HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VI (87B)

Karya RD. Kedum

Usai menghabiskan sebatang rokok, secangkir kopi, Puyang Purwataka berbicara pada santri-santrinya, agar memanen sayur-mayur di ladang yang paling sudut, lalu beliau suruh jual, sebagian lagi disuruh antarkan ke pondok-pondok pesantren anak yatim. Lalu malamnya mereka disuruh beliau mengamalkan hal tertentu untuk meningkatkan ilmu yang telah mereka peroleh. Tak seberapa lama, Aku dan Puyang Purwataka sudah berada di sisi jalan menanjak menuju puncak. Jalur yang sering di lalui para pendaki. Kebetulan ada tanah tinggi membentuk bukit, menghadap ke ladang penduduk. Puyang Purwataka mengajakku naik di atasnya. Matahari terasa terik jika dirasakan oleh manusia biasa. Meski angin berhembus tetap terasa dingin. Aku ikut duduk ketika melihat tangan Puyang memberi isyarat padaku.

“Apa yang kau lihat di lembah dan lereng gunung ini, Cu?” Puyang membuka pembicaraan. Kujawab aku melihat hamparan ladang yang subur. Ada kubis, timun, wortel, daun bawang, dan sebagainya, terhampar luas dan terlihat rapi. Aku melihat alam seperti lembaran kain hingga ke lembah yang disulam oleh tangan-tangan terampil. Mendengar jawabanku, puyang tersenyum lalu melirik padaku. “Kau pandai sekali merangkai kata, mengungkapkan sesuatu yang indah luar biasa. Benar, di hadapan kita seperti bentangan kain yang dibentang lalu di sulam oleh tangan-tangan terampil. Pemilik tangan-tangan terampil itu adalah para petani. Petani yang siang malam dengan sabar menanam harapan mulai dari kain yang tidak memiliki motif sama sekali hingga berbentuk menjadi sesuatu yang mereka harapkan. Dulu lembah ini adalah belantara, sekarang menjadi lahan perkebunan sebagai sumber penghidupan masyarakat di sekitarnya. Untuk menjadi hamparan indah seperti ini, butuh waktu dan ketekunan. Berbeda dengan istanmu selesai dalam semalam” Ujara Puyang Purwataka kembali. “Kehidupan para petani patut kita pahami, Cu. Jika ingin belajar tentang sabar sebaiknya kita belajar pada para petani. Mereka mengolah lahan dari hutan, semak belukar, mengolah tanah, menanam, merawat, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun baru mereka mendapatkan hasilnya. Selama proses mendapatkan hasil mereka tak benrhenti menggantungkan harapan, yaitu doa. Semoga saja tumbuhan yang mereka tanam sehat, tidak kena hama, hasilnya memuaskan. Begitu terus menerus. Jika hasilnya memuaskan, mereka akan siapakah untuk memulai kembali cocok tanam. Begitu seterusnya. Pikiran mereka umumnya sederhana, cukup untuk hidup. Itulah ciri orang yang bersyukur” Lanjut Puyang lagi.

Aku mendengarkan dengan tekun. Membaca daur ulang kehidupan para petani yang menggarap ladang mereka dengan ukurannya tanah terbatas. Mereka umumnya bukan juragan tanah. Bahkan terkadang untuk menyambung hidup meski sudah punya lahan masih sanggup kerja harian di ladang-ladang orang kaya. Pola pikir dan pola hidup sederhana justru membuat sebagian besar hidup mereka bahagia. “Seorang petani sawah, menggarap tanah, menabur bibit, menanam hingga memang hasilnya, bukan biasa langsung dimakan bukan? Tapi untuk dapat menjadi nasi butuh proses lagi. Menjemurnya, menggiling atau menumbuknya, baru jadi beras, baru bisa menanaknya dan jadi nasi. Bayangkan perjalanan. panjang itu hingga semua kita bisa menikmatinya. Jika tidak sabar, mustahil kita bisa menikmati nasi sebagai bahan pokok kita. Jadi jika belajar sabar tidak perlu jauh-jauh. Cukup kau pandang para petani yang bekerja itu” Kata Puyang sambil menunjuk beberapa petani yang tengah menanam sayur-mayur. “Iya, benar Puyang. Bapak dan ibuku juga petani. Kakekku juga petani. Daur hidup mereka nyaris tidak ada bedanya dengan mereka” Ujarku. Aku dan puyang saling pandang dan tersenyum. “Terimakasih Puyang, telah membuka mataku tentang sabar. Insya Allah, aku akan terapkan itu dalam hidup” Lanjutku lagi. “Iya, sabar dalam segala hal itu akan lebih baik. Belajar menempah diri pun harus dengan sabar” Kata Puyang lagi.

