HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT III (41B)
Aku baru saja ke luar gerbang sekolah. Seperti biasa, berdesak-desakan ingin duluan ke luar. Padahal kalau bersabar, semua juga akan dapat giliran. Aroma keringat campur aduk dengan udara yang sedikit panas. Aku masih bercengkrama sambil berjalan dengan kawan-kawanku. Bahagia sekali hari ini pertama masuk sekolah. Sebagian anak-anak kelas lain teriak-teriak sepanjang jalan. Kadang bersorak, kadang menjerit. Kalau diperhatikan, berbagai pola tingkah laku anak manusia ini.
Di tengah iringan anak-anak sekolahku yang berseragam putih-putih, aku melihat beberapa orang seperti mencari-cari seseorang. Semua ada tiga orang. Entah mengapa instingku menyatakan mereka tengah mencariku. Mereka adalah komplotan pencopet, penjambret yang sudah berkali-kali ke luar masuk bui, dan ditakuti oleh masyarakat karena mereka seperti punya nyawa serap dan selalu bisa dengan cepat ke luar dari penjara.
Melihat gelagat itu aku menyuruh kawan-kawanku duluan pulang dengan berbagai alasan. Meski rata-rata mereka tetap ngotot ingin bersamaku. Aku mencoba memancing tiga orang itu degan cara berteriak.
“Nanti tunggu aku ya..kita main di belakang rumahku aja” Aku memancing mereka. Benar saja, mereka serentak memandangku. Aku sudah nekad, ketiga orang ini harus kubuat babak belur. Aku agak menyingkir dari kerumunan kawan-kawan sekolahku sembari berpikir mencari tempat untuk menghajar mereka. sementara jalan di sekitar sekolah sesak rumah penduduk. Tidak ada bagian yang lapang. Aku tidak ingin membuat keributan di sekitar rumah-rumah masyarakat ini. Apalagi rata-rata mereka kenal orangtuaku.
Aku berbalik ke arah sekolah, lalu belok kanan ke arah jalan Gunung, menyeberang, masuk lorong dan keluar menuju sawah dan paok Ayek Samek. Tempat ini terbilang sepi, tempat biasa aku dan kawan-kawanku bermain. Kadang menyisir siring-siring kecilnya mencari ikan, mencari pensi, kadang mandi sambil bekubang di sawah-sawah berlumpur. Benar sekali ternyata ada lima orang yang kulihat menyebar seakan-akan tidak akan terjadi apa-apa. Ada yang pura-pura buang hajat di bilik-bilik WC di atas paok. Rata-rata mereka berbadan besar maski masih usia remaja.
“Dik, mau kemana? Di sini sepi. Tunggu kakak.” Ujar salah satu mereka. Aku berhenti seakan menunggu mereka. Lalu aku melihat satu orang lagi gelagatnya sama mulai mendekat.
Hmm..mereka membawa tali dan senjata tajam di balik baju mereka. Ada dua kemungkinan, hendak membunuhku, atau sekadar ingin meringkusku.
Ketika sudah dekat, benar saja, lelaki bertubuh tinggi berbaju merah sudah mulai melakukan aksinya. Tangannya menangkap tanganku. Aku tidak mengelak. Ketika lenganku dipegang dan terasa dia menarik dengan kasar, aku kerahkan sedikit tenaga dalam, aku balik menggenggam lengannya. Si baju merah kaget. Mungkin dia tidak menyangka jika genggamanku seperti cakram. Wajahnya sedikit meringis.
“Aku tahu kamu mengikutiku ketika aku baru ke luar sekolah. Aku tahu kamu bandit kambuhan yang ke luar masuk bui. Aku tahu kamu kawan bandit yang kupatahkan tangannya kemarin. Sekarang giliran kamu!” Aku memutar tangannya.
Kraaakk!! Engsel lengan kanannya bergeser. Dia menjerit seketika sambil termiring-miring. Aku menatapnya dengan dingin. Baru satu tangan dia sudah tak bisa apa-apa. Rumor yang berkembang di kotaku, katanya lelaki ini punya ilmu kebal, dan ilmu belut. Ilmu kebal, dia tidak akan terluka meski di kapak sekalipun. Lalu ilmu belut, katanya tiap kali dia merampok ketika di kejar polisi, maka dia akan berubah menjadi belut ketika melihat air, lalu hilang. Entahlah apakah benar atau tidak. Yang jelas membawa mereka ke pinggir perkampungan ini untuk memberi mereka sedikit pelajaran agar mereka tidak bertambah pongah. Sebab biasanya semakin banyak yang melihat aksi merekmereka akan over acting dengan gaya mengancamnya setiap orang yang menatap mereka hendak dibunuh!
Ada tiga orang makin mendekat. Hmm..total yang kelihatan lima orang. Aku mencari-cari siapa tahu masih ada lagi.
“Awas kau anak kecil, akan kami perkosa di sini juga!” Kata di antara mereka. Sementara yang baju merah, di papah kawannya yang satu lagi, di dudukannya di pematang sawah. Aku tak bergeser dari tempat semula. Kutunggu gerakan mereka. Ketunggu semuanya mendekat, aku langsung menunduk dan menyapu kaki mereka. Ternyata mereka cuma punya nyali, tidak ada kekuatan. Kecuali yang berbaju hitam ini, aku melihat ada jimat di pinggangnya, dan jimat ini jadi perisai dia. Akhirnya yang pakai jimat ini kudesak dengan pukulan-pukulan keras berenergi. Jin yang menjadi perisainya ngamuk. Kujentikan jemariku, kusedot energinya. Jin perisainya lemas seketika lalu kusimpan si ujung jari. Melihat aku tidak tersentuh sama mereka, si baju hitam memerintahkan agar aku dihabisi saja. Mereka serentak mengeluarkan pisau. Sekarang yang mengepungku ada empat orang. Aku melihat ada beberapa petani berhenti melihat kami. Tapi padangannya biasa saja. Mungkin dikiranya kami sedang main-main atau latihan bela diri.
Melihat mereka ada di semua posisi, aku panggil angin badai. Aku akan pelintir keempatnya sekaligus dengan angin badai. Aku mengangkat tangan, angin yang menderu kuputar. Lalu secepat kilat kuarahkan pada lawan. Seketika empat tubuh itu digulung badai. Aku kerahkan tenagaku agar makin cepat. Tubuh keempatnya kuputar lalu kuaduk hingga terangkat tinggi, lalu kucampakan ke tanah yang keras. Keempatnya kuhempaskan hingga mengeluarkan suara gedebuk seperti nangka jatuh. Aku kaget dan tertawa, ternyata keempat-empatnya pingsan baju mereka koyak-monyak. Kebetulan di samping mereka jatuh ada air sawah yang tergenang. Satu-satu kutendang mereka. Posisi mereka ada yang miring, ada yang terlentang, ada yang betekuk di sawah berlumpur dan berair. Aku mendekati si baju merah yang berusaha hendak kabur. Tidak adil kalau dia hanya patah lengannya, kutarik tubuhnya lalu kudorong pula di sawah yang berlumpur. Aku diam sejenak menunggu mereka sadar dari pingsan. Petani yang semula seperti penonton sambil berdiri bahkan ada yang duduk, melihat aku menggulung empat orang sekaligus mereka menjadi takut. Mereka lari tunggang-langgang.
Cukup lama aku duduk di bawah batang pisang. Fatamorgana sedikit menyilaukan mata. Matahari memang terik. Hari ini cuaca kotaku sangat cerah. Terasa panasnya. Apalagi berada di alam terbuka seperti ini. Tak lama berselang, aku melihat di antara mereka ada yang bergerak-gerak. Berusaha bangkit lalu sempoyongan dan kembali tumbang. Begitu berulang-ulang. Aku tertawa melihatnya. Wajah mereka yang berlumpur, lalu sempoyongan, mirip zombie.
Kruuukk! Perutku sudah lapar minta diisi rupanya. Aku baru sadar hari sudah siang. Bapak dan ibuku pasti heran mengapa aku belum pulang. Dan bik Sumi pasti sudah menunggu untuk menyuapiku.
Sreet! Aku menarik sabuk pemberian Putri Auri. Kulempar mejadi ular. Lalu kuperintahkan untuk mematahkan tangan atau kaki mereka. Dalam sekejap pekerjaan beres. Mereka mengeliat dan berguling-guling menahan sakit.
“Selamat tinggal ulat tanah. Awas kalau masih ada komplotan kalian yang menjambret, mencopet, mencuri, jika ketahuan olehku, akan kucari, akan kupatahkan tangannya seperti kalian.” Ujarku.
