HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT III (42A)
Aku berangkat ke sekolah di antar Mang Sam. Sejak tadi malam hujan sangat lebat. Waktu sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi. Jika hari biasa, lima belas menit lagi lonceng sekolah sudah berbunyi. Tapi kalau hujan seperti ini, masih ada toleransi. Meski terlambat, tetap diizinkan masuk.
Aku memakai sepatu boot plastik warna merah. Baru kusadari jika sepatuku sudah sempit. Sesekali aku berjinjit menahan sakit. Dimana-mana air tergenang. Kalaupun tidak tergenang, penuh dengan lumpur. Beberapa kali mang Sam mengingatkan agar aku hati-hati melangkah. Lumpur hitam rupanya nyiprat di jas hujan bagian belakangku.
“Coba kita panggil Kumbang, dijamin nggak akan kotor dan basah.” Selasih berbisik.
“Kalau digendong Kumbang, kita tidak akan merasakan bagaimana rasanya berangkat sekolah hujan-hujanan, berjalan di lumpur. Suatu saat kita tidak punya cerita dengan anak cucu. Masak ceritanya cuma kemana-mana digendong?” Ujarku.
“Tapi akhirnya akan susah sendiri,” sambungnya.
“Siapa yang susah? Enak kok hujan-hujanan. Masuk kelas basah-basah sambil gokil, itu seru tahu!” Jawabku lagi. Aku tersenyum mendengar dengusnya.
Sudah pukul 12.00 siang belum juga ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Padahal baru awal September. Langit nampak gelap. Jadwal pulang sekolahku agak dipercepat karena kelas gelap. Proses belajar mengajar tidak bisa dilaksanakan. Maklum PLN di kotaku lebih banyak matinya daripada nyala. Otomatis di dalam kelas, meski tengah hari nampak gelap. aku melihat sosok kawanku seperti hantu. Ada bentuknya tapi tak ada wajahnya.
Aku melihat beberapa kawanku lebih memilih berhujan-hujan sambil melompat-lompat di air tergenang lapangan sekolahku. Ada juga tetap memakai jas hujan meski tetap main menyiprat-nyipratkan genangan air kepada kawan-kawan. Ada yang tertawa, balas menyipratkan. Ada juga yang marah seperti hendak berantem. Aku lebih memilih melipir di teras sekolah hingga ke teras gereja tak seberapa jauh samping kelasku. Beberapa temanku pun ikut melakukan hal yang sama. Jika tadi aku dan Mang Sam melalui jalan Masjid Raya, kali ini aku hendak pulang melalui jalan Indra Giri, simpang Tebat Baru, Proyek, lalu rumahku. Medannya lebih parah dari jalan Raya sebenarnya. Kalau lewat jalan Raya paling depan pasar Proyek sampai ke simpang Angin Timur yang berlumpur dan berair. Selebihnya jalan berbatu besar-besar menonjol sepanjang jalan.
“Deeeek tunggu!!!” Aku melihat Acen berlari di tengah hujan. Air nyiprat kemana-mana ketika kakinya menghentak bumi.
“Aku mau cerita!” Ujarnya setelah dekat.
“Cerita?” Tanyaku.
“Iya, itu pencopet yang kamu patahkan tangannya kemarin, nanya-nanya soal kamu. Rumahnya kan tidak jauh dengan rumahku. Perbatasan Tebat Baru dengan Kampung Melati. Dia tinggal di bedeng dua tingkat seberang rumahku.” Jelas Aceng antusias.
“Lalu kamu jawab apa Cen?” Tanyaku lagi.
“Aku pura-pura nggak tahu yang mana yang dia dimaksud. Soalnya kalau nama Dedek banyak. Ada yang SD, ada juga yang duduk di bangku SMP. Pokoknya aku belok-belokan agar tidak mengarah ke kamu. Pas dia bilang kamu, aku katakan namanya bukan Dedek, tapi Erus,” kami tertawa sejenak. Lucu juga kawanku satu ini. Apakah yang dibohongi tahu ya, kalau sebenarnya Acen paham siapa yang dimaksud.
Akhirnya kami berjalan berdua. Acen mengingatkan aku agar hati-hati. Dan menyarankan agar aku sebaiknya tidak lewat Simpang Tebat Baru. Aku hanya tersenyum sambil beriringan dengannya. Aku katakan biarlah kaki ini lewat Simpang Tebat Baru, besok-besok baru lewat Masjid Raya. Sahabatku satu ini gayanya agak tomboy. Aku suka. Tapi kalau pas mau diajak berantem dia lebih memilih tidak sekolah. Meski dia keturunan Tionghoa, tapi kulitnya tidak putih seperti sahabatku keturunan lainnya. Kulitnya sawo mateng, hidungnya sedang-sedang saja. Matanya saja agak sipit. Rambutnya lurus sebahu selalu kelihatan rapi melengkung ke dalam.
Di simpang Tebat Baru, di bawah derai hujan kami berpisah. Acen belok kanan, sedangkan aku lurus saja. Baru saja aku mau fokus melihat jalan penuh lumpur, ada suara memanggil.
“Selasih….selasih…tunggu!!!” Dari arah Indra Giri aku melihat nenek gunung berlari ke arahku. Tapi karena hujan lebat aku terhalang untuk melihat sosoknya dengan jelas. Siapa dia? Apalagi aromanya. Hujan menghalagi penciumanku. Setelah dekat baru jelas, ternyata Gundak.
“Kenapa kau kemari?” Bentakku kaget. Kalau kutahu dia yang berlari mendekatiku sudah kututup mata batinnya agar tak nampak aku.
“Aku ingin bertemu denganmu, Selasih.” Ujarnya.
“Ingin bertemu? Untuk apa? Aku tidak mau kau temui. Ingat tidak kata-kataku waktu di rumahmu yang luar biasa itu.” Aku teringat bagaimana sakitnya mendengar Gundak membentak agar aku jangan minum air yang ada di sepanjang sisi rumahnya, sebelum minta izin padanya. Belum sempat dia menjawab, aku langsung baca mantra pemagar diri. Gundak tak bisa melihatku lagi. Aku melanjutkan perjalanan pulang, meninggalkan Gundak yang terbengong.
Sebenarnya aku kasihan juga melihat dia jauh-jauh dari Bukit Selepah datang ke Pagaralam, lembah gunung Dempu ini. Apalagi kulihat dia basah kuyup. Bulu lorengnya jadi lepek. Tapi demi mengingat kejadian di rumahnya, aku jadi tidak simpati. Aku enggan bertemu dengannya. Biarlah dia mau berhujan- hujan keliling kota Pagaralam ini, Gundak tidak akan menemukan aku.
Tak banyak yang bisa kulakukan dalam keadaan hujan seperti ini. Aku enggan ke luar rumah. Dingin dan basah. Gudang kopi Bapak juga sepi. Yang Ada Mang Winar, Mang Sam, dan beberapa kuli yang biasa menjual jasa di depan-depan ruko Bapak. Ibu membawa secerek kopi untuk mereka sekadar menghangatkan badan. Semua terlihat mengepit tangan ke dada mengusir dingin.
Bosan duduk-duduk di gudang, aku kembali masuk ke rumah, menuju lantai atas. Belum tahu melakukan apa. Majalah sudah ludes kebaca. Mau dengarkan tape muter lagu pop atau daerah, suaranya tidak terlalu jelas karena berisik hujan menimpa atap. Padahal minggu depan, Pak Muslimi akan mengambil nilai praktik kesenian. Kami diminta menyiapkan tiga lagu; lagu wajib nasional lengkap dengan notnya, lagu daerah, lagu pop atau lainnya. Aku sudah mempersiapkan lagu-lagunya, tinggal latihan sendiri atau saling simak dengan kawan-kawanku.
“Selasih, mengapa kamu kunci dirimu dari pandangan Gundak.” Aku terperanjat tiba-tiba suara Puyang Ulu Bukit Selepah menegurku. Aku tercekat harus menjawab apa.
“Jika kamu mendiamkannya, sampai kapanpun Gundak tidak menyadari kesalahannya. Ajari dia Cung agar dia bisa sedikit dewasa. Puyang yakin kamu bisa meski usiamu lebih muda,” Suaranya lembut. Aku segera menjawab iya. Buru-buru Pagar gaib kubuka. Sekarang gantian aku yang mencari Gundak. Ternyata dia masih berdiri di tempat tadi, menadah hujan, mungkin juga sambil menangis.
“Gundak! Kemari!” Aku melambaikan tangan padanya. Nada suaraku lebih bersahabat. Aku seperti lupa kejadian petang waktu di dusunnya itu. Kulihat Gundak berubah ceria. Dia berlari kencang menghampiriku.
“Kamu menghilang tadi Selasih. Kemana?” Pertanyaan polos Gundak setelah dekat. Sejenak aku berpikir harus berkata apa. Mau jujur nanti dia sakit hati.
“Aku sengaja menghilang dari pandanganmu karena aku pagari diriku. Kalau bukan ditegur kakek Ulu Bukit Selepah, Puyangmu mungkin selamanya kamu tidak bisa melihat apalagi menemuiku.” Jawabku seadanya.
“Aku mau minta maaf Selasih atas perlakuan kasarku tempo hari. Aku menyesal sudah membuatmu marah. Aku dimarahi Umakku ketika tahu kalau kamu pulang gara-gara kularang minum air kendi itu. Aku salah Selasih. Aku juga kena marah karena tidak peduli dengan Gali. Padahal dia sepupuku. Aku ingin suatu saat mengajakmu ke Ranau menemui Gali.” Ujar Gundak dengan ekspresi polosnya. Mendengar pernyataan polos Gundak luluh juga hatiku. Benar kata Puyang Ulu Bukit Selepah kalau tidak diberitahu mana Gundak akan tahu kesalahannya.
“Aku maafkan Gundak. Syukurlah kamu menyadari kesalahanmu. Jangan diulangi lagi. Aku juga minta maaf. Semula aku tidak mau lagi bertemu denganmu. Tapi itu salah. Sebagai sahabat kita harus saling mengingatkan” Ujarku.
“Iya, jangan bosan mengingatkan aku ya Selasih.” Suaranya sungguh-sungguh. Ketika kutanya mengapa dia datang sendiri. Biasanya dikawal oleh tiga nenek gunung. Salah satunya paman Gali, saudara Umaknya. Dia jawab, dia sudah diizinkan pergi sendiri meski tetap diawasi dari jauh. Puyang Ulu Bukit Selepah memberi sedikit bekal untuknya. Artinya Gundak punya kemampuan lebih. Aku tidak bertanya bekal seperti apa yang diberikan Puyang Bukit Selepah. Tapi melihat tampilannya Gundak sedikit lebih dewasa.
“Dedek…ngobrol dengan siapa?” Tiba-tiba ibu menongolkan kepala ke kamarku.
“Ini sama Gundak, Bu” Jawabku. Aku kaget! Keceplosan. Benar saja mata ibu terbelalak. Disapunya dengan pandangan takutnya seluruh kamar. Menyadari hal itu aku langsung berdiri mendekatinya.
“Ibu, tidak usah heran, dan tidak usah takut. Gundak itu baik, Bu. Dia itu nenek gunung, anak riye Bukit Selepah. Maafkan, ibu tidak bisa melihat sosoknya. Gundak bujang kecil kira-kira berusia enam belas tahun, Bu. Saat ini dia sedang duduk di pojok itu.” Uraiku. Ibu masih menatapku heran tak mampu berkata-kata. Sementara Gundak tersenyum melihat ekspresi Ibu yang aneh. Aku mengelus-ngelus tangan ibu yang terasa dingin. Pelan-pelan kusalurkan energi untuk menenangkannya. Tak berapa lama nafasnya normal kembali wajahnya juga berubah.
“Apa kamu tidak takut, Nak. Masak berteman dengan nenek gunung?” Ujarnya lagi.
“Ibu, bukankah leluhur ibu nenek Bakek juga manusia damai? Lalu nenek Kam, ada lagi nenek Pagarjaya. Bukankah mereka-mereka nyaris tidak ada jarak dengan kehidupan nenek gunung?” Tanyaku.
“Tapi beda, mereka orang kampung yang hidupnya dekat dengan rimba. Mereka sudah tua. Bukan anak-anak sepertimu.” Ujar Ibuku lagi. Aku berusaha menenangkan Ibu kembali. Dan meyakinkannya bahwa aku akan baik-baik saja. Akhirnya setengah berlari sambil merinding ibu turun tangga buru-buru.
“Hati-hati, ibu.” Teriakku sambil menyusul melihat beliau turun. Aku balik lagi ke kamarku. Gundak masih duduk diam.
“Kapan kita ke Ranau. Malam ini?” Ujarku. Gundak mengangguk setuju. Berarti aku siap-siap untuk ngantuk besok.
Malam ini adalah malam pertama aku melakukan perjalanan tanpa didampingi nek Kam. Entahlah tiba-tiba aku merasa sudah sangat dewasa. Aku meninggalkan kamar namun sebelumnya aku pecahkan diriku untuk tetap diam di kamar jaga-jaga jika Ibu atau Bapak memanggil. Usai salat magrib, aku dan Gundak mulai melakukan perjalan. Kami berjalan terlebih dahulu sampai diperbatasan kota. Selebihnya kuajak Gundak untuk berlari menggunakan kemampuan yang dimilikinya. Aku mencoba mengimbangi kecepatannya. Ternyata Gundak ada kemajuan, lompatan dan larinya ringan dan cepat.
“Kamu tahu dimana Ranau itu Gundak?” Teriakku. Gundak baru menyadari kalau dia belum pernah ke sana. Jadi dia tidak tahu dimana Ranau. Aku tersenyum mendengarnya.
“Baik sekarang kita berhenti sejenak.” Ajakku. Kami memperlambat gerakan. Lalu berjalan. Baru saja kami melewati sungai lematang dan bukit Serelo Lahat. Ranau sebenarnya tidak seberapa jauh lagi. Tinggal melintas dua bukit, sungai, dan beberapa lembah curam. Sudah itu sampai. Di sana ada danau yang luas.
“Bagaimana caranya agar kita tahu lokasi dimana Gali berada, Selasih.” Ujar Gundak.
“Panggilah Gali dengan batinmu. Seperti ketika kamu sering memanggilku. Gunakan tenanga dalammu sedikit.” Ujarku. Gundak seperti baru jaga dari tidur. Dia baru sadar ketika kuingatkan.
“Iya..ya..kenapa aku bodoh sekali,” ujarnya menepuk jidat. Aku tersenyum.
“Jujur itu lebih baik Gundak, daripada sok pintar tapi nyatanya tidak ada isi.” Ujarku.
Akhirnya Gundak diam sejenak. Dia mulai konsentrasi mefokuskan diri memanggil Gali. Aku membantunya menambahkan enegi agar panggilannya segera sampai dengan Gali. Kudengar mereka berkomunikasi. Aku telah menemukan posisi Gali ketika ia berbicara dengan Gundak.
“Bagaimana Gundak, sudah tahu posisi Gali kan?” Tanyaku. Gundak menjawab dengan anggukan. Kami kembali melanjutkan perjalanan. Beberapa kali aku melihat sosok nenek gunung di bukit-bukit yang berdiri kokoh sambung-menyambung dari hilir ke hulu.
Langit tertutup awan. Aku berharap tidak turun hujan. Tak lama berselang kami telah sampai di kawasan danau yang sangat luas. Danau inilah yang sering disebut-sebut kakek Haji Yasir, Danu Ranau. Aku menikmati alamnya sejenak. Tenang dan bening. Angin berhembus lembut. Beberapa kali aku Melihat ada gerakan-gerakan halus di permukaan air danau yang tenang. Di kedalam danau aku melihat seorang ratu duduk disinggasana yang mewah. Matanya berkilat-kilat. Di sisi kanan kirinya ada ular naga berwarna hijau dan merah. Kumisnya panjang bergoyang-goyang. Dia ratu buaya putih. Sedangkan naga itu adalah pengawalnya. Rakyatnya banyak sekali. Aku tidak mau berurusan dengannya. Aku menarik tangan Gundak agar berjalan ke hulu. Ada bukit kecil berdiri anggun sekali. Di lereng bukit kecil itu aku melihat ada perkampungan. Aku dan Gundak mempercepat langkah.
“Gali, kami sudah sampai” Ujarku sambil berkomunikasi.
“Selasih!! Kamu bersama. Gundak?” Suara Gali antusias. Aku menjawab iya. Tak berapa lama aku melihat ada pintu gerbang masuk ke perkampungan yang indah. Sisi kiri kanan berdiri guci besar membuat pintu gerang perkampungan itu seperti hendak masuk rumah. Gali berdiri di tengah-tengah pintu gerbang menunggu kami berdua.
Gali dan Gundak berpelukan. Aku bahagia sekali melihat mereka damai. Nampak betul kalau mereka bersaudara. Lalu bersalaman denganku. Genggaman Gali erat sekali. Aku terpukau melihat dua lelaki yang memiliki sikap berbeda. Gali meski usianya lebih muda dari Gundak namun sikapnya lebih bijaksana dan dewasa. Tidak mudah tersinggung. Dua sisi terbalik. Gundak harus banyak belajar pada Gali. Akhirnya kami bertiga berjalan memasuki kampung.
Lagi-lagi aku melihat berjajar rapi rumah panggung dengan halaman yang luas. Pohon rindang rata-rata tumbuh di halaman rumah. Jalan setapak ditumbuhi rumput yang rendah. Di ujung jalan setapak ada masjid berwarna hijau bediri anggun sekali. Di bawah garang aku melihat nyaris setiap rumah punya jaring. Nampaknya salah satu mata pencaharian masyarakat dusun ini mencari ikan. Kami memasuki halaman rumah limas yang lebih luas dibandingkan dengan rumah lainnya. Nampaknya inilah rumah Gali. Di dekat tangga bertengger guci berisi air dan gayung kayu. Rupanya piranti cuci kaki. Kami naik anak tangga saru-satu. Tangga kayu, licin dan terawat menuju beranda kaca. Aku menarik nafas lega. Perkampungan nenek gunung yang kutemui pada umumnya sama. Rumah panggung yang berjajar.
Ternyata mengatur bangsa manusia harimau lebih mudah dibandingkan bangsa manusia. Mereka tidak banyak membantah. Patuh dan sopan.
Kami disuruh masuk. Beranda kaca yang luas berjajar kursi rotan manau yang berkualitas, dengan bentuk dan motif yang halus. Karya seni terindah hanya kutemui di sini. Beberapa rumah kulihat bagian dapurnya berasap. Asapnya membubung seakan mengabarkan jika kehidupan mereka sangat sejahtera.
Aku baru saja menghempaskan pantat di kursi. Tiba- tiba datang perempuan berperawakan sedang. Kulit kuning langsat. Meski sudah separuh baya, namun masih terlihat kecantikannya. Dalam hati aku bertanya, apakah ini Umaknya Gali. Cantik sekali.
“Aihh..terimakasih Gundak sudah berkenan kemari. Dan ini pasti Putri Selasih!” Perempuan itu meraih tangan dan langsung memelukku berulang-ulang setelah menyalami Gundak. Aroma pandan yang bergelung di sanggulnya kuhirup dalam-dalam. Harum sekali.
“Sudah lama kami hendak bertemu denganmu Selasih. Sejak kamu menolong Gali dari keroyokan siluman anjing itu. Tapi ada saja hambatan. Ketika di Bukit Selepah, kamu duluan pulang sebelum kita bertemu” Ujarnya akrab sambil memegang tanganku. Aku tak henti tersenyum meski dalam hati agak risih seolah-olah aku adalah orang yang sangat penting. Aku dan Gundak langsung beliau ajak ke dalam.
Aku kembali terpukau. Isi dalam rumah Gali ternyata serba rotan. Di dinding yang paling luas aku melihat kaligrafi Ayatul Kursy dari kain tapis khas Lampung yang disulam dengan benang emas berukuran besar pun dibingkai dengan rotan bulat. Lalu kami melangkah ke ruang tengah yang mirip lorong besar karena kiri kanan diapit kamar yang pintunya berhadapan. Kami berhenti di ruang yang lebih luas dari beranda kaca. Mungkin ini ruang keluarga. Ada kursi malasnya, meja makan, kursi tamu, dan lemari besar. Lantainya dilapis pula dengan tikar rotan. Aku dan Gundak diajak duduk ditikar rotan. Kami duduk setengah melingkar. Ibu Gali menyuguhkan teh hangat dan keripik mumbai. Sayang tidak bersua dengan Bak-nya Gali. Menurut Umaknya beliau sedang pergi.
Ketika kurasa sudah cukup aku dan Gundak mohon diri. Kami kembali melalui jalan semula menyisir pinggir danau Ranau. Di sudut timur aku melihat kerumunan sangat ramai. Dalam hati ingin melihatnya ada apa gerangan. Aku mencoba menembusnya dengan batin. Oh! Rupanya pasar! Berbagai jenis rupa dijual di sana seperti kehidupan pasar manusia pada umumnya. Terjadi transaksi dengan mata uang logam semua. Aku tidak mau berlama-lama. Apalagi untuk mengetahui apakah mereka bangsa manusia harimau semua atau bangsa jin?
Masih menyisir pinggir danau. Bagiku ketenangan danau ini banyak sekali menyimpan misteri. Sisi pinggir berbelok-belok, beberapa bagian pinggir danau perkebunan karet penduduk, ada rawa-rawa, dan lain sebagainya. Jauh di seberang lampu rumah penduduk berpendar-pendar. Danau seperti lautan ini dihuni berbagai macam jenis makhluk asral.
Baru saja aku dan Gundak hendak bergerak untuk mempercepat langkah pulang, tiba-tiba dihadapan kami berdiri enam perempuan berpakaian kebaya dan kain singkat (pendek) tanpa alas kaki. Mereka rata-rata terlihat cantik. Wajah mereka hampir mirip semua. Hanya pakainnya yang membedakan, ada yang burbunga-bunga rapat merah ungu, hijau. Ada yang polos warna kuning, ada yang bermotif bunga mawar besar-besar. Semuanya berkain batik, kain sarung perempuan. Hanya satu orang di antara mereka memakai serindak seperti orang hendak ke sawah.
Aku mencium bau anyir dari tubuh mereka. Mereka siluman buaya.
Bersambung…