Usai berbincang panjang lebar membahas tentang sabar, Puyang mengajakku kembali berjalan. Kali ini aku diajak meniti jalan setapak yang sempit, penuh dengan akar pohon-pohon raksasa yang tumbuh jarang. Nampaknya jalan ini jarang sekali dilalui orang. Paling ini jalan pintas yang dilakukan oleh para pemburu yang seringkali memikat burung, menembak satwa-satwa liar, berburu babi dan lain sebagainya. Dari kejauhan aku mendengar deru air. Rupanya ada sungai di lereng gunung ini. Benar saja, di hadapan kami ada sungai berbatu besar. Suara gemuruh air dari jauh rupanya berasal dari curugnya. Aku duduk di atas batu yang menonjol di atas curug yang tak seberapa tinggi. Aliran air tidak terlalu kencang, karena debit air memang agak kecil. Akan berbeda jika turun hujan. Air akan keruh, dan sedikit deras. Curug ini menjadi sumber mata air yang mengaliri desa-desa sepanjang lereng hingga ke kaki gunung Slamet. Di bawah, aku melihat beberapa pendaki turun menuju curug, mereka ada yang sekadar mencuci tangan, lalu beberapa orang meletakkan botol mineral kosong di mata air yang ke luar dari sela-sela akar. Air-air itu bisa langsung diminum. Puyang Purwataka membaca doa dekat sumber mata air-mata air di sisi cadas. Ketika kutanya, katanya sengaja beliau mendoakan air-air ini, agar air yang mengalir ini berenergi, dapat memberi kesehatan pada siapa saja yang meminumnya. Dalam hati aku membenarkan apa yang dilakukan oleh Puyang. Air yang didoakan ini akan menjadi semacam obat bagi mereka yang meminumnya, dan puyang ikhlas melakukannya, tidak butuh ucapan terimakasih dari siapa pun.

Di antara batu hitam yang menonjol di tengah sungai aku melihat langkah kecil seorang perempuan bergaun putih. Selendang yang dipakainya seperti melayang-layang disapu angin. Wajah cantik, bermata sipit, bibirnya tipis tersenyum manis di lempar ke sana ke mari. Dia adalah salah satu peri penghuni sekitar curug yang bahagia melihat para pendaki datang. Terutama melihat kaum adamnya. Aku membatin, ternyata peri satu ini genit juga. Padahal para pendaki tidak satu pun dapat melihat sosoknya. Sesekali tubuhnya berputar ke atas, lalu turun lagi ke batu. Kadang-kadang dia hampiri beberapa pemuda sembari memegang bahu dan menatap wajahnya. Lalu sambil tertawa kembali menjauh, seperti ada yang menggoda. Aku jadi ikut senyum-senyum melihat tingkah makhluk asral ini. Peri yang genit! Di dasar sungai, ada juga beberapa sosok penghuni gunung. Namun nampaknya tidak terlalu membahayakan. Terlihat dari sikap mereka biasa-biasa saja. Kata Puyang, kalau ada yang sakit atau celaka di dekat air terjun ini, itu pekerjaan salah satu makhluk asral yang datang dari atas. Bukan makhluk penunggu air terjun. Sebab kalau kulihat, di air terjun yang ada hanya kerajaan peri dan beberapa perkampungan makhluk asral yang tidak suka mengganggu. Kelompok ini meski makhluk gunung nampaknya agak berbeda. Tak lama, aku kaget ketika terdengar suara ramai, suara perempuan teriak-teriak sambil tertawa. Pantulan suara dari lembah air terjun melambung hingga ke atas. Ternyata ada sekelompok anak muda, pendaki amatiran yang hanya berniat sekadar tamasyah. Melihat air terjun yang bening, mereka kalap dan teriak-teriak kegirangan. Melihat tingkah sekelompok remaja yang banyak tertawa dan teriak-teriak itu, Sang peri tidak suka. Air yang semula kecil dibuatnya kencang dan gaduh sehingga suara gemuruh air terjun dan suara anak-anak muda itu berbenturan sama kencangnya. Aku yang mengamati dari atas berharap tidak terjadi apa-apa.

Usai keliling ke sana kemari mendoakan beberapa mata air, Puyang kembali lagi ke atas curug menghampiriku. Beliau juga ikut mengamati beberapa anak muda yang meluapkan kegembiraan dan kemarahan Sang Peri. “Turun sana, Cung” Perintah Puyang Purwataka tanpa memberikan petunjuk aku harus berbuat apa. Tanpa pikir panjang aku langsung turun menghampiri sang peri. “Assalamualaikum, Om Suawastyastu” Sapaku. Sang peri kaget menatapku. “Salam kembali. Kamu siapa? Oh, maaf, nampaknya kamu Ratu. Dari kerajaan mana?” Wajah cantiknya berubah ramah. Kukatakan aku berasal dari kerajaan Banyuwangi. Namun ekspresinya masih bertanya-tanya mengapa bisa ada Ratu bangsanya namun seperti manusia? Akhirnya sekilas kuceritakan siapa aku. Ternyata Sang Peri memahami. Lalu beliau bercerita kenal beberapa golongan manusia yang memiliki kehidupan sepertiku, sangat dekat dengan kehidupan bangsa mereka. Tidak sedikit yang menjadi pemimpin makhluk asral. Aku membenarkan. Memang banyak bangsa manusia yang memimpin bangsa jin. Sebaliknya banyak pula bangsa manusia bekerjasama dan menjadi anak buah bangsa jin. Di sela obrolan bersama peri, aku segera minta maaf atas kelakuan anak muda yang tertawa-tawa berenang hingga ke bawah air terjun. Kukatakan mereka anak kemarin sore yang tidak paham jika alam ini ada penghuni lain tak kasat mata. “Yang itu sedang menstruasi. Yang itu kencing di dalam air bawah air terjun. Mereka mengotori air ini. Padahal di lembah, tidak sedikit masyarakat yang memanfaatkannya untuk kebutuhan sehari-hari” Ujar Sang peri. Aku membatin, peri yang ini berbeda dengan makhluk asral lainnya. Dia seperti punya hati, lebih beretika. Memikirkan makhluk lain. Berbeda dengan makhluk asral yang berbentuk macan di atas batu. Matanya nyalang penuh kemarahan menatap anak muda yang rata-rata lupa diri, tidak punya etika. Akhirnyan aku minta izin untuk memberhentikan mereka. Aku mendekati beberapa orang dari mereka lalu kutarik tangannya. Ada yang kutarik kakinya dari dalam air. Menyadari hal itu, mereka kaget dengan wajah pucat buru-buru berenang ke tepi lalu buru-buru lari ke darat. Mereka berteriak-teriak memanggil-manggil kawannya agar segera naik. Aku dan peri tersenyum melihat tingkah mereka. Ternyata nyalihnya sangat minim.”Mudah sekali tuan Ratu mengusir mereka. Sekali sentuh mereka kabur dari sini” Ujar Peri. Sekali lagi aku meminta maaf padanya atas tingkah laku anak muda itu. Beliau pun memaklumi. Air sungai normal kembali. Ketika aku baru hendak beranjak pergi tiba-tiba dia berteriak. “Kanjeng Ratu, kalau boleh tahu siapa nama Kanjeng Ratu” Ujarnya. Dengan sedikit mengeluarkan tenaga dalam kujawab, namaku Putri Selasih. Selanjutnya beliau menjawab namanya Roro Saka Dewi. Kami berjanji suatu saat berjumpa lagi. “Alhamdulilah, selesai Puyang. Semuanya aman” Ujarku ikut duduk bersila di samping Puyang Purwataka. Beliau tersenyum sambil bergumam, kamu cerdas. Bisa mengambil tindakan, tidak hanya cepat namun juga mulus tanpa gejolak. Bahkan dapat teman bangsa peri. Aku bersyukur tindakanku tidak dianggap salah. “Biarlah jadi pelajaran yang lain anak-anak yang tidak punya etika itu. Semoga dari cerita mereka, membuat bangsa kita lebih hati-hati dan menghargai alam dan penghuninya. Baik yang kasat mata mau pun tak kasat mata” Lanjut Puyang Purwataka lagi. Dalam hati aku membenarkan apa yang disampaikan Puyang. Anak-anak yang kutarik tangan dan kupegang kakinya pasti akan bercerita pada kawan-kawannya tentang kejadian mistis di air terjun ini. Otomatis mereka akan hati-hati menjaga alam.