Aku berniat memutar badan hendak pulang. Tiba-tiba ada yang tepuk tangan. Aku menoleh. Ternyata Macan Kumbang dan beberapa nenek gunung berdiri menghadap lembah tempatku menghajar para bandit. Aku baru sadar, jika berdiri di sini, gunung Dempu terlihat utuh. Mereka menjadi penonton rupanya. Aku melambaikan tangan yang disambut dua jempol Macan Kumbang. Dalam sekejap aku sudah ada di rumah.
Aku bingung bagaimana menyembunyikan kejadian-kejadian kemarin dan hari ini pada Ibu Bapakku? Pertama kotaku kecil. Sekecil apapun peristiwa mudah sekali jadi buah bibir. Kedua, pakaianku yang kotor? Meski bisa kucuci sendiri, tapi akan ketahuan juga, kotor karena apa? Berbohong? Ah! Tidak. Aku tidak sanggup mulut dan hati berbicara lain-lain.
“Bik, aku tadi berkelahi. Menghajar penjambret yang suka berkeliaran di pasar. Mereka kupatahkan semua tanganmnya. Bajuku kotor, Bik. Padahal kan harus dipakai lagi besok.” Bisikku dengan Bik Sumi. Meski nampak keterkejutannya, bik Sum langsung bisa mengendalikan diri. Tanpa bertanya perihal hajar-menghajar, beliau menyuruhku melepas bajuku lalu langsung menyucinya sebelum ibuku tahu. Setelah itu mengambil nasi, lalu menyuapiku. Di sinilah aku bercerita tentang peristiwa kemarin dan hari ini. Bik Sum terbelalak. Beliau tidak percaya aku bisa menundukan preman kambuhan itu. Tapi tak terlalu penting meyakinkan bik Sum. Yang penting aku sudah jujur. Aku tidak berbohong!
“Dedek..nyuap sendiri kan bisa. Mengapa minta disuap bik Sum terus. Bik Sum kan harus kerja.” Tiba-tiba ibu muncul sambil ngomel.
“Bibik sambil istirahat, Bu” Ujarku sambil mangap minta diisi kembali.
Petang ini Bapakku minta dibantu mencatat pengirimanan dan memeriksa kadar air kopi yang akan dikirim. Dari ruang loket Bapakku aku mendengar beberapa orang ngobrol tentang preman babak belum dihajar anak perempuan. Mungkin anak itu penunggu gunung yang marah. Kata beberapa orang. Lalu merembak lagi berita jika preman-preman itu patah tangan dan patah kaki.
“Mengapa tidak dimatikan saja ya?” Ujar seorang laki-laki agak tua. Aku pura-pura tidak mendengar, masih membuka-buka koran Kompas milik Bapak. Aku berharap tidak ada yang tahu jika aku yang melakukan itu. Paling tidak, beberapa bulan ke depan kota kecilku aman dari sepak terjang bandit kambuhan itu.
Aku melanjutkan mencatat kadar air biji kopi yang baru datang. Lalu mengelompokanya berdasarkan kualitas kadar air, jenis kopi, dan kesempurnaan bentuk biji kopinya. Semakin bagus kualitasnya semakin mahal harganya. Lalu ditakar pula seberapa persen dedak dan kopi gelondongannya. Beberapa sampel sudah selesai kuperiksa dan catat. Tinggal menyerahkan pada Bapak untuk menentukan harga sesuai kualitasnya.
Biasanya pemeriksaan seperti ini dilakukan apabila membeli kopi dalam skala besar, ratusan kilo atau hitungan ton. Kalau hanya puluhan kilo Bapak cukup menakarnya dengan memegang, menggenggam biji kopinya, lalu menggigit biji kopi berapa. Jika keras maka bisa dipastikan kopinya kering. Tapi jika digigit masih penyek, maka kopi tersebut masih lembab atau basah.
Selanjutnya aku menulis resu pengiriman. Ada empat puluh ton biji kopi bersih bakal dikirim ke Lampung, selanjutnya tiga puluh ton ke Palembang. Mang Sam membantuku menyelesaikan catatan-catatan kopi yang sudah dikarungi dan siap di susun di truk-truk yang berjejer di depan ruko. Bapak tinggal menandatangani surat jalan dan pengiriman. Ketika aku masih asyik menulis, dua anak kecil masuk ke loket, lalu dengan santainya menarik selembar uang Bapak di laci. Oh rupanya tuyul. Ini yang suka mencuri uang Bapak. Padahal kadang Bapak menuduh kakakku yang mencuri uangnya. Aku tidak ambil diam. Kutangkap mahkluk bertubuh licin itu, lalu aku patahkan tangannya. Aku kaget! Ternyata di antara anak buah Bapakku ada yang menjerit. Tangannya terkulai persis seperti tangan tuyul yang kutangkap. Semua heran dan kaget. Padahal beliau sedang bekerja merapikan karung kopi.
Hmm…tuyul-tuyul ini miliknya rupanya. Sang tuyul langsung kusandera di ujung jariku. Beberapa orang sibuk menolong anak buah bapakku. Dalam hati aku tersenyum sendiri, hari ini spesial mematahkan tangan orang. Entah besok. Mudah-mudahan aku tidak dibilang sadis karena telah memberikan hukuman pada orang-orang dengan mematahkan tangannya.
Aku kembali fokus menyimak hitungan karung kopi yang siap diangkut ke dalam truk-truk di antara dengung suara orang-orang yang merasa heran kok bisa tangan salah satu kuli patah tiba-tiba. Biarlah mereka berspekulasi dengan pikiran mereka. Dengan sering membantu Bapak, aku tahu pribadi orang yang bekerja sungguh-sungguh dan ikhlas, dengan orang-orang yang hanya sekadar kerja dan nyari muka.
Termasuk juga orang yang benar-benar mencari nafkah dengan peluh sendiri, dengan orang yang mencari jalan pintas ingin kaya dengan memelihara tuyul.
Sudah menjelang magrib, pekerjaan memuat kopi belum juga selesai. Anak buah Bapak kelihatan sudah sangat lelah. Padahal kopi ditunggu sore besok. Otomatis malam ini harus diberangkatkan ke Lampung dan Palembang. Kulihat Bapak tenang-tenang saja. Sementara aku yang risau. Sebab jelang senja di kotaku sangat rawan. Penodongan dan rampok mengintai setiap waktu. Akhirnya diam-diam aku siaga. Aku harus membantu Bapakku. Minimal menjaganya dari marabahaya. Biasanya Bapak minta pertolongan tentara untuk mengawal jika sampai sore seperti ini. Entah kenapa kali ini tidak ada.
Meski preman kota ini rata-rata kenal Bapak, bisa jadi mereka memanfaatkan orang lain. Jejaring mereka banyak. Mereka bisa menyuruh kawannya dari kota lain untuk menjadi mata-mata atau melakukan kejahatan. Benar saja, baru aku bepikir tentang berbagai kemungkinan tiba-tiba ada tiga lelaki masuk gudang dengan gaya sombongnya. Yang paling depan memukul-mukul kaca loket sambil berteriak.
“Mana bos-nya. Ha! Bos-nya mana?” Setengah membentak. Aku yang berada di dalam loket langsung ke luar. Untung Bapakku sedang di dalam rumah. Jadi dia tidak tahu kalau ada bajingan tengik mau memerasnya.
Melihat sikap mereka yang kasar, lalu menujuk-nunjuk anak buah Bapakku, aku naik darah. Di pinggang mereka terselip pistol laras pendek dan pisau. Kukunci pintu loket segera. Sebab setahuku brangkas Bapak sendang penuh dengan uang.
“Hei! Memangnya ini rumah Bapakmu, enak saja memukul-mukul kaca dan menujuk-nunjuk orang. Memang kalian siapa? Tidak sopan!” Ujarku marah. Mata kami bertatapan.
“Lihat ke mari, ini bos-nya! Mau apa kalian” Bentakku. Mereka mungkin tidak menyangka yang membentak anak kecil. Berhubung di gudang Bapak tinggal pekerja, dan sopir truk, dan aku tidak ingin ada yang celaka, aku sengaja memancing tiga orang ini agak ke tengah.
Sreet!!.sreet!!! Sreet!! Aku menarik sabuk lalu berputar tanganku meraba pinggang ketiganya. Senjata tajam dan pistol mereka ada di tanganku. Kumain-mainkan di hadapaan mereka. Mata mereka terbelalak. Mungkin mereka tidak percaya karena yang melakukan itu anak kecil, perempuan pula. Mataku mengecil ketika menatap lelaki yang paling sombong ini di tubuhnya ada titik hitam selebar mata uang logam seribu zaman dulu. Ternyata dia punya ilmu kebal. Titik hitam selebar mata uang logam itulah yang melidunginya jika kena sabetan benda tajam. Pantas dia berani menantang terang-terangan, karena punya ‘isi perut’ sebutan orang Besema untuk orang yang memiliki ilmu. Baik akan kuajak dia bermain-main. Akan kuremuk ilmu kebalnya.
“Nak mati nian kau eh!” Ujarnya marah. Dari bahasanya aku paham berasal dari suku apa dia. Instingku mengatakan, sebelum ke sini mereka telah melakukan kejahatan. Mereka mencuri mobil.
Demikianlah, kejahatan di kotaku memang merajalela. Polisi hanya beberapa gelintir, tak mungkin mampu melawan jumlah penjahat yang banyak ini. Kompi cukup jauh di luar kota. Walau demikian, prajurit dari kompi ini seringkali turun tangan membantu dan memgamankan masyarakat. Aku berinisiatif untuk memanggil kak Yudikat agar begajul tiga ini ditahan di penjara kompi saja.
“Ini ambil senjata kalian. Apa perlu aku tembak kalian satu-satu?!” Aku pura-pura mengarahkan pistol pada mereka. Mereka bukannya cemas atau takut. Malah makin maju. Kulihat anak buah Bapakku sudah siap-siap dengan senjata mereka. Ada yang memegang balok, sekop, linggis, bahkan sapu. Mereka kularang mendekat. Pistol dan pisau ketiganya masih kumain-mainkan. Tak lama aku melompat sambil bertumpu pada karung kopi yang menggunung. Sejata para penjahat kuletakkan di puncak karung kopi.
“Ambillah kalau bisa!” Ujarku menantang mereka. Si bos penjahat maju lebih dulu. Nampaknya dia malu sekali kupermainkan. Terlihat dari wajahnya yang memerah.
“Nak mati nian kau ye! Belum tahu aku kau ye!!?” Ujarnya sambil menyerang. Aku mengelak cengkramannya sembari menyapu kakinya. Rupanya dia pandai juga mengelak. Dengan cepat dia melompat. Tapi tak urung tubuhnya kena juga sabetanku. Padahal sabetan sabukku cukup kuat, namun aku seperti memukul tembok. Aku ubah strategi secepatnya. Aku akan hancurkan ilmu kebal yang dimilikinya. Aku mulai mengumpulkan enegi di telapak tangan kananku. Secepatnya kutempelkan ke tubuhnya. Seketika energi yang dimilikinya kusedot lalu jimat kebalnya kuremuk. Keluar asap berwarna hitam dari telapak tanganku. Si bos penjahat langsung terkulai lemas. Melihat bos mereka tak berdaya, dua temannya menyerangku. Tapi aku tidak merasakan energi apa-apa dari mereka kecuali perasaan cemas mereka karena takut. Aku enggan lama-lama. Kedua orang itu kuhantam dengan tenaga dalamku sekaligus. Kedunya terhenyak setengah semaput. Ternyata mereka tidak pandai berkelahi. Andalan mereka hanya senjata tajam dan senjata api. Dan komplotan-komplotan ini terbilang sadis tidak segan untuk membunuh.
“Bagaimana, Mang. Baru segitu sudah ambruk. Bos bandit kok kalah melawan anak kecil.” Ujarku.
Melihat ketiga penjahat ini tak berdaya, rame-rame anak buah bapakku mengambil tali rapiah lalu meringkus dengan cara mengikat tangan dan kakinya. Ada juga di antara mereka mengayunkan benda tumpul memukul ketiganya. Mungkin mereka gemes. Mendengar riuh suara “ikat, ikat, mati kau, syukurlah, dasar setan” dan lain-lain membuat Bapakku yang baru hendak menunaikan salat maghrib datang. Beliau kaget melihat ada tiga lelaki dalam keadaan terikat. Mang Sam menceritakanya sekilas. Mendengar itu Bapak segera menilpon Kak Yudikat. Tak berapa lama, kak Yudikat bersama prajuritnya tiba dengan senjata lengkap. Bapak menyerahkan tiga penjahat. Ketiganya di bawa ke Batalyon Karang Dale, ditahan si sana sebelum diproses. Senjata tajam dan senjata api mereka kuserahkan dengan kakak Yudikat.
Gudang lengang. Truk-truk sudah berangkat. Bapak sibuk minta diceritakan kronologi penaklukan tiga penjahat bersenja api tersebut berulang-ulang.
“Darimana kamu bisa bela diri dan menakhlukan penjahat dengan mudah, Nak.” Tanya Ibu.
“Dengan nenek gunung, Bu” Ujarku. Ibu terperangah tak bisa berkata apa-apa.
Bersambung…