HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT IV (59B)

Karya RD. Kedum

Sejenak aku berhenti di puncak bukit kecil yang gundul. Kulempar pandang ke selatan, ada empat titik mengepulkan asap. Langit nampak berawan. Hutan dibakar. Ke utara, yang nampak hanya hutan-hutan kecil diselingi dataran semak rendah. Kemungkinan di area itulah sabana yang disebut Datuk Sliman. Ke barat, seperti yang sudah kulihat tadi ada titik api.

Ternyata tidak hanya satu, tapi ada tiga titik asap membumbung. Ke timur, jauh sekali tanah datar hutannya sudah gundul sejauh mata memandang. Aku tidak bisa membohongi batinku. Sedih! Apalagi ketika mendengar tangis kecil makhluk-makhluk tak kasat mata maupun kasat mata. Pohon-pohon menangis, tanah menangis, rumput menangis. Akhirnya kututup inderaku. Aku tak sanggup mendegarnya meski tangis itu sembari zikir. Terdengar menyayat.

Aku menancapkan tongkat kecil yang kubawa sejak dalam perjalanan ke tanah. Aku memandang tanah di hadapanku dengan perasaan miris. Tanah-tanah yang terbuka lebar seperti lapangan. Luas sebatas mata memandang. Ketika hujan, air akan menggerus tanah-tanah ini membawa humus masuk ke sungai-sungai, bahkan kayu-kayu turut dihanyutkan. Lalu sungai menjadi keruh dan dangkal.
“Ya Allah….selamatkam bumi dan seisinya Yaa Rabb…lindungi kami Yaa Rabb. Kemana makhluk-makhluk-Mu berlindung, tanpa campur tanganmu Ya Allah, kami tidak ada apa-apanya.” Aku membatin. Ada kekhawatiran sangat menggetar-getar dadaku. Sejenak terlihat olehku ketika lahan ini dibabas pimpas dengan alat yang menggaung memekakkan teliga. Semua penghuni hutan kaget dan panik. Aku melihat kekacauan yang luar biasa. Harimau sumatera menjadi liar. Mereka bergegas minggir terdesak ke dalam hutan yang kelak akan berubah menjadi perkebunan sawit seperti yang disampaikan Datuk Sliman. Lalu sebagian manusia harimau harus rela seperti mendapatkan bencana karena hunian mereka hancur. Tak sedikit secara gaib mereka ngamuk. Beberapa penebang hutan ada yang sakit bahkan ada yang meninggal di tempat. Tidak sedikit pula makhluk asral yang terluka ditimpa kayu, terinjak para pekerja. Aku ingin menjerit saat itu. Tidak ada kata lain, selain kasihan dan sedih.

“Lanjutkan perjalananmu, Selasih. Semua sudah terjadi. Doakan saja semua akan baik-baik saja, tidak terjadi lagi gesekan-gesekan antara bangsa manusia dan bangsa kami dan makhluk asral lainnya. Sama seperti kalian, sebagian besar bangsa kami juga ingin hidup damai. Bisa beraktivitas seperti kalian, bercocok tanam, mencari nafkah, berbudaya dan lain-lain.” Suara Datuk Sliman lembut. Ada energi yang sengaja beliau tahan ketika menyampaikan pesan itu. Aku membatin mengucapkan terimakasih pada Dutuk Sliman. Akhirnya aku melanjutkan perjalanan kembali. Menuruni bukit kecil yang cukup panjang. Langkah terasa lebih cepat karena menurun. Semak belukar berumput kecil masih mengeluarkan aroma lembab hutan yang terbakar.

Bunga ilalang mengaguk-angguk pelan. Sudah berapa kilometer perjalanan, nyaris aku tidak mendengar suara satwa. Hanya beberapa unggas, burung-burung kecil yang melintas. Alam terasa sepi. Sepi sekali.
“Sepi sekali ya Bud. Biasanya jika masuk hutan, kita akan mendengar unggas, atau serangga serupa sesiagh (tonggeret) menjerit dengan suara merdu mereka mengisi alam semesta. Tapi berjam-jam kita berjalan, aku tidak mendengar suara makhluk-makhluk kecil itu.” Ujarku seadanya. Budiansyah mengangguk sambil menahan nafasnya yang sedikit memburu. Dari kejauhan aku mendengar teman-temanku berteriak, nampaknya meluapkan kegembiraan karena sudah dekat dengan sungai. Suara deru air memang sudah terdengar dari jarak jauh. Aku khawatir sebenarnya dengan tingkah mereka. Sebagaimana masuk ke rumah orang, minimal minta izin meski kita tidak bisa melihat ada kehidupan atau tidak di sana. Batu, air, pohon, rumput, semuanya makhluk hidup mereka paham dan tahu kita menyapanya atau tidak. Jangan-jangan kawan-kawanku tidak menyadari dan melakukannya. Aku jadi risau sediri.

Di hadapanku sudah terbentang padang ilalang yang tingginya melebihi orang dewasa. Herannya jalan setapak menuju sungai terlihat licin dan bersih. Padahal di sekitar sini tidak ada pondok yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Selama perjalanan berkilo-kilo aku hanya melihat satu pondok saja. Itu pun hanya dihuni seorang perempuan yang memasakan para perkerja penebang hutan. Apalagi di sabana ini? Sejauh mata memandang rumpun ilalang. Hanya beberapa pohon kecil menyelingi berjarak jauh-jauh. Tidak ada tanda-tanda kehidupan manusia sama sekali. Daun ilalang sebagian besar menjuntai menutupi jalan setapak. Sesekali harus disibak. Inilah yang dimaksud datuk Sliman padang ilalang yang luas itu. Angin bertiup pelan. Rumpun ilalang nampak membentuk gelombang memunculkan suara mendesir seperti pasir kering ketika diterpa angin. Budiansya sedikit berlari meninggalkanku. Dia pikir mendengar gemuruh air sudah sangat dekat dengan sungai. Padahal masih sekitar satu kilo meter lagi baru sampai. Kubiarkan mereka berjalan lebih dulu bahkan ada yang berlari ingin saling mendahului.

Matahari sudah mulai condong ke barat. Namun masih terasa panas menyengat. Tiba-tiba turun gerimis lembut dan sangat rapat. Hmmm.. suasana seperti inilah yang paling disukai oleh makhluk asral terutama bangsa nenek gunung. Aku merapatkan topi gunung yang kupakai. Kuhirup udara dalam-dalam. Aroma ilalang yang khas membuat dadaku agak lapang. Aku terpukau ketika melihat burung bubut melintas terbang rendah, lalu hinggap di pohon kecil di tengah semak ilalang. Burung bertubuh agak besar, punggungnya berwarna merah bata tua, dan sayap hitam itu nampak gagah ketika mengepakkan sayapnya. Aku jadi ingat Bapak. Kata Bapak, burung bubut itu burung yang hebat dalam pengobatan mata. Selanjutnya burung itu sangat hati-hati ketika membuat sarang. Satu hal yang unik pada burung ini, sama halnya dengan burung pintau, dia akan membuat sarang jikabdi bawahnya ada sarang ular, atau ada sarang lebah atau jenis seranga yang berbisa lainnya. Lalu yang berkaitan dengan pengobat mata jika anaknya kita pecahkan matanya hingga buta, maka induknya akan mengobatinya dengan daun-daun tertentu. Daun-daun itu dilumatnya menggunakan parunya kemudian dibalurkannya ke mata anaknya. Tidak berapa lama mata si anak akan sembuh dan bisa melihat kembali. Hingga sekarang belum terpecahkan daun-daun apa saja yang dijadikan induk burung bubut yang berkhasiat untuk pengobatan mata itu. Lama aku menatapnya dari jarak jauh. Suaranya mirip seperti orang mendekur berulang-ulang. Aku iseng ingin tahu apa yang dikatakannya.
Masya Allah! Ternyata dia semacam memberi pengumuman pada alam, khususnya pada makhluk-makhluk yang ada di sekitarnya mengabarkan hati-hati, waspada kalian, karena ada manusia dekat kita. Rupanya tingkat kecurigaan mereka sangat tinggi. Matanya mengawasi gerak-gerikku. Dan makhluk-makhluk kecil yang hidup di sekitar sana rupanya riuh redam gelisah. Mereka berusaha menyelamatkan diri atau siap-siap dengan senjata mereka untuk melindungi diri. Sang ulat sudah mengeluarkan cairan, ada yang mengembangkan bulunya, ada yang mengeratkan pintu kepompongnya. Ada yang berlari masuk ke dalam sarangnya.
“Aku justru mengagumi keindahanmu, induk Bubut. Tak ada niatku untuk mengganggu kalian. Aku cinta dengan kalian.” Ujarku. Usai berbicara, akhirnya kututup inderaku. Aku tidak sanggup mendengar suara-suara mereka. Ramai sekali. Aku jadi ingat kakek Njajau yang memberikan kemampuan seperti ini.