Ketika aku baru hendak duduk diam memejamkan mata, mematuhi perintah Puyang untuk sejenak menyerap energi bumi dan matahari, tiba-tiba angin berhembus kencang. Aku dan Puyang tetap duduk bertahan agar tidak tumbang. Tak lama muncul sosok ular naga besar tinggi berkumis, dengan sisik berwarna biru. Di atas kepalanya terdapat mahkota. Beliau ke luar dari balik air terjun. Selanjutnya ribuan pengikutnya ular naga berukuran kecil ikut di belakangnya. Mereka adalah pasukan kerajaan naga yang menghuni seputaran air terjun ini. Mereka ada di gua-gua batu di balik air.”Selamat datang Eyang Purwataka. Maafkan jika saya tidak menyambut tamu terhormat dengan layak. Saya baru sadar ketika terperanjat ada energi menyentuh tapaku. Ternyata energi muridmu yang cantik itu” Ujarnya menggoyang-goyangkan ekornya ke udara. “Maafkan kehadiran kami Naga Biru, kamilah yang tidak sopan, tidak meminta izin padamu terlebih dahulu. Iya, ini muridmu. Putri Selasih namanya. Sengaja kuajak kemari untuk melatihnya menyerap energi bumi dan merapi, juga matahari” Ujar Puyang Purwataka sembari memberi hormat. “Salam Eyang Naga Biru” Aku memberi hormat juga. Naga Biru tertawa melihat sikapku dan Eyang Purwataka. “Jangan berlebihan Eyang, kalian adalah orang-orang hebat. Bahagia sekali Eyang punya murid seorang Ratu. Aku juga ikut melihat bagaimana dia mengubah kerajaannya menjadi lebih baik” Ujar Eyang Naga Biru. Aku tersipu karena pujiannya. Lain halnya dengan Puyang, beliau justru meminta Eyang Naga Biru ikut membantuku. “Tolong jaga, Cucuku Naga Biru. Tegurlah dia jika salah. Dia masih muda. Masih butuh bimbingan sesepuh seperti kita” Kata Puyang Purwataka kembali. Ternyata di luar dugaan, Eyang Naga Biru memberikan semacam tongkat berhias permata biru untukku. Aku menerimanya dengan senang hati. Menurut beliau, tongkat ini sebagai lambang jalinan silaturahmi antara kerajaan Timur Laut Banyuwangi dan kerajaan Naga Curug gunung Slamet. Selanjutnya beliau meminta izin untuk kembali ke pertapaannya, meninggalkan aku dan Puyang Purwataka. Aku dan Puyang kembali membenahi posisi duduk, diam, dan sejenak fokus pada aktivitas siang ini. Aku membaca rangkaian doa yang diajarkan Puyang pelan-pelan. Pertama aku disuruh menyerap energi matahari. Wajahku tengada lurus ke arah matahari. Cahaya teriknya seketika melekat pada kulit wajahku. Namun itu tidak berlangsung lama. Selebihnya aku merasakan energi matahari pelan-pelan menyusup ke dalam tubuhku. Tubuhku terasa hangat. Energi matahari itu kuhimpun ke dalam tubuhku. Jauh sebelumnya, puyang Pekik Nyaring dan Puyang Ulu Bukit Selepah telah mewariskan kemampuan menyerap energi matahari padaku. Hanya saja nampaknya ada perbedaan, energi yang kuserap khusus untuk penghianat. Sedangkan dari Puyangku di Besemah kekuatnnya untuk bertarung. Kedua-duanya sungguh manfaat. Setelah aku rasa sudah cukup, seluruh tubuhku telah dialiri rasa hangat matahari, Puyang memerintahkan aku membuka mata. Selanjutnya telapak tangan kiri beliau menempel di telapak tangan kananku. Selanjutnya tangan kanan beliau diarahkan ke matahari. Tiba-tiba tubuh kami sama bergetar. Cukup lama. Aku merasakan kembali hawa hangat meresap dalam tubuhku hingga ke ujung rambut, jari, dan kaki. Ketika dirasa sudah cukup, selanjutnya Puyang menyuruhku menyerap energi bumi. Aku kembali diam dan fokus. Tak lama aku merasakan hawa dingin pelan-pelan meresap dari kaki hingga kepala. Ada rasa damai yang terserap. Terasa tubuhku seperti magnit menyatu dengan bumi. Energi dari merapi pun ikut terserap. Antara rasa dingin dan panas menjadi satu. Cukup lama aku merasakan tubuhku seperti diaduk-aduk. Kadang terasa dingin, tiba-tiba terasa panas. Lalu berubah lagi menjadi hangat. Pandangan dan batinku terasa makin terang. Lama-lama, kurasakan energi-energi ini seperti lapisan kulit makin lama makin tebal. Tubuhku seperti dilindungi. Pelan-pelan kembali aku dibimbing Puyang besolawat lalu kembali zikir. Usai melakukan ritual menyerap energi bumi dan matahari, pelan-pelan aku membuka mata. Alangkah kagetnya aku ketika aku membuka mata, ternyata di sekeliling kami banyak sekali makhluk asral duduk melingkar seperti menjaga kami. “Siapa mereka puyang? aku tidak menyadari kedatangan mereka” Ujarku agak aneh. “Mereka saudara seperguruanmu dari makhluk asral. Sebagian mereka tinggal di sekitar gunung ini” Ujang Puyang. Menyadari kami sudah selesai, para makhluk asral mengucapkan salam hampir berbarengan. Aku menjawab salam dan menyapu mereka, dengan pandangan. Jumlah mereka banyak sekali. Aku tidak bisa memperkirakan. Mengapa mereka tiba-tiba ada di sini? Sebagian besar mereka mengubah dirinya seperti manusia. Jika bentuk aslinya bermacam-macam. Ada yang singa, harimau, ular, burung, setengah manusia dan hewan.Yang membuat aku salut adalah, Puyang mampu mendidik mereka ke jalan yang benar. Mungkin inilah salah satu contoh yang dikatakan peri curug tadi, manusia yang memimpin bangsa jin.

Tak lama Puyang berdiri. Semua makhluk asral itu tetap duduk dengan kepala menunduk mendengarkan petuah yang disampaikan Puyang. Suara Puyang yang lemah lembut, terasa sejuk di hati. Aku turut mendengarnya dengan seksama. Puyang memyampaikan perihal mendekatkan diri pada Sang Maha. “Semakin kita pasrah, maka kita akan merasakan betapa dekatnya Sang Maha pada kita. Teruslah berlatih membersihkan batin. Tak ada yang bisa kita bawa ke akhirat, kecuali iman” Lanjut Puyang mengakhiri pembicaraan. Baru kuketahui jika santri-santri ini sebagian besar telah membantu pembangunan istanaku. Ketika Puyang memberikan kesempatan padaku berbicara, aku mengucapkan terimakasih sedalam-dalamnya pada mereka. Hari sudah petang, aku dan Puyang baru hendak beranjak meninggalkan curug. Sementara para santri kembali ke dalam gua pertapaan. “Suatu saat, kau akan Puyang ajak melihat pondok dan padepokan gaib yang ada di dalam gua gunung Slamet ini, Cu. Kau bisa juga ikut memperdalam apa yang kau miliki di dalamnya bersama santri-santri di sana. Dan yang penting, mengasah batin. Tidak sedikit pemimpin bangsa jin yang ikut tirakat di sana. Tapi kalau manusia, adanya di tempat yang Puyang perlihatkan padamu tadi” Lanjut Puyang Purwataka kembali. “Puyang! Mengapa telapak tanganku biru mengeluarkan cahaya? Jika di tempat gelap, telapak tanganku akan terang benderang” Ujarku sedikit kaget ketika melihat telapak tanganku biru. Padahal aku tidak mengeluarkan energi apa-apa. Alangkah anehnya jika telapak tanganku yang bercahaya dilihat oleh bangsa manusia. Mendengar pernyataanku Punyang tertawa. “Itu adalah sari kekuatan bumi dan matahari yang menyatu dengan dirimu, Cung. Semua kendali ada padamu. Kau bisa lenyapkan cahaya itu kapan saja. Cahaya itu akan muncul kala kau membantu mengobati orang yang sakit dan butuh pertolonganmu” Ujar Puyang lagi. Akhirnya aku membatin untuk menyembunyikan cahaya biru itu. Benar saja, telapak tanganku normal kembali. Puyang kembali mengajakku berjalan. Namun kali ini bukan melalui jalan setapak seperti sebelumnya. Namun Puyang mengajakku menyisir bibir sungai, lalu memungut beberapa jenis tumbuhan dan akar. Sesekali beliau mengajakku mengambil kulit kayu dan ranting. Lalu mengambil beberapa jenis benalu yang banyak tumbuh di hutan lembab. Daun, benalu, kayu, yang kami bawa sudah sangat banyak macamnya. Ternyata hal ini belum selesai. Puyang membawaku ke ladang orang yang belum digarap. Di antara perdu yang tumbuh di sisa tanaman pokok ada beberapa jenis tumbuhan liar yang dicabut Puyang dengan akarnya. Ada juga yang diambil buahnya saja. Setelah terasa sudah cukup dan banyak, puyang kembali mengajak aku ke gubuknya. Di gubuk Puyang sudah menunggu para santrinya. Mereka mengenakan pakaian sederhana, memakai kain sarung dan peci. Wajah polos dan teduh terpancar di wajah-wajah mereka. Sungguh berbeda dengan tampilannya siang tadi ketika mereka menjadi petani. Melihat kami datang, para santri langsung duduk berjajar dengan wajah setengah menunduk. Tidak ada yang berisik apalagi jelalatan ketika melihat perempuan. Adab mereka mengagumkan. Beberapa orang langsung menyambar bawaan kami lalu menumpahkannya di atas tampah. Selanjutnya dengan cekatan mereka memilah-malah jenis tanaman, lalu disusunnya berjejer. Tanpa diperintah, mereka paham apa yang harus dikerjakan. Kepekaan batin mereka telah membuat mereka seperti ini. Sekali lagi aku kagum pada Puyangku. Beliau tidak banyak bicara, namun dalam diam ada pelajaran yang diajarkannya.

“Semua yang kita ambil ini adalah bahan dasar obat, Cu. Sebenarnya, alam kita sudah menyediakan berbagai macam manfaat pada kita. Sebagian besar orang menganggap apa yang kita ambil ini perdu yang wajib dibasmi, karena dianggap mengganggu tanaman. Padahal Allah menciptakan bumi dan seisinya justru memberikan manfaat pada siapa yang bisa memanfaatkannya” Ujar Puyang Purwataka menatapku. Aku mengangguk dan memperhatikan jenis-jenis tanaman yang ada di hadapanku. Aku meyebutkannya dalam hati nama-nama tanaman yang sudah kami ambil. Sepanjang jalan sisi sungai tadi, Puyang mengajariku nama-nama jenis tanaman dan manfaatnya untuk apa. Puluhan jenis tumbuhan ini adalah bahan dasar untuk pengobatan. Selanjutnya Puyang menjelaskan padaku bagaimana meracik jenis-jenis tumbuhan ini, lalu bagaimana mengobatkannya pada penyakit-penyakit tertentu. Kebanyakan tumbuhan ini untuk bahan dasar jamu, yang baik diminum oleh orang yang mengidap penyakit-penyakit tertentu. Termasuk mengobati luka dalam akibat gangguan makhluk gaib atau pun medis. Agar berkah maka obat-obat herbal ini sebelum diberikan sebaiknya dizikiri terlebih dahulu. Demikian kata Puyang Purwataka. Pantas saja aku melihat di gubuk Puyang banyak sekali botol berisi air. Ternyata itu adalah jamu godok yang diminum oleh para santri untuk menjaga stamina. “Lihatlah air ini dengan mata batinmu, Cu” Puyang menyodorkan sebotol air padaku. Di dalam botol yang disodorkan salah satu santri itu airnya berwarna keruh seperti teh pekat sekali. Aku melakukan apa yang diperintahkan Puyang. Air yang terlihat keruh secara lahir itu ternyata memiliki warna yang sangat indah. Cahaya kemerlap-kemerlip seperti pelangi. Cahaya itu seperti hidup. “Air adalah makhluk hidup, Cu. Ketika dia disolawati, dibaca ayat-ayat suci, maka air akan berubah gembira dan bahagia, bahkan dia akan ikut berzikir pula hingga menghasilkan energi positif seperti ini. Jika diminum oleh orang yang sakit, bukan saja karena unsur obat yang dikandung oleh daun, kulit kayu, dan akar saja. Melainkan karena ada unsur lain, energi dari Dzat yang kita lafaskan di dalamnya” lanjut Puyang lagi. Apa yang dikatakan Puyang benar adanya. Hal seperti ini sudah kuketahui sejak aku kecil. Kakek Andun, Kakek Njajau pernah juga pemberitahuku hal ini. Ketiga guruku ini satu pemahaman rupanya. Bedanya, Puyang Purwataka lebih banyak mengajariku tentang pengobatan. Sementara yang lain lebih pada pengobatan dan pertarungan. Kadua-duanya sungguh manfaat. Aku bahagia sekali ditemukan dengan mereka yang luar biasa meski secara batin aku lebih suka bertarung.Usai magrib rencanaku akan kembali pulang ke Timur Laut Banyuwangi. Puyang Purwataka akan mengantarkan aku ke sana bersama beberapa santrinya yang beliau suruh turskst di masjid istana.

Aku baru saja berniat hendak pulang, tiba-tiba ada beberapa sosok datang membawa makhluk yang sakit. “Om suawastyastu, Paman. Tolong saudaraku ini, Paman. Dia terluka parah usai bertarung dengan anak buah Nyi Roro Kidul” Ujarnya sedikit tergesah-gesah. Mereka makhluk asral yang secara fisik jelek dan menyeramkan. Tapi mereka berani menemui Puyang Purwaraka. Rupanya Puyang sangat dikenal oleh makhluk asrama sebagai resi obat. Beliau tidak tebang pilih dalam menolong. Apalagi jika ada yang minta tolong seperti sekarang. Beliau tidak peduli siapa dan apa latar belakangnya. “Mengapa sampai berselisih paham dengan anak buah Kanjeng Ratu?” Ujar Puyang Purwataka. Sekilas makhluk itu menceritakan jika terjadi perebutan wilayah kekuasaan. Karena wilayah makhluk asral ini kerap didatangi oleh bangsa manusia mengantarkan sesajen dengan berbagai kepentingan, pengawal Nyi Roro Kidul dekat wilayah itu marah. Sebab menurut mereka sesajen itu hendak dipersembahkan pada Nyi Roro Kidul. Bukan makhluk yang tinggal di darat dekat laut itu. Maka terjadilah pertempuran. Anak buah Nyi Roro Kidul umumnya sakti-sakti. Tidak terlawan oleh adiknya. Mendengar penuturannya, sebenarnya batinku menolak. Bagaimana tidak, menurutku mereka adalah bangsa yang telah menyesatkan manusia. Sengaja menerima sesajen sebagai persembahan. Mereka dipuja-puja.Wajar saja jika mereka bertarung memperebutkan wilayah kekuasaan dan lain sebagainya. Sekaligus menunjukkan jika Nyi Roro Kidul sangat berkuasa. Aku diam saja. Apakah Puyang akan mengobati makhluk yang terluka parah ini apa tidak. “Cu?” Puyang menatap padaku. Sejurus aku menatapnya. Apakah Puyang tidak tahu jika aku pantang menyentuh makhluk-makhluk yang lebih banyak menyesatkan manusia? Mengapa aku harus menolong mengobatinya? Aku lebih senang mengurung mereka atau menewaskannya. Aku mebatin. “Mereka minta tolong, jangan pandang bulu ketika ada yang minta pertolongan kita. Tolonglah mereka. Kecuali jika mereka menyakitimu, mengganggunya, atau ketika mereka menolak diajak kebaikan, atau sudah tergambar olehmu bakal tidak bisa diajak kebaikan, baru boleh mengambil tindakan. Itu pun pilihan terakhir. Mereka datang ke mari minta tolong. Jangan kau tolak. Bantulah, Cung” Ujar Puyang lembut. Hal seperti ini sedikit bergejolak dalam batinku. Bagaimana aku haris tetap berbaik hati pada sosok yang kuketahui jahat? Akhirnya dengan bismillah aku mendekati makhluk asral yang terluka parah tersebut. Aku melihatnya seperti sudah mati. Karena beberapa bagian tubuhnya seperti terbakar dan remuk. Dalam hati aku membatin, hebat sekali pukulan yang telah dilakukan oleh anak buah Nyi Roro Kidul itu. Ini pukulan mematikan. Aku segera duduk bersila, sengaja kebaca ayat sekencang-kencangnya. Makhluk asral yang mengantarkan saudaranya ini menggigil hebat, lalu menjerit kepanasan. Padahal aku tidak mengarahkan pengobatan padanya. Puyang Purwataka mengibaskan tangannya. Sekilas aku melihat ada dinding tipis menghalangi radiasi yang kubaca agar tidak mengenai dua makhluk ini.

Aku mulai bekerja sehati-hati mungkin. Memulihkan luka bakar dan bagian yang remuk. Kukerahkan kemampuan yang kumiliki, termasuk ilmu pengobatan warisan Puyang Purwataka. Aku memusatkan energi itu ke telapak tangan. Tiba-tiba telapak tanganku berubah jadi biru. Kali ini aku mencoba pengobati sesuai yang diajarkan Puyang Purwataka. Pelan-pelan luka bakar dan remuknya kubenahi. Puyang menyiapkan air ramuan untuk kugunakan membersihkan lukanya terlebih dahulu. Air itu pun kuusap dengan cara gaib. Pelan-pelan si pasien mulai mengerang. Meski masih lemah, namun mendengar suaranya, artinya syarafnya masih hidup. Dia masih bisa merasakan sakit. Terakhir, kutransfer energi agar makhluk ini bertenaga. Namun diam-diam beberapa kemampuannya yang kuanggap berbahaya sedikit-sedikit kucabut dan kusamarkan. Ternyata apa yang kulakukan dirasakan oleh makhluk yang sakit ini. “Mengapa kau cabut beberapa ilmuku? Ujarnya lemah. “Karena ilmu yang kau miliki menghalangi pengobatanku. Dan kau tidak bisa sembuh jika tidak kubuang?” Ujarku. Selebihnya dia diam saja. Cukup lama aku menelusuri dan mengobati luka parahnya. Setelah semua kuanggap selesai, aku mundur. Puyang Purwataka mengaguk pelan. Sejenak beliau merabah tubuh makhluk asral tersebut. Akhirnya beliau menoleh memanggil saudaranya yang mengantarkan. “Insya Allah, besok saudaramu akan bangun dan sehat seperti semula. Biarkan pengobatan cucuku berjalan terlebih dahulu. Jika mau dibawa pulang silahkan, jika masih hendak tinggal di sini juga silakan bersama santri-santriku” Ujar Puyang Purwataka. Ternyata dua makhluk kakak beradik itu memilih tinggal di tempat Puyang. Alasannya, takut terjadi penyerangan tiba-tiba dari pihak lawan sementara saudaranya belum sembuh. Akhirnya kami tinggalkan makhluk asral itu di gubuk Puyang Purwataka. Aku segera kembali ke istana. Puyang Purwataka hanya mengantarku sampai di pintu gerbang. Sementara santrinya yang ikut bersamaku langsung kusuruh masuk ke masjid. Selanjutnya Puyang minta izin langsung pulang. Aku mencium tangan beliau sekaligus mengucapkan terimakasih pada beliau telah banyak mengajariku sepanjang hari ini. Aku melangkah memasuki pintu gerbang istana. Suasana senyap. Hanya samar-samar terdengar suara mengaji di masjid. Mendengar langkahku masuk, beberapa pengawal bergegas menghampiri. “Selamat malam Kanjeng. Kanjeng Ratu nampak lelah sekali. Apakah perlu kupanggil Mbah Lasmi, Kanjeng?” Ujarnya. Aku menggeleng. Maksudnya memanggil seorang perempuan tua yang pandai memijat. Aku tidak suka dipijat. Mbah Lasmi yang pengawal maksud adalah makhluk asral yang pandai memijat. Ilmu pemijatan pemijatan tidak hanya ada di alam manusia, namun di alam gaib pun ada. Bahkan dukun beranak pun ada. Contohnya Mbah Lasmi, perempuan tua tukang pijat sekaligus dukun beranak kerajaan Timur Laut Banyuwangi.

Bersambung..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *