ah! Untung pertarungan dengan nenek sinting itu tidak lama. Jadi aku tidak perlu mengeluarkan energi banyak-banyak. Aku membatin. Ada saja pengalaman dalam hidup ini.
Aku berencana mau mandi, selanjutnya menemui kawan-kawanku pasca libur panjang ini. Lusa kami sudah masuk sekolah. Aku juga belum beli buku baru. Nenek Kam memberiku uang hasil menjual kopinya. Rencana uangnya mau kubelikan buku dan alat tulis sekolah saja.
“Dek, itu dikardus ada hadiah untukmu.” Ujar Bapak ketika beliau makan siang. Hadiah? Aku langsung melihat isi kardus yang diletakkan di atas bufet. Ada dua lusin buku tulis, tas, selusin pencil, selusin pena, penghapus, penggaris, dan kotak pensil. Lalu ditambah lagi sampul buku kertas dan plastik. Banyak sekali! Aku senangnya bukan main.
“Terimakasih Bapak.” Ujarku sambil membuka tas sekolah model baru berwarna merah marun.
“Itu kiriman Yudikat, untukmu. Biar kamu rajin sekolah.” Ujar Bapak. Aku kaget. Kak Yudikat beli sebanyak ini. Banyak sekali uangnya. Aku menatap uang yang diberi nenek Kam. Berarti uang ini tidak jadi dibelanjakan. Aku membopong kardus ke dalam kamarku.
Aku pamit dengan Bapak mau ke rumah sahabat-sahabatku. Pertama yang aku kunjungi rumah yang paling dekat, Merry. Aku sudah sangat rindu padanya. Dia pasti punya cerita seru setelah pulang ke Tanjung Sakti, dusun neneknya. Belum sampai ke rumah Merry aku mendengar ada yang menjerit.
“Jambreeeeet!!!” Teriaknya. Padahal pasar kota ini kecil dan padat. Ada juga yang nekat jambret. Tidak ada yang bergerak mengejar penjambret yang berjalan santai sambil mengayunkan pisau di tangan. Orang-orang malah menyingkir seakan-akan memberi jalan pada penjambret. Spontanitas saja aku langsung mengejar, lalu menerjang pejambret dari belakang. Sang jambret tersungkur mencium lumpur di jalan yang busuk. Tas yang dijambretnya lepas. Aku langsung mengambil tas lalu memegangnya.
“Bangun!! Ayo bangun bajingan!! Kamu salah satu bandit yang suka menjambret di kota ini kan?” Ujarku. Aku segera paham wajahnya meski kotor karena lumpur. Pemain lama. Aku mencari-cari komplotannya. Beberapa kali aku melihat lelaki ini beraksi di pasar Pagaralam yang tidak seberapa luas ini. Tapi biasanya tidak sendiri. Mereka berdua bahkan bertiga. Satu hal cara mereka hendak mengelabui orang, mereka memakai kemeja lengan panjang, celana panjang, rapi mirip orang terpelajar. Siapa sangka pencopet. Incaran mereka adalah perempuan-perempuan desa yang baru saja menjual hasil bumi. Atau mengincar para ibu yang ke luar dari agen-agen kopi. Mereka biasanya menjadi santapan empuk para penjambret. Sebab umumnya mereka mempunyai banyak uang habis menjual hasil buminya.
Dengan pisau masih di tangan, sang jambret bangkit. Amarahnya nampak memuncak. Sementara orang-orang di pasar hanya bisa menonton. Suara ibu-ibu saja yang berteriak “awas!” dengan nada ngeri. Aku sudah bertekad memberi pelajaran buat penjambret yang kerap meresahkan ini. Ketika dia maju mengayunkan pisaunya, tangannya kutangkap lalu kupelintir hingga patah. Pisau yang dipegangnya lepas. Kakinya kusapu secepatnya hingga tubuhnya terjerembab kembali. Penjabret tidak berdaya. Dia segera bangkit dan berlari di antara kerumunan orang banyak, sambil tertunduk-tunduk memegang tangannya yang patah. Kubiarkan dia kabur. Sementara orang-orang melihat dia tidak berdaya baru berani berteriak ‘copet dan jambret”.
Aku segera menyerahkan tas pada pemiliknya. Sambil masih berurai air mata, si ibu bekali-kali mengucapkan terimakasih.
“Oo..Dedek rupanya. Anak mang Hasan tokeh kopi kan? Hebat sekali rupanya berhasil membekuk penjambret. Sudah jangan lagi nangis ibung (bibi), tasmu kan sudah kembali.” Ujar seorang lelaki tak kukenal menyebut namaku dan bapakku. Aku segera pulang membatalkan main ke rumah Merry. Aku khawatir, kebiasaan penduduk kotaku ini suka berkerumun, rame-rame melihatku seperti tontonan, pasti mereka akan bertanya ini itu serba ingin tahu.
Aku hanya memikirkan sang penjambret, pasti akan mencariku untuk balas dendam bersama kawan-kawannya. Aku tetap harus waspada meski tidak takut sama sekali. Yang aku takutkan adalah jika mereka diam-diam menyakiti keluargaku. Atau meneror mereka. Kekhawatiranku membuatku bertekad, penjambret di kotaku ini harus kutuntaskan!
Bersambung…