Akhirnya aku melanjutkan perjalanan kembali. Tirai gerimis seperti cahaya emas ketika diterpa matahari. Di timur pelangi melengkung serasa bisa digapai. Indah sekali. Di tengah alam terbuka, padang ilalang, gerimis, sementara matahari masih terang benderang membentuk bayangan tubuhku menjadi kurus tinggi. Suasana alam ini memberikan sensasi yang luar biasa. Banyak makhluk asral tiba-tiba ke luar mengekspresikan kegembiraan mereka. Tak berselang lama, aku mencium aroma nenek gunung. Benar saja, di hadapanku dari balik rumpun ilalang yang rimbun muncul seorang perempuan yang agak sepuh, berbaju kebaya jawa warna hijau terang, tengkuluk warna kuning terikat erat di kepalanya, memakai kain sarung batik, bersetagen warna putih. Di belakangnya tergantung beronang (kinjagh) yang masih kosong. Bibirnya nampak merah karena beliau sedang makan sirih. Ketika berhadapan denganku beliau tersenyum ramah. Karena jalan setapak ini sempit, otomatis aku berhenti berhadapan dengannya.
“Assalamualikum, Nek. Mau kemana?” Tanyaku. Aku meraih tangannya dan menciumnya. Entahlah aku langsung menaruh simpati padanya. Beliau manusia harimau ke tiga yang kutemui hari ini selain Datuk Sliman dan Putri Delima.
“Nenek mau mencari kayu, Cu” Alasannya. Padahal mana mungkin mencari kayu di tengah padang sabana. Kecuali beliau pergi jauh ke hutan seberang sungai, atau jauh ke perbatasan sabana di belakangku tempat orang-orang menebang hutan. Aku tersenyum mendengar alasannya. Selanjutnya beliau mengatakan jika beliau tinggal di hulu. Aku tidak tahu pasti di hulu yang beliau maksud hulu sabana atau hulu sungai. Aku senang sekali bertemu beliau. Kutatap beliau dalam-dalam. Aku seperti melihat sosok nenek Kam di hadapanku. Kami ngobrol sambil berdiri karena memang tidak ada tempat yang bisa dijadikan untuk tempat duduk dan berteduh kecuali duduk di jalan atau bersandar ke rumpun ilalang. Gerimis tidak terlalu rapat lagi.
“Kalian mau kemana, Cu?” Tanyanya sambil membenahi tembakau di bibirnya. Aroma sirih. Aroma nenek Kam. Lalu beliau mengatur posisi untuk duduk di pinggir jalan setapak bersandar di rumpun ilalang. Persis seperti rencana yang ada dalam benakku. Akhirnya aku juga ikut duduk sembari menyibakan rumpun ilalang. Suasana agak terang. Kami bisa bertatapan dengan leluasa. Aku duduk agak mepet di hadapannya.
“Kamu ini anak manja ya.. ” Ujarnya mengelus tanganku. Aku tersenyum menatapnya.
“Maafkan aku Nek. Melihat nenek aku jadi rindu dengan nenekku. Cuma nenekku lebih sepuh dari Nenek.” Ujarku.
“Nenek Kam kan?” Sambutnya. Aku kaget. Beliau mengenal nenek Kam? Selanjutnya beliau menjelaskan beberapa kali dia pernah melihat nenek Kam di Bukit Barisan bersama bangsanya.
“Saya bersyukur sekali bisa berjumpa dengan cucu manusia damai itu di sini. Siapa namamu, Cu?” Ujarnya lagi.
“Aku Selasih, Nek. Putri Selasih.” Ujarku. Lalu beliau berguman sambil mengatakan nama yang indah. Beliau memperkenalkan dirinya nenek Halama. Selanjutnya kami terlibat obrolan yang membuat aku terkesima. Beliau bertanya rencananya kami menginap di seberang sungai itu berapa lama? Kujelaskan bahwa besok kami pulang usai mencari serangga, daun-daunan, dan jamur sesuai tujuan ekspedisi. Lalu beliau mengatakan, jika malam nanti kami mendengar suara kucing di hilir seberang sungai, lalu mendengar banyak orang berbicara seperti pasar atau di perkampungan, kawan-kawanku tidak usah heran dan takut. Sebab di hilir memang ada kehidupan. Di sana ada perkampungan manusia harimau. Yang penting hulu sungai jangan dikotori. Bersikaplah sopan santun. Jangan sampai kehadiran kalian dianggap mengganggu ketentraman mereka. Demikian pesannya. Aku mengangguk mengerti. Sejak tadi aku memang telah mendengar ada ativitas di sekitar sini. Namun karena gemuruh sungai aku belum terpikir untuk mengetahui lebih jauh di mana letak keramaian tersebut. Selanjutnya aku katakan, nanti aku akan datangi kepala sukunya untuk mohon izin. Nenek Halama mengangguk setuju.

Aku mengeluarkan roti dan air minum di hadapan nenek Halama. Kutawari nenek untuk menyicipi roti bawaanku. Beliau mengangguk sambil menunjuk mulutnya masih mengunyah sirih.
“Nek, selain perkampungan di lembah Burlian tempat Datuk Sliman, lalu di kampung seberang yang nenek tunjukan itu, dimana lagi kampung hunian para puyang?” Tanyaku lagi. Puyang yang dimaksud di sini adalah sebutan untuk harimau benaran dan manusia harimau. Jika di Besemah menyebut kaum mereka dengan sebutan nenek gunung, jika di sini sebutannya puyang. Sama halnya di Sumatera Barat disebut inyiak, ada juga sebagian daerah menyebutnya datuk. Nenek Halama menceritakan, jauh di dalam rimba bukit barisan ini masih banyak ditemui kampung-kampung hunian para puyang. Baik puyang jejadian atau manusia harimau, maupun harimau benaran berupa hewan. Mereka hidup bersuku-suku, dan menguasai wilayah pemerintahan sesuai dengan suku masing-masing. Aku mendengarkan cerita si nenek dengan serius. Bertemu dengan beliau buatku sungguh mengasyikan.

“Nek. Kalau bukit Kabu di mana?” Tanyaku lagi.
“Kamu pasti mau bertanya soal tragedi di sekitar bukit itu bukan?” Tanyanya lagi. Aku menganguk cepat. Sebelumnya memang aku pernah mendengar jika di sekitar bukit itu pernah terjadi tragedi antara bangsa manusia dengan bangsa manusia jejadian dan harimau benaran. Mulailah nenek Halama bertutur. Katanya jauh sebelum aku lahir, ada peristiwa besar terjadi di sana. Manusia belum seramai sekarang. Bukit Kabu adalah kampung hunian bangsa kami. Sementara di lembah ada kampung-kampung kecil yang dihuni oleh bangsa kamu, Selasih. Bangsa manusia.” Ujar nenek Halama. Matanya jauh menerawang seperti mengenang suatu masa yang suram. Aku menunggu beliau melanjutkan ceritanya.
“Bertahun-tahun kami hidup berdampingan dengan manusia tidak ada gesekan sama sekali. Entah bagaimana, hewan ternak penduduk dusun seringkali naik sampai ke bukit. Dan dikira bangsa kami itu hewan buruan. Melihat ternak mereka banyak yang tidak pulang, bangsa manusia yakin ternak mereka dimangsa oleh harimau. Suatu hari, salah satu penduduk merasa dirinya jawarah, dibuatnyalah jebakan untuk menjerat harimau. Dipancingnyalah jebakan itu dengan seekor kerbau di kaki bukit. Malam itu, salah satu anak bujang bangsa kami, mencium bau mangsa buruan dan dilihatnya ada kerbau. Munculah naluri berburunya, diterkamnyalah kerbau tersebut. Dan terjebak. Harimau bujang bangsa kami tersebut di tembak mati oleh manusia. Selanjutnya disembelihnya. Lalu kepala harimau itu digantungnya di pinggir jalan semacam pos persinggahan hendak masuk dusun. Dijadikannya semacam kentongan yang berfungsi sebagai petanda bahaya, untuk mengumpulkan masyarakat dusun, dan lain sebagainya.” Aku melihat ada bening mengambang di mata nenek Halama. Apa hubungannya peristiwa itu dengan nenek Halama. Mengapa beliau terlihat begitu berat menahan rasa. Aku tak bisa berkata apa-apa. Ingin bertanya juga aku bingung hendak bertanya apa.
“Melihat kepala anak bujang dipukul dijadikan kentongan oleh bangsa manusia, memunculkan kemarahan bangsa kami. Ini adalah hinaan. Mereka menantang kami. Bangsa kami tidak bisa menerima perlakuan seperti itu. Maka berkumpullah puluhan bangsa kami di puncak bukit Kabu bersama harimau sumatera. Rapat dilakukan di sana. Dan bangsa kami menyatakan perang. Akhirnya munculah malapetaka itu. Amarah bangsa kami tidak saja memangsa hewan ternak mereka, tetapi bangsa manusia pun banyak yang diserang. Siang malam bangsa kami mengintai penduduk dusun. Sudah tak terhitung berapa jumlah ternak yang jadi korban, dan berapa manusia yang terluka dan mati. Kami memang ingin balas dendam. Hingga akhirnya dusun Semidang ditinggalkan penduduknya dan menjadi dusun mati.” Ujar nenek Halama lagi. Aku hanya dapat menatap nenek Halama dengan perasaan ibah.
“Kau tahu siapa anak bujang yang mati dan kepalanya dijadikan kentongan itu, Selasih. Dia adalah saudara lelaki ibuku satu-satunya. Anak kesayangan kakekku, penyambung jurai leluhur kami. Dia pamanku satu-satunya.” Sambung nenek Halama kembali. Aku hanya dapat merasakan perihnya cerita nenek Halama. Lagi-lagi bangsa manusia yang membuat ulah. Memang bangsa manusia ini kadang lebih jahat dan kejam melebihi binatang. Tenggorokanku terasa tercekat. Aku dapat merasakan luka mereka.
“Artinya kejadian itu belum terlalu lama” Aku membatin.
“Tahun 1970-an.” Nenek Halaman menjawab pikiranku.

“Dedek!! Deeeeeek!!” Suara Budiansyah memanggil-manggilku. Rupanya dia kembali lagi ke belakang melihat aku tidak muncul. Aku langsung berdiri dan melambaikan tangan padanya. Budi berlari mendekat. Aku kenalkan nenek Halama padanya. Nenek Halama menerima uluran tangan Budiansyah. Aku tersenyum sembari mengedipkan mata pada nenek Halama. Selanjutnya beliau mohon diri. Aku berterimakasih pada beliau telah berkenan mengingatkan aku dan bercerita banyak hal. Sungguh aku masih menyimpan haru. Padahal aku hanya ingin tahu apakah bukit Kabu itu masih menjadi kampung hunian nenek gunung hingga kini. Mendengar cerita beliau, pahamlah aku jika hingga kini di bukit itu masih bersemayam nenek gunung, sang manusia harimau dan harimau sumatera.

Baru beberapa langkah, aku menoleh. Nenek Halama sudah tidak ada. Beliau menghilang. Aku beriringan bersama Budiansyah.
“Kirain kemana kamu, Dek, aku dah khawatir kalau kamu dimakan binatang buas. Semua menanyakan kamu. Eh, tidak tahunya asyik duduk di bawah rumpun ilalang dengan nenek cantik.” Ujar Budiansyah lagi. Aku hanya tersenyum sembari minta maaf. Budiansya tidak tahu kalau nenek Halamah adalah manusia harimau.

Ketika sampai di pinggir sungai, aku melihat kawan-kawanku berkejar-kejaran, sambil teriak-teriak gembira di sungai. Mereka mandi masal saling siram dan sebagainya. Beberapa mata menatap benci dengan mereka.
“Assalamualaikum Warahamatullahi Wabarahkatu. Mohon maaf sanak jika kehadiran kami sangat menggangu ketentraman kalian. Maafkan jika kawan-kawanku tidak sopan. Mereka tidak menyadari jika wilayah ini ada penguasanya. Mereka tidak bisa melihat bangsa kalian.” Ujarku pada seorang yang berdiri tegap di atas batu dengan mata nanar. Nampaknya dia adalah salah satu penjaga atau penduduk di wilayah ini.
“Suruh kawan-kawanmu itu mendarat. Bangsa kami hendak mengambil wudu, tapi ulu sungai sudah kalian cemari. Kencing dan buang air besar sembarangan.” Ujarnya dengan mata merah. Aku kaget. Buang air sembarangan yang bagaimana maksudnya? Aku kembali minta maaf lalu berjanji menyuruh kawanku untuk naik ke darat berhenti bermain seperti orang kalap.
Akhirnya aku berteriak-teriak menyuruh kawan-kawanku berhenti. Tapi masih saja di antara mereka bandel dan tidak mengindahkan permintaanku hingga membuat aku kesal. Iseng kuambil ranting, lalu kusuruh ranting itu berjalan ke hulu seperti ular.
“Lihat itu! Kalau kalian tidak mau naik, ular itu akan menggigit kalian!” Ujarku. Akhirnya baik laki-laki maupun perempuan melompat ke darat sampai terpeleset jatuh saking takutnya ketika melihat ular meliuk-liuk di air berenang ke hulu, ke arah mereka mandi dan bercanda. Kulihat rata-rata wajah mereka pucat. Hanya dengan cara ini untuk menghentikan mereka. Di darat kembali mereka ribut membicarakah ular yang datang tiba-tiba. Lalu berspekulasi kalau wilayah ini pasti banyak ularnya dan lain sebagainya.

Aku kembali menghadap lelaki yang berdiri di atas batu. Wajahnya tidak merah padam seperti tadi.
“Maafkan kawan-kawan saya, Paman. Saya akan ingatkan mereka. Mewakili kawan-kawan sekali lagi kami mohon maaf sekaligus mohon izin untuk bermalam di sini.” Ujarku mengatupkan tangan. Lelaki gagah itu mulai tersenyum.
“Hanya kamu yang memiliki etika dan paham tata cara masuk ke wilayah orang. Silakan. Siapa namamu anak gadis?” Sambutnya mulai ramah.
“Nama saya Selasih, Paman. Tadi saya bertemu nenek Halama. Beliau juga menyarankan agar aku meminta izin dengan sesepuh di sini. Tapi berhubung aku baru sampai dan hendak membersihkan diri terlebih dahulu, rencanaku setelah usai salat magrib, aku akan menemui sesepuh di sini, Paman. Bolehkah saya membersihkan diri di sungai ini Paman? Bagaimana caranya agar tidak mengotori hilir?” Tanyaku penasaran.
“Silakan Selasih. Silakan mandi dan buang air kecil maupun besar. Tapi jangan ke bagian tengah sungai bagian dalam. Cukup kalian di pinggirnya saja. Ingat, jangan pula telanjang. Sebab air yang lajunya kencang itulah yang kami jadikan sumber air bersih.” Ujarnya lagi. Pahamlah aku mengapa dia marah dengan kawan-kawanku yang seperti orang kalap ketika bermain-main di tengah sungai. Bahkan ada yang buang air besar dengan sengaja di tengah-tengah sungai agar kotorannya kena dan terlihat oleh kawan-kawan yang mandi di hilir. Lalu teriak-teriak, menjerit sana-sini. Memang tidak punya etika mesti main-main. Akhirnya aku pamit buru-buru masuk ke tenda, mengambil baju bersih lalu pergi ke pinggir sungai. Sebagian teman-teman sudah siap-siap untuk salat magrib berjamaah. Matahari sudah mulai tenggelam. Suasana sudah mulai remang-remang. Lampu badai sudah dinyalakan. Paman yang kulihat tadi sudah tidak ada di sungai. Aku segera mandi menggunakan gayung seperti madi di kamar mandi.

Usai salat, aku tidak langsung bangkit. Aku duduk timpuh posisi berzikir. Aku berencana hendak pergi ke kampung hunian nenek gunung yang tidak seberapa jauh dari tempat kami memasang tenda. Udara sudah terasa dingin. Kulihat kawan-kawan ada yang sudah membuat api unggun untuk penerangan sekaligus untuk menghangatkan badan. Aroma lembab hutan mulai menyengat. Sebagian lagi ada yang sudah bernyanyi-nyayi gembira. Yang perempuan ada yang bertugas menyiapkan santap malam. Baru saja aku hendak fokus untuk berkunjung ke kampung huniaan nenek gunung, tiba-tiba Budiansyah melompat dan menggeram. Aku terkesiap dan menoleh. Aku melihat ada tubuh harimau masuk ke badan Budiansyah lalu menyerang Ibu Zak, mecakar dada beliau. Ada goresan panjang dan berdarah. Melihat dia menyerang dengan membabai buta, kuhantam dia dari jauh dan terjerengkang. Mata Budiansya nanar kemana-mana. Aku langsung menghampirinya dan menarik makhluk itu ke luar dari tubuh Bundiansyah. Budiansyah terkapar tak berdaya, lalu dibopong kawan-kawannya ke dalam tenda. Ibu Zak kulihat sedang mengobati dirinya sendiri. Ada cahaya kuning ke luar dari tubuhnya. Aku mencoba melindunginya agar tidak kena serangan lagi.

Melihat suasana mencekam, untuk mengusir rasa takut kawan-kawanku bertakbir semua mengucapkan “Allahu Akbar.” Sementara yang perempuan saling peluk di dalam tenda tidak berani bergerak sedikitpun.
Ketika semua sedang riuh bertakbir, tiba-tiba sosok yang kukeluarkan membentak marah.
“Diam! Diaaaaam!!! Diam dulu kalian! Aku Macan Kumbang, putra asli Bengkulu. Kalian tahu apa kesalahan kalian?” Ujarnya. Aku hanya duduk diam di belakang. Kuperhatikan dia. Hanya aku yang dapat melihat sosoknya, Kawan-kawanku yang lain hanya dapat mendengar suaranya. Lelaki gagah, brewokan, usianya diperkirakan 35 tahunan usia manusia, berpakaian serba hitam, ikat kepalanya ujungnya menjuntai ke samping. Celananya hanya sampai sebatas betis. Kulihat betisnya kekar, berisi dan keras. Lengannya berotot. Matanya seperti mata elang.
“Kalian tidak sopan! Masuk ke kampung kami sesuka kalian. Kampung kami jadi kotor. Katanya kalian orang yang berpendidikan. Jangankan meminta izin, sekadar mengucapkan salam saja tidak” Suaranya menggelegar. Aku biarkan dia melampiaskan amarahnya. Sementara di belakangnya telah berdiri beberapa orang dengan senjata lengkap. Nampaknya mereka adalah penjaga kampung. Terlihat dari wajah sangar mereka.
“Maafkan kami, Datuk Macan Kumbang. Kami akui kesalahan kami. Kami masuk ke wilayah ini tanpa minta izin terlebih dahulu. Mohon dimaklumi ketidaktahuan kami. Izinkan kami bermalam di sini untuk malam ini.” Ujar Ibu Zak mewakili. Kulihat Macan Kumbang manggut-manggut mendengar permintaan maaf Ibu Zak.
“Kami tidak ingin mendengar kalian berisik, apalagi mengotori air sungai. Jangan buang sampah sembarangan.” Ujarnya lagi. Tak lama hening kembali. Budiansyah sudah siuman. Selanjutnya aku menghampirinya. Matanya menatapku tajam. Namun tidak nanar seperti tadi.
“Assalamualaikum, paman Macan Kumbang. Kenalkan Aku Selasih dari lereng gunung Dempu. Sekali lagi mewakili kawan-kawanku, kami mohon maaf karena kami tidak sopan dan tak beradat. Usai salat magrib, rencana aku mau nemui sesepuh dusun ini, belum sempat aku berangkat, Paman sudah datang” Ujarku sembari menunduk.
“Selamat datang di kampung kami Selasih. Iya, aku sudah tahu kehadiranmu. Aku marah pada kawan-kawanmu saja. Mari kita bincang-bincang di dusun saja. Sungguh tidak sopan menerima tamu sambil berdiri seperti ini.” Ujarnya mengajakku berjalan masuk ke kampungnya.

Menerima ajakannya, aku langsung bangkit. Dalam sekejap aku sudah berada di pinggir sebuah dusun yang ramai. Banyak orang simpang siur melakukan berbagai ativitas. Mataku terpukau melihat rumah pangung bubungan lima dengan tiang-tang penyanggah yang kuat. Semuanya terbuat dari kayu. Tangganya lebar terletak di tengah-tengah langsung menuju berendo (beranda). Di berendo ada kursi kayu berlapis rotan yang bentuknya melengkung, memiliki sandaran ke belakang membuat posisi yang duduk menjadi nyaman dan santai. Meja bulat di tengah-tengahnya, berseprei rajutan hasil kerja tangan terampil berwarna putih. Semuanya terlihat klasik. Apalagi atap sirap berlapis ijuk, membuat perkampungan ini semakin indah. Di atas jendela dan pintu rumah ada lubang angin yang diukir sedemikian rupa.
“Terimakasih sudah mengundang saya masuk ke dusun ini Paman. Sungguh tidak menyangka, kampung ini sangat indah dan bersih. Rumah pangung bubungan lima dengan kayu-kayu pilihannya, membuat kampung ini luar biasa indah.” Aku nikmati kampung sepuasnya. Jika di kampung hunian nenek gunung Besemah, bentuk rumahnya panggung limas, dan rumah baghi, dengan atap rumah runcing, di kampung ini atapnya berlapis lima. Sebuah keunikan yang membuat aku kagum. Melihat kondisi seperti ini, yakinlah aku jika di alam hunian para nenek gunung ini pun memiliki peradaban yang tinggi.

Dari Paman Macan Kumbang kuketahui, jika Nenek Halamah adalah sesepuh mereka juga. Mereka ada hubungan kekerabatan yang sangat dekat. Aku merasa sangat bahagia bisa berjumpa dengan makhluk yang baik-baik ini. Setelah berbincang ke sana kemari, termasuk juga aku bercerita bersua dengan Datuk Sliman, Putri Bulan, ternyata mereka pun juga memiliki hubungan kekerabatan. Obrolan kami melebar sampai ke tempat hunian mereka yang dirusak untuk perkebunan dan pertanian. Tak lama aku mohon diri pada Paman Macan Kumbang dan pengawalnya. Sebenarnya aku ingin bertemu dengan Kepala Sukunya, namun menurut Paman Macan Kumbang beliau sedang berada di gunung Bungkuk, ada pertemuan para sesepuh di sana.

Aku melihat kawan-kawanku persis seperti ayam melihat elang. Hening tak bersuara. Ketika salat isya tidak ada yang berani mengambil wudu di sungai. Akhirnya air satu ember mereka irit dipakai wudu. Aku salat Isa berjamaah kembali, dengan sambil melihat kaki kawan-kawanku gemetar..

Malam ini semua nyaris tidak bisa tidur. Aku hanya diam. Pak Muchlis duduk di tenda perempuan karena kawan-kawan merasa takut jika tidak ada lelaki yang menjaga. Akhirnya beliau duduk bersandar di tas-tas yang tertumpuk menjaga para perempuan yang tidur rapat seperti susunan ikan kaleng. Aku meringkuk tidur dekat kaki beliau.

Aku tahu, malam itu terasa sangat panjang bagi kawan-kawanku. Ketika pagi tiba kulihat wajah mereka sembab dan masih tegang. Dari jelang subuh semua sudah berkemas. Makanan tadi malam yang tidak sempat dimakan dijadikan sarapan pagi. Hanya sekadar untuk ganjal perut, karena nasi dan lauknya serba dingin. Nyaris tidak tertelan. Aku tersenyum dalam hati. Apa boleh buat aku harus ikut irama mereka. Aku pura-pura merasakan risau yang sama seperti mereka.

Sebelum subuh tiba, Paman Macan Kumbang datang. Beliau mengajakku menemui kepala Suku. Akhirnya aku bisa bertemu dengan beliau. Lelaki separuh baya menyambutku dengan senyum lebar. Kami bincang-bincang sejenak setelah kuperkenalkan diri. Sekaligus mohon izin akan pulang pagi ini. Paman Macan Kumbang dan Kepala Suku tertawa lepas ketika kuceritakan bagaimana perasaan kawan-kawanku yang tegang hingga pagi ini dan ingin segera pulang. Sebelum pulang, Kepala suku memberiku ikat kepala. Aku segera memakainya. Paman Macan Kumbang dan kepala Suku tersenyum sembari menggangkat kedua jempolnya.

Kepulangan rombongan kami diantar paman Macan Kumbang, Kepala suku, dan beberapa penduduk. Beberapa kali mereka melambaikan tangan. Tiap kali aku menoleh, mereka masih berdiri di situ sampai bayangan kami hilang di tikungan. Ada kerinduanku dan keinginan untuk kembali ke mari berjumpa dengan mereka kembali.

Saat melintas di sabana, aku tidak mendengar suara kawan-kawanku seperti kemarin. Mulut mereka seperti terkunci. Setelah lepas dari sana, baru mereka berani bersuara bercerita tentang malam yang mencekam.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *